Masalah perut seringkali terjadi dan mengakibatkan badan sakit.
Sengaja di sini saya membedakan terjadi dan mengakibatkan. Kejadian ini
pernah saya alami saat duduk di bangku kuliah fakultas Teologi UKIT.
Di Tomohon, saya tinggal dipenginapan (kost) putri Eden II bersama kakak Natri, kakak Ine, Kakak Owen, dan sebagainya. Saya lebih memilih tinggal di kost
dari pada pulang-pergi (Manado-Tomohon). Pilihan ini berdasarkan
pertimbangan efisien waktu, penghematan tenaga dan konsentrasi belajar.
Suatu waktu saya pergi kuliah, kemudian sehabis mata kuliah Etika
Lingkungan Hidup selesai, saya langsung bergegas ke perpustakaan
(singkat, perpus) UKIT. Maklum, saya bekerja sebagai pegawai di
perpustakaan UKIT. Menambah pengalaman kerja, membaca buku secara
gratis, bisa meminjam sehari maksimal lima buku dan mendapat upah dari
kerja atau usaha di perpus, pikirku saat itu. Hematnya, saya kuliah
sambil bekerja di lingkup kampus.
Seharian
bekerja di perpus membuat saya lupa makan. Pukul menunjukkan 21.00 WITA
di mana perpus akan segera tutup. Yang bertugas pada waktu itu: saya,
kakak Natri, kakak Weldy dan kakak Angki. Selama perjalanan pulang ke kost,
badan sudah terasa capek, kepala pusing dan lambung terasa sakit. Ini
disebabkan seharian lupa makan nasi. Untung saja, saya banyak minum air
putih meskipun pada akhirnya tidak membantu lambung ini. Akibatnya,
sesampai di kost, saya langsung jatuh sakit, ya membuat lambung tak bersahabat dengan perut. Beruntung saya mempunyai teman yang peduli (care) kepada saya.
“qta mo beking bubur kong Esy minum ini obat promag (saya mau buat bubur, lanjut Esy minum obat promaag ini), cetus kakak Ine yang baik hati.
Lanjut,
Saya memakan bubur secara perlahan-lahan dan sejam kemudian minum obat
promag sehingga saya di hentar sebuah mimpi indah, mimpi pergi mengejar
cita, pergi untuk sekolah nan jauh di sana.
Peristiwa itu menjadi pintu gerbang saya masuk pada penyakit maag dan
masih berlangsung sampai saat ini, jika terlambat makan. Aneh, penyakit
ini makin ruwet jika saya banyak pikiran alias banyak yang
dipikirkan, maka lambung langsung bereaksi berbuntut maag perih tak
tertahankan. Hematnya, dari pikiran turun ke perut dan menuju ke
lambung, berakhir di WC . Sangat ironis nasib ini :(
Kisah masalah perut di atas menggambarkan kelalaian saya terlambat
makan di masa lampau. Sebaliknya kini, ada kisah lain. Pada hari rabu
tepatnya tanggal 18 Januari 2012 saya hampir saja mati. Loh kok
bisa mau mati? Ini kisahnya. Saya makan berlebihan sampai perut ini
susah bernafas. Sore itu, saya makan satu buah durian gajah, satu roti
boy dan makan nasi berisi ikan bakar, bagaimana rasanya? Enak tenan dan kenyang. Jelas teringat hampir saja saya mati karena kekenyangan perut ini. kapok dech dengan namanya rakus!
Saya hanya duduk pasrah di beranda rumah. Dalam kesendirian itu, sambil
melihat pelbagai bintang bertebaran di langit. Lalu, saya mulai
pasrahkan diri untuk pergi ke dunia lain. Dalam khayalan itu, sambil
menunggu pelayaran di ‘negeri firdaus’ meninggalkan tubuh nan fana ini, eeeh
tiba-tiba saya terbangun, pikiran langsung terang menuju target
keajaiban jurnalis. Hmmm, buku “Agama Saya adalah Jurnalisme” menjadi
target saya sebelum mengikuti workshop menulis narasi yang
diselenggarakan Pantau, Mawale Movement dan UKIT, pikir kecilku. Saya
langsung mengambil buku itu di rak buku di samping meja belajar kamar
ini. Jelas teringat, buku yang dibeli waktu saya studi di Salatiga.
Mimpi saya sedang diproses dalam keajaiban waktu. Sebaliknya, mimpimu
sedang terbeli. Terbeli sampai harga diri dan nama baik tercemar.
Produksimu menghasilkan “uang panas” karena harga bahan pokok naik. Tak
tanggung-tanggungnya patokan harga disampaikan berstandar jabatan. Kalau
mau menang dan bisnis berjalan lancar, uang jadi solusinya. Sangat
ironis negeri Indopahit, negeriku ngeri.
Negeri Indopahit yang masih berorientasi pada perut seperti sandang dan
pangan. Negeri yang banyak sarang penyamun dan banyak penipu. Siapakah
mereka? Mereka adalah orang yang mengaku beragama; bisa saja dia, bisa
saja kamu dan juga tak dipungkiri bisa saja saya. Merubah orientasi
perut ke orientasi otak. Bukan lagi soal makanan tetapi soal ilmu
pengetahuan yang mengasa otak.
Orientasi
perut rawan dari kasus korupsi. Itulah yang terjadi di negeri yang
berideologi Pancasila. Yang kurang wajar adalah jika ada orang yang
ingin mencari keuntungan dan menjadi kaya demi kepentingan diri sendiri,
sehingga kasus menghalalkan segala cara telah membudaya (baca: menjadi
kebiasaan) dalam dirinya. Kasus yang merobek sendi-sendi keadilan,
kepedulian, kemanusiaan dan kesejahteraan. Sendi-sendi inilah yang harus
diejawantakan oleh pemerintah, bukan begitu?
Yesus orang Nazaret berkata “….. Berikanlah kami pada hari ini makanan
kami yang secukupnya…” mengapa Yesus memerintahkan kita untuk makan
secukupnya hari ini? Di satu pihak, manusia tidak makan berakibat fatal
yakni sakit perut. Dipihak lain, manusia menyantap makanan secara
berlebihan bisa berakibat sakit perut. Bagi yang satu tidak makan adalah
penderitaan (misalnya, kasus busung lapar dan sakit maag), bagi yang
lain kebanyakan makan adalah penderitaan (Misalnya, “tikus nan rakus,
tidak pernah puas memakan makanan yang mematikan”) juga. Mungkin lebih
baik makan sesuai ukuran wadah perut kita. Ya, makan makanan secukupnya,
tidak lebih dan tidak kurang. Itulah yang dikehendaki Yesus.
Manado, 20 Januari 2012
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar