Berbicara pajak pastilah sangat rentan dengan istilah wajib pajak.
Aku teringat dengan sebuah kalimat yang tertulis disebuah reklame ruas
jalan itu berbunyi “cerminan orang beriman, membayar pajak tepat
waktunya. Ribet juga pemerintah ini, pakai iman segala seakan agama
masuk bersuarakan bayar pajak. Upsss, apakah ini tugas agama atau
pemerintah? Agar supaya masyarakat lulu dengan perkataan yang tertulis
itu maka ia melegitimasikan agar mulus dan fulus, kayaknya agama jadi
‘tumbal’ di balik manis senyum yang penuh tanda Tanya. Mengapa (?) saya
berpikir, Sang Maha Esa memberikan tanah, air dan udara secara gratis.,
eeh pemerintah mau meminta imbalan dari apa yang diberikan Yang Esa itu
kepada makluk hidup. Kayaknya tak tahu diri yach (!). Pajak tanah wajib
dibayar ke pemerintah. Coba pikir, apakah pemerintah yang membesarkan
pohon durian, mawar, dsb? Nggak-lah. Yang membesarkan jenis buah-buahan,
sayur-mayur, kacang-kacangan dsb adalah tugas dari si tanah. Kalau
bayar pajak, bayarlah ke tanah dengan cara di timbun uang itu ke dalam
tanah bukan di berikan ke pemerintah.
Begitu juga dengan
air. Air diberikan Tuhan secara cuma-Cuma. Eeeh pemerintah dan pengusaha
asing mengambil untung dengan membayar pajak air (PAM). Kemudian untuk
menjaga keseimbangan tubuh agar bersih dan sehat maka harus membeli
minuman botol bersegel (merek) yang telah terkena PPN. Ibuku bilang,
katanya pemerintah kota Manado yang bekerjasama dengan perusahan Belanda
dan PDAM kota Manado akan merealisasikan air minum langsung dari kran
air setiap rumah tanpa di masak (kayak negeri kincir angin, Belanda) di
tahun 2010. Lanjut, ia berkata “sekarang sudah tahun 2011, kalau minum
air dari kran pasti munta.” kenapa ? tanyaku. “coba ngana minum itu air kran yang ba pece (becek) kalo nda malamise (tenggelam) deng munta.”
Jawab ibuku yang kritis juga hehehe., untunglah bisa jalan air dengan
lancar, bagaimana kalau rumahnya jarang air mengalir? Waach itu makin
parah juga. Kekayaan alam dibisniskan menjadi sebuah ‘nilai’ wajib
pajak. Kalau mau bayar pajak air maka uang harus diberikan ke air bukan
diberikan kepada pemerintah! Untung manusia tidak tinggal di dalam air.
Bisa-bisa beban wajib pajak bertambah. Looh jadi ikan, aku dan
pembaca-kan manusia.
Pajak dipergunakan untuk pos-pos
pembangunan daerah, pendidikan, gaji pegawai dsb. Ngombong keadilan di
atas ke-uang-an proyek Negara. Nggak usahlah ada pajak. Aku bukan anti
pajak. Emang, ayahku tergantung gaji PNS-Nya dan proyek jalan trans.
Pikirku, masyarakat nggak usah tergantung pemerintah. Usaha dan kekuatan
sendiri bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Lihat saja, dengan
kekuasaan dan jabatan menjadikannya seorang koruptor kelas kakap yang
cakap ngomong ngaur dan kebohongan publik. Frustasi memang pemerintah
yang ‘banjir’ duit. Kalau itupun ‘kering’ duit, pinjaman modal Bank
Dunia jadi solusi jangka pendek yang berefek semua warga tidak lepas
dari hutan Negara. Buruk rupa dan buruk kebijakan!!!
Siapa
yang tidak kenal Nazar (Nazaruddin)? Belakangan ini, dia kayak
selebritis yang lagi naik daun. Nazar membawa bangsa ini ke titik dasar
kehancuran. Kekayaan Negara di kotak-kotakan untuk kepentingan individu,
partai dan kelompok. Dana (uang) itulah yang kemudian diputar kembali
untuk membeli suara rakyat ketika pemilu. Termasuk juga menjadi anggaran
kampanye yang nilainya ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Kini
yang berkuasa di negeri yang ‘kejam’ ini adalah mereka yang mampu
memformulasi argumen artifisial. Dibalut pencitraan media massa. Atau
elit politik yang mampu meredakan ancaman kekuasaan yang terguncang
melalui politik transaksional, yang berakhir dengan adegan suap-menyuap.
Rahim
bumi Ibu yang besar ini, dikuras habis-habisan. Fenomena melahirkan
para cendikiawan, pemerintahan, negarawan tak bertendensi pamrih.
Praktek penggombalan yang dilakukan kolonialisme, imperialisme dan
feodalisme sama saja. Isinya gombal yang dilakukan orang pintar
berijazah, berkedudukan diatas kursi empuk bernama kekuasaan. Gombalnya
ini untuk membodohi masyarakat umum. Atau dengan kata lain, orang pandai
kerjaannya menggombalisasi orang bodoh. Seringkali orang pandai mencap
mereka bodoh. Jangan salah, orang bodoh seringkali lebih pandai dari
orang yang aktif di depan publik. Hmmmm aku teringat lingkungan bahkan
pemerintah sering mencap suku Samin adalah orang bodoh. Sebenarnya
mereka inilah yang patut kita teladani. Sikap kejujuran, tanpa sekolah,
kerja sama, tidak membayar pajak, tidak memakai listrik, petani, tidak
beragama (tapi ber-Tuhan) adalah sikap yag perlu dipertahankan dan
dilestarikan, pikirku. Negarawan dan cendikiawan yang mengaku sebagai
orang pandai, sebenarnya mereka inilah yang bodoh. Huuuuuf sungguh
ironis realita penuh gombalisasi.
Keadilan, kejujuran dan
tanggungjawab seakan sirna karena kantong pajak dan keuangan negara
beralih menjadi kantong pribadi, kantong partai politik, kantong
kelompok tertentu. Dari hati yang paling dalam, tulisan ini muncul.
Seruku, buat apa ada pemerintah? Kalau warnamu rusak oleh ulahmu
sendiri. Guna apa pajak, kalau Yang Esa itu memberikan SDA secara
gratis. Ada apa dengan nilai mata uang, kalau uang menjadi ladang
koruptor yang menggiurkan. Guna apa kebijakan, kalau isinya hanya
gombalisasi hayalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar