Papa, panggilan kesayangan saya kepadanya. Papa saya seorang yang
suka bicara. Banyak bicara akan pengalaman dari zaman ‘bahela’ (= dulu)
sampai sekarang ini. Topik favoritnya adalah proyek di Dinas Pekerjaan
Umum (PU) Provinsi SULUT. Maklum, papa seorang pekerja di dinas
tersebut. Tapi, sekarang papa sudah ‘cabut’ dari pekerjaan favoritnya
karena faktor umur. Meskipun sudah disingkirkan dari proyek yang
bergengsi di SULUT tapi Tuhan tidak menutup ‘jalan’ baginya.
Ada ucapan Yesus dalam kitab Injil Yohanes 14:6 “Akulah JALAN dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau
tidak melalui Aku”. Dalam penegasan ini Yesus bukan hanya menyatakan
diri sebagai penunjuk jalan, melainkan sebagai jalan itu sendiri. Di
sini tidak dikatakan bahwa Yesus adalah jalan pintas atau jalan tembus.
Juga tidak dikatakan bahwa Yesus adalah jalan layang atau jalan kolong.
Tidak pula dikatakan bahwa Yesus adalah jalan bebas hambatan atau jalan
tol. Yang pasti Yesus bukan jalan belakang atau jalan lingkar, dan bukan
pula jalan buntu atau jalan mati. Intinya Yesus adalah jalan yang
berfungsi sebagai jalan yang bisa dilalui dari sini ke sana oleh setiap
manusia yang mau hidup sesuai jalan yang baik dan benar selama hidupnya.
Meskipun perbaikan atau pembuatan jalan merupakan hal yang lazim buat
papaku, tetapi kualitas pekerjaannya bukan seperti ‘anak jalanan’ yang
asal-asalan. Itulah yang saya lihat dan amati sampai saya berumur 24
tahun ini. Di sinilah Papa maknai ucapan Yesus.
Meskipun
pendidikan papaku tidak se’tinggi’ pendidikan anak-anaknya tetapi
disitulah keberhasilan orang tua (mama dan papa) mendidik dan memberikan
kebebasan anak-anaknya menempuh pendidikan. Pekerja keras dan hemat
membuat saya segan. Uang bisa habis, tetapi kepandaian tidak akan habis.
Alhasil, saya beserta kedua kakak laki-laki bisa berhasil dan
kemungkinan besar akan ikut ‘jejak-jejak’ hidupnya.
Sikap papaku, keras, tegas bahkan mukanya serius banget. Ucapan papa yang selalu teringat sampai sekarang “kalo
ngoni beking besi jadi bengko maka hasilnya bengko kong so nyanda
mungkin mo tree, maar kalo mulai dari besi tree maka hasilnya tree.”
Artinya, jika dimulai berkerja dari yang salah, menguntungkan diri
sendiri, dengan hasil korupsi maka hasilnya buruk. Sebaliknya, pekerjaan
dimulai dengan jujur, baik dan bertanggungjawab, hasilnya setiap orang
akan menghargai kualitas kerja bahkan masih membutuhkan kualitas tenaga
tersebut. Ucapan ini masih saya ingat jelas. Agar tidak lupa di ‘makan’
zaman, maka saya HARUS mengabadikan dalam sebuah tulisan ini.
Dahulu, papa bekerja di Gorontalo dan kami harus hidup mandiri di
Manado. Di Sekolah Dasar (SD), saya berjualan es berkeliling kota dan
sekolah, selain itu kedua kakak laki-lakiku berjualan kue. Pikirku, ini
merupakan sikap anak-anak yang ingin mandiri dan membantu perekonomian
keluarga. Saya senang dengan tugas yang diberikan mama. Maklumlah, saya
terlahir dari keluarga biasa dan harus bekerja/berusaha keras sambil
bersandar kepada Tuhan. Ora et labora.
“kalo
torang (PU) cuma mengemis-ngemis deng iko-iko kontraktor pe mau maka
ini proyek jalang capat rusak kong negara di rugikan ato PU sama deng
kuda bendi, di stel kontraktor mo pigi ka mana dia suka ato PU sama deng
remote control yang sesukanya di tindis-tindis mau kontraktor”
(Kalau kita/PU hanya mengemis dan ikut kemauan si kontraktor maka proyek
tidak beres disitulah sarang korupsi dan negara dirugikan atau PU
seperti bendi yang bisa diatur si pemilik bendi atau PU seperti remote control
yang seenaknya ditekan oleh penonton/kontraktor), cetus papa dalam
bahasa Manado kental. Ilustrasi papa ini mengingatkan situasi di Papua
yang sedang berjuang demi keadilan. Saya menonton berita, ternyata PT
Freeport mengalokasikan dana 14 juta dolar AS per empat bulan kepada
Polri untuk keamanan disekitar perusahan terbesar Amerika itu. Kok,
menjaga keamanan perlu memberikan dana yang besar? Kayaknya “ada udang
dibalik batu”. Pikirku, aparat keamanan sudah diberikan upah oleh
pemerintah, trus bagaimana sikap yang jujur dan adil mau diterapkan
kalau sebenarnya uang sudah merajalela di popoji (kantung) privasi? Aaah.., inilah negeri yang kaya akan sumber daya alam plus kaya akan sumber koruptor.
Bagaimana peradaban bangsa (seperti yang diproklamirkan Soekarno) bisa
maju sesuai asas-asas UUD’45 dan Pancasila jika agen perubahan banyak
intrik dan trik yang tidak memanusiakan manusia? Sanggat ironis, Ibu
Pertiwi menangis dalam ‘rahim’ (= alam) Papua. Inilah lingkaran setan
yang lepas tangan bahkan cuci tangan akan permasalahan di bumi pertiwi
ini.
Ucapan papa sangat kokoh dipikiranku dan berkobar
di naluriku, bagaimana hidup jujur diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Ucapan papa terlahir dari kebiasaannya di proyek melihat
penyimpangan yang banyak terjadi. “Apa-apa uang, tanda tangan
proyek uang, waach bagaimana mutu proyek itu bisa baik kalau uangnya
hanya dipakai sebagai ‘uang sogokan’ dan patuh kepada kontraktor?”,
cetus papaku yang sedang jengkel kala seorang kontraktor gelisa karena
uang dalam emplop tidak diambil papaku. Benar, papaku selalu terjun
dalam uang puluhan milyar sampai ratusan milyar dalam sebuah proyek.
Papa pernah bekerja di Gorontalo – MinSel – BolMong – Manado - Minahasa
dan terakhir di Ring Road II, MinUt. Tapi apakah keluarga kami (Keluarga
Heydemans-Maramis) adalah seorang kaya di Manado? Tidak, kami hidup
dalam keluarga yang pas-pasan. Tidak berlebihan dan tidak berkekurangan.
Ya cukup! Seperti kata Yesus “Hiduplah dalam kecukupan maka Tuhan akan
memberkatimu”. Kata Yesus dipraktekkan dalam hidup papaku. Sungguh aku
termotivasi memaknai hidup yang bercukupan dengan mensyukuri berkat
Tuhan dalam keluarga kami.
Bulan November tulisan ini
di tulis. Bulan di mana saya terjun dalam pelayanan jemaat. Aku
berharap bisa menaladani Yesus dalam tugas panggilan gereja dan
bagaimana meneladani sosok papa yang memberikan kontribusi berharga bagi
dunia (proyek) dan keluarga. Saudara/iku, marilah kita menebar kasih,
kejujuran dan keadilan di muka bumi ini. Meskipun terkadang sulit bahkan
dikucilkan/dipecat oleh institusi/gereja tapi percayalah kehidupan kita
sementara di uji untuk melawan arus atau ikut arus. Akhir kata, saya
berkembang dengan ucapan papa yang sarat makna.
Manado, 1 November 2011
Anakmu, Nency A. Heydemans-Maramis*
*Maaf
papa, saya memakai marga mama (Maramis). Pikirku, agar supaya terjadi
keadilan marga dalam keluarga. Semoga saya dimaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar