Syaloom, Malam bae saudara/i yang dikasihi dan mengasihi Tuhan Kita
Yesus Kristus. Pada saat ini, saya memberi tema perenungan mengenai:
“Tou Minahasa memaknai paskah sebagai pembebasan yang memerdekakan”
Apa itu paskah? Paskah bukanlah adat istiadat bangsa Minahasa. Kita
tahu bersama bahwa perayaan paskah yang kita lakukan adalah kebiasaan
atau adat istiadat Yahudi yang dibawa para zending Eropa (Belanda)
untuk mengabarkan Injil Yesus Kristus yang telah menyelamat umat
manusia. Secara teologis, paskah (bhs Ibraninya Pesakh artinya melewati) merupakan perayaan bangsa Israel kuno yang dilaksanakan saat musim semi yang bertujuan pertama,
agar orang Israel selalu mengingat bagaimana TUHAN Allah telah
mengeluarkan / menyelamatkan mereka dari perbudakan di tanah Mesir (exodus).
Sehingga pembebasan dari tanah Mesir menjadi sebuah kebangkitan kembali
atau kehidupan yang baru sebagai salah satu bangsa yang dipilih TUHAN
yang telah di bebaskan dan di memerdekakan.
Paskah Israel merupakan tindakan proklamasi kemenangan sekaligus
pengakuan tentang kedaulatan Allah akan kuasa-Nya. Dengan kata lain,
pengakuan akan otoritas Allah bagi bangsa pilihannya, bangsa Israel.
Cara Allah membebaskan mereka dari adidaya Mesir dibawah pimpinan raja
Firaun yang keras hati, menjadi peristiwa iman yang tidak dilupakan oleh
sejarah umat Israel krn di tulis dalam kitab suci, bahkan tidak bisa
dilupakan segala orang percaya di segala zaman. Sehingga Perayaan
paskah, menurut kalender Babel dilaksanakan di bulan abib atau Nisan dan
atau kita kenal sekitar bulan Maret/April.
kedua, pesakh
atau paskah menjadi simbol umat Israel selamat dari kematian anak
sulung. Mengapa demikian? Karena TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun
agar supaya mereka mempersembahkan anak domba atau kambing jantan
berumur satu tahun (ayat 5) yang tidak bercacat. Beberapa tetesan darah
domba atau kambing di taruh di tiang pintu dan di ambang pintu. Ritual
ini menandakan bahwa ketika Allah melihat rumah-rumah Israel diberikan
tanda darah maka TUHAN Allah akan menjauhkan mereka dari tulah
kesepuluh, yakni kematian anak sulung.
Kemudian, pada malam harinya orang Israel diminta memakan daging
domba/kambing yang telah disembeli dan dipanggang kemudian di makan
dengan roti tanpa ragi dan dengan kuah pahit. Semua kegiatan ritual ini
dilakukan sambil berdiri, dengan berikat pingang, berkasut dan memegang
tongkat, sebagai tanda kesiagaan untuk berangkat. Peristiwa sejarah
Israel ini dilaksanakan setiap setahun sekali dengan tata cara yang
lazim di lakukannya. Nah, Tata cara yang dilakukan Umat Israel
Kuno yakni mengucapkan puji-pujian lalu mengadakan makan roti tak beragi
bahkan membuang segala ragi dari rumah kemudian diakhiri dengan cawan
anggur. Cawan anggur ini dijalankan sampai empat kali dan simbol keempat
sebagai tanda cawan perpisahan.
Yesus,
seorang pemuda Yahudi dari Nazareth melakukan perjamuan paskah Yahudi
sebagaimana yang dicatat dalam Injil Lukas 22. Sebenarnya terdapat
perbedaan esensi antara paskah Yahudi dan paskah Kristen. Di manakah
letak perbedaannya? Jika paskah Yahudi lebih menekankan mazmur-mazmur
nyayian/pujian sebagai bentuk penghayatan exodus dan terhindar dari
tulah kesepuluh, maka sebaliknya bagi paskah Kristen merupakan
pembebasan umat manusia dari dosa oleh anak darah Allah, Yesus sang
Juruselamat dunia. Yang dimaknai dengan roti sebagai tubuh Kristus dan
cawan anggur sebagai darah Perjanjian Baru Yesus Kristus yang
menyelamatkan umat manusia dan seluruh ciptaan alam. Meskipun terjadi
perbedaan penghayatan paskah antara PL maupun PB, namun kedua peristiwa
paskah ini mau mengingitkan kita untuk merayakan kebangkitan. Yaitu
kebangkitan dari penindasan ketidakadilan. Bangkit bukan hanya dengan
kekuatan sendiri melainkan karena ada rencana TUHAN membangkitkan
semangat pembebasan yang memerdekakan bagi umat-Nya.
Lalu, Siapakah umat-Nya itu? Kita yang disebut sebagai Tou (orang) Minahasa. Disebut Tou
Minahasa bukan hanya marganya Minahasa melainkan semua orang yang
berkontribusi memajukan kota Nyiur Melambai yang diberkati TUHAN. Tidak
ada orang asli Minahasa. Hal ini terjadi karena Pengaruh pernikahan
campur suku berbeda dan atau di mana leluhur / nenek moyong kita adalah
musafir atau penggembara yang datang di tanah Minahasa sehingga kita
sekalian bukan orang asli Minahasa. Meskipun demikian kita adalah Tou
Minahasa. Filosofi Tou Minahasa “Di mana pusa ada tanam jang lupa itu kampung halaman.”
Sekali lagi, dalam diri saya dan saudara/i sekalian terpatri identitas
kekristenan jemaat GMIM dan identitas primodial Minahasa yang
bersama-sama terpanggil menjalankan Missiodei (Misi Allah)
dalam Yesus orang Nazaret yang berkata “hendaklah kamu rakhmani, supaya
kamu beroleh rakhmat. Ampunilah, supaya kamu diampuni. Apabila kamu
memberi, maka kamupun akan diberi tanpa meminta. Sebagaimana kamu
menghakimi orang lain, begitu juga kamu akan dihakimi orang lain. Jika
kamu mengasihi, maka kasih orang lain akan diperlihatkan kepada dirimu.”
Dan oleh karena itu, menjalankan Missiodei dalam konteks
ke-Minahasa-an tidaklah mudah membalikkan telapak tangan dan memberikan
banyak nasehat yang hanya sampai pada istilah ‘surga telinga’ tanpa
perbuatan.
Kala kita menjadi hamba TUHAN,
pengikut Kristus, maka apa yang hendak kita sampaikan harus sesuai
dengan perbuatan hidup kita setiap hari. Produk gereja di bawah payung
GMIM tidak boleh asal laku apalagi asal jadi, melainkan perlu bermutu,
memicu pertumbuhan dan menghasilkan pembaharuan hidup. Apalagi kita
menghayati minggu paskah ini sebagai kemenangan Yesus dari maut, dari
pembebasan yang memerdekakan umat-Nya yang setia, taat akan perintah dan
janji-Nya. Siap memikul salib sendiri dengan meneladani pengorbanan
Yesus ketika memikul salib. Ada seorang bapak memiliki rumah ber- disain
bentuk salib, dari jalan raya terlihat di depan rumah banyak salib yang
terbuat dari kayu berdiri tegak, samping bahkan belakang rumahnya di
keliling salib romawi tanpa patung Yesus. Lalu Tanyalah seorang pendeta
perempuan kepada bapak pemilik rumah itu, katanya “apakah bapak telah
memikul semua salib yang berada di dalam maupun disekeliling rumah
ini?.” Sambil tersipu-sipu malu bapak menjawab “saya belum pernah
memikul salib satupun yang ada di dalam maupun di luar rumah ini, tetapi
simbol salib menjadi makna bagi saya dan keluarga untuk menghayati
pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib sambil terpanggil untuk
bertanggungjawab sebagai garam dan terang bagi sesama.” Nah, saudara/i
yang dikasihi dan mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus, apa gunanya dua
buah kayu kemudian diberi bentuk tambah menyerupai salib tetapi kita
sendiri kurang menghayati pengorbanan Yesus di kayu salib, kurang
memaknai pengorbanan bagi seluruh ciptaan-Nya maka berakhir pada
kesia-siaan akan makna dibalik salib itu.
Saudara/i yang diberkati TUHAN Yesus, Paskah atau pesakh atau dalam bahasa Inggris mengatakan past over
merupakan sejarah-budaya dari perayaan Israel Kuno yang dijalankan
Yesus pemuda Yahudi orang Nazareth kemudian dilakukan oleh seluruh umat
Kristen, termasuk Tou Minahasa. Lalu muncul pertanyaan refleksi
teologis, Bagaimana Tou Minahasa memaknai paskah dalam konteks budaya
Minahasa? Sebagai orang beriman, menurut alm. Pdt Saruan “Injil dan
kebudayaan Minahasa bukan untuk dipertentangkan melainkan bagaimana kita
melihat kebudayaan Minahasa mengandung banyak nilai-nilai dan
pesan-pesan teologis di dalamnya.” Lalu menurut Fredy Wowor, salah satu
istilah kebudayaan Minahasa yang mengandung pesan teologis yakni istilah
Ma’aiyam. Patokan pada suara ayam. Pada zaman dahulu, orang tua-tua so bangun pigi kobong sebelum ayam manyanyi jam 4 subuh. “dorang kaluar rumah pigi kobong deng harapan ada hasil dari pekerjaan dan dorang boleh bale ka rumah deng selamat.”
Kemudian, salah satu filosofi Tou Minahasa yang mulai memudar “sebelum ayam berkokok, sebelum embun jatuh, sebelum itupula torang so bakarja cari nafkah.”
Begitu juga jika kita kembali ke iman Kristen memaknai paskah dalam
bingkai ke-Minahasa-an. Kita percaya bahwa Yesus Kristus telah mati dan
menang dari Maut untuk menyelamatkan umat manusia bahkan menjanjikan
kehidupan yang kekal. Nah, iman Kepada Yesus Kristus tidak bisa dicuri bahkan dicuri oleh sains (ilmu pengetahuan) sekalipun. Iman itu seperti ‘rumah”. Torang
boleh ba pontar jaoh-jaoh, boleh menginap di rumah teman atau sodara,
boleh traveling, shoping, camping, pigi pasar, pigi sekolah ato pigi
kerja maar jang lupa pulang ka rumah (wale). Nah, rumah (wale)
itulah seperti iman. Iman yang pergi dengan harapan, dan pulang membawa
damai sejahtera. Saya, saudara/i yang hidup dalam kemurnian iman Yesus
Kristus menjadikan kita untuk tetap beriman dan termotivasi bekerja demi
kemanusiaan yang berkeadilan sosial, demi kehidupan keluarga kita serta
demi keutuhan ciptaan alam semesta. Mengingat alam lingkungan hidup di
mana kita bernaung telah mengalami perubahan iklim yang ekstrim dan
terjadi pemanasan global yang mengancam kehidupan makluk hidup di muka
bumi ini maka melalui sikap bersahabat dengan alam menjadi solosi yang
baik sebagai sesama ciptaan-Nya. Melalui sikap menebar kasih kepada
sesama manusia, maka itulah yang dikehendaki-Nya.
Semoga kita menjadi Tou Minahasa Kristen yang sejati, siap dan setia kepada Yesus sebagai TUHAN yang membebaskan dan memerdekakan kita sekalian. Amin.
Renungan di Jemaat GMIM Bukit Karmel Batu Kota, Manado
15 April 2012
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar