Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Tunjukkan pada dunia bahwa sebenarnya perempuan itu mampu

Kepada para perempuan yang akan beranjak dewasa,
Ketika ia harus melakukan perjalanan keluar kampung,
Ketika ia menjumpai bahwa ternyata ia sendirian di negeri perantauan,
Sanak-saudara nan jauh di sana tergantikan oleh jalinan persahabatan.
Persahabatan itu dilukiskan sebagai saudara terdekatnya.
Meskipun ada sahabat yang tak peduli dan berselisih paham,
dan apabila rasa takut dan gelisa mampir dibenak ini, ingatlah bahwa Tuhan selalu melindungimu.
Mentari pagi ini memberikan pencerahan yang tak kunjung habis,
Bangunlah dan kerjakan tugas yang sukar tapi tetap terus semangat,
Kebebasan berekspresi mulai hinggap dikepalanya bahwa “ia pun mampu”.
Ia mulai menjalani pengetahuan, pengalaman, kesempatan yang takkan datang kedua kali.
Sebelum ia beranjak beberapa langkah, ternyata di depannya ada bahaya besar,
Ia berputar ke arah belakang, ternyata sulit untuk kembali lagi.
Kaki berbalik ke depan, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi.
Ia tidak memliki keyakinan atas kegagalan fisik bahwa ia seorang gadis yang lemah dan tak berdaya.
Tetapi di hatinya berkobar semangat yang tak kunjung padam dan tangannya memegang sebuah buku.
Entah bagaimana keberanian ini muncul dari dunia luar yang penuh tantangan dan keras.
Tantangan karena dunia akademik merangsang daya efektif, kognitif dan bagaimana psikomotorik itu diterapkan.
Keras, karena di sana, di sini terjadi tindakan kekerasan atas nama cinta dalam pacaran, keluarga dan gereja yang tak luput dari lingkaran setan.
Ketidakadilan tak pandang bulu, konflik atau perdamaian yang disuarakan atas nama cinta?
Dengan susah payah ia melewati dunia ini, pergi dengan cepat dan lenyap dari pandangan kami.
Pergi untuk mencoba merubah perspektif bahwa ia ini bukan inferior, bukan subordinasi dan tak berdaya.
Di keheningan malam itu saya mencoba bertemu dengannya.
Debat diskusi mencekam sampai gejolak perasaan bahwa ini adalah nasib kita yang harus di ubah demi dan untuk kesetaraan.
Kampung halaman menjadi topik utama kami belajar. Al kisah dalam keluarga hidup ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan). Dalam tradisi keluarga anak laki-laki mendapat warisan lebih besar dibandingkan adiknya perempuan. Mengapa demikian? Karena anak laki-laki merupakan pewaris utama keluarga (membawa fam/marga keluarga). Lalu bagaimana halnya dengan anak perempuan? Oh, ia akan di bawa oleh orang lain. Jadi, bagaimana nasibnya jika tidak menempuh jalur pendidikan? Kalaupun ia menempuh jalur pendidikan, apakah ia akan masih terpanah dengan warisan keluarganya? Hmmm, sulit untuk dibayangkan.
Dalam keluarganya, ia diwariskan pendidikan sampai kejenjang yang lebih tinggi dari saudaranya laki-laki meskipun kelak ia tak mendapat warisan dari keluarga secara material. Akhir diskusi ini ditutup dengan pernyataan bahwa warisan orang tua yang sebenarnya bukan dalam bentuk harta (budel, bahasa Manado) tetapi lebih pada sifat-sifat dari orang tua dan fasilitas pendidikan. Inilah modal bagi seorang perempuan menatap ke depan, mempergunakan kesempatan dari orang tuanya untuk menempuh pendidikan sebagai jendela ia berkarya dan berkarir. Akan tetapi pendidikan bukanlah satu-satunya kesadaran dalam upaya mewujudkan kesetaraan. Oleh karena itu perlu dibangun peran dan relasi dengan kaum laki-laki. Konsep Gender itulah yang di ajarkan para dosen dan wacana ranah akademik. Tak luput berangkat dari konteks Minahasa tempat tinggal kami.
Peluang, keberanian dan semangat kami menunjukkan bahwa perempuan bisa ikut andil dalam pendidikan dan persaingan sehat di negara Pancasila.

Tulisan ini dipersembahkan untuk orang tua kami nan jauh di sana.

Tidak ada komentar: