Mengapa saya hidup di dunia?
Mengapa saya hidup dalam sebuah keluarga cemara?
Mengapa saya sekolah?
Dan mengapa sekolah memberikan ijazah bergelarkan kristal?
Hidup merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada makhluk
ciptaannya, termasuk manusia. Manusia yang berjenis kelamin laki-laki
dan perempuan. Ucapan syukur akan hidup bersatu dalam sanubari ini.
Tuhan memberikan kesempatan bagi saya hidup dalam sebuah keluarga
cemara. Meskipun ada amarah, itulah sikap biasa orang tua kepada anak.
Tetapi bukan berarti menjadi kebiasaan sehingga anak memberontak dan
frustasi. Teringat, masa remaja, masa transisi pergaulan yang sangat
ironis. Untung saja orang tua bisa memahami dan mengerti proses hidup
saya. Proses pendewasaan pola pikir, pertumbuhan tubuh dan penempatan
posisi saya yang hampir jatuh tetapi tidak jatuh. Alhasil, inilah saya
yang sering DEWASA, bukan DEWi yang putus ASA.
Tahun
lalu, saya bergumul dengan sebuah tesis yang menusuk relung hati,
dekonstruksi paradigma yang telah mengakar dan merekonstruksi paradigma
baru yang lebih kontekstual. Kala itu, obor semangat, idealisme
menyala-nyala tak pantang menyerah. Apa jadinya sekarang? Bulan ini,
ya…..akhir tahun ini, proses menjadikan teori dikomparasikan dengan
eksistensi bergereja dan bermasyarakat. apa boleh buat, saya terjepit
dalam eksistensi yang menuntun kompromi dan ‘keras’nya setan-setan
bernaung dalam selaput agama. Realita yang sulit saya pahami. Saya
merasa disudutkan kenyataan. Suara profetik mulai memudar, sulitnya
kejujuran, sulitnya keadilan, dan sulitnya kebenaran. Aah saya mulai
bergumul, mulai merefleksikan, inikah hidup yang sebenarnya? Mengapa
suara lantang seringkali meluluhlantakkan hati nurani yang bersih ini?
Idealisme mulai meredup. Hati kecil menjerit kesakitan. Iman yang belum
bisa saya amini. Bibir ini seakan membisu tetapi akal ini lebih kritis,
bak setajam pisau membelah ‘buah’ yang baik dan yang buruk. Saya
terpojok dalam sebuah khotbah, mendengar kisah, melihat realita dan
menyelami makna. Belum lagi khotbah harus sesuai dengan perbuatan sang
pengkhotbah. Itulah khotbah yang hidup. Akhirnya, saya mulai merasa
tanggungjawab yang secuil ini.
Mengapa Yesus datang ke dunia?
Mengapa umat Kristiani merayakan hari ulang tahun (hari jadi) Yesus?
Mengapa ada bingkisan (kado) natal?
Mengapa ada kue natal?
Mengapa? Dan mengapa?
Senandung makna, Yesus datang ke dunia untuk manusia. Dia memberikan
kebebasan, kemerdekaan, kedamaian, kepedulian dan keadilan. Dia
menyampaikan kabar sukacita, kabar baik tahun rahmat Tuhan telah datang,
dan kabar keselamatan. Ini semua untuk mencapai proses kebahagiaan umat
manusia dan jaminan kehidupan yang akan datang. Proses inilah yang
membuat kaum umat kristiani seringkali kalang kabut. Di kala hari ulang
tahun Yesus, mereka sibuk dengan penampilan baru, dekorasi baru, koleksi
pacar baru, perayaan pesta pora dan kue natal yang lezat serta
bingkisan natal tak kala ‘murahnya’. Bukan main, semua harganya. Bukan
main, semua pengorbananmu. Memang, mainannya bukan murahan.
Mata Tuhan mulai sayup ngantuk, tangan-Nya mulai kaku, dan
pendengaran-Nya mulai sulit mendengar mereka yang menari-nari di atas
penderitaan kaum miskin dan termarginalkan. Sulit, menembus kebahagiaan
dibalik dinding megah berlapis emas. Saya sulit menyalami karya-Nya,
tapi saya mau menuliskan ‘salut buat Tuhan’. Mengapa? Inilah kisah
bermakna belum berujung dan makna terselubung dalam ketajaman mata-Nya
yang sayup-sayup itu.
Tuhan, jeritan hatiku ini muncul
di dasar akal dengan penuh pertanyaan. Maaf Tuhan, saya banyak
bertanya, Mengapa (?). Saya sadar, saya hanya seorang pemudi gereja;
saya hanya seorang anak dalam keluarga; saya hanya seorang pacar dalam
status hubungan berpacaran; dan saya juga hanya seorang pemikir
“jalanan”. Bukan berarti saya cemburu, sirik dan dendam. Pikirku, lebih
baik, menghadirkan-Mu dalam kemiskinanku, memaknai-Mu dalam hidup baku kase (kasih) dan baku bae (damai).
Pada mulanya, mengapa? Akhirnya, saya menyapa Engkau! Menyapa dalam
sebuah coretan pendek yang sebagian orang merasa tak penting dan tak
masuk hitungan. Menyapa bagi mereka yang ingin memanusiakan manusia
dalam proses kebahagiaan banyak orang. Untuk-Mu Tuhan, untukmu negeri
Ibu Pertiwi dan untukmu gereja!
Manado, 15 Desember 2011
Nency A. Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar