Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Mengapa ? (1)

  Mengapa saya hidup di dunia?
            Mengapa saya hidup dalam sebuah keluarga cemara?
            Mengapa saya sekolah?
            Dan mengapa sekolah memberikan ijazah bergelarkan kristal?

         Hidup merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada makhluk ciptaannya, termasuk manusia. Manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ucapan syukur akan hidup bersatu dalam sanubari ini. Tuhan memberikan kesempatan bagi saya hidup dalam sebuah keluarga cemara. Meskipun ada amarah, itulah sikap biasa orang tua kepada anak. Tetapi bukan berarti menjadi kebiasaan sehingga anak memberontak dan frustasi. Teringat, masa remaja, masa transisi pergaulan yang sangat ironis. Untung saja orang tua bisa memahami dan mengerti proses hidup saya. Proses pendewasaan pola pikir, pertumbuhan tubuh dan penempatan posisi saya yang hampir jatuh tetapi tidak jatuh. Alhasil, inilah saya yang sering DEWASA, bukan DEWi yang putus ASA.
         Tahun lalu, saya bergumul dengan sebuah tesis yang menusuk relung hati, dekonstruksi paradigma yang telah mengakar dan merekonstruksi paradigma baru yang lebih kontekstual. Kala itu, obor semangat, idealisme menyala-nyala tak pantang menyerah. Apa jadinya sekarang? Bulan ini, ya…..akhir tahun ini, proses menjadikan teori dikomparasikan dengan eksistensi bergereja dan bermasyarakat. apa boleh buat, saya terjepit dalam eksistensi yang menuntun kompromi dan ‘keras’nya setan-setan bernaung dalam selaput agama. Realita yang sulit saya pahami. Saya merasa disudutkan kenyataan. Suara profetik mulai memudar, sulitnya kejujuran, sulitnya keadilan, dan sulitnya kebenaran. Aah saya mulai bergumul, mulai merefleksikan, inikah hidup yang sebenarnya? Mengapa suara lantang seringkali meluluhlantakkan hati nurani yang bersih ini?
         Idealisme mulai meredup. Hati kecil menjerit kesakitan. Iman yang belum bisa saya amini. Bibir ini seakan membisu tetapi akal ini lebih kritis, bak setajam pisau membelah ‘buah’ yang baik dan yang buruk. Saya terpojok dalam sebuah khotbah, mendengar kisah, melihat realita dan menyelami makna. Belum lagi khotbah harus sesuai dengan perbuatan sang pengkhotbah. Itulah khotbah yang hidup. Akhirnya, saya mulai merasa tanggungjawab yang secuil ini.

Mengapa Yesus datang ke dunia?
Mengapa umat Kristiani merayakan hari ulang tahun (hari jadi) Yesus?
Mengapa ada bingkisan (kado) natal?
Mengapa ada kue natal?
Mengapa? Dan mengapa?

         Senandung makna, Yesus datang ke dunia untuk manusia. Dia memberikan kebebasan, kemerdekaan, kedamaian, kepedulian dan keadilan. Dia menyampaikan kabar sukacita, kabar baik tahun rahmat Tuhan telah datang, dan kabar keselamatan. Ini semua untuk mencapai proses kebahagiaan umat manusia dan jaminan kehidupan yang akan datang. Proses inilah yang membuat kaum umat kristiani seringkali kalang kabut. Di kala hari ulang tahun Yesus, mereka sibuk dengan penampilan baru, dekorasi baru, koleksi pacar baru, perayaan pesta pora dan kue natal yang lezat serta bingkisan natal tak kala ‘murahnya’. Bukan main, semua harganya. Bukan main, semua pengorbananmu. Memang, mainannya bukan murahan.   
         Mata Tuhan mulai sayup ngantuk, tangan-Nya mulai kaku, dan pendengaran-Nya mulai sulit mendengar mereka yang menari-nari di atas penderitaan kaum miskin dan termarginalkan. Sulit, menembus kebahagiaan dibalik dinding megah berlapis emas. Saya sulit menyalami karya-Nya, tapi saya mau menuliskan ‘salut buat Tuhan’. Mengapa? Inilah kisah bermakna belum berujung dan makna terselubung dalam ketajaman mata-Nya yang sayup-sayup itu.
            Tuhan, jeritan hatiku ini muncul di dasar akal dengan penuh pertanyaan. Maaf Tuhan, saya banyak bertanya, Mengapa (?).  Saya sadar, saya hanya seorang pemudi gereja; saya hanya seorang anak dalam keluarga; saya hanya seorang pacar dalam status hubungan berpacaran; dan saya juga hanya seorang pemikir “jalanan”. Bukan berarti saya cemburu, sirik dan dendam. Pikirku, lebih baik, menghadirkan-Mu dalam kemiskinanku, memaknai-Mu dalam hidup baku kase (kasih) dan baku bae (damai).
            Pada mulanya, mengapa? Akhirnya, saya menyapa Engkau! Menyapa dalam sebuah coretan pendek yang sebagian orang merasa tak penting dan tak masuk hitungan. Menyapa bagi mereka yang ingin memanusiakan manusia dalam proses kebahagiaan banyak orang. Untuk-Mu Tuhan, untukmu negeri Ibu Pertiwi dan untukmu gereja!

Manado, 15 Desember 2011
Nency A. Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: