Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Empat Jam di Jalan Roda

   Empat jam duduk di Jalan Roda, terasa cukup lama. Jalan Roda biasa disingkat dengan sebutan Jarod, ya begitulah banyak orang menyebutnya. Ini menjadi pengalaman pertama saya di tempat itu, duduk sambil diskusi dengan nuansa baru. Hari itu, Selasa (17 Januari 2012) saya berangkat dari rumah, Batu Kota naik angkot (mikro) menuju ke Multimart. Saya bertemu dengan teman dekat yang bernama Maryanto Bungangu (panggilan akrabnya, kakak Anto). Dia seorang pengacara muda di kota Manado, pebisnis dan seorang aktivis pemuda asal Talaud.

            Saya diajak nongkrong ke Jarod. Kira-kira pukul 12:30, kami tiba di tempat yang dipenuhi banyak orang. Gang panjang yang ditutupi terpal sangat diminati dan dipadati banyak orang. Peminatnya beragam yakni dari yang tua sekitar 70-an tahun sampai yang berusia muda sekitar 30-an tahun; Ada yang memakai seragam PNS, baju batik, dan memakai baju santai. Di sini juga profesinya beragama, ada politikus, pebisnis, pegawai negeri sampai pegawai swasta, wartawan dan sebagainya. Kebanyakan yang duduk di sini adalam kaum Adam (baca: laki-laki).

           Sebelum pembicaraan di mulai, kakak Anto memesan dua gelas kopi. sepiring pisang goreng dan dabu-dabu. Kami duduk di tengah keramaian orang, kelompok A asyik bermain catur, Kelompok B asyik dengan obrolannya, Kelompok C asyik membaca Koran dan yang lainnya asyik menyanyi. Lima menit kemudian, seorang ibu muda memakai baju batik coklat mengantarkan pesanan kami. Pesanan kami diletakkan di atas meja kosong berukuran 1 x 1 meter. Segelas kopi hangat menjadi pengantar pembicaraan kala itu.

           Saya menanyakan praktek hukum yang terjadi di Indonesia. Saya ingin tahu bagaimana kakak Anto memandang hukum dalam konteks keberagamaan agama di Indonesia, lebih spesifik lagi di kota Manado.

        “Saya latar belakang GMITA”, katanya.

         Gereja Masehi Injili di Talaud (GMITA) adalah gereja yang terbesar dan tersebar di Talaud. Tetapi “sementara ini saya tinggal di Tondano, sehingga saya masuk di jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)”, cetusnya. Kakak Anto juga menambahkan bahwa sewaktu kuliah di UNIMA pernah menjabat sebagai ketua rukun Talaud periode 2005-2006.
“Ketika saya menjabat ketua rukun dan terjun dalam organisasi kemahasiswaan, maka banyak jejaring yang tercipta, salah satunya jejering dengan pemerintah seperti bapak Fredy Sualang (pada waktu itu, wakil gubernur). Kami mendapat bantuan dari Bapak Fredy berupa beasiswa dan rukun Talaud mendapat uang penginapan gratis selama dua tahun.

          Saya mulai mengenal kakak Anto ketika mengikuti kegiatan TANASDA (Pelatihan Ketahanan Nasional Pemuda Daerah) Sulawesi Utara tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (DISPORA) SULUT.  Kami menjadi peserta selama seminggu kegiatan itu, dan sampai sekarang ini menjadi rekan kerja FIKAT (Forum Ikatan Alumni TANASDA). FIKAT ini bergerak sebagai wadah aspirasi pemuda/i daerah akan kebijakan pemerintah SULUT.

          Menurut Maryanto Bungagu, persoalan utama pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia terletak pada ideologi atau pemahaman dogma yang memutlakan segala sesuatu dengan memakai kacamata kuda. Nah, tidak dipungkiri lagi pemerintah dan umat yang merasa dominasi seringkali mempersulit mereka yang beragama lain. Meskipun ada peraturan hukum yang berlaku di negeri ini, tetapi seringkali terdapat negoisasi demi kepentingan bersama bukan demi kepentingan semua orang.

           Lanjut menurutnya, di Indonesia banyak pasal yang berlaku Tokh, semuanya disusun dengan rapi dan baik tetapi masalahnya terletak pada perilaku dan moral dari setiap manusia yang mengaku beriman dan atau beragama. Intinya, perbuatan moral menyimpang dari pasal yang ditetapkan. Jadi jangan salah kalau banyak intelektual yang rohaniawan di penjarakan misalnya terkena kasus korupsi. “Saya sebutnya moral yang brutal”, cetus kakak Anto.

           Sambil minum kopi, ia melanjutkan pembicaraan. “Krisis moral membuat hukum mudah dipermainkan, yang hitam menjadi putih, dan yang putih menjadi hitam atau bisa saja menjadi abu-abu, kayaknya negeri Indopahit yang ngeri”. Ucapnya.

           Sementara kami asyik bercerita, muncul seorang laki yang berdiri di samping saya. Ia bertubuh tegak, memakai baju biru, celana jeans dan sebuah tas diikat dipinggangnya. Ucok Dalimunte, namanya. Dia berasal dari Batak. Dia diajak duduk kakak Anto di samping kursi saya. Lalu tanpa ragu dia ikut bergabung berbagi kisah.

          Ia datang ke Manado sejak tahun 2003. Sekarang ini, lagi berbisnis rica di pasar-pasar kota Manado. Sebelumnya, ia  menjadi mahasiswa di fakultas Fisika (MIPA) UNIMA angkatan tahun 2003.

        “Mengapa kakak Ucok belum menyelesaikan studi di UNIMA?”, Tanya saya sambil makan pisang goreng itu.

          Tahun 2006, saya dan beberapa teman sering memprotes kebijakan rektorat. Tetapi  Nah ini tetapinya, pikiran kritis saya tidak diterima rektor, dan para dosen. Jadi, saya dihambat melalui nilai akhir para dosen. Saya tidak bisa maju melanjutkan semester berikutnya. Alhasil, saya merasa kecewa dan sekarang ini, saya berbisnis rica di pasar untuk menyambung kelangsungan hidup sebatang kara di Manado,” cetusnya.

           Sementara kami bertiga berdiskusi, datang seorang lelaki buta ditemani seorang anak remaja sedang menjual kacang. Lanjut, kakak anto memberikan uang Rp 1.000 tanpa mengambil kacang tersebut. Setengah jam kemudian, datang seorang oma berbadan kurus dan bungkuk meminta uang. Maka kembali lagi kakak Anto memberikan Rp. 2.000. Lanjut, kurang lebih dua jam berikutnya muncul seorang anak meminta uang, kali ini anak tersebut datang dengan tangan kosong. Anak itu sulit berbicara, kayaknya seperti idiot. Kamu tinggal di mana?” Tanya saya. “Belum makan dan ingin beli nasi bungkus”, jawabnya. Saya mau bertanya lanjut, Nah, kakak Anto langsung memberikan uang Rp. 10.000 dan cepat-cepat si anak itu lari membeli makanan dan makan di pojok itu.

          Pukul setengah lima sore, kakak Anto ada pertemuan dengan klien mengenai urusan bisnis. Saya tersenyum. Si kakak Anto ternyata seorang pekerja keras dengan pelbagai kesibukan. Akhirnya, kami berpisah dan meninggalkan Jalan Roda.    

Manado, 19 Januari 2011
Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: