Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Rabu, 18 April 2012

Keluaran 12:1-28

  Syaloom, Malam bae saudara/i yang dikasihi dan mengasihi Tuhan Kita Yesus Kristus. Pada saat ini, saya memberi tema perenungan mengenai:

“Tou Minahasa memaknai paskah sebagai pembebasan yang memerdekakan”

            Apa itu paskah? Paskah bukanlah adat istiadat bangsa Minahasa. Kita tahu bersama bahwa perayaan paskah yang kita lakukan adalah kebiasaan  atau adat istiadat Yahudi yang dibawa para zending Eropa (Belanda) untuk mengabarkan Injil Yesus Kristus yang telah menyelamat umat manusia. Secara teologis, paskah (bhs Ibraninya Pesakh artinya melewati) merupakan perayaan bangsa Israel kuno yang dilaksanakan saat musim semi yang bertujuan pertama, agar orang Israel selalu mengingat bagaimana TUHAN Allah telah mengeluarkan / menyelamatkan mereka dari perbudakan di  tanah Mesir (exodus). Sehingga pembebasan dari tanah Mesir menjadi sebuah kebangkitan kembali atau kehidupan yang baru sebagai salah satu bangsa yang dipilih TUHAN yang telah di bebaskan dan di memerdekakan.

            Paskah Israel merupakan tindakan proklamasi kemenangan sekaligus pengakuan tentang kedaulatan Allah akan kuasa-Nya. Dengan kata lain, pengakuan akan otoritas Allah bagi bangsa pilihannya, bangsa Israel. Cara Allah membebaskan mereka dari adidaya Mesir dibawah pimpinan raja Firaun yang keras hati, menjadi peristiwa iman yang tidak dilupakan oleh sejarah umat Israel krn di tulis dalam kitab suci, bahkan tidak bisa dilupakan segala orang percaya di segala zaman. Sehingga Perayaan paskah, menurut kalender Babel dilaksanakan di bulan abib atau Nisan dan atau kita kenal sekitar bulan Maret/April.

            kedua, pesakh atau paskah menjadi simbol umat Israel selamat dari kematian anak sulung. Mengapa demikian? Karena TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun agar supaya mereka mempersembahkan anak domba atau kambing jantan berumur satu tahun (ayat 5) yang tidak bercacat. Beberapa tetesan darah domba atau kambing di taruh di tiang pintu dan di ambang pintu. Ritual ini menandakan bahwa ketika Allah melihat rumah-rumah Israel diberikan tanda darah maka TUHAN Allah akan menjauhkan mereka dari tulah kesepuluh, yakni kematian anak sulung.

            Kemudian, pada malam harinya orang Israel diminta memakan daging domba/kambing yang telah disembeli dan dipanggang kemudian di makan dengan roti tanpa ragi dan dengan kuah pahit. Semua kegiatan ritual ini dilakukan sambil berdiri, dengan berikat pingang, berkasut dan memegang tongkat, sebagai tanda kesiagaan untuk berangkat. Peristiwa sejarah Israel ini dilaksanakan setiap setahun sekali dengan tata cara yang lazim di lakukannya. Nah, Tata cara yang dilakukan Umat Israel Kuno yakni mengucapkan puji-pujian lalu mengadakan makan roti tak beragi bahkan membuang segala ragi dari rumah kemudian diakhiri dengan cawan anggur. Cawan anggur ini dijalankan sampai empat kali dan simbol keempat sebagai tanda cawan perpisahan.

            Yesus, seorang pemuda Yahudi dari Nazareth melakukan perjamuan paskah Yahudi sebagaimana yang dicatat dalam Injil Lukas 22. Sebenarnya terdapat perbedaan esensi antara paskah Yahudi dan paskah Kristen. Di manakah letak perbedaannya? Jika paskah Yahudi lebih menekankan mazmur-mazmur nyayian/pujian sebagai bentuk penghayatan exodus dan terhindar dari tulah kesepuluh, maka sebaliknya bagi paskah Kristen merupakan pembebasan umat manusia dari dosa oleh anak darah Allah, Yesus sang Juruselamat dunia. Yang dimaknai dengan roti sebagai tubuh Kristus dan cawan anggur sebagai darah Perjanjian Baru Yesus Kristus yang menyelamatkan umat manusia dan seluruh ciptaan alam. Meskipun terjadi perbedaan penghayatan paskah antara PL maupun PB, namun kedua peristiwa paskah ini mau mengingitkan kita untuk merayakan kebangkitan. Yaitu kebangkitan dari penindasan ketidakadilan. Bangkit bukan hanya dengan kekuatan sendiri melainkan karena ada rencana TUHAN membangkitkan semangat pembebasan yang memerdekakan bagi umat-Nya.

            Lalu, Siapakah umat-Nya itu? Kita yang disebut sebagai Tou (orang) Minahasa. Disebut Tou Minahasa bukan hanya marganya Minahasa melainkan semua orang yang berkontribusi memajukan kota Nyiur Melambai yang diberkati TUHAN. Tidak ada orang asli Minahasa. Hal ini terjadi karena Pengaruh pernikahan campur suku berbeda dan atau di mana leluhur / nenek moyong kita adalah musafir atau penggembara yang datang di tanah Minahasa sehingga kita sekalian bukan orang asli Minahasa. Meskipun demikian kita adalah Tou Minahasa. Filosofi Tou Minahasa “Di mana pusa ada tanam jang lupa itu kampung halaman.” Sekali lagi, dalam diri saya dan saudara/i sekalian terpatri identitas kekristenan jemaat GMIM dan identitas primodial Minahasa yang bersama-sama terpanggil menjalankan Missiodei (Misi Allah) dalam Yesus orang Nazaret yang berkata “hendaklah kamu rakhmani, supaya kamu beroleh rakhmat. Ampunilah, supaya kamu diampuni. Apabila kamu memberi, maka kamupun akan diberi tanpa meminta. Sebagaimana kamu menghakimi orang lain, begitu juga kamu akan dihakimi orang lain. Jika kamu mengasihi, maka kasih orang lain akan diperlihatkan kepada dirimu.” Dan oleh karena itu, menjalankan Missiodei dalam konteks ke-Minahasa-an tidaklah mudah membalikkan telapak tangan dan memberikan banyak nasehat yang hanya sampai pada istilah ‘surga telinga’ tanpa perbuatan.

            Kala kita menjadi hamba TUHAN, pengikut Kristus, maka apa yang hendak kita sampaikan harus sesuai dengan perbuatan hidup kita setiap hari. Produk gereja di bawah payung GMIM tidak boleh asal laku apalagi asal jadi, melainkan perlu bermutu, memicu pertumbuhan dan menghasilkan pembaharuan hidup. Apalagi kita menghayati minggu paskah ini sebagai kemenangan Yesus dari maut, dari pembebasan yang memerdekakan umat-Nya yang setia, taat akan perintah dan janji-Nya. Siap memikul salib sendiri dengan meneladani pengorbanan Yesus ketika memikul salib. Ada seorang bapak memiliki rumah ber- disain bentuk salib, dari jalan raya terlihat di depan rumah banyak salib yang terbuat dari kayu berdiri tegak, samping bahkan belakang rumahnya di keliling salib romawi tanpa patung Yesus.  Lalu Tanyalah seorang pendeta perempuan kepada bapak pemilik rumah itu, katanya “apakah bapak telah memikul semua salib yang berada di dalam maupun disekeliling rumah ini?.” Sambil tersipu-sipu malu bapak menjawab “saya belum pernah memikul salib satupun yang ada di dalam maupun di luar rumah ini, tetapi simbol salib menjadi makna bagi saya dan keluarga untuk menghayati pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib sambil terpanggil untuk bertanggungjawab sebagai garam dan terang bagi sesama.” Nah, saudara/i yang dikasihi dan mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus, apa gunanya dua buah kayu kemudian diberi bentuk tambah menyerupai salib tetapi kita sendiri kurang menghayati pengorbanan Yesus di kayu salib, kurang memaknai pengorbanan bagi seluruh ciptaan-Nya maka berakhir pada kesia-siaan akan makna dibalik salib itu.

            Saudara/i yang diberkati TUHAN Yesus, Paskah atau pesakh atau dalam bahasa Inggris mengatakan past over merupakan sejarah-budaya dari perayaan Israel Kuno yang dijalankan Yesus pemuda Yahudi orang Nazareth kemudian dilakukan oleh seluruh umat Kristen, termasuk Tou Minahasa. Lalu muncul pertanyaan refleksi teologis, Bagaimana Tou Minahasa memaknai paskah dalam konteks budaya Minahasa? Sebagai orang beriman, menurut alm. Pdt Saruan “Injil dan kebudayaan Minahasa bukan untuk dipertentangkan melainkan bagaimana kita melihat kebudayaan Minahasa mengandung banyak nilai-nilai dan pesan-pesan teologis di dalamnya.” Lalu menurut Fredy Wowor, salah satu istilah kebudayaan Minahasa yang mengandung pesan teologis yakni istilah Ma’aiyam. Patokan pada suara ayam. Pada zaman dahulu, orang tua-tua so bangun pigi kobong sebelum ayam manyanyi jam 4 subuh. “dorang kaluar rumah pigi kobong deng harapan ada hasil dari pekerjaan dan dorang boleh bale ka rumah deng selamat.”

             Kemudian, salah satu filosofi Tou Minahasa yang mulai memudar “sebelum ayam berkokok, sebelum embun jatuh, sebelum itupula torang so bakarja cari nafkah.” Begitu juga jika kita kembali ke iman Kristen memaknai paskah dalam bingkai ke-Minahasa-an. Kita percaya bahwa Yesus Kristus telah mati dan menang dari Maut untuk menyelamatkan umat manusia bahkan menjanjikan kehidupan yang kekal. Nah, iman Kepada Yesus Kristus tidak bisa dicuri bahkan dicuri oleh sains (ilmu pengetahuan) sekalipun. Iman itu seperti ‘rumah”. Torang boleh ba pontar jaoh-jaoh, boleh menginap di rumah teman atau sodara, boleh traveling, shoping, camping, pigi pasar, pigi sekolah ato pigi kerja maar jang lupa pulang ka rumah (wale). Nah, rumah (wale) itulah seperti iman. Iman yang pergi dengan harapan, dan pulang membawa damai sejahtera. Saya, saudara/i yang hidup dalam kemurnian iman Yesus Kristus menjadikan kita untuk tetap beriman dan termotivasi bekerja demi kemanusiaan yang berkeadilan sosial, demi kehidupan keluarga kita serta demi keutuhan ciptaan alam semesta. Mengingat alam lingkungan hidup di mana kita bernaung telah mengalami perubahan iklim yang ekstrim dan terjadi pemanasan global yang mengancam kehidupan makluk hidup di muka bumi ini maka melalui sikap bersahabat dengan alam menjadi solosi yang baik sebagai sesama ciptaan-Nya. Melalui sikap menebar kasih kepada sesama manusia, maka itulah yang dikehendaki-Nya.

            Semoga kita menjadi Tou Minahasa Kristen yang sejati, siap dan setia kepada Yesus sebagai TUHAN yang membebaskan dan memerdekakan kita sekalian. Amin.


Renungan di Jemaat GMIM Bukit Karmel Batu Kota, Manado
15 April 2012
Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: