Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Cap Go Me

Perayaan hari suci Goan Siao atau lebih dikenal Cap Go Me menjadi perayaan yang dinanti-nantikan bukan hanya keturunan Tionghoa melainkan warga Manado. Senin 6 Februari 2012 di daerah kampung Cina terlihat jelas antusias warga menyaksikan dan ikut meramaikan perayaan ini.
            Saya merupakan salah satu penonton dari ribuan warga yang ikut menonton perayaan Cap Go Me ini. Meskipun orang tua (baca: mama dan papa) tidak pernah menyetujui saya menonton acara ini, tetapi dengan bermodalkan nekat dan bisa menjelaskan maksud saya menonton perayaan ini, Alhasil saya disetujui mama untuk pergi dengan raut muka terpaksa.
            Waktu itu, di jam tangan saya menunjukan pukul tiga sore. Sepanjang jalan dipadati pejalan kaki. Terlihat banyak mobil dan motor diparkir sembarangan. Banyak warga datang bersama keluarga, ada yang datang dengan teman, pacar, bahkan ada juga bersama tetangga. Mereka ini ada yang berjilbab, memakai kalung salib, seragam SD, Polisi, tentara, PNS dan baju santai.
             Saya ditemani sahabat karib sambil harap-harap cemas akan atraksi Tan Sing. Pada waktu itu, saya mengambil posisi di jalan Maria Walanda Maramis, Manado. Di samping kanan saya berdiri keke Minahasa, sebaliknya di samping kiri saya berdiri ibu berlogat Sangier, di depan saya berdiri banyak anak perempuan dan anak laiki-laki baik yang berseragam SD maupun pakaian bebas, di belakang saya banyak pemuda yang berdiri sambil memegang HP dan kamera. Di seberang jalan terlihat tiga bule yang sibuk memotret antusias masyarakat Manado di kampung Cina, keramaian yang muncul hanya setahun sekali ini.
            Ini menjadi pengalaman pertama yang menggetarkan hati, ya mengetarkan toleransi antar umat beragama, pikir kecilku.
             Saya kagum dengan perayaan Cap Go Me. Kekaguman saya ketika melihat prosesi ini dibuka dengan tarian cakalele, tarian kebesaran Tou Minahasa. Langit mulai mendung, tetapi mata hati ini termenung akan penghormatan kaum Tionghoa menghargai budaya Minahasa. Seandainya hari besar umat Kristiani (seperti natal) memakai tarian cakalele, pikir kesedihan hati terdalamku.
              Di belakang tarian ini, muncul lima laki-laki mengenakan kaos putih sambil memegang spanduk merah yang bertuliskan tinta kuning“Di Empat Penjuru Lautan Kita Semua Bersaudara: dengan Perayaan Goan Siao/ Cap Go Me 2563 IMPEK  Kita Tingkatkan Kerukunan Antar Umat Beragama di Bumi Nyiur Melambai”.
              Prosesi ini makin lama, makin dipadati warga. Saya ikut dalam acara dorong-dorongan disertai desak-desakan. Kebanyakan anak-anak dan para ibu ikut andil sebagai penonton yang di dorong  ke depan oleh kaum laki-laki dan di dorong lagi ke belakang oleh bapak polisi sambil berkata “permisi, permisi, dorang mo lewat, buka itu jalang”. Inilah seninya, maju ke depan lalu mundur lagi ke belakang., hahaha
              Burung-burung berputar di udara seakan mengisyaratkan ada sesuatu yang akan terjadi. Kegelisan burung-burung terbukti ketika tampil sang Tan Sing melubangi mulutnya dengan besi putih panjang yang telah di tajami ujungnya. Di tusuk dari pipi kanan tembus pipi kiri. Ada juga Tan Sing yang memukul-mukul dada , lidah dan punggungnya dengan pedang. Anehnya, sedikit darah yang keluar dari pipi sang Tan Sing. Begitu juga dada dan belakangnya hanya kelihatan memar. Sang Tan Sing duduk di atas tahta sambil memegang klenteng merah berukuran kecil, lalu ia diangkat sekitar sepuluh laki-laki memakai pakaian putih. Tan Sing dipercayai menjadi duta Allah turun ke bumi sesuai roh yang turun kepadanya dan Ia datang untuk membasmi kejahatan.
              Ketika Tan Sing melewati jalan itu, maka tubuh saya terasa sedikit berat, badan merindung dan pundak terasa panas. Apa gerangan? Mungkin, terlalu menghayati kale, Positive thinking., hehehe ;)
              Aroma dupa dari asap putih mulai menyelimuti warga yang menyaksikan perayaan ini.  Nah, nuansa makin terasa sakral tetapi sangat disesalkan warga kurang tertib saat prosesi ini. Saya melihat ada empat klenteng yang ikut dalam perayaan ini. Setiap klenteng menampilkan Tan Sing, beberapa pemuda/i, para ibu memegang bendera seakan pengantar dewa. Ada juga baronsai; naga; kuda besar seperti film Troy; macan berwarna kuning, putih dan hijau; dewi Kwan Im yang didadani Make-up, memakai gaun putih, kipas kecil putih, dewi yang dilakoni anak perempuan itu kelihatan sangat cantik. Ia naik di atas mobil berhiaskan naga dan didampingi oleh pengawal-pengawalnya yang memakai gaun merah mudah. Tidak ketinggalan juga, setiap klenteng memakai musik bambu khas Minahasa. Lagu yang sempat saya dengar ketika melewati jalan itu, yakni lagu yang bersyair “sayang, sayang sipato kaan, matigo- tigo korokan sayang ….”

            Kemudian, ada warga yang mengabadikan prosesi ini dengan foto, video, dan  rekaman tv lokal Manado. Sebagian sibuk melihat prosesi ini dengan mata telanjang, dan sebagian lainnya menggunakan lensa mata alias foto. Saya juga ikut mengabadikan prosesi ini. mengapa demikian? Ini menjadi pengalaman pertama dalam perayaan Cap Go Me dan bahan dokumen pribadi, dibuang  sayang dan oleh sebab itu perlu diabadikan dalam kertas putih laptop. Di mana saya sebagai pemeluk agama Kristen dan agama batu perlu menjunjung tinggi toleransi di bumi ibu pertiwi Minahasa.
Saya pulang ke rumah dengan penuh sukacita. Suka, ini merupakan prosesi unik yang hanya terdapat di satu agama saja. Cita, semoga keberagaman agama membawa cita-cita kemanusiaan yang lebih beradab bukan biadab!
            Prosesi ini bukan lahir dari stigma kekerasan bagi anak-anak dan perempuan karena prilaku sang Tan Sing, melainkan jauh dari perspektif itu. Saya melihat dengan kaca mata baru yakni inilah penjelmaan sang dewa masuk ke tubuh seseorang yang membasmi kejahatan, salah satunya kejahatan yang ada ditubuhnya sendiri. Nah muncul pertanyaan, apakah seseorang ini beragama lain? Bagaimana tindakan pemeluk agama lain melihat anggota jemaatnya menjelma menjadi Tan Sing?
              Lebih panjang lagi,  saya melangkah dengan penuh sukacita. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul enam malam, dan oleh karena itu saya harus memakai langkah seribu di bantu angkot mikro untuk tiba di rumah.


Salam Persaudaraan

Manado, 8 Februari 2012
Pukul: 23: 58
Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: