Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Saya Mempunyai Mimpi menjadi Seorang Pemimpin: Suatu Kajian Refleksi

Pengantar      
Di keheningan malam ini, suara hatiku berbisik bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses taklah mudah. Sukses dalam hidup seirama dengan proses perubahan berpikir, memahami dan bertingkah laku. Jenjang pasca sarjana membuka cakrawala berpikir lebih kritis terhadap situasi realitas kehidupan sosial masyarakat meskipun masih dalam taraf wacana. Mengapa saya harus bermimpi menjadi seorang pemimpin dalam keadaan yang genting dan penuh konflik internal gereja? Jujur, pertanyaan ini tak mudah saya jawab karena saya masih berumur 23 tahun dan belum banyak pengalaman dalam kepemimpinan organisasi gereja. Situasi sistem organisasi Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) periode 2005-2009 menjadi hatiku surut sebagai seorang pendeta.

ISI
Saya bermimpi menjadi aktivis pemimpin  yang  berorientasi pada isu-isu gender dan feminisme yang sekarang ini sedang hangat dibicarakan baik dalam taraf internasional maupun nasional. Mimpi saya ini beda secara substansial apa yang diperjuangkan Dietrich Bonhoeffer. Ia memiliki semangat, jiwa, roh sebagai seorang imam dengan memperjuangkan kemanusiaan manusia di German. Gaya karekteristik kepemimpinan dan komitmen itulah yang terpancar dalam perannya sebagai seorang pemimpin. Ia berani mengkritik gereja dan merencanakan pembunuhan Adolf Hitler. Di satu sisi, ia menyelamatkan banyak orang dengn mengorbankan satu orang. Di sisi lain, ia melakukan reformasi dalam gereja dan revolusi. Kepemimpinannya ini berangkat dari hati nurani yang membebaskan gerakan bottom-up (akar rumput). Kepemimpinan sejati menurut Bonhoeffer tak pernah disamakan dengan diktakor dan ketaatan buta terhadap Hitter. Bagaimana dengan gaya perjuangan saya selama ini? apa yang saya perjuangkan sampai saat ini? perjuangan saya ini tak terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar seperti:
  1. Lingkungan keluarga
Manusia adalah agen perubahan. Keluarga merupakan bagian yang turut andil akan perubahan menjadi manusia (saya) jika disikapi dengan kearifan lokal. Saya dilahirkan di Manado, 4 April 1987. Saya adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah saya bernama Jacob Heydemans bekerja di dinas Pekerjaan Umum (pegawai negeri) yang memiliki darah Belanda, Portugis dan Minahasa. Mama bernama Adelin Maramis darah keturunan Minahasa. Kakek buyut saya (1978) merupakan penguasa di zaman penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia. Rumah keluarga besar kami terletak di Amurang, di wilayah pinggiran pantai yang mudah untuk transportasi laut. Ketika terjadi perang kemerdekaan bangsa Indonesia, keluarga kami memilih menetap di Amurang/Minahasa Selatan. Keluarga kami ini membaur dengan lingkungan atau kondisi masyarakat pribumi. Mereka secara otomatis menjadi orang-orang yang percaya bahwa Allah tidak akan pernah meninggkalkan mereka. [1]Pada saat ini, peran kedua orang tua saya menjadi motivator yang besar bagi anak-anaknya menempu pendidikan. Peran mama sangat besar untuk mendidik dan memberi perhatian terhadap pendidikan keluarga dan sekolah.

  1. Lingkungan Sekolah
Manusia adalah makhluk bebas tapi bebas yang bertanggungjawab. Ketika saya berumur 8 tahun, saya mempunyai cita-cita menjadi seorang polisi perempuan. Seiring berjalannya waktu tak terasa saya genap 17 tahun. Saya memilih jalan hidup panggilan untuk melayani jemaat. Universitas Kristen Indonesia di Tomohon (UKIT) menjadi pilihanku. Studi saya selama di sana memberikan kesempatan bagiku menjadi pemimpin angkatan periode 2004-2005. Selama menjabat, saya banyak mengalami hambatan baik dari dalam maupun dari luar. Meskipun tantangan datang silih berganti tapi tak membuat semangat ku surut. Saya dipengaruhi oleh teman Natri Frans yang berasal dari Sangier. Saya banyak belajar dari Natri tentang kepemimpinan dan bagaimana kita menghargai kepelbagaian multicultural yang ada. Situasi kampus pada waktu konflik kepemimpinan UKIT menjadikan semua mahasiswa kuatir akan kejelasan ijasah mana yang sah atau tidak? Hatiku menjerit: Tuhan di manakah Engkau saat ini sehingga konflik di dalam UKIT menjadi terpecah belah karena keegoisan dan harga diri? Pergumulan yang tak kunjung usai sampai saat ini menjadi pergumulan bersama. Saya juga terpanggil untuk melayani anak sekolah minggu sebagai bentuk pelayanan kasih. Jenjang strata dua membuka jendela harapan, cita-cita dan mimpi. Saya tahun yang lalu berbeda dengan saya yang sekarang ini, ideologi dogma bergeser ke arah sosiologi agama. Saya dipercayai sebagai sekretaris Kuliah Alih Tahun (KAT) di Tomohon. Kepercayaan yang diberikan memotivasiku menjadi seorang pemimpin yang lebih sabar, bertanggungjawab dan setia terhadap tanggungjawab yang dihadapi. Harapan saya sampai malam menjelang subuh ini adalah menjadi seorang pemimpin di pemerintahan/gereja berkat tuntunan Tuhan dengan bermisi memanusiakan manusia demi kepentingan banyak orang.

  1. Lingkungan Masyarakat
Sejujurnya dalam dunia masyarakat ini saya belum banyak mempengaruhi dunia, tapi saya mempunyai bakat menulis dan tulisan saya ini ‘sedikit’ diterbitkan dalam majalah atau koran. Saya percaya, untuk memperoleh kesuksesan maka perlu dimulai dari kebiasaan kecil dan minat. Salah satu tulisan saya berjudul Ada apa dengan Global Warming. Saya memakai pendekatan teologi dan lingkungan hidup. Situasi masyarakat membentuk perspektif kritis saya akan realita sosial dan masyarakat/jemaat terhadap penyakit masyarakat yang ada seperti HIV/AIDS, kemiskinan, perempuan dan sebagainya. Saya terpengaruh oleh seorang tokoh pahlawan nasional Ibu Maria Walanda-Maramis.[2] Perjuangan terhadap kaum perempuan itulah yang sekarang ini saya perjuangkan demi kesataraan yang membebaskan dan memanusiakan manusia. Ada sesuatu roh, jiwa dan semangat yang mengalir dalam tubuhku ini sehingga perjuangan akan keadilan tak mungkin saya biarkan! Saya mempunyai misi untuk menyebarkan kasih baik kepada Tuhan, manusia dan alam melalui bentuk keadilan dan perjuangan yang takkan pernah terhentikan.

      Dari penjelasan di atas, saya mengalami proses yang cukup panjang dan bermakna. Apakah saya hari ini adalah seorang pemimpin yang handal dan sukses? Tentu belum, karena semuanya perlu waktu, ketekunan dan perjuangan yang membebaskan berdasarkan etika Kristen dan Pancasila. Pengalaman kepemimpinan saya sampai saat ini masih terbatas tapi saya tidak berhenti di sini saja melainkan mengalir seperti air dan membentuk lingkaran spiral demi dan untuk membentuk jati diri dan memanusiakan manusia. Pemimpin yang dipanggil oleh Allah ini adalah untuk pelayanan memimpin yang ditandai dengan adanya:
1. Kapasitas memimpin
2. Tanggung jawab pemberian Allah.
3. Memimpin suatu kelompok umat Allah (gereja/masyarakat)
4. Memimpin untuk memberdayakan gereja/masyarakat dalam taraf ekonomi lebih baik.
5. sikap pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan sebagai berikut:
a. Pemimpin teladan-bertanggung jawab.
b. Pemimpin inspirator-komunikator.
c. Pemimpin pemersatu-dengan kerja sama yang tinggi.
d. Pemimpin pekerja-motivator ulung.
e. Pemimpin berwibawa-otokrator bijak.

f. Pemimpin strategos-terfokus yang selalu tepat arah dan pencapaian.
g.  Pemimpin peduli-terpadu yang memiliki kepedulian tinggi atas kesejahteraan semua pihak dalam kepemimpinannya.[3]
Penutup
            Secara substansial bentuk perjuangan Bonhoeffer dan saya berbeda tetapi secara metode hampir  mirip tentang bentuk perjuangan mengkritik pemerintahan/gereja yang tidak lagi memanusiakan manusia. Saya mempunyai mimpi dan tugas yang perlu diembani cukup berat ke depan. Mimpi, perjuangan dan pemberdayaan tidak boleh dipisahkan selama mencari jati diri. Pemimpin yang baik adalah mendengarkan suara rakyat (kepentingan umum), berkualitas, mau menerima secara terbuka transformasi dan bersandar pada takut akan Tuhan bukan takut pada penguasa atau sistem. Akhir refleksi saya dalam tulisan ini adalah menjadi seorang pemimpin katakan tidak kepada: korupsi, kekuasaan belaka, uang, dan harga diri yang tidak membebaskan dan tidak memberdayakan.

Comment: Bill McKinney
Nency, this is well done.  You are a gifted writer and have a pretty clear sense of where you are called in the future.  I expected to learn more about your educational objectives. You will probably need to think about working toward a PhD at some point.  You might want to take a look at the Graduate Theological Union in Berkeley.  Best wishes.  We can stay in touch on Facebook!

KAT Tomohon, 16 Juli 2010




[1] Dokumen pribadi Keluarga Heydemans-Weydemuller  (1956)

[2] Lihat A.P. Matuli Walanda., Ibu Walanda-Maramis: Pejuang Wanita Minahasa (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)., hal. 9-13.

[3]  Di ambil tanggal 12 Juli 2010 http://yakobtomatala.com/2008/04/02/pemimpin-dalam-kepemimpinan-kristen/

Tidak ada komentar: