Di negeri Minahasa/Manado, marga merupakan identitas sosial
seseorang. Marga ini muncul agar supaya para turun-temurunnya bisa
mengenal keluarga dan asal-usulnya. Oleh sebab itu, bagi seseorang
perempuan yang mencintai seorang laki-laki, wajiblah dia mengetahui asal
usul keluarga bela pihak. Jika di temui ada serumpun marga yang sama,
maka orang tua tidak mengijinkan mereka lanjut ke jenjang pernikahan.
Ada mitos, kalau keduanya menikah pasti anak yang lahir akan mengalami
cacat tubuh.
Marga condong dilihat dari keturunan
laki-laki (patrilinear) yang akan ‘hidup’ dibandingkan marga si
perempuan ini. Khusus marga ini, lain ceritanya. Kok bisa? Setiap cerita
dipengeruhi kebiasaaan yang telah membudaya. Tak dipungkiri lagi,
kebiasaan masyarakat Minahasa dipengaruhi oleh kekristenan. Hal ini
menyebabkan sangat sulit membedakan kebiasaan adat dan kebiasaan agama
dalam suatu budaya. Perkawinan di Minahasa baik dilakukan secara adat
maupun secara agama. Misalnya, pernikahan di Minahasa menjadi satu acara
di gereja sejak tahun 1861, sesuai Lembaran Negara No 38/1861 yang
menetapkan pencatatan perkawinan harus dihadapan kontreleur.
Upacara ini dikenal dengan istilah tulis nama, kemudian di umumkan dari
mimbar gereja sebanyak dua kali dihadapan jemaat berturut-turut setiap
hari minggu. Lebih lanjut lagi, penerapan etika barat bagi perempuan
Minahasa (pada tahun 1861) yang menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala
keluarga dan pengelola ‘kepunyaan’ (artinya harta) adalah istri.[1] Hal
ini jelas menunjukkan aturan yang sangat patriarki. Mengapa? Karena
perempuan berada pada posisi subordinasi laki-laki. Meskipun secara
eksplisit, perempuan masa kini setara dengan kaum laki-laki.
Sebagai anak bungsu, satu-satunya anak perempuan di tengah keluarga.
Aku di beri hak istimewa oleh papa. Segala keinginan merajut masa depan
di usahakannya, demi dan untuk kebahagiaanku. Papaku sadar, marga
Heydemans tidak akan aku pakai dalam kehidupan berumah tangga klak.
Sebenarnya, marga Heydemans bukanlah asli marga Minahasa. Leluhur saya
adalah orang Belanda yang datang di zaman VOC (1764) ketika pendirian
benteng Fort Amsterdam di kota Manado. Ibuku marganya Maramis. Maramis
merupakan marga asli Minahasa dan dua pahlawan nasional (Ibu Maria
Walanda-Maramis dan adiknya, A.A Maramis) mengharumkan bumi Nyiur
Melambai sebelum dan sesudah kemerdekaan RI. Dengan kata lain,
menurutku, papa mengalir darah ‘penakhlukan’ dan mama mengalir darah
‘pertahanan dan perjuangan’. Jika kedua darah ini mengalir di tubuhku,
bagaimana aku jadinya? Hmmmm, pembaca bisa menilainya.., hehehehe
Sebagaimana aku saat ini, tak mengelisakan dan menjemukan pembaca untuk
terus penasaran dengan tulisan pendekku ini.,hohohoho. Beberapa pekan
ini, aku kayak ‘kesetrum’ pengen menulis, menulis dan menulis. Di kala
tulisan itu berhasil menjadi sebuah tulisan. Aku mencoba mengirimkan ke
beberapa media koran di sekitar Minahasa/Manado. Syukur pada Tuhan,
tulisanku bisa dipublikasikan dan dibaca oleh masyarakat luas. Senang
hatiku. Meskipun karyaku itu tidak aku minta upah, yang terpenting ideku
tidak hanya terbatas dalam khotbah pemuda atau kolom. Menurutku, banyak
orang bisa mengenal aku bukan melalui khotbah di atas mimbar tetapi
melalui tulisan-tulisan yang inspiratif, unik, langka dan mengalami
transformasi sosial yang memberdayakan masyarakat/gereja.
Aku dipengaruhi oleh konsep gender dan feminisme. Kebanyakan tulisanku
diakhiri oleh nama Nency Heydemans Maramis. Hasil karyaku ternyata
sangat menyedihkan papa. Mengapa demikian? Marga Heydemans Maramis
menurutnya ada dua kemungkinan. Pertama aku telah berkeluarga dan
margaku Maramis. Kedua, Heydemans hanyalah sebuah nama bukan marga.
Sehabis baca tulisanku, papa membisu seribu bahasa seakan tidak mau aku
memakai marga Maramis. Hmmmmmm L tetapi lain ceritanya bagi mama. Mama
senang sekali melihat marganya berkibar diakhir setiap tulisanku. Maksud
dan makna aku memakai nama Nency Heydemans Maramis tak lain, aku adalah
anak papa dan mama. Jadi tidak ada yang di korbankan (misalnya marga
mama). Meskipun dalam realitanya marga mama tidak akan berkibar di
setiap akte kelahiran dan tetap trus membudaya marga si papa. Pikirku,
aku hanya membuat transformasi ‘kecil’ dalam keluargaku. Transformasi
yang seringkali pahit di terima oleh keluarga sendiri. Aku harus maju!!!
Aku minta maaf papa, bukan maksudku tidak menghargai dan mengakui
margamu. Tetapi ini semua demi cita-citaku, yakni kesetaraan. Dari
gejolak batin inilah, rajutan kata demi kata bisa menjadi sebuah tulisan
pendek refleksi hidup. Akhir kata, Selamat Ulang Tahun papa ke-58 tahun
Salam, Manado 26 Juli 2011
Anakmu, Nency Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar