Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Mengapa ? (2)

Mengapa saya bernama Nency?
            Mengapa saya anak bungsu dari tiga bersaudara?
            Mengapa saya menempuh pendidikan teologi? dan,
            Mengapa saya lebih enjoy menulis daripada berkhotbah?

            Biasanya, setiap nama yang diberikan orang tua terkandung banyak makna dan harapan keberhasilan kelak anak tersebut. Nency bukan sebutan panggilan perempuan orang Minahasa (bnd. nama Keke, Nona, dll.). Bagi orang tuaku, nama Nency terinspirasi dari seorang tokoh pejuang perempuan ibu Negara Amerika Serikat, Nancy Reagen. Nama Nency popular di tahun 1980-an. Harapan orang tua, saya bisa menjadi tokoh pejuang perempuan di Negeri Minahasa. Sampai sejauh ini, saya mensyukuri pemberian nama Nency dalam diri ini. “Apa yang Nency kerjakan sekarang?” “Ya, kita lagi ba tulis (saya lagi menulis)”, sahutku kepada mama. Itulah alasan meng’iya’kan nama saya, Nency! J

        Seandainya orang tua memberikan nama Hawa kepada saya, besar kemungkinan saya sering dituding sebagai penyebab manusia jatuh ke dalam dosa. Lanjut, saya belum menemui seseorang yang bernama Hawa. Kemungkinan para orang tua tidak tertarik akan nama Hawa dan akan membawa dampak negatif bagi pertumbuhan anak itu. Sebaliknya, anggota jemaat kaum perempuan (Kristen), banyak ditemui bernama Maria, Ester, Sara dll.

        Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak tertua, Tommy Stevie Heydemans, ST. lahir di Amurang, Sulawesi Utara, 25 April 1979. Kakak kedua, Arthur Jebbie Heydemans, ST. lahir di Manado, Sulawesi Utara, 17 November 1981. Saya bersama kedua saudara laki-laki berasal dari sperma  Jacob Heydemans dan mengalami pembuahan dalam rahim Adelin Maramis. Inilah keluarga besar kami, keluarga Heydemans-Maramis yang berdomisili di Batu Kota Lingkungan III, Kec. Malalayang, Manado.

       Saya mengalami proses pendidikan formal kurang lebih 20 tahun. Cukup lama belajar di bangku sekolah, menjadikan saya lebih mengenal kemajemukan. Pada tahun 1991 (umur 4 tahun) masuk TK Impres Manado. Setahun kemudian, saya masuk SDN 113 Manado dan menamatkan diri ditahun 1998. Pada tahun 1998-2001, masa remaja masa pergaulan bersama banyak teman di SMP Negeri 4 Manado. Tahun 2001-2004, mama mengantar saya ke SMA Negeri 9 Manado, teringat jelas inilah masa peralihan dari remaja ke pemudi menjadikan saya lebih bebas mencari identitas diri. Terkenang masa transisi, saya harus berurusan dengan guru BK (Bimbingan Kerohanian), keluar-masuk masalah anak muda-mudi yang hampir saja dikeluarkan dari sekolah karena sering meremehkan (pandang enteng) dan nakal (begal). Saya orangnya keras kepala, cara berpakaian bebas, dan pergaulan yang suka memilih teman. Saya tidak mau di atur oleh aturan dan seringkali saya menjadi pusat perhatian dengan pakaian seragam yang agak minim. Saya juga tidak mau terjun dalam bidang PELSIS (Pelayanan siswa) dan OSIS. Akhirnya, tidak ada kegiatan ekstra kurikuler yang saya ikuti. Persetan, semua kegiatan ekstra kurikuler yang akhirnya tidak mendidik pribadi saya. Pikirku, kala itu. Anehnya, saya selalu ditempatkan di kelas terpilih, persaingan ketat para juara kelas dan duduk di paling depan. Meskipun saya agak ‘liar’ di SMA, tetapi prestasi tidak jatuh. Malah, beberapa piagam prestasi juara kelas di bawah pulang.

       Saya hobi mata pelajaran eksata (seperti matematika, fisika dan Kimia) berkat ‘jurus’ kedua kakak laki-laki yang bisa dikata mahir di bidang itu. Saya menggurui kakak Tommy dan kakak Arthur. Mata pelajaran yang membosankan adalah bahasa. Apakah itu bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau Bahasa Jepang, pastinya sangat membosankan dibenakku. Kelemahan dalam bahasa akhirnya mengantarkanku ke fakultas yang menggunakan banyak bahasa (seperti bahasa Yunani bahasa Ibrani dan bahasa Inggris). Di akhir kelas 12 (atau kelas III SMA) saya bercita-cita menjadi seorang insinyur Teknik Sipil. Tetapi, saya tidak diberi kesempatan oleh kakak Tommy. Mengingat kami keluarga yang bergelut di ‘jalan raya’. Banyak ladang yang harus dikerjakan, cetus kakak Tommy. Akhirnya, saya memutuskan memilih ladang Tuhan. Sikap dan keputusanku ini mengagetkan teman SMA. Sikap yang berputar 180 derajat, dari ‘liar’ menjadi lurus. Dari ‘kacau’ menjadi ‘alim (?)’

       Peran orang tua tidak hanya sebatas pendidikan SMA, mama dan papa mengantar saya ke Tomohon, tepatnya di Fakultas Teologi UKIT (Universitas Kristen Indonesia di Tomohon) YPTK di tahun 2004. Saya mengambil jurusan Kependetaan, konsentrasi: Agama dan Kebudayaan. Ketidaksukaan akan bahasa mewajibkan diriku melatih diri bahkan membiasakan diri untuk enjoy dengan bahasa ‘alien’. Dengan bahasa saya mulai mengasa otak dari menghitung menjadi rajutan kata demi kata, yakni mengarang dan berimajinasi. Kala praktekum di jemaat tiba, saya mulai resa untuk tampil di atas mimbar dengan perkataan firman Tuhan. Astaga, saya memulai segala sesuatu dari nihil, kaki tertati-tati dengan banyak kesalahan. Semoga kesalahan ini menjadikan saya lebih banyak belajar.

       Kemudian, perjumpaan dan pertukaran mahasiswa/i lintas agama (UKIT-STAIN Manado-STF Seminari Pineleng) membuka cakrawala berpikir dan bertindak. Saya dinyatakan ‘tidak layak’ lagi mengikuti perkuliahan Fak.Teologi UKIT di tahun 2009.  Ketidaklayakan itu disebabkan saya meraih Sarjana Teologi (S.Teol) dengan judul skripsi “Kajian Teologis Misi Penciptaan Terhadap Pemahaman Pemanasan Global di Jemaat GMIM Bukit Karmel Batu Kota Wilayah Manado Barat Daya”.  Ketidaklayakan inilah mengantarkan saya merantau dan melanjutkan Strata Dua di Fak. Sosiologi Agama, UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga, 2009. Perjumpaan etnis, budaya, bahasa dan agama menunjukkan kepelbagaian warna di bumi Pancasila. Di bulan Januari 2011, Saya ‘diberhentikan’ kuliah secara terhormat  oleh lembaga UKSW dengan judul tesis “Kontribusi Maria Walanda-Maramis dalam Bidang Pendidikan Nonformal Perempuan Minahasa”. Terhormat  meraih Master Sains (M.Si). Saya berhenti kuliah bukan berarti saya berhenti belajar. Belajar merupakan proses bagi saya menempu dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan di ladang Tuhan (Pancasila, Sila I).

       Menurutku, menulis buku renungan (dan atau buku teologi) mendidik kita untuk berkontribusi berteori dan berteologi atau melakukan teologi. Gemar mengoleksi buku, membaca buku, merefleksikan, mencoba menulis dan menghasilkan karya ilmiah merupakan sebuah sumbangsih yang sangat penting bagi perkembangan iman jemaat/umat. Hikmat yang diberikan Tuhan harus dipergunakan dengan baik dan benar. Buku-buku menjadi pendidik seseorang dalam menerima pendidikan. Selain buku, pengaruh pendidikan sejumlah orang seperti orang tua mempengaruhi perkembangan minat membaca buku.

      Jarang ditemui para pendeta membaca buku dan meformulasikan buku tersebut menurut kaca mata barunya. Kebanyakan pendeta lebih doyan berkhotbah sejam daripada menulis berhari-hari. Sehingga tak jarang keberhasilan ibadah yang meriah dan membangkitkan rohani yang sebelumnya ‘tidur’ menjadikan isi khotbah yang penuh dengan canda-tawa, sedih-senang berkobar-kobar tak tahu fokus atau inti khotbahnya tentang apa (?). Mereka berkhotbah dengan penuh gaya, namun isinya hanya seputar situ saja. Ibadah telah usai, kebanyakan jemaat kurang memahami isi khotbah dan hanya diingat olehnya cerita lucu atau ilustrasi dari sang pengkhotbah, serta suara yang merdu. Akhirnya, mutu khotbah tidak diserap oleh jemaat. Kajian teologis kurang nampak, sebaliknya jemaat lebih mengingat ilustrasi. Sebenarnya pendeta memberi teladan dengan mempunyai minat membaca buku sehingga anggota jemaatnya kaya akan pengetahuan teologi. Saya kutip perkataan pendeta Andar Ismail “Iman diinformasikan dan ditumbuhkan bukan hanya melalui media lisan seperti khotbah, melainkan juga melalui media cetak seperti buku. Lanjut menurutnya, buku lebih ampuh ketimbang khotbah (Seri Selamat Bergumul, hal. 83-87).”

       Itulah sebabnya saya lebih doyan dan enjoy berhadapan di depan laptop sambil membaca buku dan menulis tulisan (seperti tulisan ini) daripada berkhotbah setengah jam. Menulis memberikan ruang dan waktu mengeluarkan formula yang ada dalam akal dan hikmat. Sebaliknya berkhotbah seakan memberikan nasehat kepada yang tua-muda, memberikan perintah yang belum tentu si pengkhotbah itu mematuhi perintah/amanat Tuhan. Banyak pengkhotbah lebih doyan berdiri di atas mimbar untuk berkhotbah sejam daripada duduk sambil merefleksikan berhari-hari renungan ‘surga di langit dan surga belanja di bumi’.

       Bagaimana merefleksikan atau melakukan teologi tersebut? Mengapa bukan hanya saya tetapi anda juga harus meramaikan budaya menulis? Ayo buktikan para agamawan, bahwa kelak refleksi pikiranmu akan segera saya baca.

            Mari kita kembangkan budaya menulis sambil berteologi kritis!


Salam, 5 Januari 2012

Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: