Dunia makin modern, melaju dalam arus post-modern menjadikan
manusia memperhamba ilmu pengetahuan dan teknologi dalam realitas
hidupnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi modal dan model
perkembangan manusia masa kini. Manusia berevolusi melalui pola pikir
dan cara kerjanya. Berevolusi membuktikan bahwa dia (homosapiens) hidup sebagaimana ia mempertahankan lingkungan hidup sebagai sumber kehidupannya.
Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia membuktikan suatu
daerah bisa hidup mandiri yang disebut dengan istilah otonomi daerah.
Kemandirian dan kerja keras suatu daerah membutikan ia mampu mengelolah
SDA dan SDM yang lebih unggul dan berkualitas. Dibalik keberhasilan
suatu daerah, saya melihat ada suatu fenomena ‘kecil’ tetapi bisa
menjadi ‘besar’ kala gaung suara bergetar di suatu lingkungan. Semua
orang terpanah, mencari tahu dari mana sumber suara tersebut. Kemudian
diselidiki, Budel (harta benda) masalah utamanya.
Fenomena budel
membuktikan gaya hidup materialistik orang Minahasa masa kini. Ada
sebuah kisah nyata di kompleks rumahku, sungguh sangat ironis memang.
Saya katakan ironis karena semenjak ibu mereka, nenek-nya meninggal
empat hari yang lalu, berefek adu mulut yang hebat sampai ‘aib’ keluarga
di ombar-ambir ke publik. Mereka adalah kakak-beradik, cucu-cucu dan
cece dari keturunan nenek tersebut. Nenek ini menutup usia 81 tahun.
Nenek ini memiliki 13 anak, 39 cucu, 51 cece dan 1 cici. Menurutku, bisa
dimasukan pada kategori rekor MURI. Memang di Alkitab, Kejadian 1:28
menuliskan “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi ……”
sudah dijalankan ibu, nenek terkasih. Salut, ia memiliki keturunan yang begitu banyak dan mengesampingkan KB yang menjadi program pemerintah. Sulit,
keturunan yang banyak menjadikan bumi makin padat dan sumber daya alam
makin habis (misalnya bahan bakar fosil yang tidak bisa dibaharui lagi).
Budel
menjadi ‘bahan bakar’ yang tidak habis dibicarakan dan menarik
perhatian siapa saja. Bahan bakar bisa meledak tak kala seseorang tidak
mendapat warisan/budel dari peninggalan orang tua. Itulah salah satu fenomena keluarga besar yang akhirnya berantakkan karena BUDEL. Sangat ironis!!! Almarhuma belum menjadi debu, tenda (sabuah)
masih terpasang di depan rumah, bukan pertemuan yang menjadikan
kebahagiaan keluarga besar ini tetapi pertemuan jualah yang mengacaukan
acara kedukaan ini. Menurutku, tangisan air mata mereka hanyalah simbol
dari budel yang tak dirasakan.
Tulisan ini
bukan bertujuan untuk mencari tahu kesalahan atau aib dari keluarga ini
tetapi lebih jauh lagi mau mengungkapkan bahwa budel bukanlah cara hidup jemaat yang mengaku percaya kepada Tuhan.
Budel dalam pengertian masa lalu merupakan tanda kepemilikan bersama keluarga besar yang harus dijaga, dipelihara dan dihormati. Budel turun-temurun dari leluhur membuktikan bahwa saya generasi penerus leluhurku. Dengan kata lain, budel adalah harta kekayaan dari para leluhur dan atau orang tua kita, dan bukan milik harta benda kita.
Jika harta diwariskan kepada anak-cucunya, puji Tuhan. Kalaupun tidak
diwariskan kepada anak-cucu, kita patut mensyukurinya. Mensyukuri bahwa
Tuhan masih memberikan kesehatan dan kekuatan untuk melangsungkan
kehidupan yang diberikan-Nya sebagai anugerah kepada setiap orang
percaya. Tangan dan kaki masih bisa bekerja tanpa mengharapkan budel warisan. Ora et labora.
Budel dalam konteks kekinian mengalami pergeseran makna. Makna budel menjadi salah kaprah dan tak canggung anak-cucu saling baku cucu
(membunuh). Inilah penjara kakak-beradik satu keturunan. Penjara akan
kebencian, amarah, dan cucuran kata yang tidak patut dicontohi.
Akhirnya, menambah daftar musuh (kebencian) yang tak lain satu darah,
satu daging dan satu keturunan. Sangat disesalkan. :(
Pikirku, perlu diubah perspektif budel yang lebih baku-baku sayang dan baku-baku kase inga.
Bagaimana itu? Melalui pendidikan setiap anak dan generasinya perlu
disadarkan akan pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang lebih
memberdayakan dan memberikan kontribusi bagi keluarga. Ilmu pengetahuan
tidak bisa dicuri, tidak bisa digugat oleh pengadilan, tidak bisa
menjadi batu sandungan sanak-saudaranya. Ilmu pengetahuan menjadikan ia
lebih berpikir bebas, bebas mencari pekerjaan sesuai minatnya, bebas
menentukan pilihan akan arah hidupnya.
Bukankah kerukunan adalah dambaan setiap keluarga? Semboyan, torang samua basudara mencerminkan suatu nuansa hidup yang rukun dan damai. Begitu juga, sebaliknya makna budel membuktikan tou
(orang) Minahasa hidup rukun sebagai tali pusar perpanjangan keturunan
para leluhur Minahasa. Leluhur telah meninggalkan nilai-nilai
kemanusiaan menjadi Manusia Sejati. Oleh sebab itu, mengapa ada
kebencian dan amarah kepada saudara kandung kita? Apakah itu yang Tuhan
kehendaki, hai saudara/i-ku yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus?
Saya mengajak Tou Minahasa untuk ‘keluar’ dari hidup materialistik dibalik bayangan budel
(harta warisan). Apakah yang akan anda dan saya bawa setelah kematian
ini? tidak ada, hanyalah bagaimana kontribusi sikap perbuatan, dan cara
berpikir kita di kenang oleh genarasi yang akan datang. Bukankah itu
lebih memerdekakan sebagai satu keluarga besar yang menyebarkan kasih?
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi setiap insani yang mau merubah dan menjadi pencerahan di setiap masa dan tempat.
Manado, 14 Oktober 2011
Nency. A. Heydemans-Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar