1. Pengantar
Dalam banyak agama, Allah yang Mahatinggi diberi gelar Bapa.
Dalam bentuk politeisme, Tuhan yang tertinggi dipahami sebagai "bapa
dari semua tuhan dan manusia". Dalam agama Israel dan Yudaisme modern,
YHWH disebut Bapa karena Ia adalah Pencipta, Pemberi hukum, dan
Pelindung. Demikian pula di dalam Kekristenan, Allah disebut Bapa karena
misteri dari hubungan Bapa-Anak yang diungkapkan oleh Yesus (menurut
Injil-injil). Pada umumnya, nama Bapa menunjuk nama Tuhan yang
menggambarkan kewibawaan tertinggi, Mahakuasa, Patriarkh, dan Pelindung.
Apakah konsep Allah Bapa ini masih relevan dalam konteks sekarang?
Tahun 1957, M.O Nelson dan E.M. Jones menyusun 60 item
yang masing-masing mengungkapkan perasaan sesuai dengan gambaran orang
tua dan sekaligus dengan gambaran Allah. Data dari angket ini ditemui
baik perempuan maupun laki-laki menunjukkan kesamaan gambaran ibu dengan
gambaran Allah lebih besar daripada kesamaan antara gambaran bapak
dengan gambaran Allah. Penyelidikan ini dilakukan dalam lingkungan
kebudayaan Barat. Ternyata ide Allah dipengaruhi oleh kebudayaan dan
citra orang tua seseorang.[1]
Melihat dogma kekristenan yang ada,
maka timbul pertanyaan dibenak saya, mengapa konsep Ibu sebagai Allah di
kesampingkan? Apakah peran seorang ibu tidak seperti bapa? Jelas bahwa
kehadiran seorang anak tidak terlepas dari kehadiran seorang ibu, konsep
yang demikian seolah mensubjekkan kaum ibu, seolah peran seorang ibu
dalam konsep Allah tidak dihargai dan tidak dipedulikan.
Pertanyaan
saya di atas kontradiksi dengan dogma Kekristenan Barat. Saya mencoba
memaparkan sedikit penjelasan tentang Allah Bapa dalam kacamata dogma
kekristenan, dan Allah Bapa dari perspektif psikologi.
2. Munculnya Allah bapak dalam kacamata dogma Kekristenan
Siapakah
Allah? Pada mulanya, Allah dalam bangsa Arab menunjuk pada nama dewa.
Sebelum agama Islam lahir, Allah disembah oleh kaum Hanif sebagai
satu-satunya Sang Pencipta. Walaupun bukan dewa yang populer, namun
Allah disembah oleh para penyembah berhala sebagai satu-satunya dewa
tertinggi. Orang Yahudi dan orang Kristen yang tinggal di Arab
menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan yang mereka sembah. Umat
Islam menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Bagi orang Arab,
apakah dia penyembah berhala, kaum Hanif, Yahudi, Kristen maupun Islam,
Allah adalah satu-satunya Sang Pencipta.[2]
Kemudian terjadi
pro-kontra di dalam gereja mula-mula tentang pribadi Yesus, namun pada
tahun 325 ZB (Zaman Bersama) hal itu dapat diselesaikan melalui konsili
pertama di Nicea bahwa Yesus adalah Allah. Pengakuan bahwa Yesus adalah
Allah diteguhkan dalam konsili-konsili selanjutnya, seperti Konsili
Efesus (431 ZB), Chalcedon (451 ZB). Demikian juga ke-Allah-an Roh Kudus
diteguhkan melalui Konsili kedua di Konstantinopel pada tahun 381
ZB.[3] Dari hasil konsili ini nampak jelas bahwa Bapa-bapa Gereja mau
memasukkan budaya patriarkh dalam dogma kekristenan.
Jika demikian
halnya, apakah Alkitab mengajarkan adanya tiga Allah? Tentu saja tidak,
sebab sebagaimana kita lihat pada Hukum Taurat pertama, Allah
menegaskan untuk tidak menyembah Allah lain di luar Dia. Pengakuan
kepada Allah yang Esa merupakan pengakuan mutlak yang tidak dapat
ditawar-tawar (Ul. 6:4). Di dalam Perjanjian Baru, kita juga menemukan
penegasan akan keesaan Allah tersebut, baik oleh Yesus (Yoh.10:30)
maupun oleh rasul-rasul (I Tim.2:5). Dari pengajaran Alkitab tersebut,
kita melihat bahwa di satu sisi Alkitab menegaskan keesaan Allah, tapi
di sisi lain, kita menemukan adanya kejamakkan di dalam keesaan
tersebut. Dari kenyataan tersebut, bapa-bapa Gereja mencoba memahami dan
menjelaskannya dalam pendekatan filsafat Yunani untuk menjawab
spekulasi-spekulasi berhubungan dengan iman kristen. Kemudian dalam
Konsili Nicea-Konstantinopel muncul dokrin Allah Tritunggal, doktrin
baru dan aneh tersebut (?). Istilah Trinitas sama sekali tidak pernah
digunakan dalam Alkitab.
Menurut Ermin A. Mosoli dalam tesisnya Kritik Feminis Kristen dan Islam terhadap Kitab Suci dan Dampak Kewibawaan Kitab Suci
(2002) mengatakan bahwa posisi positif dari Kitab Suci yakni menjadikan
umat dari berbagai latar belakang berbeda dan tersebar diberbagai
tempat mempunyai sumber rujukan yang sama. Posisi negatif dari Kitab
Suci untuk melegitimasi rasisme, seksisme, kolonialisme, klaim
superioritas agama, dan etnisme. Selanjutnya Ermin menjelaskan bahwa
penafsiran Alkitab dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki
kepentingan dominasi. Kepentingan ini disebabkan Alkitab disusun dan
ditafsirkan dalam konteks budaya Yahudi patriarkhi yang bias gender.
Akhirnya muncul dominasi dalam perumusan bersama dari hasil konsili
tersebut.
Mengapa Allah bapak? Menurut dogma kekristenan, Allah
dengan istilah tertinggi yaitu Bapa diartikan sebagai pencipta, pusat
pertama dari segala sesuatu dan sumber kehidupan manusia. Istilah Bapa muncul dari pilihan manusia sendiri (Hasil Konsili). Ada beberapa alasan konsep Allah disebut Bapa menurut Schrenk dalam buku Theological Dictionary of the New Testament Vol.V yakni :
Pemikiran Barat didasarkan baik di dalam tradisi Yahudi-Kristen maupun
di dalam filsafat Yunani. Adapun ide-ide laki-laki dan perempuan yang
ditemui sampai sekarang ini:
- Di dalam Kitab Suci Hawa diciptakan dari rusuk Adam, perempuan bersifat sekunder.
-
Di dalam mitologi Yunani, Athena, Dewi Kebijaksanaan, muncul dari Zeus,
ayah segala dewa, perempuan bersifat sekunder.
Kedua cerita mitos ini menceritakan posisi perempuan bersifat sekunder dan subordinat laki-laki.
Perempuan
dalam pemikiran Yunani yakni laki-laki bersifat aktif, perempuan pasif;
laki-laki memberi, perempuan menerima; laki-laki memberi forma,
perempuan bersifat abstrak. Di dalam Timaeus, Plato
mempertentangkan peran ayah di dalam memberi forma yang membentuk dunia
dan peranan ibu yang melahirkan anak (dihubungkan juga dengan alam). Ide
Plato mengenai jiwa rasional (ide laki-laki) mengatasi dan mengatur
badan (perempuan). Lebih lanjut lagi Philo (20 SZB-50 ZB)
menginterpretasikan Kitab Suci Yahudi dalam kisah mitos Adam dan Hawa.
Hawa menjadi ‘perspektif indrawi (sumber kejatuhan) dan laki-laki
disimbolkan sebagai ‘budi’. [4] Dengan demikian perempuan disimbolkan
dari sisi non-rasional dari tingkah laku manusia, lebih parah lagi
diperlakukan sebagai sekunder dan subordinat, dihubungkan dengan emosi,
kefisikan dan alam.
Berdasarkan mitos, sifat-sifat Allah dari
penjelasan di atas maka, tidak dipungkiri lagi kekristenan masih
mengakui keilahian Allah sebagai Bapa. Dipandang lebih jauh lagi,
sebenarnya semua agama mengakui satu Allah dan menyembah Allah yang
sama. Barangkali konsep manusia yang belum sempurna, tetapi jelas bahwa
Allah itu Esa dan Allah terdapat di mana-mana. Hemat kata, Allah yang
abstrak disembah orang dalam agama, berbeda-beda menurut cara orang
menyembah.
3. Allah Ibu dan Allah Bapa dalam Psikologi
Citra
Ibu menjadi simbol harmoni dan kebahagiaan. Simbol ini mengingatkan
manusia akan Firdaus yang hilang dan harapan Firdaus yang akan datang.
Oleh karena itu simbol ibu dimasukkan dalam gambaran manusia akan Allah
(tanpa menurunkan simbol Bapa dari tahta). Menurut C.G. Jung, untuk
melambangkan Allah, sang ibu tidak kalah pentingnya dengan Sang Bapa.
Agama menurutnya merupakan hasrat manusia untuk dilahirkan kembali
menjadi diri sendiri. Nah. Di dalam dan oleh ibulah manusia dilahirkan
kembali menjadi dirinya sendiri.[5]
Untuk menggambarkan Allah,
sumber segala sesuatu yang ada, manusia tidak mempunyai ‘perlengkapan’
lain dari pengalamannya mengenai dunia ini. Pengalaman kita merupakan
cikal bakal eksistensi manusia sendiri pada sosok bapak dan ibu. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bahwa orang tua, asal usul adanya kita
sendiri. Orang tua dapat menjadi simbol asal segala sesuatu yaitu Allah,
Sumber yang mutlak. Kehadiran Allah dalam agama bukanlah menjadi suatu
pemahaman teologi yang dirumuskan dalam dogma, tetapi lebih dari itu
menjadi lebih terbuka dalam pengalaman pribadi dan terutama pengalaman
bersama, khusus pada suatu daerah dan tidak mutlak sama dengan daerah
yang lain. Kehadiran Allah ada di hati dan pikiran manusia.
Gelar
Ibu yang dilekatkan pada Allah sebenarnya merupakan sebuah simbol.
Manusia secara psikologis ingin mengetahui segala sesuatu dengan
pikirannya, namun akhirnya manusia sampai kepada suatu horison tak
terbatas bahwa realitas Allah hanya mungkin ditangkap dalam simbol dan
tanda-tanda yang diterima sebatas diakui oleh semua orang yang ingin
memenuhi kebutuhan untuk berkomunikasi dengan Allah yang sesungguhnya
Ke-bapa-an
ilahi, Sigmund Freud berpendapat bahwa timbulnya agama dalam sejarah
manusia disebabkan oleh konflik dan rasa bersalah antara anak dan bapak.
Freud melihat Allah Bapa sebagai proyeksi, ilusi manusia dari proses
sejarah keagamaan bangsa di satu tempat.[6] Bapa Gereja yang sangat
memperhatikan roh, memproyeksikan ketakutan mereka sendiri berhubungan
dengan badan dan seksualitas pada perempuan. Dengan begitu, mereka
menciptakan identitas bagi perempuan secara tidak adil dan menindas.
Hegel (1770-1831) merumuskan ‘dialektik’ yang melibatkan sintesis.
Identitas yang satu dengan sendirinya berlaku melawan kebalikannya atau
‘yang lain’. Kaum feminis percaya bahwa identitas laki-laki (akal budi, ketegaran, agresi) telah dihasilkan melawan perempuan (badan, emosi, kodrat) yang menghasilkan gap seksisme.
Akhir
dari tulisan ini saya mau mengatakan citra Allah sebagai bapa baru
berfungsi dan bernilai dalam hubungan dialektis dengan sang ibu. Allah
yang transenden yang bagaikan Ibu dan Bapa kami. Mengingat kebapaan
ilahi sama strukturnya dengan kebapaan insani, maka kebapaan Allah pun
harus bersifat dua kutub. Artinya, Allah baru dapat bersifat Bapa kalau
ia menjanjikan nilai-nilai keibuan. Agar kita tidak terjebak dari konsep
Allah yang dikelaminkan dan atau Allah yang disifatkan oleh manusia
dalam suatu rumusan bersama, maka sebenarnya Allah berada bebas di
pikiran, hati nurani, perkataan dan pengalaman manusia.
Daftar Pustaka
Dister, N. Syukur., Bapak Dan Ibu Sebagai Simbol Allah: Psikologi Agama. Yogyakarta: kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Herlianto., Siapakah yang Bernama Allah itu?. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Jung, C.G., Two Essays on Analytical Psychology. New York, 1956.
Mosoli, Ermin A. dalam tesisnya Kritik Feminis Kristen dan Islam terhadap Kitab Suci dan Dampak Kewibawaan Kitab Suci. Salatiga: UKSW, 2002.
Niftrik, G.C. van dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.
Schrenk., Theological Dictionary of the New Testament Vol V. German: W. Kohlrlammer Verlag, 1773.
Smith, Linda dan William Raeper., Ide-ide: Filsafat dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Tong, Rosemarie Putnam., Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition. Westview Press: Colorado, 1998.
[1] Dr. N. Syukur Dister., Bapak Dan Ibu Sebagai Simbol Allah: Psikologi Agama (Yogyakarta: kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983)., hal 50-52.
[2] Herlianto., Siapakah yang Bernama Allah itu? (Jakarta: BPK GM, 2001).
[3] G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978) hal. 169-171.
[4] Linda Smith dan William Raeper., Ide-ide: Filsafat dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000)., hal.228-234.
[5] C.G. Jung, Two Essays on Analytical Psychology. New York, 1956.
[6] Rosemarie Putnam Tong., Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition (Westview Press: Colorado, 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar