Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Fenomena Budel

   Dunia makin modern, melaju dalam arus post-modern menjadikan manusia memperhamba ilmu pengetahuan dan teknologi dalam realitas hidupnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi modal dan model perkembangan manusia masa kini. Manusia berevolusi melalui pola pikir dan cara kerjanya. Berevolusi membuktikan bahwa dia (homosapiens) hidup sebagaimana ia mempertahankan lingkungan hidup sebagai sumber kehidupannya.
            Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia membuktikan suatu daerah bisa hidup mandiri yang disebut dengan istilah otonomi daerah. Kemandirian dan kerja keras suatu daerah membutikan ia mampu mengelolah SDA dan SDM yang lebih unggul dan berkualitas. Dibalik keberhasilan suatu daerah, saya melihat ada suatu fenomena ‘kecil’ tetapi bisa menjadi ‘besar’ kala gaung suara bergetar di suatu lingkungan. Semua orang terpanah, mencari tahu dari mana sumber suara tersebut. Kemudian diselidiki, Budel (harta benda) masalah utamanya.
            Fenomena budel  membuktikan gaya hidup materialistik orang Minahasa masa kini. Ada sebuah kisah nyata di kompleks rumahku, sungguh sangat ironis memang. Saya katakan ironis karena semenjak ibu mereka, nenek-nya meninggal empat hari yang lalu, berefek adu mulut yang hebat sampai ‘aib’ keluarga di ombar-ambir ke publik. Mereka adalah kakak-beradik, cucu-cucu dan cece dari keturunan nenek tersebut. Nenek ini menutup usia 81 tahun. Nenek ini memiliki 13 anak, 39 cucu, 51 cece dan 1 cici. Menurutku, bisa dimasukan pada kategori rekor MURI. Memang di Alkitab, Kejadian 1:28 menuliskan “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi ……” sudah dijalankan ibu, nenek terkasih. Salut, ia memiliki keturunan yang begitu banyak dan mengesampingkan KB yang menjadi program pemerintah. Sulit, keturunan yang banyak menjadikan bumi makin padat dan sumber daya alam makin habis (misalnya bahan bakar fosil yang tidak bisa dibaharui lagi).
            Budel menjadi ‘bahan bakar’ yang tidak habis dibicarakan dan menarik perhatian siapa saja. Bahan bakar bisa meledak tak kala seseorang tidak mendapat warisan/budel dari peninggalan orang tua. Itulah salah satu fenomena keluarga besar yang akhirnya berantakkan karena BUDEL. Sangat ironis!!! Almarhuma belum menjadi debu, tenda (sabuah) masih terpasang di depan rumah, bukan pertemuan yang menjadikan kebahagiaan keluarga besar ini tetapi pertemuan jualah yang mengacaukan acara kedukaan ini. Menurutku, tangisan air mata mereka hanyalah simbol dari budel yang tak dirasakan.
            Tulisan ini bukan bertujuan untuk mencari tahu kesalahan atau aib dari keluarga ini tetapi lebih jauh lagi mau mengungkapkan bahwa budel bukanlah cara hidup jemaat yang mengaku percaya kepada Tuhan.
            Budel dalam pengertian masa lalu merupakan tanda kepemilikan bersama keluarga besar yang harus dijaga, dipelihara dan dihormati. Budel turun-temurun dari leluhur membuktikan bahwa saya generasi penerus leluhurku. Dengan kata lain, budel adalah harta kekayaan dari para leluhur dan atau orang tua kita, dan bukan milik harta benda kita.
            Jika harta diwariskan kepada anak-cucunya, puji Tuhan. Kalaupun tidak diwariskan kepada anak-cucu, kita patut mensyukurinya. Mensyukuri bahwa Tuhan masih memberikan kesehatan dan kekuatan untuk melangsungkan kehidupan yang diberikan-Nya sebagai anugerah kepada setiap orang percaya. Tangan dan kaki masih bisa bekerja tanpa mengharapkan budel warisan. Ora et labora.
            Budel   dalam konteks kekinian mengalami pergeseran makna. Makna budel menjadi salah kaprah dan tak canggung anak-cucu saling baku cucu (membunuh). Inilah penjara kakak-beradik satu keturunan. Penjara akan kebencian, amarah, dan cucuran kata yang tidak patut dicontohi. Akhirnya, menambah daftar musuh (kebencian) yang tak lain satu darah, satu daging dan satu keturunan. Sangat disesalkan. :(
            Pikirku, perlu diubah perspektif budel  yang lebih baku-baku sayang dan baku-baku kase inga. Bagaimana itu? Melalui pendidikan setiap anak dan generasinya perlu disadarkan akan pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang lebih memberdayakan dan memberikan kontribusi bagi keluarga. Ilmu pengetahuan tidak bisa dicuri, tidak bisa digugat oleh pengadilan, tidak bisa menjadi batu sandungan sanak-saudaranya. Ilmu pengetahuan menjadikan ia lebih berpikir bebas, bebas mencari pekerjaan sesuai minatnya, bebas menentukan pilihan akan arah hidupnya.
            Bukankah kerukunan adalah dambaan setiap keluarga? Semboyan, torang samua basudara mencerminkan suatu nuansa hidup yang rukun dan damai. Begitu juga, sebaliknya makna budel membuktikan tou (orang) Minahasa hidup rukun sebagai tali pusar perpanjangan keturunan para leluhur Minahasa. Leluhur telah meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan menjadi Manusia Sejati. Oleh sebab itu, mengapa ada kebencian dan amarah kepada saudara kandung kita? Apakah itu yang Tuhan kehendaki, hai saudara/i-ku yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus?
            Saya mengajak Tou  Minahasa untuk ‘keluar’ dari hidup materialistik dibalik bayangan budel (harta warisan). Apakah yang akan anda dan saya bawa setelah kematian ini? tidak ada, hanyalah bagaimana kontribusi sikap perbuatan, dan cara berpikir kita di kenang oleh genarasi yang akan datang. Bukankah itu lebih memerdekakan sebagai satu keluarga besar yang menyebarkan kasih?

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi setiap insani yang mau merubah dan menjadi pencerahan di setiap masa dan tempat.

Manado, 14 Oktober 2011
Nency. A. Heydemans-Maramis

Tidak ada komentar: