Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Perjalanan Seharian, Dua Pesta Pernikahan

   Perjalanan seharian sungguh sangat melelahkan dan penuh makna. Kira-kira pukul setengah Sembilan pagi saya bersama mama, ma’Marta, pa Noldy, Sisilia, Christian dan Om Rein berangkat ke Amurang. Kami berangkat dengan kendaraan xenia silver tepat pada hari Sabtu, 11 Februari 2012. Jangan heran pembaca,  kami (rombongan) berangkat dengan tujuan untuk menghadiri pernikahan Yulce Maramis dan Tommy Pangaila di Tawaang, Amurang. Dan acara pernikahan lainnya dari Yesli Tamburian dan Merlin Takapente di Restaurant Century, Amurang.

            Selama perjalanan, kami banyak berbicara tentang Christian (panggilan akrab Kres) Heydemans yang lagi sakit pikiran. Maksudnya, si Kres hanya memikirkan pacarnya (?) di Popontolen, Amurang yang tak lain hanya sebatas hayalan atau imajinasinya semata. Sebenarnya Kres naksir sama perempuan itu, tetapi sang wewene memiliki pacar sekampung. Belum lagi sakit pikirannya sudah beberapa bulan lalu tidak pernah di obati.

            Sebenarnya sih dia pernah jatuh dari atas tangga rumah itu. Menurut Keke (istri dari kakak Kres) “Kres pernah jatuh dari tangga sampai tiga jam tidak sadarkan diri”. Aduuh sangat ironis nasibnya dan kalau pembaca imajinasikan bagaimana kepalanya terbentur dari tangga dan tanah itu. Itulah topik hangat sekaligus memperihatinkan keluarga di sepanjang perjalanan ke Amurang. Meskipun ada beberapa humor dari ma’Marta dan Sisilia bergema di dalam mobil. Humor memberi nuansa fresh di mana bibir dan pipi ini ditarik lebar seakan tersenyum pepsodent., ckckckck

            Kami tiba di rumah Sisilia, kompleks Ranoyapo, Amurang di mana jam di hp saya menunjukkan pukul sepuluh pagi. Cuaca panas menyengat badan sehingga hujan keringat tidak bisa di hindari. Saya langsung bergegas ganti pakaian, smokol (saran pagi) dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Tawaang. Akhirnya, di rumah Sisilia itu terkumpul keluarga besar Maramis baik dari Amurang-Manado-Tomohon, berangkat ke Tawang dengan mengendarai lima mobil.

            Tibalah kami di rumah sukacita Keluarga Maramis-Tumewu. Yulce, sang penganti perempuan kelihatan cantik di make-up dan dibaluti gaun putih ala Barat itu. Tommy mengandeng Yulce keluar dari rumahnya dan menuju ke gedung gereja GMIM Tawaang. Mereka pasangan yang sangat matang dalam usia dan pekerjaan.Tommy berumur 34 tahun sedangkan Yulce berumur 36 tahun. “dorang baru pacaran satu taon kong sekarang so menikah. Dorang ini kwa pacaran tergolong unik. Kiapa unik? Ternyata dorang bakudapa di facebook (FB). Melalui perkenalan itu dorang dua baku dapa kong menjalani pacaran dan akhirnya menikah.” Cetus bapak pendeta kala memberikan pengantar khotbah pernikahan.

            Berawal dari jejaring sosial seperti FB dan disahkan dalam peneguhan nikah yang kudus. Menarik juga kisah dua insan ini. Jika internet dipergunakan dengan sebaiknya, maka dampak positif sangat memberikan ‘berkat’ dalam kehidupan.

            Setalah pemberkatan nikah di gedung gereja GMIM Tawaang telah selasai maka kami melanjutkan perjalanan ke desa Pakuweru dengan mengendarai mobil. Ada mobil mikro (yang disewakan keluarga bahagia ini), mobil kijang, dan xenia yang ikut mengantarkan pengantin. Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak pohon kelapa dan cengke yang di tanam. Kemudian, ketika memasuki desa ini, banyak model rumah yang tak kala dengan model rumah di kota Manado. Bisa saya kata sih, model rumah mereka bagus-bagus dech. Belum lagi terdapat banyak gedung gereja yang berdiri megah. Ini menjadi pengalaman pertama saya datang di desa Pakuweru.

             Setibanya di bukit desa Pakuweru, hari makin senja dengan nuansa alam yang dingin dan sorot mata saya memandang pantai Amurang nan esotik itu. Hmmmm :)

              Acara resepsi di hadiri banyak saudara, kenalan dan masyarakat sekitar. Resepsi ini berdiri di bawah tenda bambu khas Minahasa, tetapi sangat memilukan hatiku saat MC mengatakan “hadiri di undang berdiri, mari torang sambut raja dan ratu kita sehari”. Sambil di iringi musik orgen, sang pengantin berjalan menuju pelaminan. Sepanjang itulah saya berpikir kalau di Minahasa tidak mengenal sistem kerajaan, tidak mengenal raja dan ratu. Aah salah kaprah pernyataan MC ini. Tapi kesalahan ini sudah lumrah di setiap acara pernikahan dan telah menjadi kebudayaan baru konteks Minahasa kini. Sungguh sangat ironis, pikirku.

              Sesi demi sesi acara resepsi ini telah di lalui, inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Pembaca jadi penasaran? Hmmm, itulah sesi ramah tama alias makan-makan. Di meja panjang itu terdapat makan khas Minahasa, dari ikan bakar rica, sate babi, babi leilem, babi tore, mujair bakar rica, nasi pondan. Nah, pembaca jadi lapar toch? Hehehehe

             Piring telah dibagikan oleh petugas dapur, Ibu pendeta Pinontoan-Setlight di minta untuk membawakan doa makan. Selesai doa makan, tanpa di perintahkan sang pengantin untuk mempersilakan makan, waduuuh.., “kayak ayam bangko dan ayam betina berebutan makan di meja makan sambil berdesak-desakan”. Situasi berebutan makan sangat kental di acara-acara tou Minahasa. Belum lagi tante di samping saya pake acara bungkus ikan di tas plastik. Sehingga betul juga kalimat yang mengatakan “so makang, ba bungkus lai ato kuat makang, nah kuat ba bungkus lai”. Hahahaha J

             Musik orgen mengiringi kepergian kami untuk kembali ke Ranoyapo. Sebelum meninggalkan pesta itu, keluarga besar Maramis membuat lingkaran sambil goyang-goyang ala katreli. Ada yang goyang sambil tertawa, ada yang bercerita dan ada juga serius melihat petunjuk sang pemimpin katreli. Begitulah kalau keluarga besar berkumpul, rame yo rame.

             Akhirnya, kami kembali ke Ranoyapo. Saya dan mama langsung menuju ke restoran Century New kira-kira pukul setengah delapan malam.

             Saya dan mama turun dari mobil dan menghampiri penerima tamu. Ada dua keke yang berbalut gaun menyapa dengan senyuman. Kemudian, saya langsung menulis di buku tamu dan mama siap menaruh emplop ke dalam kotak. Sang keke menanyakan “ibu dari pihak mana, apa sodara laki-laki ato sodara parampuang”. Nah, mama langsung bingung setengah mati. Sambil gugup mama menjawab “pa parampuang, eeh salah kote pa laki-laki”.  Kemudian mengisi emplop di kotak pihak laki-laki. Saya yang mendengar pembicaraan mereka langsung menanggapi balik kepada sang keke. “kiapa so pake pembedaan kotak emplop di acara kaweng ini?” cetusku.  sekarang, sang keke itu yang gugup “kita nintau noh kiapa bagitu!”. Ok, terima kasih. Sambil berlalu saya mengatakan kepada mama “nah, mama kase itu emplop pa pihak laki-laki sedangkan torang pe sodara pa parampuang”. Mama kelihatan menyesal dan “biar jo, sama kwa itu” cetus mama.

            Undangan pesta nikah di tulis pukul 17:00, tetapi sampai malam belum selasai acara ini. Buktinya, setelah kami duduk di bangku deretan belakang itu, acara masih di buka dengan ibadah oleh bapak pendeta. Ternyata tradisi di kampung, jika ada pesta nikah, haruslah di mulai dengan ibadah  lalu dilanjutkan dengan sesi-sesi berikutnya. Ini berbeda dengan  pesta nikah di Manado yang tidak lagi di buka dengan  ibadah. Mengapa demikian? Karena ibadah telah di laksanakan di gedung gereja pada acara pemberkatan nikah. Sehingga pesta nikah  tidak panjang, dan maag tidak sakit menahan lapar.

            Malam makin larut, saya dan mama tidak mengikuti acara panjang dan lebar yang memakan waktu banyak. Kami langsung menuju keluar pintu gerbang restoran itu dan berlalu pulang ke Manado.

Dari pesta nikah ini, ada beberapa hal yang saya petik untuk dimaknai yakni:
  1. Kebanyakan baju nikah Tou Minahasa memakai ala Barat (gaun dan kemeja) sehingga baju khas adat nikah Minahasa (Seperti kebaya) tidak lagi diminati kaum muda/i. Sisi negatif, sikap egaliter Tou Minahasa akan budaya Barat sangat mempengaruhi cara hidupnya sehingga peninggalan leluhur Tou minahasa kurang dipertahankan dan dilestarikan sebagai identitas Nyiur Melambai.
  2. MC menyebutnya raja dan ratu sehari. Sedangkan di Minahasa tidak mengenal sistem kerajaan.
  3. Cinta bisa bersemi lewat jejaring sosial (seperti FB) dan berlanjut sampai ke pelaminan.
  4. Di acara pernikahan, kebanyakan pesta memakai orgen daripada kolintang atau musik bambu. Pertimbangan ekonomis, Orgen lebih murah dibandingkan menyewa musik khas daerah. Pertimbangan budaya, makin kurang minat masyarakat dan kurang pelestarian akan musik khas daerah Minahasa.
  5. Emplop nikah terjadi pengotakkan. Kanan mempelai perempuan dan kiri untuk mempelai laki-laki. sebaiknya, apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh terjadi pengotak-pengotakan. Kedua kotak emplop ini telah menjadi satu. Satu di sini adalah menjadi modal kedua mempelai pengantin yang baru. Bukan menjadi  modal orang tua perempuan atau modal orang tua laki-laki.

                     Semoga pembaca dan saya menghargai lalu meneruskan nilai-nilai luhur sang leluhur.

                                                                                                               Manado, 23 Februari 2012
                                                                                                        Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: