Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Anak Rumahan

  Di tengah banyak orang sibuk bekerja dan mencari pekerjaan, di tengah itu pula saya berdiam dan tiba-tiba menjadi anak rumahan. Saya merasa tersiksa selama dua bulan terakhir ini, seperti katak dalam tempurung. Bahkan saya seperti gelas antik yang hanya dipajang dalam lemari antik yang mewah itu. Tak ada kebebasan, tidak ada kemandirian dan tidak ada kreasi melakukan sesuatu. Semuanya diatur dan dibatasi.

            Saat ini jiwa saya melayang-layang, ingin sekali seperti burung Manguni. Terbang ke mana saja, jikalau mempunyai kekuatan yang luar biasa, ingin sekali terbang ke negeri seberang. Negeri yang didiami burung Cenderawasi nan angun itu. Imajinasi yang hanya sampai pada kata ‘seandainya’ orang tua mengizinkan permintaan saya. Menginjinkan ‘burung Manguni betina’ pergi nan jauh dan akan kembali ke sarangnya pada saat musim panen tiba. Ya, seandainya!

            Teringat jelas dalam imajinasi ini waktu masa sekolah, masa perantauan, masa pertahanan kemandirian diuji. Lalu, kemandirian itu menjadi luntur ketika kembali tinggal bersama orang tua. Tidur-makan-mandi-nonton-makan-tidur lagi. Nah, aktivitas yang membosankan. Untung saja pikiran ini tidak kosleting. Gemar membaca, gemar mengarang, dan gemar merefleksi memakan waktu yang panjang di kamar ini. Tak sadarkan diri, waktu menunjukkan Indonesia Timur alias subuh hari, matahari mulai terbit.

            Sejak menjadi anak rumahan, banyak hal yang saya renungkan. Entah itu soal pelayanan, jajanan, pacaran, tulisan, dan lebih penting lagi pesan firman Tuhan. Sekali lagi, semuanya akan terdeskripsi dengan baik jika dituangkan dalam bentuk tulisan dan atau renungan khotbah. Mencari dan bertanya adalah kata kuncinya. Tokh, semua karya perlu hikmat dan kebijaksanaan dari Tuhan Allah yang bagaikan Ibu dan Bapa kami. Awalnya, menjadi anak rumahan adalah membosankan. Tetapi jika dihayati, semuanya berakhir dengan menyenangkan. Penyenangan diri yang sementara agar saya tidak frustasi hehehe J

            Itulah yang tampak dalam diri saya sekarang ini. Saya diumur 24 tahun, tampak sudah matang dan siap mandiri. Eeeh, mama dan papa masih memanggil saya dengan nama ‘dede’. Dede yang berumur 24 tahun. Aneh, ya aneh. Lagi pula nama panggilan orangtua kepada saya, nama kesayangan untuk anak satu-satunya perempuan. Nah, disinilah saya maklumi akan kasih sayang orang tua. Tokh, kasih sayang mereka selain membebaskan saya menempuh pendidikan lebih tinggi tetapi juga dengan hati-hati (baca: menjaga) memakai hati dengan panggilan “dede mo ke mana? (Dede mau ke mana?).

            Seringkali saya merasa dibatasi. Batasan yang bermakna. Simak cerita saya, Jika saya ingin keluar rumah bersama teman-teman, jalan-jalan atau ngumpul bareng atau diadakan ‘kelompok kecil-kecilan’, pada masa SMA saya diberikan kebebasan untuk keluar rumah tetapi jam 6 sore sudah tiba rumah. Pada masa S1, jika saya liburan di rumah, batas keluar rumah naik satu tingkat, yakni jam 7 malam sudah harus di rumah. Kemudian, pada masa S2, pada waktu liburan tiba atau masa penelitian tesis, saya berlibur di rumah, Manado. Agaknya tidak terlalu jauh berbeda dari masa-masa sebelumnya. Di sini saya harus tiba di rumah jam 8 malam. Pertanyaannya, apakah selalu on time tiba di rumah? Ini persoalannya, pernah suatu waktu saya belum tiba di rumah. Hp berdering, papa memanggil dan menanyakan “dede posisi di mana ini? jam berapa pulang dank?”. Setelah diusut demi diusut, papa menelepon dari tempat kerja karena kekuatiran mama di rumah kalau anak perempuannya belum tiba di rumah. Persoalan akan bertambah rumit lagi jika papa telepon kedua kali. Pasti keesokan harinya hubungan orang tua dan anak menjadi ‘dingin’ seperti lemari es. Kejadian ini pun berlangsung sampai sekarang. Walaupun malangnya nasib anak rumahan, tetapi anak rumahan ini pernah pergi ke Malang (kota sejuk banyak buah apel) ., hehehe J

            Keberhasilan rumah tangga adalah menjaga keutuhan. Markus berkata “… jika suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat bertahan” (Mrk. 3:25). Menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga (mama-papa, orang tua-anak, kakak-adik) sangat penting. Saya mencoba menaati peraturan keluarga dan berbakti kepada orang tua. Dan oleh sebab itu, saya sebagai anak rumahan tetap melestarikan aturan dan batasan yang berlaku dalam keluarga. Setiap keluarga pastilah mempuyai batasan dan aturan sendiri. Pengalaman saya berbeda dengan pengalaman anda dan saya hargai itu. Apakah anda frustasi dengan pekerjaan yang menumpuk? Coba anda menenangkan pikiran dan menjadi anak rumahan? Ya, …..menjadi anak rumahan.

Manado, 16 Desember 2012
Pukul 20.00 WITA

Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: