Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Sabtu, 29 Desember 2012

Pentingkah Marga? (Bagian 2)



            Bagi Tou Minahasa, marga sangat melekat dalam dirinya. Dengan adanya marga, ia mudah dikenal (akte kelahiran, KTP), terkenal (semasa berkarya) sampai dikenang zaman (nisan pusara). Marga selalu berpusat pada kaum Toar (keturunan Laki-laki). Memperoleh keturunan anak laki-laki dari rahim ibu menjadikan ia terus berkibar di atas udara. Tanpa disadari patrilinear telah menjadi ‘budaya’, yang sebenarnya bukanlah budaya asli Minahasa.

Awalnya, Minahasa tidak mengenal marga. Marga adalah produk bangsa Eropa. Lama- kelamaan, produk ini diterima oleh bangsa Minahasa. Disadari, dilakukan dan mendapat legitimiasi agama maka marga pun di terima. “Bahasa Ibu” menjadikan produk ini lebih kontekstual, lebih banyak peminat. Ditambah lagi agama Kristen di dalam Kitab Sucinya jelas-jelas menceritakan silsilah (marga) yang berpusat pada laki-laki (Misalnya silsilah Yesus yang tidak ada hubungannya dengan Yusuf, ayahnya! Mengingat Yesus lahir bukan dari hubungan intim antara Bunda Maria dan Yusuf, melainkan Maria mengandung dari pekerjaan Roh Kudus. Nah tooh, mengapa Penginjil Matius capek-capek menulis silsilah Yesus yang tidak ada keterkaitan dengan ayahnya sendiri (?). Jelas, budaya Yahudi yang dijunjung tinggi).

Minahasa, ooh Minahasa, sudah berapa abad lamanya engkau mengalami pergeseran nilai melalui sikap egaliter-mu. Mengapa engkau tidak eksis dengan kesetaraan marga? Kemudian, dimanakah sikap kritismu melihat fenomena marga yang telah ‘membatu’? aku mohon, janganlah engkau membisu di tengah derasnya air mengalir? Dimanakah semangatmu hai bangsa Minahasa, bisakah kita lawan arus tanpa lelah secara bersama-sama?

Aku sadar, perjuangan kecilku tidaklah mudah. Kok bisa? Kurang lebih dua tahun belakangan ini, aku mengalami pencerahan. Pencerahan yang di dapat di bangku kuliah PPsMSA Salatiga. Aku adalah anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga yang kurang disenangi papa karena memakai marga mama disetiap akhir tulisanku. Namun, disetiap ijasah, sertifikat, transkrip nilai sampai dengan KTP menggaris bawahi bahwa aku adalah salah seorang anak dari keturunan papa tanpa marga mama.

Gejolak hidup makin membara kala aku telah masuk dalam bahtera rumah tangga. Gejolak perubahan status. Hampir dua bulan, saya telah menjadi istri atau nama kerennya ‘mantan pacar’ dari sang suami. Paradigma masyarakat dan gereja mulai berubah. Aku mulai diperhitungkan dan diakui. Tanpa disadari, pengakuan eksistensi hidup kami diterima oleh lingkungan.

Masa pacaran adalah masa pengenalan. Memang benar, pengenalan ini tidaklah disia-siakan. Aku mulai memaparkan ide pengenalan persamaan hak marga. Kemudian, aku mencoba mendengar kilas balik pemikirannya yang mendukung buah-buah ide ini. Mencapai kesepakatan bersama maka ia melamarku menjadi tunangannya. Lanjut, aku mencoba memaparkan kembali budaya salah kaprah, dan mencoba menkonstruksikan lagi budaya Minahasa yang lebih setara, tanpa ada yang dirugikan.

Hasilnya, Aku adalah istri yang bernama lengkap Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka.

Status penamaan telah berubah. Seminggu setelah pernikahan, aku memohon kepada pegawai gereja untuk menuliskan namaku sesuai pemahaman dan konsensus bersama suami. 11 November, aku memimpin ibadah di gedung gereja. Seperti biasa, jadwal khadim tertera di warta jemaat, dan disebarkan. Apa yang terjadi waktu itu? Sementara syamas kolom 6 membacakan warta jemaat, situasi langsung ribut. Ada yang berbisik-bisik, ada yang bepikir binggung dan ada yang memahami salah penulisan nama. Hanyalah dengan sebuah penamaan marga, keributan terjadi di dalam gedung gereja. Pikirku, inilah kesempatan baik untuk menjelaskan kepada umat, maksud penamaan tersebut!.

“Memang penamaan, Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka adalah tulisan yang benar tertera di warta jemaat. Aku memohon kepada pegawai gereja untuk dituliskan demikian. Adapun pelbagai alasan, mengapa aku memakai nama itu? Pertama, jika ditujukan kepada diriku, maka aku disebut Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka. Namun penamaan keluarga disebut Moningka-Heydemans. Inilah adalah buah hasil konsensus bersama suami. Kedua, sebutan nama ini adalah unik (hanya beberapa istri yang menyadari lalu memakainya) dan bahkan bertentangan dengan budaya salah kaprah yang selama ini dipakai oleh para Lumimuut (para istri) di tanah Minahasa. Ketiga, aku tidak menginginkan jikalau marga Heydemans dibelakang marga suami. Misalnya dituliskan Ibu N. A.  Moningka-Heydemans; Dan lebih mengiriskan hati jika hanya di singkat. Misalnya ditulis Ibu N. A. Moningka-H. Disini aku tegaskan bahwa marga Heydemans tidak mau dinomor duakan. Aku melakukan ini hanya sedikit dari perjuangan gender di dalam keluarga dan dilanjutkan dalam aras gereja.” Demikian seruanku di atas mimbar itu, sebelum nyanyian penutup dan berkat.  

Aku menyadari ada pro-kontra jemaat dari keputusan penamaan marga. Keluargaku (khususnya papa) tidaklah kaget lagi dan marah dengan penamaan margaku. Dari susah di terima, akhirnya mudah diterima karena so biasa (sudah biasa). Itulah pengikisan perlahan-lahan budaya yang mulai aku bangun dari dalam keluargaku, dengan harapan juang bisa masuk ke aras lingkungan sosial dan gereja. Menyadari bahwa sikap kritis dan perjuangan ini tidaklah mudah. Hanya meyakinkan kepada siapa saja, (baik) laki-laki maupun perempuan yang peduli akan kesetaraan, yang ingin melakukan perubahan tanpa pilih kasih, bersama-sama membangun kehidupan yang adil, bahagia dan penuh kasih.

Lalu bagaimana dengan penamaan yang bertuliskan Ibu N. A. Heydemans (Nyonya Moningka) ? Aku rasa tidaklah tepat. Adapun alasanku: Pertama, terjadi penggandaan gelar. Sudah dituliskan ibu yang menunjuk kepada diriku sendiri, ditulis pula nyonya dari marga suami. Kayak dipisahkan dengan dua gelar yang berbeda. Kedua, ada tuan berarti ada nyonya. Aku tidak mau menjadi nyonya pembesar dari tuan Moningka yang disanjung tinggi oleh masyarakat atau gereja. Cukup disebut lebih halus pemaknaannya, yakni ibu.

Jikalau menyebut Ibu N. A. Heydemans (Nyonya Moningka) tidaklah tepat dengan penamaan gelar marga tersebut, beda pemahaman dengan sejawat perempuan yang berkecimpung di gereja. Bagi mereka, penggandaan gelar (Ibu dan Nyonya) menunjukkan budaya yang gampang diterima jemaat. Tidak menimbulkan konflik. Kemudian, status nyonya menunjukkan bahwa mereka menyayangi, mencintai suami mereka yang adalah kepala keluarga.

Jika mereka mencintai, menyayangi suami dengan pemakaian Nyonya (diikuti marga suami), lalu pertanyaan kritisku, bagaimana dengan identitas marga suami? apakah mereka juga akan menyebutkan diri Tuan lalu diikuti marga istri? Aku rasa tidak demikian. Berarti pemahaman tersebut tidaklah logis! Itulah pernyataan pasrah, iko-iko (ikut-ikut) arus tanpa pendirian. Pemahaman bahwa suami adalah kepala keluarga menunjukkan ada hirarki di dalam keluarga, meskipun itu ada dituliskan dalam surat suci Paulus. Sebaiknya, (baik) suami maupun istri adalah keluarga itu sendiri. Tidak ada kepala, tidak ada kaki, tidak ada badan maupun tidak ada ekor. Semuanya adalah sama, setara, pembagian tugas rumah secara bersama-sama.

Aku bahagia bisa mendapatkan suami yang berpikir feminis, terbuka, bisa diajak diskusi sehingga menghasilkan konsensus, komitmen dan melaksanakan pembagian tugas domestik bersama-sama. Keluarga besarku telah menerima penamaan marga dalam identitas diriku (kecuali KTP). “Tinggal bagaimana meyakinkan lingkungan sosial dan gereja setempat. Memang tugas rumah yang cukup berat! Namun aku harus bergerak maju.” Pikir optimis realistis-ku.

Entah kapan terjadi tranformasi marga bagi kaum Lumimuut-Toar di tanah Minahasa ini? ya entahlah, roda waktu yang akan menjawabnya. Seperti biasa, bagian kedua rajutanku ini mau membuka cakrawala kritis, melanjutkan hidup yang lebih setara, merdeka, bebas bertanggungjawab, bahkan adil yang dimulai dari dalam keluarga kita masing-masing.

Dengan penuh pengharapan, ada sepenggal tulisan hati dan tarian jiwa di hidup-ku maupun dihidup-mu,  yang terus berlanjut maju, mundur, dan ataupun berputar mengikuti irama hidup yang saling menghidupkan.


Manado, 29 Desember 2012
17:00
Nency A Heydemans-Moningka

Rabu, 19 Desember 2012

Iman Perempuan Pendarahan: Pembebasan dan Transformasi Hidup




Dari ratusan perempuan di tanah Lumimuut-Toar ini, aku mendapat kesempatan dari PERUATI Minahasa mengikuti Workshop Membaca Alkitab dengan Mata Baru (MAdMB). Kesempatan mengikuti Workshop tidak aku sia-siakan. Toraja Utara, Tangmentoe menjadi nyonya rumah. Hari itu, tiga November aku menginjakan kaki di kota dingin yang kental budaya Toraja.  Dari dua puluh tujuh peserta PERUATI di bagian Timur, enam orang dari AWRC dan satu staf  PERUATI mengambil bagian dalam materi, diskusi dan sharing pergumulan bersama, yang memakan waktu enam hari lamanya. Kami mencoba mengungkapkan kebenaran, penderitaan, kekerasan, alienasi, bercermin dari pengalaman perempuan yang dimarginalkan (baik) di rumah, struktur gereja, adat dan agama. Sama seperti tiga puluh empat perempuan yang mengalami kontruksi self,  begitu pula dengan seorang perempuan yang mengalami pendarahan. Secara bersama-sama, kami mencoba mengungkapkan kebenaran  penderitaan hidup.


Mengapa kita perlu perjuangan? Bagaimana aku (bahkan kalian) bisa mengidentifikasi konstruksi self dalam gerak tari yang membebaskan? Apakah kita bisa menuju pada transformasi hidup? Untuk menjawab pelbagai pertanyaan yang sarat dengan refleksi teologis kritis, maka simak dulu kisah saya di bawah ini.


            Siapakah saya? Saya, seorang perempuan dewasa yang menderita pendarahan. Derita memang jika saya katakan bahwa  pendarahan memakan waktu dua belas tahun lamanya.  Pasti banyak orang tidak mengenal saya. Memang dalam cerita injil di atas segala Injil, nama saya tidak disebutkan. Bisa jadi, saya tidak diperhitungkan; kontribusi kebenaran eksistensi hidup saya diabaikan. Jangankan nama saya, keluarga saya pun tidak dituliskan dengan jelas. Eksistensi saya dalam cerita ini sangat minim. Tiba-tiba cerita saya masuk bersamaan dengan cerita Yairus dan anak perempuannya. Bagi penulis injil di atas segala Injil, saya adalah nobody. dan Yairus adalah top leader.  Akan tetapi bagi saya, aku adalah perempuan yang sedang mengalami kontruksi, ingin berubah dan mengalami pembebasan dari kehidupan yang dimarginalkan.
           
            Sebelum mengalami sakit pendarahan, hidup saya penuh kebahagiaan. Saya hidup dalam keluarga sederhana. Memiliki ayah, ibu, kakak, adik bahkan suami. Hidup bersama orang yang mencintai dan dicintai memang sangat membahagiakan. Awal menikah, suami sangat sayang dan penuh pengertian. Kemudian, ia berkomitmen untuk setia mendampingi saya sampai akhir hidup kami. Apa yang didapat dengan namanya kesetiaan (?), ternyata hanyalah khayalan yang memilukan hati. Memang benar, saya hidup dalam realitas pergaulan sosial.  Banyak teman perempuan, tetangga yang telah dianggap sebagai saudara sendiri. Kami sering jalan-jalan, ngumpul bareng dan hidup dalam persekutuan jemaat. Bisa dipikirkan, hidup itu seperti bunga mawar putih yang sedang mekar di atas tangkai hijau, siap dipanen.

Kebahagiaan menjadi gugur;  musim pun berganti. Sejak penyakit pendarahaan merampas kebahagiaanku, menggrogoti tubuh ini; tetesan demi tetesan mengalir, mengalir dan mengalir dari tubuhku yang lemah, tak berdaya. Pelbagai macam obat tradisional sampai pengobatan tabib sudah saya usahakan. Tabungan dari hasil keringat, habis sia-sia. Rumah, tanah, keledai, di jual demi kesembuhan sakit ini. Alhasil, penyakit ini tidak berhasil disembuhkan. Satu persatu, keluarga meninggalkan saya. Melihat kondisi tubuh saya makin tak berdaya, makin parah, sang suami tak sanggup membiayai pengobatan yang ‘mengiris dompet’. Elok parasku, indah tubuhku seakan berputar seratus delapan puluh derajat, menjadi keriput dan ke-kurus-an berbau.  Dan akhirnya tibalah ia meninggalkanku, seorang diri. Perih rasa ini. Ingin curhat (curahan hati) penderitaan dan pergumulan hidup bersama teman sebaya perempuan, tetapi tak ada yang mau mendekat . Keluarga, tetangga, sahabat perlahan-lahan meninggalkanku. Saya teralokasi. Semua dibatasi. Semua menjauhi. Semua meninggalkanku. Saya hanya bisa merasakan kisah pilu ini dari keterbatasan hati nurani yang telah hancur.

Tak ada yang peduli lagi, tak ada yang mau menolong lagi bahkan menoleh ke arah ku pun tak ada. Hanya diri ini yang memahami deritaku. Komunitas memandangku seperti orang gila, yang sering berbicara sendiri. Sebenarnya saya tidak gila. Hanya saja, komunitas memutuskan komunikasi bersamaku. Jika diingat, tidak ada satupun yang mau menerima penderitaan dan penyakitku. Benar sekali bahwa hidup sendiri digubuk tua, berbicara sendiri seperti orang gila, jauh dari keramaian kota seakan mengisahkan hidupku teralienasi di tanah sendiri, tanah Ibu Pertiwi.  

            Semua orang menjauhi hidup saya. Bagi masyarakat Yahudi, pendarahan dipandang najis, penyakit, kotor dan jika sudah menahun maka dianggap kena kutukan. Perspektif  ini membuat diriku terpojok menjadi subordinasi. Semakin terpojok menjadikan saya hidup dalam kegelapan-kemandirian. Setiap hari saya berjalan seorang diri. Tak memandang hujan dan ataupun panas. Mencari sesuap makanan dari belas kasihan orang lain. Pernah suatu hari saya tidak makan. Pendarahan ini kambuh lagi. Tak kuat menahan derita. Saya hanya bisa pasrah di atas bekas-bekas sisa kain sampah. Terkapah dan bangkit lagi dari tumpukan ‘penderitaan’ ini. Selain TUHAN, hanya diri saya yang tahu benar kesusahan setiap hari. Memang, berbicara kesusahan seakan air mata mengalir tak habis-habisnya. Sudah berapa banyak air yang mengalir dalam tubuhku ini (?). Saya tak tahu. Yang pasti, setiap air (mata dan ataupun darah) yang mengalir menunjukkan betapa menderitanya hidup saya, berjuang sebatang karah. Tanpa kasih sayang, tanpa kepedulian dan lebih parah lagi, tanpa kemananusiaan.

Eksistensi saya ‘hilang’ di depan publik. Nama baik tercoreng, apalah artinya sebuah nama jika zaman menelanku (?).  Ada kerinduan untuk bersekutu namun apa boleh buat, saya tidak diperbolehkan hadir dalam Sinagoge. Makin derita lagi, jika bertemu keluarga di tepi jalan. Dari kejauhan dua puluh meter, mereka mengeriaki saya untuk kembali ke gubuk tua itu, “jangan keluar, pulanglah!” ucap kasar mereka. Sungguh, saya teralienasi (baik) dalam keluarga maupun masyarakat. Dan terjatuh di bawah tumpukkan segitiga kecil kekerasan. Streotip yang menjerumuskanku masuk dalam lingkaran setan. Lingkaran kenajisan mereka, bukan saya!.  Saya tidak najis. “Saya hanya ingin bertahan hidup dengan pengharapan bahkan pembebasan baru”, pikir pemulihan semangat hidupku, sambil menahan tangis.

Kebisuan malam menenggelamkan mimpi buruk menahun. Mulut membisu, seakan tertutup rapat dibalik kain kusam kemerah-merahan. Dibalik kain robek itu, saya mencoba mengintip pembicaraan banyak orang tentang sosok Yesus. Siapakah Yesus? Dia adalah tabib di atas segala tabib; Anak Allah; Penyelamat dan Pembebas. Mendengar pembicaraan mereka yang tidak jauh dari kumuh gubuk saya itu, maka saya mengambil keputusan untuk bertemu dengan-Nya, siapa tahu Yesus mau menyembuhkanku; siapa tahu Yesus mau mendengarkan kelu-kesahku. “Aaah.., saya harus keluar dari gubuk ini”, Pikir optimisku.

Siang itu, terlihat banyak pemuka agama, masyarakat dan para muzafir menunggu kedatangan Yesus.  Ketika Yesus muncul dibalik perahu ditepi danau itu, maka banyak orang berbondong-bondong mengikuti dan mendekati-Nya.  Dari kejahuan, sang pemuka agama Yairus namanya, memohon sambil tersungkur agar Yesus pergi menyembuhkan anaknya yang semantara sakit di rumah. Terlihat Yesus mengikuti langkah kakinya.  Banyak orang mengikuti Yesus.  Ada banyak orang menjamah-Nya. Dan pada saat yang sama, saya datang dari arah belakang lalu menjamah jubah-Nya. Strategi ini dibuat agar supaya tidak ada orang yang mengetahui kehadiran saya. Kesempatan dalam sebuah kesempitan untuk bertemu dengan Yesus. 

Apa yang diketahui Yesus? Menurut cerita Injil Markus, Yesus merasa ada tenaga yang keluar dari tubuh-Nya.  Kemudian, Ia bersi keras ingin mengetahui siapa yang menyentuh jubah-Nya. Dari perasaan gunda gulana-Nya, ternyata ada sesuatu yang tidak beres di daerah ini. Ada seseorang yang ingin bangkit dari keterpurukan. Ia bertanya di depan banyak orang, “siapakah yang menjamah jubah-Ku?”. Murid-murid-Nya tak habis pikir akan pertanyaan Yesus di depan banyak orang yang telah menyentuh jubah-Nya. Ribut, berdesak-desakan berubah menjadi tegang seakan membisu. Semua saling berhadapan, aneh dan terasa binggung penuh pertanyaan.

Sejauh pertanyaan Yesus memunculkan kebisuan di tengah masyarakat, maka saya dapat merasakan bahwa pertanyaan itu ditujukkan pada diri saya. Mengetahui apa yang telah terjadi dalam tubuh saya ini, maka inilah penampilan pertama kali saya di depan publik.  Tertatih langkah ini, gemetar tubuh ini, pucat merias diwajah ini mengisyaratkan sayal-ah yang dicari Yesus.  Tiba-tiba kaki saya tersunggur di depan Yesus. Saya merasa bersalah. Sebagai perempuan yang menderita pendarahan, telah menyentuh jubah Yesus yang suci, orang Yahudi, yang dikagumi dan dianggap Guru itu. Namun saya tidak dimarah oleh Yesus. Mengapa demikian? Karena Yesus memberikan kesempatan bagi saya untuk berbicara di depan banyak orang akan kebenaran penderitaan yang saya alami kurang lebih dua belas tahun. Yesus mau mendengar pergumulan hidupku. Iya benar, Yesus berempati.
Adapun kalimat penguatan-Nya yang membuat saya menjadi manusia seutuhnya “Anakku, imanmu telah menyembuhkanmu.” Kalimat yang selalu saya ceritakan turun temurun kepada anak-cucu. Kalimat ini membuktikan bahwa saya diberikan hidup baru yang selama ini telah sirna. Yesus memberikan jalan agar saya bisa bergabung lagi dengan komunitas setempat. Pengakuan diri Yesus kepada saya menjadikan hidupku tidak lagi dikucilkan, tidak dimarginalkan. Iman saya dalam diri saya yang telah menumbukan rasa percaya diri untuk tampil mengungkapkan kebenaran penderitaan di depan Yesus.

Horee., saya telah menemukan jati diri yang telah lama di gilas waktu. Saya menjadi percaya diri. Saya menjadi perempuan yang bebas dari streotip dan kekerasan. Cukup sudah,  semua pemuka agama akan khotbahnya yang mengucilkan diriku; cukup sudah, semua orang yang membatasi ruang gerak hidupku; cukup sudah,  semua keluarga yang meninggalkan dan tidak menerima tubuhku yang rapuh. Sekarang ini, yaaaa, hari ini saya telah mengambil keputusan, komitmen menjadi perempuan yang merdeka. Merdeka dari putusnya rantai kebisuan yang selama ini menyiksaku. Yesus, menjadikan hidup saya lebih berarti. Yesus memberikan harapan, pembebasan dan transformasi bagi hidup saya.

Siapakah Yairus? Menurut struktur, ia adalah kepala Sinagoge. Lalu apa tugasnya? Selain berkhotbah, ia melakukan tugas panggilannya sebagai nabi, bersaksi, memberi teladan dan melayani. Apakah tugas pelayanannya berjalan dengan baik? Menurut sorot mataku, ia telah mengabaikan tugasnya. Ia tidak memperhatikan posisi dan kedudukan serta penderitaan saya. Hukum TUHAN dijadikan para pemuka agama sebagai peraturan yang tidak membebaskan dan tidak memberdayakan. Saya korbannya! Saya tidak diberi pendampingan pastoral. Saya diberikan label, sampah masyarakat yang perlu dikucilkan. Sangat ironi memang.

Tahukah kau bahwa Yairus sangat kecewa dengan perbuatan Yesus? bahkan ia mulai gelisa kalau nanti anaknya akan mati. Terlihat Yairus berdiri tanpa rasa percaya diri. Ia kuatir bahwa Yesus hanya menaruh perhatian kepada saya. Perbincangan saya bersama Yesus di depan publik memakan waktu satu jam. Kemudian, perjalanan kaki menuju rumahnya memakan waktu setengah jam. Sehingga benar firasat sebagai seorang ayah bahwa anaknya telah mati.

Ketika Yesus sampai di depan rumah, terlihat banyak orang menangis.  Ada yang histeris berteriak, ada yang histeris menangis, ada yang membawakan alunan lagu sambil terharu. Terasa ada yang meninggal dunia. Air mata terlanjur tumpah, basahi tanah menjadi darah, di payungi duka kelabu. Yairus terlihat galau karena anak perempuannya yang berumur dua belas tahun telah meninggal dunia. Yesus berkata “jangan takut, percaya saja….” Perkataan Yesus mencuat kala Yairus tidak percaya diri lagi. Hilanglah harapan kepala Sinagoge itu.

Kala redup harapan itu, Yesus memberikan penguatan bahwa anaknya tidak mati melainkan tidur. Semua orang menertawakan perkataan-Nya. Yesus memegang tangan anak itu dan berkata “talita kum” yang berarti hai anak, Aku berkata kepadamu , bangunlah!. Ternyata, posisi saya dan anak perempuan Yairus adalah sama. Sama dimana Yesus menyapa kami sebagai anak. Tak ada beda antara kaya dan miskin. Tak ada beda antara Yahudi dan non Yahudi. Tak ada beda antara putih dan hitam. Semuanya sama di hadapan Yesus. Inilah jalan keselamatan yang diberikan-Nya.

Apa yang terjadi dua belas tahun kemudian di antara saya, Yairus dan anak perempuan Yairus? Kami pernah bertemu di rumah kopi. Nuansa kebetulan itu mengantarkan kami menceritakan pengalaman yang telah membebaskan dan mengubah hidup kami. Cerita ini didengar seluruh pengunjung rumah kopi tersebut. Semua tertakjub. Kami saling menghidupkan cerita itu dan berbagi pengalaman. Cerita ini tersiar di mana-mana.

Tiba-tiba saya menjadi bintang selebritis. Eksistensi saya diakui masyarakat, keluarga dan agama. Saat ini, saya telah menjadi perempuan yang mandiri, berkarier dan memiliki keluarga kecil. Saya seakan menari di atas panggung kehidupan. Saya mengajak kita semua menari di panggung bulat besar ini, tanpa sandiwara. Menari, menari dan menari bersama menuju pada pembebasan yang memanusiakan manusia.


Saya menyadari bahwa seluruh kebenaran kisah yang menyakitkan, yang menjengkelkan tidak ditulis oleh penginjil Markus. Bagitu juga kisah Lokakarya Membaca Alkitab dengan Mata Baru (MAdMB) tidak bisa aku tulis semua. Hanya secuil dari pergumulan bersama diangkat dalam lokakarya ini. Hanya salah satu materi Lokakarya MAdMB yang bisa aku rajut di sini. Memang tidak di tulis dalam media massa, namun aku mencoba merakitnya dalam tulisan ini. Dipublikasikan di jejaring sosial, siapa tahu bisa dikenang, berguna, menginspirasi anak-cucu, dan pembaca.



(Cerita ini aku ramu kembali berdasarkan Markus 5:21-43)


Salam Basodara

Manado, 19 Desember 2012
Nency A Heydemans Moningka
15:44