Ketika Yesus melihat
Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia,
maka masygullah hati-Nya. ia sangat terharu dan berkata: “ Di manakah
dia kamu baringkan?” Jawab mereka: “Tuhan, marilah dan lihatlah!” Maka
menangislah Yesus.
Yohanes 11:33-35
Orang tua menangis ketika anak kesayangannya meninggal dunia, sebaliknya ada orang tua menangis sambil terharu melihat anak perempuannya berdiri paling depan meraih peringkat pertama lulusan terbaik wisuda periode tahun itu. Orang yang diputusin pacar bisa menangis sampai habis air matanya. Namun saya sulit menangis jika mengalami kegagalan dalam masa perpacaran. Saya akan menangis bahkan sampai histeris takkalah beberapa buku favorit hilang dari rak buku. Orang yang haknya dirampas, menangis di depan pengadilan karena tidak ada kesempatan untuk mendapat keadilan seperti kasus pencurian sandal jepit seharga Rp. 35.000. Begitu juga, koruptor yang menghabiskan uang negara milyaran bahkan triliunan rupiah seakan menangis di tempat duduk kesakitan pengadilan negeri ‘sandiwara’. Dari beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa menangis merupakan proses alami dari perjalanan hidup manusia. Penyebab dan akibat menangis tergantung variasi dari berbagai situasi dan kondisi yang ditemui di lapangan.
Menangis menjadi suatu ungkapan perasaan yang beradu dengan pikiran misalnya cinta, keberhasilan, kematian, takut, resa, dan lain-lain. Menangis menjadi luapan emosi seseorang. Luapan bisa berbentuk air mata, melempar barang pecah (seperti piring, gelas), dan diam di kamar. Menangis membuat orang menjadi stress bahkan depresi. Dan oleh karena itu, ia membutuhkan seseorang untuk menghiburnya. Sikap simpati dan empati sangat dibutuhkannya saat genting.
Dalam Yohanes 11 ada sebuah cerita mengenai kematian dan kebangkitan Lazarus. Penulis Yohanes menceritakan bahwa Lazarus orang Betania sedang sakit, kemudian ajal memanggilnya. Yesus pergi di kuburan Lazarus yang sudah empat hari dikuburkan. Yesus berkata “Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun sudah mati”. Inilah yang menjadi iman Maria (perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak mur dan menyekannya dengan rambut). Besar iman Maria membuat hati Yesus lulu bahkan Yesus menangis (ayat 35). Hal ini membuktikan bahwa Yesus orang Nazaret adalah manusia yang menggunakan perasaan, berempati kepada keluarga Lazarus dan mengetahui bahwa imanmu akan memuliakan Allah. Dengan menangis, Yesus mempunyai perasaan senasib sepenanggungan. Yesus turut berempati dengan Maria yang lagi galau hati ditinggalkan sang saudaranya, Lazarus. Sifat kemanusiaan Yesus menunjukkan bahwa dalam keadaan susahpun, Ia sanggup menjadi penghibur dan memberitakan kabar keselamatan bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Bagaimana dengan anda, sudah siapkah anda menangis dengan mereka yang mengalami ketidakadilan dan menjadi penolong bagi mereka yang membutuhkan sesuap nasi?
Pada saat menggumuli tesis di tahun 2010 sampai januari 2011, saya mengalami banyak kesulitan sampai gejolak batin memilukan hati. Rajutan tesis saya hasil pergumulan sebagai anak perempuan Minahasa yang tak muda di lalui. Rajutan dari berbagai linangan air mata dan ketekunan di bawah ‘tekanan’. Pergumulan di mana saya ditantang oleh sang ibu dosen pembimbing I, Ibu Retno. Tantangan dari seorang perempuan yang luar biasa. Tesis saya di obok-obok dari satu bab ke bab yang lain. Nuansa bimbingan yang mencekam di bawah tekanan batin. Meskipun di obok-obok, di marahin, di nasehatin, dan di anggap bukan hasil karya sendiri tetapi tidak memudarkan semangat dan langkah ini untuk maju. Membuktikan bahwa inilah hasil karya saya.
Teringat, sebelum menghadap bimbingan ibu Retno, pastinya saya mengalami stress ‘kecil’ dan gugup seharian. Alhasil, bimbingan tidak berjalan dengan lancar. Penjelasan tesis dari kemarin sampai hari itu adalah seperti itu. repot juga jika dipikirkan. Tidak ada penjelasan tambahan yang terucap di bibir manis ini. Akan tetapi, bukan berarti tesis saya tidak mengalami perubahan. Perubahan yang signifikan berdasarkan coretan dan masukan sang ibu dosen bimbingan. Di depan saya, ibu marah-marah. Sebaliknya, di depan teman-temanku, tesis saya di junjung tinggi malah menjadi patokan bagi tesis mereka (teman-teman). Saya sampai binggung sendiri. Saya tidak berani menanyakan mengapa demikian? Pilu rasa hati ini, menangis kala malam mencekam. Akan tetapi, semangat, gelora jiwa bunda Maria Walanda-Maramis masuk dalam alam bawah sadarku untuk memberikan motivasi dan inspirasi yang tak terhingga. Maju dan semangat menjadi bukti bahwa saya sebagai perempuan Minahasa harus bisa dan berhasil.
Sambil menulis pengalaman studi ini, saya menangis dalam pergumulan pahit yang menghasilkan pahatan indah. Bahan hasil pahatan indah dari sang ibu Retno dosen pembimbing I dan bapak David dosen pembimbing II. Dan saya tinggal melanjutkan pahatan nan esotik itu.
Saya mengalami pengalaman menangis bersama keluarga yang tak pernah terlupakan. Ini terjadi di tahun 2011 tepatnya tanggal 25 Desember, peri terasa di hati dan merasa pelayanan di jemaat menjadi tindakan mubasir dalam hidup ini, pikiran pendekku hinggap di alam sadar. Merasa rendah diri dan sulit berkarya di jemaat asal. Seolah terasing, kurang semangat melayani dan ada beberapa orang tidak suka dengan pelayanan saya di jemaat ini. Mungkin mereka iri, mereka tahu asal usul keluarga, saya lulusan UKIT YPTK dan kebiasaan masa kecilku. Memang selama pelayanan di sini saya tidak diberi tunjangan pelayanan. Oleh sebab itu, saya tergantung dengan biaya orang tua. Jujur, saya malu dan merasa kurang diberi kebebasan untuk berkarya. Malu, saya anak perempuan yang menyandang gelar master tanpa upah yang menghasilkan. Malu, saya tergantung dengan biaya orang tua yang sebenarnya saya harus bebas dan membantu kebutuhan orang tua, bukan menjadi beban orang tua (terlalu banyak biaya pendidikan beasiswa ayah-bunda). Malu, saya hanya seperti ‘anak kecil’ perempuan yang dipelihara dan dirawat, sebenarnya saya ingin merantau di daerah nan jauh. Saya sebagai anak perempuan ingin bebas menentukan pilihan hidup, bebas berkarya dalam pelayanan.
Dari pengalaman hidup saya di atas, ungkapan emosi mengalir bersamaan dengan air mata. Teringat jelas, ibadah natal siang di gedung gereja telah usai. Bukannya kedamaian yang hadir dalam keluarga kami tetapi konflik batin antara saya dengan mama. Papa mengambil jalan tengah, memberikan solusi dan nasehat yang membanjiri kamar ini. Saya hanya bisa menangis, papa merangkul dengan kehangatan kasih sayang yang terhingga seakan mengerti pergumulan dan gejolak batin ini. “saya hanya ingin bebas dan mandiri sebagai anak perempuan, pap”. Cetus saya sambil memeluk papa dengan liangan air mata yang tak terhingga banyaknya. Kami (hanya saya, mama dan papa) makan siang dalam rangka natal Yesus Kristus. Di depan meja makan, saya malas memimpin doa. Akhirnya, papa yang mengantarkan doa makan dan doa natal keluarga. Doa sambil menangis menyentu hati sanubari ini, suasana terharu meliputi awan mendung kala siang itu seakan saya-lah yang salah. Saya yang menciptakan ‘iblis’ dipikiran ini yang sebenarnya nuansa natal adalah nuansa kedamaian dalam rumah, hidop rukun deng baku-baku sayang (hidup rukun dan baku sayang). Astaga, saya minta maaf akan perbuatan yang tidak mencerminkan teladan bagi mama dan papa. Sekali lagi, maaf!
Makna indah dibalik tangisan menjadikan saya lebih memahami realita gejolak batin berhadapan dengan arus. Lanjut, bagaimana sikap saya dan anda menjadikan tangisan itu sebagai simbol ‘cambuk’ kemanusiaan yang terasa sakit tetapi sebenarnya bermakna indah. Mari berbagi warna tangis yang memanusiakan manusia.
Manado, 9 Januari 2012
Nency A Heydemans Maramis
Yohanes 11:33-35
Orang tua menangis ketika anak kesayangannya meninggal dunia, sebaliknya ada orang tua menangis sambil terharu melihat anak perempuannya berdiri paling depan meraih peringkat pertama lulusan terbaik wisuda periode tahun itu. Orang yang diputusin pacar bisa menangis sampai habis air matanya. Namun saya sulit menangis jika mengalami kegagalan dalam masa perpacaran. Saya akan menangis bahkan sampai histeris takkalah beberapa buku favorit hilang dari rak buku. Orang yang haknya dirampas, menangis di depan pengadilan karena tidak ada kesempatan untuk mendapat keadilan seperti kasus pencurian sandal jepit seharga Rp. 35.000. Begitu juga, koruptor yang menghabiskan uang negara milyaran bahkan triliunan rupiah seakan menangis di tempat duduk kesakitan pengadilan negeri ‘sandiwara’. Dari beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa menangis merupakan proses alami dari perjalanan hidup manusia. Penyebab dan akibat menangis tergantung variasi dari berbagai situasi dan kondisi yang ditemui di lapangan.
Menangis menjadi suatu ungkapan perasaan yang beradu dengan pikiran misalnya cinta, keberhasilan, kematian, takut, resa, dan lain-lain. Menangis menjadi luapan emosi seseorang. Luapan bisa berbentuk air mata, melempar barang pecah (seperti piring, gelas), dan diam di kamar. Menangis membuat orang menjadi stress bahkan depresi. Dan oleh karena itu, ia membutuhkan seseorang untuk menghiburnya. Sikap simpati dan empati sangat dibutuhkannya saat genting.
Dalam Yohanes 11 ada sebuah cerita mengenai kematian dan kebangkitan Lazarus. Penulis Yohanes menceritakan bahwa Lazarus orang Betania sedang sakit, kemudian ajal memanggilnya. Yesus pergi di kuburan Lazarus yang sudah empat hari dikuburkan. Yesus berkata “Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun sudah mati”. Inilah yang menjadi iman Maria (perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak mur dan menyekannya dengan rambut). Besar iman Maria membuat hati Yesus lulu bahkan Yesus menangis (ayat 35). Hal ini membuktikan bahwa Yesus orang Nazaret adalah manusia yang menggunakan perasaan, berempati kepada keluarga Lazarus dan mengetahui bahwa imanmu akan memuliakan Allah. Dengan menangis, Yesus mempunyai perasaan senasib sepenanggungan. Yesus turut berempati dengan Maria yang lagi galau hati ditinggalkan sang saudaranya, Lazarus. Sifat kemanusiaan Yesus menunjukkan bahwa dalam keadaan susahpun, Ia sanggup menjadi penghibur dan memberitakan kabar keselamatan bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Bagaimana dengan anda, sudah siapkah anda menangis dengan mereka yang mengalami ketidakadilan dan menjadi penolong bagi mereka yang membutuhkan sesuap nasi?
Pada saat menggumuli tesis di tahun 2010 sampai januari 2011, saya mengalami banyak kesulitan sampai gejolak batin memilukan hati. Rajutan tesis saya hasil pergumulan sebagai anak perempuan Minahasa yang tak muda di lalui. Rajutan dari berbagai linangan air mata dan ketekunan di bawah ‘tekanan’. Pergumulan di mana saya ditantang oleh sang ibu dosen pembimbing I, Ibu Retno. Tantangan dari seorang perempuan yang luar biasa. Tesis saya di obok-obok dari satu bab ke bab yang lain. Nuansa bimbingan yang mencekam di bawah tekanan batin. Meskipun di obok-obok, di marahin, di nasehatin, dan di anggap bukan hasil karya sendiri tetapi tidak memudarkan semangat dan langkah ini untuk maju. Membuktikan bahwa inilah hasil karya saya.
Teringat, sebelum menghadap bimbingan ibu Retno, pastinya saya mengalami stress ‘kecil’ dan gugup seharian. Alhasil, bimbingan tidak berjalan dengan lancar. Penjelasan tesis dari kemarin sampai hari itu adalah seperti itu. repot juga jika dipikirkan. Tidak ada penjelasan tambahan yang terucap di bibir manis ini. Akan tetapi, bukan berarti tesis saya tidak mengalami perubahan. Perubahan yang signifikan berdasarkan coretan dan masukan sang ibu dosen bimbingan. Di depan saya, ibu marah-marah. Sebaliknya, di depan teman-temanku, tesis saya di junjung tinggi malah menjadi patokan bagi tesis mereka (teman-teman). Saya sampai binggung sendiri. Saya tidak berani menanyakan mengapa demikian? Pilu rasa hati ini, menangis kala malam mencekam. Akan tetapi, semangat, gelora jiwa bunda Maria Walanda-Maramis masuk dalam alam bawah sadarku untuk memberikan motivasi dan inspirasi yang tak terhingga. Maju dan semangat menjadi bukti bahwa saya sebagai perempuan Minahasa harus bisa dan berhasil.
Sambil menulis pengalaman studi ini, saya menangis dalam pergumulan pahit yang menghasilkan pahatan indah. Bahan hasil pahatan indah dari sang ibu Retno dosen pembimbing I dan bapak David dosen pembimbing II. Dan saya tinggal melanjutkan pahatan nan esotik itu.
Saya mengalami pengalaman menangis bersama keluarga yang tak pernah terlupakan. Ini terjadi di tahun 2011 tepatnya tanggal 25 Desember, peri terasa di hati dan merasa pelayanan di jemaat menjadi tindakan mubasir dalam hidup ini, pikiran pendekku hinggap di alam sadar. Merasa rendah diri dan sulit berkarya di jemaat asal. Seolah terasing, kurang semangat melayani dan ada beberapa orang tidak suka dengan pelayanan saya di jemaat ini. Mungkin mereka iri, mereka tahu asal usul keluarga, saya lulusan UKIT YPTK dan kebiasaan masa kecilku. Memang selama pelayanan di sini saya tidak diberi tunjangan pelayanan. Oleh sebab itu, saya tergantung dengan biaya orang tua. Jujur, saya malu dan merasa kurang diberi kebebasan untuk berkarya. Malu, saya anak perempuan yang menyandang gelar master tanpa upah yang menghasilkan. Malu, saya tergantung dengan biaya orang tua yang sebenarnya saya harus bebas dan membantu kebutuhan orang tua, bukan menjadi beban orang tua (terlalu banyak biaya pendidikan beasiswa ayah-bunda). Malu, saya hanya seperti ‘anak kecil’ perempuan yang dipelihara dan dirawat, sebenarnya saya ingin merantau di daerah nan jauh. Saya sebagai anak perempuan ingin bebas menentukan pilihan hidup, bebas berkarya dalam pelayanan.
Dari pengalaman hidup saya di atas, ungkapan emosi mengalir bersamaan dengan air mata. Teringat jelas, ibadah natal siang di gedung gereja telah usai. Bukannya kedamaian yang hadir dalam keluarga kami tetapi konflik batin antara saya dengan mama. Papa mengambil jalan tengah, memberikan solusi dan nasehat yang membanjiri kamar ini. Saya hanya bisa menangis, papa merangkul dengan kehangatan kasih sayang yang terhingga seakan mengerti pergumulan dan gejolak batin ini. “saya hanya ingin bebas dan mandiri sebagai anak perempuan, pap”. Cetus saya sambil memeluk papa dengan liangan air mata yang tak terhingga banyaknya. Kami (hanya saya, mama dan papa) makan siang dalam rangka natal Yesus Kristus. Di depan meja makan, saya malas memimpin doa. Akhirnya, papa yang mengantarkan doa makan dan doa natal keluarga. Doa sambil menangis menyentu hati sanubari ini, suasana terharu meliputi awan mendung kala siang itu seakan saya-lah yang salah. Saya yang menciptakan ‘iblis’ dipikiran ini yang sebenarnya nuansa natal adalah nuansa kedamaian dalam rumah, hidop rukun deng baku-baku sayang (hidup rukun dan baku sayang). Astaga, saya minta maaf akan perbuatan yang tidak mencerminkan teladan bagi mama dan papa. Sekali lagi, maaf!
Makna indah dibalik tangisan menjadikan saya lebih memahami realita gejolak batin berhadapan dengan arus. Lanjut, bagaimana sikap saya dan anda menjadikan tangisan itu sebagai simbol ‘cambuk’ kemanusiaan yang terasa sakit tetapi sebenarnya bermakna indah. Mari berbagi warna tangis yang memanusiakan manusia.
Manado, 9 Januari 2012
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar