Perayaan hari suci Goan Siao atau lebih dikenal Cap Go Me menjadi
perayaan yang dinanti-nantikan bukan hanya keturunan Tionghoa melainkan
warga Manado. Senin 6 Februari 2012 di daerah kampung Cina terlihat
jelas antusias warga menyaksikan dan ikut meramaikan perayaan ini.
Saya merupakan salah satu penonton dari ribuan warga yang ikut menonton
perayaan Cap Go Me ini. Meskipun orang tua (baca: mama dan papa) tidak
pernah menyetujui saya menonton acara ini, tetapi dengan bermodalkan
nekat dan bisa menjelaskan maksud saya menonton perayaan ini, Alhasil
saya disetujui mama untuk pergi dengan raut muka terpaksa.
Waktu itu, di jam tangan saya menunjukan pukul tiga sore. Sepanjang
jalan dipadati pejalan kaki. Terlihat banyak mobil dan motor diparkir
sembarangan. Banyak warga datang bersama keluarga, ada yang datang
dengan teman, pacar, bahkan ada juga bersama tetangga. Mereka ini ada
yang berjilbab, memakai kalung salib, seragam SD, Polisi, tentara, PNS
dan baju santai.
Saya ditemani sahabat karib sambil
harap-harap cemas akan atraksi Tan Sing. Pada waktu itu, saya mengambil
posisi di jalan Maria Walanda Maramis, Manado. Di samping kanan saya
berdiri keke Minahasa, sebaliknya di samping kiri saya berdiri
ibu berlogat Sangier, di depan saya berdiri banyak anak perempuan dan
anak laiki-laki baik yang berseragam SD maupun pakaian bebas, di
belakang saya banyak pemuda yang berdiri sambil memegang HP dan kamera.
Di seberang jalan terlihat tiga bule yang sibuk memotret antusias
masyarakat Manado di kampung Cina, keramaian yang muncul hanya setahun
sekali ini.
Ini menjadi pengalaman pertama yang menggetarkan hati, ya mengetarkan toleransi antar umat beragama, pikir kecilku.
Saya kagum dengan perayaan Cap Go Me. Kekaguman saya ketika melihat prosesi ini dibuka dengan tarian cakalele, tarian kebesaran Tou
Minahasa. Langit mulai mendung, tetapi mata hati ini termenung akan
penghormatan kaum Tionghoa menghargai budaya Minahasa. Seandainya hari
besar umat Kristiani (seperti natal) memakai tarian cakalele, pikir
kesedihan hati terdalamku.
Di belakang tarian ini,
muncul lima laki-laki mengenakan kaos putih sambil memegang spanduk
merah yang bertuliskan tinta kuning“Di Empat Penjuru Lautan Kita Semua
Bersaudara: dengan Perayaan Goan Siao/ Cap Go Me 2563 IMPEK Kita
Tingkatkan Kerukunan Antar Umat Beragama di Bumi Nyiur Melambai”.
Prosesi ini makin lama, makin dipadati warga. Saya ikut dalam acara
dorong-dorongan disertai desak-desakan. Kebanyakan anak-anak dan para
ibu ikut andil sebagai penonton yang di dorong ke depan oleh kaum
laki-laki dan di dorong lagi ke belakang oleh bapak polisi sambil
berkata “permisi, permisi, dorang mo lewat, buka itu jalang”. Inilah seninya, maju ke depan lalu mundur lagi ke belakang., hahaha
Burung-burung berputar di udara seakan mengisyaratkan ada sesuatu yang
akan terjadi. Kegelisan burung-burung terbukti ketika tampil sang Tan
Sing melubangi mulutnya dengan besi putih panjang yang telah di tajami
ujungnya. Di tusuk dari pipi kanan tembus pipi kiri. Ada juga Tan Sing
yang memukul-mukul dada , lidah dan punggungnya dengan pedang. Anehnya,
sedikit darah yang keluar dari pipi sang Tan Sing. Begitu juga dada dan
belakangnya hanya kelihatan memar. Sang Tan Sing duduk di atas tahta
sambil memegang klenteng merah berukuran kecil, lalu ia diangkat sekitar
sepuluh laki-laki memakai pakaian putih. Tan Sing dipercayai menjadi
duta Allah turun ke bumi sesuai roh yang turun kepadanya dan Ia datang
untuk membasmi kejahatan.
Ketika Tan Sing melewati
jalan itu, maka tubuh saya terasa sedikit berat, badan merindung dan
pundak terasa panas. Apa gerangan? Mungkin, terlalu menghayati kale,
Positive thinking., hehehe ;)
Aroma dupa dari asap putih mulai menyelimuti warga yang menyaksikan perayaan ini. Nah,
nuansa makin terasa sakral tetapi sangat disesalkan warga kurang tertib
saat prosesi ini. Saya melihat ada empat klenteng yang ikut dalam
perayaan ini. Setiap klenteng menampilkan Tan Sing, beberapa pemuda/i,
para ibu memegang bendera seakan pengantar dewa. Ada juga baronsai;
naga; kuda besar seperti film Troy; macan berwarna kuning, putih dan
hijau; dewi Kwan Im yang didadani Make-up, memakai gaun putih, kipas
kecil putih, dewi yang dilakoni anak perempuan itu kelihatan sangat
cantik. Ia naik di atas mobil berhiaskan naga dan didampingi oleh
pengawal-pengawalnya yang memakai gaun merah mudah. Tidak ketinggalan
juga, setiap klenteng memakai musik bambu khas Minahasa. Lagu yang sempat saya dengar ketika melewati jalan itu, yakni lagu yang bersyair “sayang, sayang sipato kaan, matigo- tigo korokan sayang ….”
Kemudian, ada warga yang mengabadikan prosesi ini dengan foto, video,
dan rekaman tv lokal Manado. Sebagian sibuk melihat prosesi ini dengan
mata telanjang, dan sebagian lainnya menggunakan lensa mata alias foto.
Saya juga ikut mengabadikan prosesi ini. mengapa demikian? Ini menjadi
pengalaman pertama dalam perayaan Cap Go Me dan bahan dokumen pribadi,
dibuang sayang dan oleh sebab itu perlu diabadikan dalam kertas putih
laptop. Di mana saya sebagai pemeluk agama Kristen dan agama batu perlu
menjunjung tinggi toleransi di bumi ibu pertiwi Minahasa.
Saya
pulang ke rumah dengan penuh sukacita. Suka, ini merupakan prosesi unik
yang hanya terdapat di satu agama saja. Cita, semoga keberagaman agama
membawa cita-cita kemanusiaan yang lebih beradab bukan biadab!
Prosesi ini bukan lahir dari stigma kekerasan bagi anak-anak dan
perempuan karena prilaku sang Tan Sing, melainkan jauh dari perspektif
itu. Saya melihat dengan kaca mata baru yakni inilah penjelmaan sang
dewa masuk ke tubuh seseorang yang membasmi kejahatan, salah satunya
kejahatan yang ada ditubuhnya sendiri. Nah muncul pertanyaan,
apakah seseorang ini beragama lain? Bagaimana tindakan pemeluk agama
lain melihat anggota jemaatnya menjelma menjadi Tan Sing?
Lebih panjang lagi, saya melangkah dengan penuh sukacita. Tidak terasa
waktu menunjukkan pukul enam malam, dan oleh karena itu saya harus
memakai langkah seribu di bantu angkot mikro untuk tiba di rumah.
Salam Persaudaraan
Manado, 8 Februari 2012
Pukul: 23: 58
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar