Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Negeri Tak Bertuan (Bagian 2)

Berbicara pajak pastilah sangat rentan dengan istilah wajib pajak. Aku teringat dengan sebuah kalimat yang tertulis disebuah reklame ruas jalan itu berbunyi “cerminan orang beriman, membayar pajak tepat waktunya. Ribet juga pemerintah ini, pakai iman segala seakan agama masuk bersuarakan bayar pajak. Upsss, apakah ini tugas agama atau pemerintah? Agar supaya masyarakat lulu dengan perkataan yang tertulis itu maka ia melegitimasikan agar mulus dan fulus, kayaknya agama jadi ‘tumbal’ di balik manis senyum yang penuh tanda Tanya. Mengapa (?) saya berpikir, Sang Maha Esa memberikan tanah, air dan udara secara gratis., eeh pemerintah mau meminta imbalan dari apa yang diberikan Yang Esa itu kepada makluk hidup. Kayaknya tak tahu diri yach (!). Pajak tanah wajib dibayar ke pemerintah. Coba pikir, apakah pemerintah yang membesarkan pohon durian, mawar, dsb? Nggak-lah. Yang membesarkan jenis buah-buahan, sayur-mayur, kacang-kacangan dsb adalah tugas dari si tanah. Kalau bayar pajak, bayarlah ke tanah dengan cara di timbun uang itu ke dalam tanah bukan di berikan ke pemerintah.

Begitu juga dengan air. Air diberikan Tuhan secara cuma-Cuma. Eeeh pemerintah dan pengusaha asing mengambil untung dengan membayar pajak air (PAM). Kemudian untuk menjaga keseimbangan tubuh agar bersih dan sehat maka harus membeli minuman botol bersegel (merek) yang telah terkena PPN. Ibuku bilang, katanya pemerintah kota Manado yang bekerjasama dengan perusahan Belanda dan PDAM kota Manado akan merealisasikan air minum langsung dari kran air setiap rumah tanpa di masak (kayak negeri kincir angin, Belanda) di tahun 2010. Lanjut,  ia berkata “sekarang sudah tahun 2011, kalau minum air dari kran pasti munta.” kenapa ? tanyaku. “coba ngana minum itu air kran yang ba pece (becek) kalo nda malamise (tenggelam) deng munta.” Jawab ibuku yang kritis juga hehehe., untunglah bisa jalan air dengan lancar, bagaimana kalau rumahnya jarang air mengalir? Waach itu makin parah juga. Kekayaan alam dibisniskan menjadi sebuah ‘nilai’ wajib pajak. Kalau mau bayar pajak air maka uang harus diberikan ke air bukan diberikan kepada pemerintah! Untung manusia tidak tinggal di dalam air. Bisa-bisa beban wajib pajak bertambah. Looh jadi ikan, aku dan pembaca-kan manusia.

Pajak dipergunakan untuk pos-pos pembangunan daerah, pendidikan, gaji pegawai dsb. Ngombong keadilan di atas ke-uang-an proyek Negara. Nggak usahlah ada pajak. Aku bukan anti pajak. Emang, ayahku tergantung gaji PNS-Nya dan proyek jalan trans. Pikirku, masyarakat nggak usah tergantung pemerintah. Usaha dan kekuatan sendiri bisa menghidupi dirinya dan keluarganya.  Lihat saja, dengan kekuasaan dan jabatan menjadikannya seorang koruptor kelas kakap yang cakap ngomong ngaur dan kebohongan publik. Frustasi memang pemerintah yang ‘banjir’ duit. Kalau itupun ‘kering’ duit, pinjaman modal Bank Dunia jadi solusi jangka pendek yang berefek semua warga tidak lepas dari hutan Negara. Buruk rupa dan buruk kebijakan!!!

Siapa yang tidak kenal Nazar (Nazaruddin)? Belakangan ini, dia kayak selebritis yang lagi naik daun. Nazar membawa bangsa ini ke titik dasar kehancuran. Kekayaan Negara di kotak-kotakan untuk kepentingan individu, partai dan kelompok. Dana (uang) itulah yang kemudian diputar kembali untuk membeli suara rakyat ketika pemilu. Termasuk juga menjadi anggaran kampanye yang nilainya ratusan miliar hingga triliunan rupiah.  Kini yang berkuasa di negeri yang ‘kejam’ ini adalah mereka yang mampu memformulasi argumen artifisial. Dibalut pencitraan media massa. Atau elit politik yang mampu meredakan ancaman kekuasaan yang terguncang melalui politik transaksional, yang berakhir dengan adegan suap-menyuap.

Rahim bumi Ibu yang besar ini, dikuras habis-habisan. Fenomena melahirkan para cendikiawan, pemerintahan, negarawan tak bertendensi pamrih. Praktek penggombalan yang dilakukan kolonialisme, imperialisme dan feodalisme sama saja. Isinya gombal yang dilakukan orang pintar berijazah, berkedudukan diatas kursi empuk bernama kekuasaan. Gombalnya ini untuk membodohi masyarakat umum. Atau dengan kata lain, orang pandai kerjaannya menggombalisasi orang bodoh. Seringkali orang pandai mencap mereka bodoh. Jangan salah, orang bodoh seringkali lebih pandai dari orang yang aktif di depan publik. Hmmmm aku teringat lingkungan bahkan pemerintah sering mencap suku Samin adalah orang bodoh. Sebenarnya mereka inilah yang patut kita teladani. Sikap kejujuran, tanpa sekolah, kerja sama, tidak membayar pajak, tidak memakai listrik, petani, tidak beragama (tapi ber-Tuhan) adalah sikap yag perlu dipertahankan dan dilestarikan, pikirku. Negarawan dan cendikiawan yang mengaku sebagai orang pandai, sebenarnya mereka inilah yang bodoh. Huuuuuf sungguh ironis realita penuh gombalisasi.

Keadilan, kejujuran dan tanggungjawab seakan sirna karena kantong pajak dan keuangan negara beralih menjadi kantong pribadi, kantong partai politik, kantong kelompok tertentu. Dari hati yang paling dalam, tulisan ini muncul. Seruku, buat apa ada pemerintah? Kalau warnamu rusak oleh ulahmu sendiri. Guna apa pajak, kalau Yang Esa itu memberikan SDA secara gratis. Ada apa dengan nilai mata uang, kalau uang menjadi ladang koruptor yang menggiurkan.  Guna apa kebijakan, kalau isinya hanya gombalisasi hayalan.

Tidak ada komentar: