Pengalaman Bermakna Dibalik Kegiatan Bakti Pemuda Antar Provinsi Riau
Jambore Pemuda Indonesia (JPI) dan Bakti Pemuda Antar Provinsi (BPAP) merupakan program Kementerian Pemuda dan Olahraga RI beserta Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi. Tahun ini, JPI dilaksanakan di Jawa Timur tepatnya daerah stadion Kanjuruan Malang dari tanggal 1 Juni sampai 6 Juni 2011. Aku bersama kontingen Provinsi Bali, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara mendapat penempatan di provinsi Riau ibukota Pekanbaru, Kecamatan Kuantan Tengah, Kelurahan Sungai Jering. Kami mengikuti kegiatan BPAP dari tanggal 6 Juni sampai tanggal 18 Juli 2011. Bagiku, kegiatan ini merupakan kesempatan dan pengalaman bermakna yang tak datang kedua kali.
Aku tinggal di rumah bapak Nasib dan ema Ngadiem yang beragama Muslim-Melayu. Tak hanya itu saja, Aku dianggap anak mereka. Di dalam rumah ini terdapat berbagai macam suku (Melayu, Bali, Palu dan Minahasa), agama (Hindu, Muslim dan Kr. Protestan) dan bahasa (Melayu, Bali, Palu dan Manado). Meskipun keluarga majemuk tetapi toleransi, saling menghargai, membantu dan kebersamaan seakan menjadikan keluarga ini makin berwarna dengan kepelbagaian yang ada. Indahnya keluarga dan persaudaraan saat itu.
Sambil makan dan ataupun nonton televisi, kami berbagi pengalaman. Terasa damai hati ini. Lanjut pikirku, mengapa dan bagaimana bisa orang yang berbeda keyakinan bisa saling membunuh karena dogma dan tafsiran yang berbeda? Di sini aku merasa, mereka yang berbeda agama mempunyai konsep kasih kepada sesama yang berbeda agama. Seakan tak puas hati dan pikiran ini, seringkali diskusi agamamu dan agamaku menjadi debat yang seru takkala ‘mustika bantal” memanggil kami larut dalam alam bawah sadar.
Di pagi itu, selayang mataku memandang ada sapi, kerbau, kambing, anjing, bebek, babi hutan, berkeliaran di rumah penduduk. Binatang-binatang (kecuali anjing dan babi hutan) di pelihara penduduk. Anehnya, binatang ini tidak di culik orang. Melihat berbagai binatang sepertinya aku berada di taman safari aja. Kalau di Manado/Minahasa, pasti lenyaplah semua binatang ini, pikirku. Mengapa? Karena semua binatang adalah ‘ikan’ bagi warga Manado. Tidak mengherankan di Minahasa/Manado, semua binatang di ikat atau di masukan dalam kandang karena seringkali terjadi penculikan dari oknum yang tidak diinginkan. Kotoran sapi banyak dijumpai di jalan, pekarangan rumah dan lapangan sepokbola. Peran pemerintah di sini baru pada tahap upaya dan belum terealisasi program pemerintah untuk beternak secara aman, bersih dan sehat. Dengan kata lain, pola pikir dan cara hidup masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing) masih tradisional.
Potensi alam di negeri Kuansing sangat besar dan kaya. Besar, di sini pasokan bahan mentah kelapa sawit menjadi prioritas pencarian masyarakat setempat. Kelapa sawit diolah menjadi minyak. Selain sawit, di bawah tanah Riau kaya akan minyak bumi sehingga ada istilah di atas dan di bawah tanah Riau tersimpan kekayaan alam minyak yang sangat banyak dan bernilai. Tetapi sangat disayangkan masyarakat di sini masih bersifat hilir, artinya masih sebagai pemasok bahan baku. Tidak mengherankan daerah ini seringkali panas dibandingkan hujan. Kaya akan minyak ternyata sangat memiskinkan masyarakat dengan langkahnya minyak tanah. Kalaupun itu ada, minyak tanah bisa mencapai Rp. 7.500/liter. Daerah ini penuh dengan hutan. Masalahnya, hutan di bakar untuk ditanami bibit pohon kelapa sawit/pohon karet yang mempunyai nilai akomoditi tinggi. Hutan menjadi gundul, diambil kayunya untuk produksi rumah tangga.
Berbicara tentang pohon, saya teringat dengan pertanyaanku kepada bpk SekCam Kuantan Tengah, begini bunyinya “tradisi pacu jalur sudah dimulai ratusan tahun yang lalu, bagaimana ketersediaan kayu yang dipakai untuk pacu jalur? Apakah tidak ada efek untuk lingkungan hidup dengan menebang pohon besar yang sebenarnya pohon itu perlu dilindung. Tidak adakah penanaman bibit pohon tersebut?.” pemerintah sulit menemukan bibit pohon jalur tersebut. Masyarakat tidak sembarangan menebang pohon jalur, mereka menebang pohon jalur di rimbo larangan. Rimbo ini adalah hutan buatan masyarakat untuk jangka waktu ratusan tahun ke depan di mana masyarakat bisa mengambil kayu untuk kebutuhan rumah tangga dan pacu jalur, cetusnya.
Jalur adalah sampan berukuran panjang sekitar 25-40 meter, proses pembuatan jalur ini dimulai dari musyawara dan mufakat masyarakat mencari kayu ke hutan. Penebangan kayu harus memenuhi persyaratan baik besarnya ukuran kayu sekitar 5 orang memeluk pohon tersebut, panjang kayu, umur kayu (ratusan tahun) dan dinilai dari marwah kayu itu sendiri yang berada di sekitar hutan. Setelah penebangan kayu dilaksanakan, kayu dibentuk setengah jadi dan selanjutnya diangkut ke desa dan dilanjutkan pekerjaan tersebut sesampai di desa dan siap untuk dilajur (diasapi). Dalam proses pengasapan jalur tadi, masyarakat yang punya hajatan disuguhkan makanan khas Kuansing dan diselingi dengan kegiatan kesenian tradisional seperti tari randai. Proses jalur ini memakan biaya sekitar 30-an juta rupiah perperahu. Hemat kata, kegiatannya di awali dengan membuat jalur, menarik (maeolo) jalur, mendiang jalur, menurunkan jalur dan terakhir memacu jalur.
Pacu jalur merupakan upacara tradisional yang lahir ratusan tahun lalu dan sangat popular bagi masyarakat lokal, masyarakat di Provinsi Riau dan sudah nasional bahkan internasional. Kegiatan ini mengandung nilai budaya dan olahraga, dilaksanakan setiap setahun sekali dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan Republik Indonesia (21-24 Agustus), sehingga atraksi ini ditetapkan sebagai event pariwisata nasional. Untuk tahun ini, pacu jalur dimajukan karena bertepatan dengan rahmadhan bulan Agustus. Lomba dilaksanakan tanggal 21-26 Juli 2011. Pacu jalur di rantau Kuantan ini menjadi pusat keramaian rakyat. Setiap perahu terdiri 40-60 orang mendayung (kayulaaah) dengan tenaga yang super. Pacu jalur ini, selain adu kekuatan tenaga manusia ada juga adu kekuatan ‘ilmu gaib’. Dua kekuatan ini terdapat disetiap perahu yang dilombakan.
Mistis sangat terasa di daerah ini. Tidak boleh buang liur, tidak boleh berbicara jorok, tidak boleh beli makanan atau minuman sembarangan dan berpakaian agak minim. Tidak boleh buang liur sembarangan karena banyak penghuninya, kata kakak Anggi, kakak pendampingku. Bagaimana kalau aku yang lagi batuk trus mau buang liur karena ada ‘isinya’? pertanyaan terlontar di bibir manisku., hmmmmm, boleh di buang tetapi harus menanya kakak dulu yach.., yach ampun bagaimana’e pikirku. Begitu juga dengan berbicara jorok di tempat sakral dan angker kayak di sungai tempat lomba dan atau latihan pacu jalur. Lebih mengelikan hati juga, kami tidak boleh berpakaian minim karena menghargai adat istiadat melayu yang sopan, ramah dan berpakaian tidak fulgar. Hmmmmm, kontekstual lagi. Mau tidak mau HARUS nurut aja. Nurut dalam arti, eksistensi aku harus seperti warga Riau yang taat adat istiadat Melayu. Untuk sementara waktu (kurang lebih 45 hari), aku menjadi orang Riau yang suka berpantun.
Selayang memandang di sungai Kuantan banyak kegiatan dari manusia. di sebelah hilir ada seorang bapak mencuci motornya kemudian dia memandikan anaknya. Lanjut, di sebelah aktivitas bapak ini ada seorang ibu mencuci baju sekitar dua ember. Di sekitar ibu ini banyak anak-anak bermain sambil menceburkan diri tuk mandi tak ketinggalan seorang anak kecil berjongkok sambil buang air besar. Sambil bermain senang tanpa memikirkan kesehatan kulit mereka, saya melihat juga sepasang opa dan oma mandi sambil memakai sarung dengan gaya kayak luluran. Di arah hulu pemandangan dua orang perempuan lagi ‘lomba’ sikat gigi. Air sungai Kuantan yang kecolat-coklatan sangat ‘menggelikan’ hatiku dengan berbagai aktivitas manusia (mereka) tanpa memikirkan efek samping kesehatan.
Dari sungai, aku mengajak pembaca masuk dalam bidang agama dan masyarakat. Aku teringat visi pemerintah Riau “terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu, didukung dengan kepariwisataan yang berbasis kerakyatan serta berwawasan lingkungan masyarakat yang agamis tahun 2020. Dari visi tersebut muncul pertanyaanku, Indonesia bukan Negara agama tetapi Negara Pancasilais. Bagaimana bisa disebut berwawasan lingkungan masyarakat yang agamais-Melayu (Muslim)?. Dari pertanyaan itu, aku mendapat pernyataan dari pemerintah (khususnya DISPORA Riau) untuk tidak banyak mengkritik pemerintah karena tugas pemuda adalah menjalankan apa yang sudah dicetuskan dan diputuskan oleh DPRD ini. Pikirku, makin banyak kritikan berarti ada perhatian serius dari pemuda/i (atau masyarakat) sebagai bentuk kekritisan akan keputusan dan pelaksanaan peraturan daerah tersebut.
Alangkah indahnya jika kita hidup rukun dan damai. Menjadi saudara, menjadi sahabat dan menjadi manusia yang lebih memanusiakan. Kala sore itu, selayang memandang matahari terbenam begitu indahnya. Memang di sini tak ada laut tetapi matahari seakan mengisyaratkan di sinilah kedamaian, keindahan dan ketakjuban yang ‘aku’ pancarakan bagi mereka yang mengatasnamakan kemanusiaan dan keadilan. Tak ada konflik, tak ada dendam dan tak ada pemikiran eksklusif yang berputar dalam lingkaran setan. Semuanya sirna, begitu juga yang aku rasakan ketika tinggal di dalam rumah yang majemuk ini. Kesan yang tergores sebagai pemuda/i penerus bangsa.
Para pemuda seringkali memahami dan memandang bahwa Belanda adalah biang keladi penjajahan di negeri nusantara ini. Pikirku, jika kita selalu berorientasi ke belakang dengan melihat masa lalu (mis. penjajahan bangsa Belanda) maka pemikiran kita terlalu sempit. Padanglah penjajah sebenarnya adalah anak negeri yang merampas hak asasi manusia, kebebasan antar umat beragama, koruptor dll. Penjajahan dengan model baru yang dimainkan anak negeri yang mengerikan. Jauh memandang, banyak terjadi ketidakadilan, ketidakmakmuran dan ketidakmanusiawi hanya karena kepentingan pribadi dan sekelompok orang. Kepentingan mengisi tong kosong perutnya dan merampas perut bumi secara terpaksa. Sungguh sangat mengerikan dan tragis rasanya. Sedih hatiku pemikiran para pemuda masih berorientasi masa lalu dan mengesampingkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu usulku, buatlah seminar atau diskusi mengenai isu-isu ke-indonesia-an yang sedang hangat agar supaya pola pikir para pemuda makin kritis, realitis setajam silet.
Kesempatan menampilkan tarian dan lagu daerah (Bali, SULTENG, SULUT), di sela tubuh dan pikiran terkuras. Kesempatan mendapat ilmu kerajinan tangan, tarian dan lagu daerah Riau, di sela waktu berlari begitu cepat. Kebersamaan mengikuti kegiatan bakti sosial, lomba pacu jalur, hidup serumah, politik pemerintahan, menjadikan hidup serasa beraneka ragam yang berlandaskan bhineka tunggal ika. Keindahan air terjun Guruh Gemurai, pesona sungai Kuantan, di bawah panasnya kota Kuantan Tengah ini menjadi kenangan yang terindah. Akhir kata, BPAP menjadi pengalaman terindah dan penuh makna tetapi tidak mau mengulanginya kembali.
Peserta JPI dan BPAP 2011
Nency Heydemans Maramis S.Teol., M.Si
Jambore Pemuda Indonesia (JPI) dan Bakti Pemuda Antar Provinsi (BPAP) merupakan program Kementerian Pemuda dan Olahraga RI beserta Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi. Tahun ini, JPI dilaksanakan di Jawa Timur tepatnya daerah stadion Kanjuruan Malang dari tanggal 1 Juni sampai 6 Juni 2011. Aku bersama kontingen Provinsi Bali, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara mendapat penempatan di provinsi Riau ibukota Pekanbaru, Kecamatan Kuantan Tengah, Kelurahan Sungai Jering. Kami mengikuti kegiatan BPAP dari tanggal 6 Juni sampai tanggal 18 Juli 2011. Bagiku, kegiatan ini merupakan kesempatan dan pengalaman bermakna yang tak datang kedua kali.
Aku tinggal di rumah bapak Nasib dan ema Ngadiem yang beragama Muslim-Melayu. Tak hanya itu saja, Aku dianggap anak mereka. Di dalam rumah ini terdapat berbagai macam suku (Melayu, Bali, Palu dan Minahasa), agama (Hindu, Muslim dan Kr. Protestan) dan bahasa (Melayu, Bali, Palu dan Manado). Meskipun keluarga majemuk tetapi toleransi, saling menghargai, membantu dan kebersamaan seakan menjadikan keluarga ini makin berwarna dengan kepelbagaian yang ada. Indahnya keluarga dan persaudaraan saat itu.
Sambil makan dan ataupun nonton televisi, kami berbagi pengalaman. Terasa damai hati ini. Lanjut pikirku, mengapa dan bagaimana bisa orang yang berbeda keyakinan bisa saling membunuh karena dogma dan tafsiran yang berbeda? Di sini aku merasa, mereka yang berbeda agama mempunyai konsep kasih kepada sesama yang berbeda agama. Seakan tak puas hati dan pikiran ini, seringkali diskusi agamamu dan agamaku menjadi debat yang seru takkala ‘mustika bantal” memanggil kami larut dalam alam bawah sadar.
Di pagi itu, selayang mataku memandang ada sapi, kerbau, kambing, anjing, bebek, babi hutan, berkeliaran di rumah penduduk. Binatang-binatang (kecuali anjing dan babi hutan) di pelihara penduduk. Anehnya, binatang ini tidak di culik orang. Melihat berbagai binatang sepertinya aku berada di taman safari aja. Kalau di Manado/Minahasa, pasti lenyaplah semua binatang ini, pikirku. Mengapa? Karena semua binatang adalah ‘ikan’ bagi warga Manado. Tidak mengherankan di Minahasa/Manado, semua binatang di ikat atau di masukan dalam kandang karena seringkali terjadi penculikan dari oknum yang tidak diinginkan. Kotoran sapi banyak dijumpai di jalan, pekarangan rumah dan lapangan sepokbola. Peran pemerintah di sini baru pada tahap upaya dan belum terealisasi program pemerintah untuk beternak secara aman, bersih dan sehat. Dengan kata lain, pola pikir dan cara hidup masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing) masih tradisional.
Potensi alam di negeri Kuansing sangat besar dan kaya. Besar, di sini pasokan bahan mentah kelapa sawit menjadi prioritas pencarian masyarakat setempat. Kelapa sawit diolah menjadi minyak. Selain sawit, di bawah tanah Riau kaya akan minyak bumi sehingga ada istilah di atas dan di bawah tanah Riau tersimpan kekayaan alam minyak yang sangat banyak dan bernilai. Tetapi sangat disayangkan masyarakat di sini masih bersifat hilir, artinya masih sebagai pemasok bahan baku. Tidak mengherankan daerah ini seringkali panas dibandingkan hujan. Kaya akan minyak ternyata sangat memiskinkan masyarakat dengan langkahnya minyak tanah. Kalaupun itu ada, minyak tanah bisa mencapai Rp. 7.500/liter. Daerah ini penuh dengan hutan. Masalahnya, hutan di bakar untuk ditanami bibit pohon kelapa sawit/pohon karet yang mempunyai nilai akomoditi tinggi. Hutan menjadi gundul, diambil kayunya untuk produksi rumah tangga.
Berbicara tentang pohon, saya teringat dengan pertanyaanku kepada bpk SekCam Kuantan Tengah, begini bunyinya “tradisi pacu jalur sudah dimulai ratusan tahun yang lalu, bagaimana ketersediaan kayu yang dipakai untuk pacu jalur? Apakah tidak ada efek untuk lingkungan hidup dengan menebang pohon besar yang sebenarnya pohon itu perlu dilindung. Tidak adakah penanaman bibit pohon tersebut?.” pemerintah sulit menemukan bibit pohon jalur tersebut. Masyarakat tidak sembarangan menebang pohon jalur, mereka menebang pohon jalur di rimbo larangan. Rimbo ini adalah hutan buatan masyarakat untuk jangka waktu ratusan tahun ke depan di mana masyarakat bisa mengambil kayu untuk kebutuhan rumah tangga dan pacu jalur, cetusnya.
Jalur adalah sampan berukuran panjang sekitar 25-40 meter, proses pembuatan jalur ini dimulai dari musyawara dan mufakat masyarakat mencari kayu ke hutan. Penebangan kayu harus memenuhi persyaratan baik besarnya ukuran kayu sekitar 5 orang memeluk pohon tersebut, panjang kayu, umur kayu (ratusan tahun) dan dinilai dari marwah kayu itu sendiri yang berada di sekitar hutan. Setelah penebangan kayu dilaksanakan, kayu dibentuk setengah jadi dan selanjutnya diangkut ke desa dan dilanjutkan pekerjaan tersebut sesampai di desa dan siap untuk dilajur (diasapi). Dalam proses pengasapan jalur tadi, masyarakat yang punya hajatan disuguhkan makanan khas Kuansing dan diselingi dengan kegiatan kesenian tradisional seperti tari randai. Proses jalur ini memakan biaya sekitar 30-an juta rupiah perperahu. Hemat kata, kegiatannya di awali dengan membuat jalur, menarik (maeolo) jalur, mendiang jalur, menurunkan jalur dan terakhir memacu jalur.
Pacu jalur merupakan upacara tradisional yang lahir ratusan tahun lalu dan sangat popular bagi masyarakat lokal, masyarakat di Provinsi Riau dan sudah nasional bahkan internasional. Kegiatan ini mengandung nilai budaya dan olahraga, dilaksanakan setiap setahun sekali dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan Republik Indonesia (21-24 Agustus), sehingga atraksi ini ditetapkan sebagai event pariwisata nasional. Untuk tahun ini, pacu jalur dimajukan karena bertepatan dengan rahmadhan bulan Agustus. Lomba dilaksanakan tanggal 21-26 Juli 2011. Pacu jalur di rantau Kuantan ini menjadi pusat keramaian rakyat. Setiap perahu terdiri 40-60 orang mendayung (kayulaaah) dengan tenaga yang super. Pacu jalur ini, selain adu kekuatan tenaga manusia ada juga adu kekuatan ‘ilmu gaib’. Dua kekuatan ini terdapat disetiap perahu yang dilombakan.
Mistis sangat terasa di daerah ini. Tidak boleh buang liur, tidak boleh berbicara jorok, tidak boleh beli makanan atau minuman sembarangan dan berpakaian agak minim. Tidak boleh buang liur sembarangan karena banyak penghuninya, kata kakak Anggi, kakak pendampingku. Bagaimana kalau aku yang lagi batuk trus mau buang liur karena ada ‘isinya’? pertanyaan terlontar di bibir manisku., hmmmmm, boleh di buang tetapi harus menanya kakak dulu yach.., yach ampun bagaimana’e pikirku. Begitu juga dengan berbicara jorok di tempat sakral dan angker kayak di sungai tempat lomba dan atau latihan pacu jalur. Lebih mengelikan hati juga, kami tidak boleh berpakaian minim karena menghargai adat istiadat melayu yang sopan, ramah dan berpakaian tidak fulgar. Hmmmmm, kontekstual lagi. Mau tidak mau HARUS nurut aja. Nurut dalam arti, eksistensi aku harus seperti warga Riau yang taat adat istiadat Melayu. Untuk sementara waktu (kurang lebih 45 hari), aku menjadi orang Riau yang suka berpantun.
Selayang memandang di sungai Kuantan banyak kegiatan dari manusia. di sebelah hilir ada seorang bapak mencuci motornya kemudian dia memandikan anaknya. Lanjut, di sebelah aktivitas bapak ini ada seorang ibu mencuci baju sekitar dua ember. Di sekitar ibu ini banyak anak-anak bermain sambil menceburkan diri tuk mandi tak ketinggalan seorang anak kecil berjongkok sambil buang air besar. Sambil bermain senang tanpa memikirkan kesehatan kulit mereka, saya melihat juga sepasang opa dan oma mandi sambil memakai sarung dengan gaya kayak luluran. Di arah hulu pemandangan dua orang perempuan lagi ‘lomba’ sikat gigi. Air sungai Kuantan yang kecolat-coklatan sangat ‘menggelikan’ hatiku dengan berbagai aktivitas manusia (mereka) tanpa memikirkan efek samping kesehatan.
Dari sungai, aku mengajak pembaca masuk dalam bidang agama dan masyarakat. Aku teringat visi pemerintah Riau “terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu, didukung dengan kepariwisataan yang berbasis kerakyatan serta berwawasan lingkungan masyarakat yang agamis tahun 2020. Dari visi tersebut muncul pertanyaanku, Indonesia bukan Negara agama tetapi Negara Pancasilais. Bagaimana bisa disebut berwawasan lingkungan masyarakat yang agamais-Melayu (Muslim)?. Dari pertanyaan itu, aku mendapat pernyataan dari pemerintah (khususnya DISPORA Riau) untuk tidak banyak mengkritik pemerintah karena tugas pemuda adalah menjalankan apa yang sudah dicetuskan dan diputuskan oleh DPRD ini. Pikirku, makin banyak kritikan berarti ada perhatian serius dari pemuda/i (atau masyarakat) sebagai bentuk kekritisan akan keputusan dan pelaksanaan peraturan daerah tersebut.
Alangkah indahnya jika kita hidup rukun dan damai. Menjadi saudara, menjadi sahabat dan menjadi manusia yang lebih memanusiakan. Kala sore itu, selayang memandang matahari terbenam begitu indahnya. Memang di sini tak ada laut tetapi matahari seakan mengisyaratkan di sinilah kedamaian, keindahan dan ketakjuban yang ‘aku’ pancarakan bagi mereka yang mengatasnamakan kemanusiaan dan keadilan. Tak ada konflik, tak ada dendam dan tak ada pemikiran eksklusif yang berputar dalam lingkaran setan. Semuanya sirna, begitu juga yang aku rasakan ketika tinggal di dalam rumah yang majemuk ini. Kesan yang tergores sebagai pemuda/i penerus bangsa.
Para pemuda seringkali memahami dan memandang bahwa Belanda adalah biang keladi penjajahan di negeri nusantara ini. Pikirku, jika kita selalu berorientasi ke belakang dengan melihat masa lalu (mis. penjajahan bangsa Belanda) maka pemikiran kita terlalu sempit. Padanglah penjajah sebenarnya adalah anak negeri yang merampas hak asasi manusia, kebebasan antar umat beragama, koruptor dll. Penjajahan dengan model baru yang dimainkan anak negeri yang mengerikan. Jauh memandang, banyak terjadi ketidakadilan, ketidakmakmuran dan ketidakmanusiawi hanya karena kepentingan pribadi dan sekelompok orang. Kepentingan mengisi tong kosong perutnya dan merampas perut bumi secara terpaksa. Sungguh sangat mengerikan dan tragis rasanya. Sedih hatiku pemikiran para pemuda masih berorientasi masa lalu dan mengesampingkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu usulku, buatlah seminar atau diskusi mengenai isu-isu ke-indonesia-an yang sedang hangat agar supaya pola pikir para pemuda makin kritis, realitis setajam silet.
Kesempatan menampilkan tarian dan lagu daerah (Bali, SULTENG, SULUT), di sela tubuh dan pikiran terkuras. Kesempatan mendapat ilmu kerajinan tangan, tarian dan lagu daerah Riau, di sela waktu berlari begitu cepat. Kebersamaan mengikuti kegiatan bakti sosial, lomba pacu jalur, hidup serumah, politik pemerintahan, menjadikan hidup serasa beraneka ragam yang berlandaskan bhineka tunggal ika. Keindahan air terjun Guruh Gemurai, pesona sungai Kuantan, di bawah panasnya kota Kuantan Tengah ini menjadi kenangan yang terindah. Akhir kata, BPAP menjadi pengalaman terindah dan penuh makna tetapi tidak mau mengulanginya kembali.
Peserta JPI dan BPAP 2011
Nency Heydemans Maramis S.Teol., M.Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar