Empat jam duduk di Jalan Roda, terasa cukup lama. Jalan Roda biasa
disingkat dengan sebutan Jarod, ya begitulah banyak orang menyebutnya.
Ini menjadi pengalaman pertama saya di tempat itu, duduk sambil diskusi
dengan nuansa baru. Hari itu, Selasa (17 Januari 2012) saya berangkat
dari rumah, Batu Kota naik angkot (mikro) menuju ke Multimart.
Saya bertemu dengan teman dekat yang bernama Maryanto Bungangu
(panggilan akrabnya, kakak Anto). Dia seorang pengacara muda di kota
Manado, pebisnis dan seorang aktivis pemuda asal Talaud.
Saya diajak nongkrong
ke Jarod. Kira-kira pukul 12:30, kami tiba di tempat yang dipenuhi
banyak orang. Gang panjang yang ditutupi terpal sangat diminati dan
dipadati banyak orang. Peminatnya beragam yakni dari yang tua sekitar
70-an tahun sampai yang berusia muda sekitar 30-an tahun; Ada yang
memakai seragam PNS, baju batik, dan memakai baju santai. Di sini juga
profesinya beragama, ada politikus, pebisnis, pegawai negeri sampai
pegawai swasta, wartawan dan sebagainya. Kebanyakan yang duduk di sini
adalam kaum Adam (baca: laki-laki).
Sebelum pembicaraan di mulai, kakak Anto memesan dua gelas kopi. sepiring pisang goreng dan dabu-dabu.
Kami duduk di tengah keramaian orang, kelompok A asyik bermain catur,
Kelompok B asyik dengan obrolannya, Kelompok C asyik membaca Koran dan
yang lainnya asyik menyanyi. Lima menit kemudian, seorang ibu muda
memakai baju batik coklat mengantarkan pesanan kami. Pesanan kami
diletakkan di atas meja kosong berukuran 1 x 1 meter. Segelas kopi
hangat menjadi pengantar pembicaraan kala itu.
Saya menanyakan praktek hukum yang terjadi di Indonesia. Saya ingin tahu
bagaimana kakak Anto memandang hukum dalam konteks keberagamaan agama
di Indonesia, lebih spesifik lagi di kota Manado.
“Saya latar belakang GMITA”, katanya.
Gereja Masehi Injili di Talaud (GMITA) adalah gereja yang terbesar dan
tersebar di Talaud. Tetapi “sementara ini saya tinggal di Tondano,
sehingga saya masuk di jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)”,
cetusnya. Kakak Anto juga menambahkan bahwa sewaktu kuliah di UNIMA
pernah menjabat sebagai ketua rukun Talaud periode 2005-2006.
“Ketika
saya menjabat ketua rukun dan terjun dalam organisasi kemahasiswaan,
maka banyak jejaring yang tercipta, salah satunya jejering dengan
pemerintah seperti bapak Fredy Sualang (pada waktu itu, wakil gubernur).
Kami mendapat bantuan dari Bapak Fredy berupa beasiswa dan rukun Talaud
mendapat uang penginapan gratis selama dua tahun.
Saya mulai mengenal kakak Anto ketika mengikuti kegiatan TANASDA
(Pelatihan Ketahanan Nasional Pemuda Daerah) Sulawesi Utara tahun 2011
yang diselenggarakan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (DISPORA) SULUT.
Kami menjadi peserta selama seminggu kegiatan itu, dan sampai sekarang
ini menjadi rekan kerja FIKAT (Forum Ikatan Alumni TANASDA). FIKAT ini
bergerak sebagai wadah aspirasi pemuda/i daerah akan kebijakan
pemerintah SULUT.
Menurut Maryanto Bungagu,
persoalan utama pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia terletak
pada ideologi atau pemahaman dogma yang memutlakan segala sesuatu dengan
memakai kacamata kuda. Nah, tidak dipungkiri lagi pemerintah
dan umat yang merasa dominasi seringkali mempersulit mereka yang
beragama lain. Meskipun ada peraturan hukum yang berlaku di negeri ini,
tetapi seringkali terdapat negoisasi demi kepentingan bersama bukan demi
kepentingan semua orang.
Lanjut menurutnya, di Indonesia banyak pasal yang berlaku Tokh, semuanya disusun dengan rapi dan baik tetapi masalahnya terletak pada perilaku dan moral
dari setiap manusia yang mengaku beriman dan atau beragama. Intinya,
perbuatan moral menyimpang dari pasal yang ditetapkan. Jadi jangan salah
kalau banyak intelektual yang rohaniawan di penjarakan misalnya terkena
kasus korupsi. “Saya sebutnya moral yang brutal”, cetus kakak Anto.
Sambil minum kopi, ia melanjutkan pembicaraan. “Krisis moral membuat
hukum mudah dipermainkan, yang hitam menjadi putih, dan yang putih
menjadi hitam atau bisa saja menjadi abu-abu, kayaknya negeri Indopahit
yang ngeri”. Ucapnya.
Sementara kami asyik
bercerita, muncul seorang laki yang berdiri di samping saya. Ia bertubuh
tegak, memakai baju biru, celana jeans dan sebuah tas diikat
dipinggangnya. Ucok Dalimunte, namanya. Dia berasal dari Batak. Dia
diajak duduk kakak Anto di samping kursi saya. Lalu tanpa ragu dia ikut
bergabung berbagi kisah.
Ia datang ke Manado
sejak tahun 2003. Sekarang ini, lagi berbisnis rica di pasar-pasar kota
Manado. Sebelumnya, ia menjadi mahasiswa di fakultas Fisika (MIPA)
UNIMA angkatan tahun 2003.
“Mengapa kakak Ucok belum menyelesaikan studi di UNIMA?”, Tanya saya sambil makan pisang goreng itu.
Tahun 2006, saya dan beberapa teman sering memprotes kebijakan rektorat. Tetapi Nah
ini tetapinya, pikiran kritis saya tidak diterima rektor, dan para
dosen. Jadi, saya dihambat melalui nilai akhir para dosen. Saya tidak
bisa maju melanjutkan semester berikutnya. Alhasil, saya merasa kecewa
dan sekarang ini, saya berbisnis rica di pasar untuk menyambung
kelangsungan hidup sebatang kara di Manado,” cetusnya.
Sementara kami bertiga berdiskusi, datang seorang lelaki buta ditemani
seorang anak remaja sedang menjual kacang. Lanjut, kakak anto memberikan
uang Rp 1.000 tanpa mengambil kacang tersebut. Setengah jam kemudian,
datang seorang oma berbadan kurus dan bungkuk meminta uang. Maka kembali
lagi kakak Anto memberikan Rp. 2.000. Lanjut, kurang lebih dua jam
berikutnya muncul seorang anak meminta uang, kali ini anak tersebut
datang dengan tangan kosong. Anak itu sulit berbicara, kayaknya seperti
idiot. Kamu tinggal di mana?” Tanya saya. “Belum makan dan ingin beli
nasi bungkus”, jawabnya. Saya mau bertanya lanjut, Nah, kakak Anto langsung memberikan uang Rp. 10.000 dan cepat-cepat si anak itu lari membeli makanan dan makan di pojok itu.
Pukul setengah lima sore, kakak Anto ada pertemuan dengan klien
mengenai urusan bisnis. Saya tersenyum. Si kakak Anto ternyata seorang
pekerja keras dengan pelbagai kesibukan. Akhirnya, kami berpisah dan
meninggalkan Jalan Roda.
Manado, 19 Januari 2011
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar