Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Guru

  Apa jadinya kalau tidak ada guru? Nah, guru merupakan tokoh fenomenal yang berjasa dalam kehidupan manusia. Tidak salah jika disebut banyak orang kalau guru itu adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kurang lebih 20 tahun saya didik menjadi murid di bangku sekolah. Kontribusi guru sangat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan pendidikan anak didiknya, termasuk saya.

            Bermain dan cenggeng (suka menangis). Itulah aktivitas dan kebiasaan saya di masa kecil. Belajar dari pengalaman selama duduk di bangku Sekolah Dasar, saya anak perempuan yang suka mengadu kepada kedua kakak laki-laki jika terjadi perkelahian. Suasana pembelaan itulah yang seringkali saya manfaatkan dan seolah-olah dilindungi meskipun salah. Astaga, setelah direnungkan ternyata sikap saya ini merupakan sikap yang tidak patut diteladani dan tidak untuk dipuji. Hematnya, kebiasaan yang tidak ingin saya lakukan kembali.

            Di kelas 1, 2 dan 3 SD saya tergolong siswi yang bodoh. Jangankan menghitung, membaca-pun saya tidak tahu. Meskipun telah melewati masa Taman Kanak-kanak (TK) tetapi tetap saja saya bodoh. Didikan ibu guru tidak saya gubris dalam otak. Mengapa? Karena yang terlintas dipikiran saat itu hanyalah bermain dan datang ke sekolah titik. Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Sejak TK, kedua kakak saya sudah bisa membaca dan menulis. Sebaliknya, saya anak yang bodoh. Pernah sebelum kenaikan kelas 3 SD, saya diancam ibu guru “Nency nda mo nae kelas 3 kalo nda bisa bo baca deng ba rekeng (Nency tidak akan naik kelas 3 jikalau tidak bisa membaca dan menghitung)”. Ancaman ini juga diberitahukan kepada kedua orang tua saya. Akhirnya, mama dan papa memerintahkan kedua kakak untuk menjadi guru saya di rumah.

            Lanjut, dengan keadaan senang hati kakak Tommy dan kakak Arthur saling bergantian mengajar mata pelajaran matematika di rumah. Besok kakak Tommy, lusa kakak Arthur dan seterusnya sampai saya bosan sendiri. Cara mengajar kakak Tommy dan kakak Arthur berbeda substansinya. Waktu menunjukkan pukul 9 malam, kakak Tommy tetap dengan setia mengajar sampai menemukan jawaban. Dia mengajarkan saya untuk memecahkan soal dan menemukan jawaban sendiri. Kemandirian, itulah yang saya petik dari pola pengajarannya. Sebaliknya, kakak Arthur mengajarkan mata pelajaran matematika dengan santai, bahkan sampai saya tertidur. Akhirnya, kakak Arthur yang menemukan hasil dan saya berhasil tidur di meja belajar tanpa dimarahin.  Nah, kedua guru (kakak Tommy dan kakak Arthur) inilah yang mendidik saya dari kebosanan dan kejenuhan belajar menghitung (Matematika) menjadi awal saya menyukai mata pelajaran kotak-katik otak.

          Di kelas 4 SD, saya mengalami perubahan besar. Artinya, saya sudah bisa membaca dan mahir menghitung. Sebaliknya, saya kurang mahir dalam mata pelajaran bahasa. Memang, setiap orang diciptakan Tuhan Allah dengan berbagai talenta. Si A mahir mengarang, Si B mahir menghitung, Si C mahir olahraga dan seterusnya. Tetapi tunggu dulu, Nency yang duduk di bangku SD itu tidak mahir berdoa dan memimpin ibadah. Setiap mata pelajaran agama, saya duduk di belakang, kemudian ganggu teman yang lagi belajar. Suatu ketika, ibu guru agama menunjuk saya memimpin doa sebelum mata pelajaran di mulai, maka cepat-cepatlah saya keluar dari ruangan. Naah, keluar melarikan diri (bahkan bersembunyi) dari tugas yang bernama ‘doa’. Sehingga disetiap penerimaan rapor/ hasil nilai belajar banyak catatan dari ibu guru agama. Jika dipikir-pikir, repot juga hasil raport itu. Hehehe J

          Yesus disebut sebagai guru yang membebaskan manusia. Sosok kemanusiaan Yesus orang Nazaret ini berdimensi futuristik dan humanis. Sebenarnya, Yesus bukan hanya memiliki 12 murid kaum adam itu, tetapi pengikut (baca: murid) Yesus kebanyakan kaum perempuan. Di zaman itu, perempuan tidak masuk dalam hitungan. Jadi tidak mengherankan para Injil yang berkebudayaan patriakhi tersebut hanya memperhitungkan (bahkan mencatat) kedua belas murid Yesus yang berjenis kelamin laki-laki. Yesus yang dalam kemanusiaannya, Yesus yang disebut murid-Nya sebagai guru, dapat ditarik menjadi alat pembebasan menuju pada apa yang dinamakan kesetaraan, keadilan, memanusiakan manusia dan menyebarkan kasih.

           Melalui kebiasaan, dahulu saya mahir menghitung. Sekarang, saya mahir mengarang. Melalui pendidikan, dahulu saya diajarkan ibu guru membaca dan menulis. Sekarang ini, saya membantu ibu guru menyelesaikan tugas akhir karya tulisnya. Akhirnya, guru tidak selamanya menjadi guru dan murid tidak selamanya menjadi murid. Guru bisa menjadi murid dan murid bisa menjadi guru. Kedua-duanya saling membutuhkan dan melengkapi.

Tulisan ini untuk para guru yang telah berkontribusi dalam dunia pendidikan hidupku: terima kasih kepada Tuhan Yesus, kedua orang tuaku, kedua kakakku, para guru dari TK sampai di perguruan tinggi.


Manado, 14 Januari 2012
Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: