Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Iman yang Memerdekakan: Upaya Perempuan Siro-Fenisia Bahan Khotbah Kolom 10 (Markus 7:24-30)

   Ada sebuah kisah nyata, seorang perempuan berdarah Ambon dengan gagah berani menjadi seorang pelayan yang penuh kasih di tanah Papua, ia bernama Sophie Isabela Patty. Sophie lahir di Aceh tanggal 13 Desember 1928 dan meninggal dunia tahun lalu tepatnya 18 Mei 2010. Kepergiannya meninggalkan sebuah pelayanan tanpa pamrih dan menjadi teladan bagi siapapun yang terpanggil untuk melayani dengan tulus. Perjumpaan hidupnya diwarnai perjumpaan dengan berbagai macam suku bangsa di negeri ini. Sophie (mammy sophie, panggilan kesayangan anak-anak Papua) merupakan pendeta pertama perempuan GKI (Gereja Kristen Injili) di tanah Papua. Ia peduli akan pendidikan anak dan kaum perempuan Papua khususnya mereka yang dipedalaman. Ia jatuh cinta pada tanah Papua begitu ia menginjak kaki di bumi cendrawasih yang kaya akan sumber daya alam. Sebagai seorang pendeta perempuan, ia mengambil sikap untuk tidak  menikah dan mencurahkan hidupnya demi dan untuk melayani jemaat di Papua. Melalui buku yang ditulis Maria C. Barth (mantan dosen STT Jakarta berasal dari Belanda) yang berjudul “pelayan yang penuh kasih (penerbit BPK, Gunung Mulia) jelas menceritakan kehidupan Sophie yang percaya bahwa dalam pelayanan banyak resiko yang akan ia hadapi dan Tuhan yang melihatnya juga tentulah Tuhan akan bertindak. Ia mengenal watak dan situasi masyarakat Papua yang sementara berkonflik dengan Belanda dan Indonesia pada tahun 1960-an, kemudian ia mengetahui apa yang diperlukan orang dan memberikan motivasi untuk mengembangkan diri demi pelayanan dan bekerja demi pembaharuan umat Kristen. Ia juga mengajak pemuda/i merasa bangga atas warisan budaya Papua dan bercita-cita memajukan peradaban bangsa. Pelayanannya bukan hanya sebatas di Papua tetapi di tingkat internasional (Dewan Gereja Sedunia/DGD) ia dikenang. Sophie menyebar kasih yang Tuhan Yesus berikan kepadanya untuk pelayanan sosial dengan mengorbankan waktu, uang dan tenaganya.  Melalui iman, ilmu dan pengalaman menjadikannya sebagai seorang perempuan pendeta yang merdeka, bebas dan kritis mengenai ketidakadilan, perampasan hak, dan kedamaian di bumi cendrawasih khususnya untuk perempuan dan anak-anak sekolah minggu GKI tanah Papua.
           Dari kisah perjalanan pelayanan pendeta Sophie, maka saya akan mencoba menghubungkan dengan kisah iman seorang perempuan Siro-Fenisia ini. Kisah perempuan Siro-Fenisia ini dikisahkan dalam 2 kitab dalam PB. Jadi selain Injil Markus 7:24-30 terdapat juga dalam Injil Matius 15:21-28. Ada sedikit perbedaan bahasa, kronologis percakapan antara tulisan Markus dan Matius dalam kisah yang sama itu. Matius 15 ada beberapa urutan yang menjadi respons Yesus ketika perempuan Kanaan itu memohon kepadaNya. Pertama: Yesus sama sekali tidak menjawab (23) Kedua: Yesus menolak dengan berkata “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (24) Ketiga: Yesus seakan menyamakan perempuan itu dengan anjing (26) dan Ke empat: Yesus meresponi dengan sangat hormat karena memakai kata “Hai ibu besar imanmu…” (28) Dalam Markus juga intinya demikian, seakan Yesus tidak meresponi dengan baik akan permohonan perempuan Kanaan itu tetapi pada akhirnya Yesus menunjukkan respekNya dengan mengabulkan permohonan perempuan itu.
            Perempaun Siro-Fenisia berasal dari Kanaan berkebangsaan Yunani. Dalam pandangan bangsa Israel (umat pilihan Allah) posisi perempuan itu boleh dibilang tidak masuk hitungan. Selain dari bangsa non Yahudi, dia hanyalah seorang perempuan, yang harus berhadapan dengan sistem masyarakat Yahudi waktu itu yang masih begitu tinggi tingkat diskriminasinya karena status kebangsaan maupun gender. Kebanyakan suku menomorduakan perempuan, begitu juga posisi subordinasi dirasakan perempuan yang hidup di zaman Yesus dalam kebudayaan patriakhi Yahudi.
            Di zaman sekarang, seringkali kita dengar istilah doa ibu (di doa ibuku, namaku disebut Lagu), Hari Ibu, surga ditelapak kaki ibu (pepatah). Muncul pertanyaan, apakah tidak ada lagu atau Hari Bapa? Kemarin waktu di gedung gereja pertanyaan ini dilontarkan oleh Bpk Pdt Posundu, kemudian ada bapak disampingku mengatakan ‘ada noh’ doa setiap hari bahkan doa penutup selesai ibadah, doa bapa kami dank? Ya, benar. Jadi ini merupakan simbol penghargaan bahwa tidak ada yang direndahkan karena semuanya setara di hadapan Tuhan.
            Dalam PL bangsa Israel pada mulanya merupakan bangsa pilihan Allah. Kemudian dalam PB, bangsa Yahudi mengklaim merekalah bangsa yang dipilih Allah melalui nenek moyang Abraham, Ishak dan Yakub. Pertanyaannya, bagaimana posisi kaum non Yahudi (mis, bangsa Yunani, kaum perempuan) pada masa itu? Bukankah Yesus datang bagi mereka yang termarginalkan, mereka yang mengalami ketidakadilan status sosial dan yang paling penting menyelamatkan semua ciptaan-Nya (termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan)?
            Hal yang menarik dari perempuan itu, dia sangat mengerti siapa Yesus. Terlihat dari bagaimana ia menyapa Yesus “kasihanilah aku ya Tuhan, Anak Daud..” (Mat 15:22) itu menunjukkan bahwa selama Yesus berkeliling melayani boleh jadi dia juga mengikutinya ke mana-mana atau dia banyak mendengar dan menyaksikan karya Yesus, kemudian ketika Yesus berada di Tirus tempat asalnya dianggap kesempatan baginya untuk memohon pertolongan kepada Yesus dan yakin bahwa dia akan mendapatkannya
            Ketika dia menyampaikan permohonan kepada Yesus seakan tidak dihiraukan bahkan terkesan menghina perempuan itu, bahkan murid-murid Yesus meminta Yesus mengusir dia karena dianggap mengganggu (Mat 15:23). Apa yang Yesus lakukan terhadap perempuan itu pasti bukan karena faktor kelas dan atau gender melainkan Yesus ingin melihat seberapa jauh dia kenal Yesus, seberapa dalam dia yakin bahwa Yesus adalah penolong baginya dan mempercayai Yesus dalam hidupnya. Itu tampak ketika Yesus memuji dia dengan panggilan “Hai ibu, besar imanmu…”
            Saudara, kita bisa mengambil makna dari seorang perempuan yang dianggap golongan yang terabaikan/termarginalkan itu: Perempuan itu mengenal Yesus bukan sekedar sebagai tabib yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit tetapi dia mengenal Yesus sebagai Tuhan yang menyelamatkan (Tuhan, anak Daud? ) dan dia tidak terpengaruh dengan sikap, kata atau perlakuan Yesus maupun murid-murid-Nya. Kemudian, perempuan itu telah menunjukkan model iman yang hidup dengan tidak putus asa dan tidak mengenal menyerah tetapi apa yang dia percayai tentang Yesus itu akhirnya dia wujudkan melalui keyakinannya memohon kepada Yesus. Jadi dapat dikatakan, Jika kita ingin mengalami kuasa Tuhan milikilah iman yang hidup seperti perempuan Siro-Fenisia dan seperti para pejuang perempuan lainnya yang percaya kepada Tuhan dan yang menjunjung tinggi peradaban manusia (memanusiakan manusia) seperti tokoh pejuang perempuan Minahasa, Ibu Maria Walanda-Maramis (seorang Kristen, memberdayakan kaum ibu demi kesejahteraan anak-anaknya). Hemat kata, hanya jiwa merdeka yang dapat berpikir bebas dan hanya cinta sejati yang dapat memerdekakan jiwa.

Muncul pertanyaan dalam pembacaan saat ini,
  1. Apakah Yesus selama pelayanan pernah melakukan diskriminasi?
  2. Apakah gereja dan institusi gereja (GMIM) pernah melakukan diskriminasi selama pelayanan?
Kedua pertanyaan ini menjadikan gereja untuk lebih merefleksikan diri dalam sebuah aksi intern dan ekstern. Siapakah kami ini yang Tuhan, yang terpanggil untuk menjadi saksi-Mu?
Amin.

Manado, 24 Oktober 2011
Nency Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: