Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Pentingkah Marga?

Di negeri Minahasa/Manado, marga merupakan identitas sosial seseorang. Marga ini muncul agar supaya para turun-temurunnya bisa mengenal keluarga dan asal-usulnya. Oleh sebab itu, bagi seseorang perempuan yang mencintai seorang laki-laki, wajiblah dia mengetahui asal usul keluarga bela pihak. Jika di temui ada serumpun marga yang sama, maka orang tua tidak mengijinkan mereka lanjut ke jenjang pernikahan. Ada mitos, kalau keduanya menikah pasti anak yang lahir akan mengalami cacat tubuh.
            Marga condong dilihat dari keturunan laki-laki (patrilinear) yang akan ‘hidup’ dibandingkan marga si perempuan ini. Khusus marga ini, lain ceritanya. Kok bisa? Setiap cerita dipengeruhi kebiasaaan yang telah membudaya. Tak dipungkiri lagi, kebiasaan masyarakat Minahasa dipengaruhi oleh kekristenan. Hal ini menyebabkan sangat sulit membedakan kebiasaan adat dan kebiasaan agama dalam suatu budaya. Perkawinan di Minahasa baik dilakukan secara adat maupun secara agama. Misalnya, pernikahan di Minahasa menjadi satu acara di gereja sejak tahun 1861, sesuai Lembaran Negara No 38/1861 yang menetapkan pencatatan perkawinan harus dihadapan kontreleur. Upacara ini dikenal dengan istilah tulis nama, kemudian di umumkan dari mimbar gereja sebanyak dua kali dihadapan jemaat berturut-turut setiap hari minggu. Lebih lanjut lagi, penerapan etika barat bagi perempuan Minahasa (pada tahun 1861) yang menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan pengelola ‘kepunyaan’ (artinya harta) adalah istri.[1] Hal ini jelas menunjukkan aturan yang sangat patriarki. Mengapa? Karena perempuan berada pada posisi subordinasi laki-laki. Meskipun secara eksplisit, perempuan masa kini setara dengan kaum laki-laki.
            Sebagai anak bungsu, satu-satunya anak perempuan di tengah keluarga. Aku di beri hak istimewa oleh papa. Segala keinginan merajut masa depan di usahakannya, demi dan untuk kebahagiaanku. Papaku sadar, marga Heydemans tidak akan aku pakai dalam kehidupan berumah tangga klak. Sebenarnya, marga Heydemans bukanlah asli marga Minahasa. Leluhur saya adalah orang Belanda yang datang di zaman VOC (1764) ketika pendirian benteng Fort Amsterdam di kota Manado. Ibuku marganya Maramis. Maramis merupakan marga asli Minahasa dan dua pahlawan nasional (Ibu Maria Walanda-Maramis dan adiknya, A.A Maramis) mengharumkan bumi Nyiur Melambai sebelum dan sesudah kemerdekaan RI. Dengan kata lain, menurutku, papa mengalir darah ‘penakhlukan’ dan mama mengalir darah ‘pertahanan dan perjuangan’. Jika kedua darah ini mengalir di tubuhku, bagaimana aku jadinya? Hmmmm, pembaca bisa menilainya.., hehehehe
            Sebagaimana aku saat ini, tak mengelisakan dan menjemukan pembaca untuk terus penasaran dengan tulisan pendekku ini.,hohohoho. Beberapa pekan ini, aku kayak ‘kesetrum’ pengen menulis, menulis dan menulis. Di kala tulisan itu berhasil menjadi sebuah tulisan. Aku mencoba mengirimkan ke beberapa media koran di sekitar Minahasa/Manado. Syukur pada Tuhan, tulisanku bisa dipublikasikan dan dibaca oleh masyarakat luas. Senang hatiku. Meskipun karyaku itu tidak aku minta upah, yang terpenting ideku tidak hanya terbatas dalam khotbah pemuda atau kolom. Menurutku, banyak orang bisa mengenal aku bukan melalui khotbah di atas mimbar tetapi melalui tulisan-tulisan yang inspiratif, unik, langka dan mengalami transformasi sosial yang memberdayakan masyarakat/gereja.
            Aku dipengaruhi oleh konsep gender dan feminisme. Kebanyakan tulisanku diakhiri oleh nama Nency Heydemans Maramis. Hasil karyaku ternyata sangat menyedihkan papa. Mengapa demikian? Marga Heydemans Maramis menurutnya ada dua kemungkinan. Pertama aku telah berkeluarga dan margaku Maramis. Kedua, Heydemans hanyalah sebuah nama bukan marga. Sehabis baca tulisanku, papa membisu seribu bahasa seakan tidak mau aku memakai marga Maramis. Hmmmmmm L tetapi lain ceritanya bagi mama. Mama senang sekali melihat marganya berkibar diakhir setiap tulisanku. Maksud dan makna aku memakai nama Nency Heydemans Maramis tak lain, aku adalah anak papa dan mama. Jadi tidak ada yang di korbankan (misalnya marga mama). Meskipun dalam realitanya marga mama tidak akan berkibar di setiap akte kelahiran dan tetap trus membudaya marga si papa. Pikirku, aku hanya membuat transformasi ‘kecil’ dalam keluargaku. Transformasi yang seringkali pahit di terima oleh keluarga sendiri. Aku harus maju!!! Aku minta maaf papa, bukan maksudku tidak menghargai dan mengakui margamu. Tetapi ini semua demi cita-citaku, yakni kesetaraan. Dari gejolak batin inilah, rajutan kata demi kata bisa menjadi sebuah tulisan pendek refleksi hidup. Akhir kata, Selamat Ulang Tahun papa ke-58 tahun


Salam, Manado 26 Juli 2011
Anakmu, Nency Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: