Apa jadinya kalau tidak ada guru? Nah, guru merupakan tokoh
fenomenal yang berjasa dalam kehidupan manusia. Tidak salah jika disebut
banyak orang kalau guru itu adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kurang
lebih 20 tahun saya didik menjadi murid di bangku sekolah. Kontribusi
guru sangat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan pendidikan anak
didiknya, termasuk saya.
Bermain dan cenggeng
(suka menangis). Itulah aktivitas dan kebiasaan saya di masa kecil.
Belajar dari pengalaman selama duduk di bangku Sekolah Dasar, saya anak
perempuan yang suka mengadu kepada kedua kakak laki-laki jika terjadi
perkelahian. Suasana pembelaan itulah yang seringkali saya manfaatkan
dan seolah-olah dilindungi meskipun salah. Astaga, setelah direnungkan
ternyata sikap saya ini merupakan sikap yang tidak patut diteladani dan
tidak untuk dipuji. Hematnya, kebiasaan yang tidak ingin saya lakukan
kembali.
Di kelas 1, 2 dan 3 SD saya tergolong
siswi yang bodoh. Jangankan menghitung, membaca-pun saya tidak tahu.
Meskipun telah melewati masa Taman Kanak-kanak (TK) tetapi tetap saja
saya bodoh. Didikan ibu guru tidak saya gubris dalam otak. Mengapa?
Karena yang terlintas dipikiran saat itu hanyalah bermain dan datang ke
sekolah titik. Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Sejak TK, kedua
kakak saya sudah bisa membaca dan menulis. Sebaliknya, saya anak yang
bodoh. Pernah sebelum kenaikan kelas 3 SD, saya diancam ibu guru “Nency nda mo nae kelas 3 kalo nda bisa bo baca deng ba rekeng
(Nency tidak akan naik kelas 3 jikalau tidak bisa membaca dan
menghitung)”. Ancaman ini juga diberitahukan kepada kedua orang tua
saya. Akhirnya, mama dan papa memerintahkan kedua kakak untuk menjadi
guru saya di rumah.
Lanjut, dengan keadaan
senang hati kakak Tommy dan kakak Arthur saling bergantian mengajar mata
pelajaran matematika di rumah. Besok kakak Tommy, lusa kakak Arthur dan
seterusnya sampai saya bosan sendiri. Cara mengajar kakak Tommy dan
kakak Arthur berbeda substansinya. Waktu menunjukkan pukul 9 malam,
kakak Tommy tetap dengan setia mengajar sampai menemukan jawaban. Dia
mengajarkan saya untuk memecahkan soal dan menemukan jawaban sendiri.
Kemandirian, itulah yang saya petik dari pola pengajarannya. Sebaliknya,
kakak Arthur mengajarkan mata pelajaran matematika dengan santai,
bahkan sampai saya tertidur. Akhirnya, kakak Arthur yang menemukan hasil
dan saya berhasil tidur di meja belajar tanpa dimarahin. Nah, kedua
guru (kakak Tommy dan kakak Arthur) inilah yang mendidik saya dari
kebosanan dan kejenuhan belajar menghitung (Matematika) menjadi awal
saya menyukai mata pelajaran kotak-katik otak.
Di kelas 4 SD, saya mengalami perubahan besar. Artinya, saya sudah bisa
membaca dan mahir menghitung. Sebaliknya, saya kurang mahir dalam mata
pelajaran bahasa. Memang, setiap orang diciptakan Tuhan Allah dengan
berbagai talenta. Si A mahir mengarang, Si B mahir menghitung, Si C
mahir olahraga dan seterusnya. Tetapi tunggu dulu, Nency yang duduk di
bangku SD itu tidak mahir berdoa dan memimpin ibadah. Setiap mata
pelajaran agama, saya duduk di belakang, kemudian ganggu teman yang lagi
belajar. Suatu ketika, ibu guru agama menunjuk saya memimpin doa
sebelum mata pelajaran di mulai, maka cepat-cepatlah saya keluar dari
ruangan. Naah, keluar melarikan diri (bahkan bersembunyi) dari tugas
yang bernama ‘doa’. Sehingga disetiap penerimaan rapor/ hasil nilai
belajar banyak catatan dari ibu guru agama. Jika dipikir-pikir, repot
juga hasil raport itu. Hehehe J
Yesus disebut
sebagai guru yang membebaskan manusia. Sosok kemanusiaan Yesus orang
Nazaret ini berdimensi futuristik dan humanis. Sebenarnya, Yesus bukan
hanya memiliki 12 murid kaum adam itu, tetapi pengikut (baca: murid)
Yesus kebanyakan kaum perempuan. Di zaman itu, perempuan tidak masuk
dalam hitungan. Jadi tidak mengherankan para Injil yang berkebudayaan
patriakhi tersebut hanya memperhitungkan (bahkan mencatat) kedua belas
murid Yesus yang berjenis kelamin laki-laki. Yesus yang dalam
kemanusiaannya, Yesus yang disebut murid-Nya sebagai guru, dapat ditarik
menjadi alat pembebasan menuju pada apa yang dinamakan kesetaraan,
keadilan, memanusiakan manusia dan menyebarkan kasih.
Melalui kebiasaan, dahulu saya mahir menghitung. Sekarang, saya mahir
mengarang. Melalui pendidikan, dahulu saya diajarkan ibu guru membaca
dan menulis. Sekarang ini, saya membantu ibu guru menyelesaikan tugas
akhir karya tulisnya. Akhirnya, guru tidak selamanya menjadi guru dan
murid tidak selamanya menjadi murid. Guru bisa menjadi murid dan murid
bisa menjadi guru. Kedua-duanya saling membutuhkan dan melengkapi.
Tulisan
ini untuk para guru yang telah berkontribusi dalam dunia pendidikan
hidupku: terima kasih kepada Tuhan Yesus, kedua orang tuaku, kedua
kakakku, para guru dari TK sampai di perguruan tinggi.
Manado, 14 Januari 2012
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar