Tanganmu yang lembut,
Pemikir yang handal akan nasib perempuan,
Semangat yang terpatri bagi setiap insani,
Cita-cita dibalik bayangan adat dan penguasa.
Itulah sosok bundaku, Maria Walanda-Maramis.
Orang benar bagaikan pohon,
yang ditanam ditepi sungai,
yang mengeluarkan buah pada musimnya
dan daunnya tak pernah layu.
Akarnya makin kokoh. Tapi,
Kepentingan, kekuasaan dan keserakahan merampas hak hidup pohon itu.
Dahulu,
Perempuan bagaikan katak di bawah tempurung,
Terbatas menempuh pendidikan sekolah,
legitimasi adat bahwa perempuan hanya di rumah
dan menunggu dipinang oleh seorang lelaki.
Kesempatan sekolah di pulau Jawa (Batavia) di pagari oleh pemikiran orang tua
yang sempit dan di dukung budaya patriarkhi setempat.
Akhirnya, kurang membebaskan kaum perempuan memilih pendidikan.
Tak dipungkiri lagi,
Transformasi sosial, budaya dan ekonomi bersatu dalam arus globalisasi.
Perempuan di aras panggung bernegara dan bergereja.
Pendidikan Pengarusutamaan gender terus di galakkan pemerintah.
tapi tanpa dukungan pendidikan keluarga semuanya mubasir.
Program hanyalah simbol inilah kami !
Perhatian orang tua menjadikan inilah aku !
Aku yang bebas, bercahaya dan bertanggungjawab sebagai anak perempuan dalam keluarga.
Kepergian bunda menjadi tanggungjawabku meneruskan cita-citanya!
Cinta kasih bunda kepada anak perempuan berkobar di hati ini.
Bunda masuk dalam roh dan semangatku,
di sela nyanyian merdu menempu pendidikan
meskipun tantangan silih berganti menerpa hidup ini.
Setiap kaki melangkah,
Setiap pikiran berimajinasi,
Setiap kata diuntaikan dalam hati dan tulisan,
Setiap perbuatan menggarisbawahi
Inilah aku, anak bungsumu !
Air mata kepedihan membasahi tanah Minahasa,
Bundaku mulai tak dikenal generasi penerus.
Semangat dan cita-citamu sulit ditemui dalam buku sejarah sekolah.
bundaku menjadi kaku dalam patung peringatan jasa pahlawan nasional.
Sedia aku...,
Jasamu tak lagi dikenal dan mulai pudar dalam gersangnya
suara hati setiap insani yang memahat perjuangan
demi keadilan, persamaan hak dan kebebasan.
Goresan hatiku ini,
menginspirasikan bundaku berani merobohkan tembok dan melawan arus kehidupan.
Mengapa demikian?
Demi perempuan yang diberdayakan menjadi manusia seutuhnya.
Kontribusi bunda memotivasi penulis dan pembaca,
perempuan Minahasa, mampu menjawab hiruk-pikuk zaman secara kritis dan,
aku bisa bersaing dengan teman sebaya di "Indonesia mini"
Tulisan ini ditujukan kepada siapa saja, di segala tempat dan peradaban zaman mengenang
Karya dan cita-cita Ibu Maria Walanda-Maramis
Salatiga, 11 Oktober 2010
Pukul 22:05 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar