Nekat, itulah yang ada
dibenakku waktu itu. Setahun yang lalu, tepatnya 2 Oktober 2010 aku
berangkat dari Manado ke Surabaya. Keberangkatan itu hanya melanjutkan
misi sebagai mahasiswi. Aku yang telah selesai penelitian lapangan
(tesis) dan harus balik ke Salatiga untuk konsultasi dengan para dosen
pembimbing. Tak habis pikir, saya bisa berbohong kepada orang tua
dibalik nekatku saat itu. Papa dan mama sangat kuatir kalau aku
berangkat sendiri tanpa dijemput oleh seseorang. Tapi itulah aku! Segala
model cara bisa menjadi ‘halal’ kalau dilakukan dengan baik., hehehe.
“setelah sampai di bandara, akan dijemput salah satu travel dan aku bersama teman kampus dari daerah lain”, kataku kepada papa. Alhasil, sesampai di bandara Juanda aku dengan gagah berani melangkah dan menuju ke luar. Tak satupun orang yang aku kenal. Ini merupakan pengalaman pertamaku dan bertanya menjadi kata kunci saat itu. Aku menuju ke loket taxi dan diantar disebuah travel. Meskipun ongkos harga taxi sama dengan angkos Surabaya ke salatiga, tapi apa boleh buat, aku nekat aja. Sekalian jalan-jalan melihat kota Surabaya pertama kali.
Sepanjang perjalanan kurang lebih 1 jam, si mas (bapak taxi) sampai geleng-geleng kepala. Katanya, baru pertama kali dia mengenal penumpang yang suka bertanya. Pertanyaanku seringkali sulit di jawab olehnya. Sulit, karena Bahasa Indonesia diucap dalam logat Manado yang kental bernada cepat. Akhirnya aku tiba ditempat travel. Di situ, untung saja ada seorang mbak dan banyak laki-laki. Waduh celaka, pikirku.
Jam menunjukkan 9 Malam, aku ternyata penumpang satu-satunya dalam trevel. Gugup dan takut! Bagaimana aku harus katakan kepada kedua orangtua-ku di rumah? Pasti dimarahin dan mereka akan kuatir setengah mati. Keputusanku saat itu tak memberitahukan kondisi yang cukup menegangkan. Sendirian, perempuan dan tidak tahu jalan Surabaya cukup membuat hatiku deg, deg, deg-an.
Aku tak putus akal, bertanya soal politik, sosial, masyarakat Surabaya, adat-istiadat Jawa sampai pada agama. Ternyata, bapak ini beragama Muslim dan sudah berkeluarga (memiliki 4 anak). Dan topik agama menjadi hangat dikala perjalanan yang makin larut dan sepi. Aku memperkenalkan diri sebagai seorang pendatang yang sedang merantau tuk studi di Salatiga. Beragama Kristen (agama orang tua) dan sekolah agama. Syukur, sikap si bapak sangat sopan dan tidak sejahat seperti yang diberitakan dimedia TV. Meskipun begitu, aku waspada dan tidak bisa tidur semalaman. Daripada hubungi orang tua, lebih baik hubungi teman baik di Manado, Tomohon dan Salatiga. Mereka dengan setia menemaniku dan memberikan solusi di kala kuatir mencekam.
Nekad karena ada niat untuk bertindak meskipun ancaman nyawa di depan mata. Bundaku, Maria Walanda-Maramis bisa mengijinkan anaknya perempuan berlayar dari Manado ke Batavia seorang diri untuk studi. Tak ada yang ia kenal. Hanya bermodalkan nekad dan ramah kepada saudara/i yang ditemuinya. Itulah yang menjadi modalku, bundaku memberikan inspirasi bagiku berlayar tanpa menguatirkan orangtua. Kemandirian dan ramah kepada sesama menjadi kontribusi yang bergejolak dipikiran kecil-ku ini. Berharap Tuhan yang aku sembah menyertai perjalanan kala itu. Syukur, aku bisa sampai di Salatiga dengan selamat sentosa. Benar, pengalamanku yang tak terlupakan.
Manado, 11 Oktober 2011
“setelah sampai di bandara, akan dijemput salah satu travel dan aku bersama teman kampus dari daerah lain”, kataku kepada papa. Alhasil, sesampai di bandara Juanda aku dengan gagah berani melangkah dan menuju ke luar. Tak satupun orang yang aku kenal. Ini merupakan pengalaman pertamaku dan bertanya menjadi kata kunci saat itu. Aku menuju ke loket taxi dan diantar disebuah travel. Meskipun ongkos harga taxi sama dengan angkos Surabaya ke salatiga, tapi apa boleh buat, aku nekat aja. Sekalian jalan-jalan melihat kota Surabaya pertama kali.
Sepanjang perjalanan kurang lebih 1 jam, si mas (bapak taxi) sampai geleng-geleng kepala. Katanya, baru pertama kali dia mengenal penumpang yang suka bertanya. Pertanyaanku seringkali sulit di jawab olehnya. Sulit, karena Bahasa Indonesia diucap dalam logat Manado yang kental bernada cepat. Akhirnya aku tiba ditempat travel. Di situ, untung saja ada seorang mbak dan banyak laki-laki. Waduh celaka, pikirku.
Jam menunjukkan 9 Malam, aku ternyata penumpang satu-satunya dalam trevel. Gugup dan takut! Bagaimana aku harus katakan kepada kedua orangtua-ku di rumah? Pasti dimarahin dan mereka akan kuatir setengah mati. Keputusanku saat itu tak memberitahukan kondisi yang cukup menegangkan. Sendirian, perempuan dan tidak tahu jalan Surabaya cukup membuat hatiku deg, deg, deg-an.
Aku tak putus akal, bertanya soal politik, sosial, masyarakat Surabaya, adat-istiadat Jawa sampai pada agama. Ternyata, bapak ini beragama Muslim dan sudah berkeluarga (memiliki 4 anak). Dan topik agama menjadi hangat dikala perjalanan yang makin larut dan sepi. Aku memperkenalkan diri sebagai seorang pendatang yang sedang merantau tuk studi di Salatiga. Beragama Kristen (agama orang tua) dan sekolah agama. Syukur, sikap si bapak sangat sopan dan tidak sejahat seperti yang diberitakan dimedia TV. Meskipun begitu, aku waspada dan tidak bisa tidur semalaman. Daripada hubungi orang tua, lebih baik hubungi teman baik di Manado, Tomohon dan Salatiga. Mereka dengan setia menemaniku dan memberikan solusi di kala kuatir mencekam.
Nekad karena ada niat untuk bertindak meskipun ancaman nyawa di depan mata. Bundaku, Maria Walanda-Maramis bisa mengijinkan anaknya perempuan berlayar dari Manado ke Batavia seorang diri untuk studi. Tak ada yang ia kenal. Hanya bermodalkan nekad dan ramah kepada saudara/i yang ditemuinya. Itulah yang menjadi modalku, bundaku memberikan inspirasi bagiku berlayar tanpa menguatirkan orangtua. Kemandirian dan ramah kepada sesama menjadi kontribusi yang bergejolak dipikiran kecil-ku ini. Berharap Tuhan yang aku sembah menyertai perjalanan kala itu. Syukur, aku bisa sampai di Salatiga dengan selamat sentosa. Benar, pengalamanku yang tak terlupakan.
Manado, 11 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar