Di tengah banyak orang sibuk bekerja dan mencari pekerjaan, di
tengah itu pula saya berdiam dan tiba-tiba menjadi anak rumahan. Saya
merasa tersiksa selama dua bulan terakhir ini, seperti katak dalam
tempurung. Bahkan saya seperti gelas antik yang hanya dipajang dalam
lemari antik yang mewah itu. Tak ada kebebasan, tidak ada kemandirian
dan tidak ada kreasi melakukan sesuatu. Semuanya diatur dan dibatasi.
Saat ini jiwa saya melayang-layang, ingin sekali seperti burung
Manguni. Terbang ke mana saja, jikalau mempunyai kekuatan yang luar
biasa, ingin sekali terbang ke negeri seberang. Negeri yang didiami
burung Cenderawasi nan angun itu. Imajinasi yang hanya sampai pada kata
‘seandainya’ orang tua mengizinkan permintaan saya. Menginjinkan ‘burung
Manguni betina’ pergi nan jauh dan akan kembali ke sarangnya pada saat
musim panen tiba. Ya, seandainya!
Teringat
jelas dalam imajinasi ini waktu masa sekolah, masa perantauan, masa
pertahanan kemandirian diuji. Lalu, kemandirian itu menjadi luntur
ketika kembali tinggal bersama orang tua.
Tidur-makan-mandi-nonton-makan-tidur lagi. Nah, aktivitas yang
membosankan. Untung saja pikiran ini tidak kosleting. Gemar
membaca, gemar mengarang, dan gemar merefleksi memakan waktu yang
panjang di kamar ini. Tak sadarkan diri, waktu menunjukkan Indonesia
Timur alias subuh hari, matahari mulai terbit.
Sejak menjadi anak rumahan, banyak hal yang saya renungkan. Entah itu
soal pelayanan, jajanan, pacaran, tulisan, dan lebih penting lagi pesan
firman Tuhan. Sekali lagi, semuanya akan terdeskripsi dengan baik jika
dituangkan dalam bentuk tulisan dan atau renungan khotbah. Mencari dan
bertanya adalah kata kuncinya. Tokh, semua karya perlu hikmat dan
kebijaksanaan dari Tuhan Allah yang bagaikan Ibu dan Bapa kami. Awalnya,
menjadi anak rumahan adalah membosankan. Tetapi jika dihayati, semuanya
berakhir dengan menyenangkan. Penyenangan diri yang sementara agar saya
tidak frustasi hehehe J
Itulah yang tampak
dalam diri saya sekarang ini. Saya diumur 24 tahun, tampak sudah matang
dan siap mandiri. Eeeh, mama dan papa masih memanggil saya dengan nama
‘dede’. Dede yang berumur 24 tahun. Aneh, ya aneh. Lagi pula nama
panggilan orangtua kepada saya, nama kesayangan untuk anak satu-satunya
perempuan. Nah, disinilah saya maklumi akan kasih sayang orang tua. Tokh,
kasih sayang mereka selain membebaskan saya menempuh pendidikan lebih
tinggi tetapi juga dengan hati-hati (baca: menjaga) memakai hati dengan
panggilan “dede mo ke mana? (Dede mau ke mana?).
Seringkali saya merasa dibatasi. Batasan yang bermakna. Simak cerita
saya, Jika saya ingin keluar rumah bersama teman-teman, jalan-jalan atau
ngumpul bareng atau diadakan ‘kelompok kecil-kecilan’, pada masa SMA
saya diberikan kebebasan untuk keluar rumah tetapi jam 6 sore sudah tiba
rumah. Pada masa S1, jika saya liburan di rumah, batas keluar rumah
naik satu tingkat, yakni jam 7 malam sudah harus di rumah. Kemudian,
pada masa S2, pada waktu liburan tiba atau masa penelitian tesis, saya
berlibur di rumah, Manado. Agaknya tidak terlalu jauh berbeda dari
masa-masa sebelumnya. Di sini saya harus tiba di rumah jam 8 malam.
Pertanyaannya, apakah selalu on time tiba di rumah? Ini
persoalannya, pernah suatu waktu saya belum tiba di rumah. Hp berdering,
papa memanggil dan menanyakan “dede posisi di mana ini? jam berapa
pulang dank?”. Setelah diusut demi diusut, papa menelepon dari tempat
kerja karena kekuatiran mama di rumah kalau anak perempuannya belum tiba
di rumah. Persoalan akan bertambah rumit lagi jika papa telepon kedua
kali. Pasti keesokan harinya hubungan orang tua dan anak menjadi
‘dingin’ seperti lemari es. Kejadian ini pun berlangsung sampai
sekarang. Walaupun malangnya nasib anak rumahan, tetapi anak rumahan ini
pernah pergi ke Malang (kota sejuk banyak buah apel) ., hehehe J
Keberhasilan rumah tangga adalah menjaga keutuhan. Markus berkata “…
jika suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat
bertahan” (Mrk. 3:25). Menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga
(mama-papa, orang tua-anak, kakak-adik) sangat penting. Saya mencoba
menaati peraturan keluarga dan berbakti kepada orang tua. Dan oleh sebab
itu, saya sebagai anak rumahan tetap melestarikan aturan dan batasan
yang berlaku dalam keluarga. Setiap keluarga pastilah mempuyai batasan
dan aturan sendiri. Pengalaman saya berbeda dengan pengalaman anda dan
saya hargai itu. Apakah anda frustasi dengan pekerjaan yang menumpuk?
Coba anda menenangkan pikiran dan menjadi anak rumahan? Ya, …..menjadi
anak rumahan.
Manado, 16 Desember 2012
Pukul 20.00 WITA
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar