Mengapa saya bernama Nency?
Mengapa saya anak bungsu dari tiga bersaudara?
Mengapa saya menempuh pendidikan teologi? dan,
Mengapa saya lebih enjoy menulis daripada berkhotbah?
Biasanya, setiap nama yang diberikan orang tua terkandung banyak makna
dan harapan keberhasilan kelak anak tersebut. Nency bukan sebutan
panggilan perempuan orang Minahasa (bnd. nama Keke, Nona, dll.). Bagi
orang tuaku, nama Nency terinspirasi dari seorang tokoh pejuang
perempuan ibu Negara Amerika Serikat, Nancy Reagen. Nama Nency popular
di tahun 1980-an. Harapan orang tua, saya bisa menjadi tokoh pejuang
perempuan di Negeri Minahasa. Sampai sejauh ini, saya mensyukuri
pemberian nama Nency dalam diri ini. “Apa yang Nency kerjakan sekarang?”
“Ya, kita lagi ba tulis (saya lagi menulis)”, sahutku kepada mama. Itulah alasan meng’iya’kan nama saya, Nency! J
Seandainya orang tua memberikan nama Hawa kepada saya, besar
kemungkinan saya sering dituding sebagai penyebab manusia jatuh ke dalam
dosa. Lanjut, saya belum menemui seseorang yang bernama Hawa.
Kemungkinan para orang tua tidak tertarik akan nama Hawa dan akan
membawa dampak negatif bagi pertumbuhan anak itu. Sebaliknya, anggota
jemaat kaum perempuan (Kristen), banyak ditemui bernama Maria, Ester,
Sara dll.
Saya anak bungsu dari tiga bersaudara.
Kakak tertua, Tommy Stevie Heydemans, ST. lahir di Amurang, Sulawesi
Utara, 25 April 1979. Kakak kedua, Arthur Jebbie Heydemans, ST. lahir di
Manado, Sulawesi Utara, 17 November 1981. Saya bersama kedua saudara
laki-laki berasal dari sperma Jacob Heydemans dan mengalami pembuahan
dalam rahim Adelin Maramis. Inilah keluarga besar kami, keluarga Heydemans-Maramis yang berdomisili di Batu Kota Lingkungan III, Kec. Malalayang, Manado.
Saya mengalami proses pendidikan formal kurang lebih 20 tahun. Cukup
lama belajar di bangku sekolah, menjadikan saya lebih mengenal
kemajemukan. Pada tahun 1991 (umur 4 tahun) masuk TK Impres Manado.
Setahun kemudian, saya masuk SDN 113 Manado dan menamatkan diri ditahun
1998. Pada tahun 1998-2001, masa remaja masa pergaulan bersama banyak
teman di SMP Negeri 4 Manado. Tahun 2001-2004, mama mengantar saya ke
SMA Negeri 9 Manado, teringat jelas inilah masa peralihan dari remaja ke
pemudi menjadikan saya lebih bebas mencari identitas diri. Terkenang
masa transisi, saya harus berurusan dengan guru BK (Bimbingan
Kerohanian), keluar-masuk masalah anak muda-mudi yang hampir saja
dikeluarkan dari sekolah karena sering meremehkan (pandang enteng) dan nakal (begal).
Saya orangnya keras kepala, cara berpakaian bebas, dan pergaulan yang
suka memilih teman. Saya tidak mau di atur oleh aturan dan seringkali
saya menjadi pusat perhatian dengan pakaian seragam yang agak minim.
Saya juga tidak mau terjun dalam bidang PELSIS (Pelayanan siswa) dan
OSIS. Akhirnya, tidak ada kegiatan ekstra kurikuler yang saya ikuti.
Persetan, semua kegiatan ekstra kurikuler yang akhirnya tidak mendidik
pribadi saya. Pikirku, kala itu. Anehnya, saya selalu ditempatkan di
kelas terpilih, persaingan ketat para juara kelas dan duduk di paling
depan. Meskipun saya agak ‘liar’ di SMA, tetapi prestasi tidak jatuh.
Malah, beberapa piagam prestasi juara kelas di bawah pulang.
Saya hobi mata pelajaran eksata (seperti matematika, fisika dan Kimia)
berkat ‘jurus’ kedua kakak laki-laki yang bisa dikata mahir di bidang
itu. Saya menggurui kakak Tommy dan kakak Arthur. Mata pelajaran yang
membosankan adalah bahasa. Apakah itu bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
atau Bahasa Jepang, pastinya sangat membosankan dibenakku. Kelemahan
dalam bahasa akhirnya mengantarkanku ke fakultas yang menggunakan banyak
bahasa (seperti bahasa Yunani bahasa Ibrani dan bahasa Inggris). Di
akhir kelas 12 (atau kelas III SMA) saya bercita-cita menjadi seorang
insinyur Teknik Sipil. Tetapi, saya tidak diberi kesempatan oleh kakak
Tommy. Mengingat kami keluarga yang bergelut di ‘jalan raya’. Banyak
ladang yang harus dikerjakan, cetus kakak Tommy. Akhirnya, saya
memutuskan memilih ladang Tuhan. Sikap dan keputusanku ini mengagetkan
teman SMA. Sikap yang berputar 180 derajat, dari ‘liar’ menjadi lurus.
Dari ‘kacau’ menjadi ‘alim (?)’
Peran orang tua
tidak hanya sebatas pendidikan SMA, mama dan papa mengantar saya ke
Tomohon, tepatnya di Fakultas Teologi UKIT (Universitas Kristen
Indonesia di Tomohon) YPTK di tahun 2004. Saya mengambil jurusan
Kependetaan, konsentrasi: Agama dan Kebudayaan. Ketidaksukaan akan
bahasa mewajibkan diriku melatih diri bahkan membiasakan diri untuk
enjoy dengan bahasa ‘alien’. Dengan bahasa saya mulai mengasa otak dari
menghitung menjadi rajutan kata demi kata, yakni mengarang dan
berimajinasi. Kala praktekum di jemaat tiba, saya mulai resa untuk
tampil di atas mimbar dengan perkataan firman Tuhan. Astaga, saya
memulai segala sesuatu dari nihil, kaki tertati-tati dengan banyak
kesalahan. Semoga kesalahan ini menjadikan saya lebih banyak belajar.
Kemudian, perjumpaan dan pertukaran mahasiswa/i lintas agama
(UKIT-STAIN Manado-STF Seminari Pineleng) membuka cakrawala berpikir dan
bertindak. Saya dinyatakan ‘tidak layak’ lagi mengikuti perkuliahan
Fak.Teologi UKIT di tahun 2009. Ketidaklayakan itu disebabkan saya
meraih Sarjana Teologi (S.Teol) dengan judul skripsi “Kajian Teologis
Misi Penciptaan Terhadap Pemahaman Pemanasan Global di Jemaat GMIM Bukit
Karmel Batu Kota Wilayah Manado Barat Daya”. Ketidaklayakan inilah
mengantarkan saya merantau dan melanjutkan Strata Dua di Fak. Sosiologi
Agama, UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga, 2009.
Perjumpaan etnis, budaya, bahasa dan agama menunjukkan kepelbagaian
warna di bumi Pancasila. Di bulan Januari 2011, Saya ‘diberhentikan’
kuliah secara terhormat oleh lembaga UKSW dengan judul tesis
“Kontribusi Maria Walanda-Maramis dalam Bidang Pendidikan Nonformal
Perempuan Minahasa”. Terhormat meraih Master Sains (M.Si). Saya
berhenti kuliah bukan berarti saya berhenti belajar. Belajar merupakan
proses bagi saya menempu dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan di ladang
Tuhan (Pancasila, Sila I).
Menurutku, menulis buku
renungan (dan atau buku teologi) mendidik kita untuk berkontribusi
berteori dan berteologi atau melakukan teologi. Gemar mengoleksi buku,
membaca buku, merefleksikan, mencoba menulis dan menghasilkan karya
ilmiah merupakan sebuah sumbangsih yang sangat penting bagi perkembangan
iman jemaat/umat. Hikmat yang diberikan Tuhan harus dipergunakan dengan
baik dan benar. Buku-buku menjadi pendidik seseorang dalam menerima
pendidikan. Selain buku, pengaruh pendidikan sejumlah orang seperti
orang tua mempengaruhi perkembangan minat membaca buku.
Jarang ditemui para pendeta membaca buku dan meformulasikan buku
tersebut menurut kaca mata barunya. Kebanyakan pendeta lebih doyan
berkhotbah sejam daripada menulis berhari-hari. Sehingga tak jarang
keberhasilan ibadah yang meriah dan membangkitkan rohani yang sebelumnya
‘tidur’ menjadikan isi khotbah yang penuh dengan canda-tawa,
sedih-senang berkobar-kobar tak tahu fokus atau inti khotbahnya tentang
apa (?). Mereka berkhotbah dengan penuh gaya, namun isinya hanya seputar
situ saja. Ibadah telah usai, kebanyakan jemaat kurang memahami isi
khotbah dan hanya diingat olehnya cerita lucu atau ilustrasi dari sang
pengkhotbah, serta suara yang merdu. Akhirnya, mutu khotbah tidak
diserap oleh jemaat. Kajian teologis kurang nampak, sebaliknya jemaat
lebih mengingat ilustrasi. Sebenarnya pendeta memberi teladan dengan
mempunyai minat membaca buku sehingga anggota jemaatnya kaya akan
pengetahuan teologi. Saya kutip perkataan pendeta Andar Ismail “Iman
diinformasikan dan ditumbuhkan bukan hanya melalui media lisan seperti
khotbah, melainkan juga melalui media cetak seperti buku. Lanjut
menurutnya, buku lebih ampuh ketimbang khotbah (Seri Selamat Bergumul,
hal. 83-87).”
Itulah sebabnya saya lebih doyan dan
enjoy berhadapan di depan laptop sambil membaca buku dan menulis tulisan
(seperti tulisan ini) daripada berkhotbah setengah jam. Menulis
memberikan ruang dan waktu mengeluarkan formula yang ada dalam akal dan
hikmat. Sebaliknya berkhotbah seakan memberikan nasehat kepada yang
tua-muda, memberikan perintah yang belum tentu si pengkhotbah itu
mematuhi perintah/amanat Tuhan. Banyak pengkhotbah lebih doyan berdiri
di atas mimbar untuk berkhotbah sejam daripada duduk sambil
merefleksikan berhari-hari renungan ‘surga di langit dan surga belanja
di bumi’.
Bagaimana merefleksikan atau melakukan
teologi tersebut? Mengapa bukan hanya saya tetapi anda juga harus
meramaikan budaya menulis? Ayo buktikan para agamawan, bahwa kelak
refleksi pikiranmu akan segera saya baca.
Mari kita kembangkan budaya menulis sambil berteologi kritis!
Salam, 5 Januari 2012
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar