Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Laporan Workshop Menulis Narasi di Tomohon, 23-28 Januari 2012

Syaloom,
Tabea,

                                                                     PENDAHULUAN 

            Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan memperbarui jurnalisme di Indonesia. Sejak 2003, Pantau aktif dan berinsiatif menjalankan program pelatihan wartawan, konsultan media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas demi mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia, utamanya kawasan timur Indonesia.

            Awalnya Pantau sebuah majalah yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada 1999. Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan panjang dan mendalam, soal media, Aceh, terorisme, dan lain-lain. Isinya, sekitar 60 persen soal media dan 40 persen nonmedia. Pantau  jadi fenomena baru dalam jurnalisme Indonesia karena untuk kali pertama media Indonesia diliput media lain dengan standar wajar -tanpa standar ganda karena khawatir saling mengganggu sesama wartawan.

            Di Jakarta, Jurnalisme Sastrawi diperkenalkan lewat sebuah kursus pada Juli 2001. Mula-mula hanya dua kali namun permintaan  tetap datang. Angkatan-angkatan baru pun dibuat setiap satu semester. Pengampu kursus ini yakni Janet Steele dari Universitas George Washington, dan Andreas Harsono serta Linda Christanty dari Pantau. Peserta datang dari berbagai kota, dari Banda Aceh hingga Jayapura, dari Pontianak hingga Kuching, dari Ende hingga Kupang. Alumninya, kini mulai bermunculan. Ada yang menulis buku. Ada yang jadi pemimpin redaksi. Ada yang sekolah lanjut.

            Yayasan Pantau bekerjasama dengan Mawale Cultural Center (MCC) dan Universitas Kristen Indonesia di Tomohon (UKIT) menyelenggarakan Workshop Menulis Narasi yang merupakan keseriusan penyelenggara menciptakan penulis muda/i yang berbakat di dunia tulis-menulis.
            Hari ini setiap orang adalah penulis, apakah itu di situs jejaring sosial (seperti facebook atau blogspot), makalah, buku harian dan di media massa. Banyak penulis dan tulisan yang dihasilkan juga banyak. Tetapi tidak semua penulis menjadi populer dan tidak semua tulisannya menarik untuk di baca.
            Persoalan di media cetak dan elektronik hari ini adalah bagaimana menyajikan sebuah tulisan utuh tentang sebuah peristiwa yang hanya bersandar dari fakta, analistis yang tajam dan tulisan panjang. Inilah yang menjadi tantangan bagi kaum penulis masa kini.
             Persoalan  ini pada tahun 1973 dijawab oleh Tom Wolfe di New York. Wolfe mengenalkan sebuah genre baru saat itu: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat. Genre ini kemudian dikenal dengan nama narative reporting atau literary journalism. Menurut Nieman Reports, sejak 1980an, surat kabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi memaksa tampil dengan laporan mendalam.
            Nah, jika peserta ingin memiliki kemampuan menulis dengan baik, enak di baca dan memiliki bobot makna kemanusiaan, maka ia perlu latihan. Latihan menulis sebenarnya mengasa skill (ketrampilan) dan pengetahuannya.
Dari uraian di atas, maka dibuatlah Workshop menulis narasi. Workshop ini dirancang sebagai wadah untuk: (1).  Pembahasan materi berkisar sejarah, teori dan teknik penulisan jurnalisme sastrawi oleh Instruktur Yayasan Pantau. (2). Sharing jurnalisme dalam konteks budaya Minahasa yang dilakukan oleh para pembicara Minahasa. (3). Pemutaran film dan diakhiri dengan sharing seputar permasalahan sosial, budaya, politik, hukum dan agama yang terjadi dalam konteks Indonesia.
             Adapun kegiatan workshop ini berlangsung di lantai 2 Aula UKIT, Jalan Raya Kakaskasen, Tomohon pada hari Senin-Sabtu, 23-28 Januari 2011. Output yang dikehendaki dari pelaksanaan workshop ini antara lain:
  1. Peserta dapat menulis tulisan yang mendalam, fakta, memikat dan analistis, enak dibaca dan mengalir.
  2. Peserta dapat membuat tulisan analistis yang dibutuhkan masyarakat untuk mengambil sikap terhadap pokok permasalahan.
  3. Laporan workshop untuk PERUATI Minahasa
             Peserta workshop hanya dibatasi 20 orang. Tetapi yang mengikuti workshop ini berjumlah 18 peserta yang terdiri dari 15 laki-laki dan 3 perempuan (termasuk dua perempuan utusan PERUATI Minahasa). Semua biaya ditanggung penyelenggara alias free.

                                                  Narasi Berlangsungnya Kegiatan
Hari I, Senin 23 Januari 2012
              Sejak pukul 14:00 dimulai registrasi peserta, check in kamar dan persiapan perkenalan di malam hari. Namun sampai pukul 19:00 hanya lima peserta yang mendaftar. Sehingga kami harus menunggu sampai jam delapan malam . Menunggu para peserta diseputaran Minahasa yang belum tiba di Aula UKIT.
              Pukul 20:00 acara pembukaan dipimpin oleh Denny Pinontoan. Kemudian, di sesi perkenalan dipandu oleh Fahri Salam. Fahri, seorang penulis dari Jakarta, selain itu dia juga pemandu peserta belajar bikin deskripsi dan feature serta mengandalkan contoh-contoh karya klasik. Hematnya, Fahri yang berkulit sawo matang, rambut hitam berombak, memakai jeans dan jeket biru kehitam-hitaman itu, menjadi pemandu perkenalan antara para peserta dan instruktur.
Nah, dengan cara apa Fahri mengenal kami?
            “ Apakah motivasi anda mengikuti pelatihan ini? dan bagaimana harapan atau cita-cita anda di tahun-tahun berikutnya?” pertanyaan ini dilontarkan Fahri sambil duduk di kursi rotan coklat itu.
             Tidak terkecuali, pelbagai jawaban disampaikan peserta. Inilah cikal bakal kami saling mengenal satu dengan yang lainnya. Maksudnya, saya mengenal mereka bukan hanya nama saja, melainkan tujuan dan atau motivasi datang di tempat ini serta harapan masa depan mereka.
             Di satu sisi, malam mulai makin dingin, terdengar suara rintik-rintik hujan dan pemandangan kelihatan berkabut. Jangan salah, kabut di ruangan ini berasal dari asap rokok para peserta yang doyan ngerokok. Di sisi lain, “kelas kecil” ini mulai saling memberi ruang untuk berinteraksi. Interaksi ini dilanjutkan Fahri dengan jadwal kegiatan materi selama lima hari ke depan. Fahri mengingatkan berdasarkan kesepakatan bahwa besok pukul delapan pagi, sesi pertama materi akan di mulai. Semua peserta meng-iya-kan. Akhirnya, acara perkenalan telah usai, para peserta digiring ke tempat yang telah disiapkan oleh panitia. Hari pertama itu, saya tidak  menginap di asrama West Hill. Bersyukur Riane Elean bisa menampung saya tinggal di penginapannya.

Hari II, Selasa 24 Januari 2012
            Pagi yang dingin dan hujan rintik-rintik itu, para peserta smokol (sarapan pagi) sekitar jam Sembilan sampai sepuluh di asrama West Hill.

Sesi # 01: Deskripsi
Pukul 10:00-12:15
              Jadwal kegiatan tidak sesuai yang diharapkan oleh Fahri Salam, sang Instruktur. Pada awalnya, Fahri kelihatan heran dengan waktu Indonesia Tomohon. Mengapa tidak sesi pertama molor dua jam. Sesi kedua ditukar menjadi sesi pertama. Mengapa? Karena (1). Peserta smokol ke-siang-an. (2). Panitia tidak menyediakan proyektor LCD di ruangan itu. Nah, meskipun terkendala fasilitas namun tidak menyurut kreatifitas para peserta dengan memindakan materi sesi kedua menjadi sesi pertama. Waktu berjalan begitu cepat, sebagian  materi yang saya rangkum dalam sesi ini antara lain:
-          Pengenalan  menulis narasi dan deskripsi yang memikat.
-          Bagaimana membedakan naratif dan feature.
-          Cara menulis kutipan ‘sexy dan particular”
            Bacaan naskah “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah dan “The Name of the Dog” oleh Peter Clark dr Poynter Institute.
            Setiap peserta mendapat bagian membaca naskah Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan.

Makan Siang sekaligus Coffe Break di Aula UKIT
Pukul 12:15-13:15

Sesi # 02: Dasar-Dasar Jurnalisme
Pukul 13:15-15:45
            Sesi ini masih dibawakan Fahri Salam dengan topik diskusi Elemen-elemen Jurnalisme dari buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Buku kedua dari Agama Saya Adalah Jurnalisme oleh Andreas Harsono mengenai bacaan Sembilan elemen jurnalisme. Meskipun kedua buku ini nanti diperoleh secara free tiga hari kemudian, tetapi penyelenggara telah memperbanyak copy-an untuk peserta. Adapun beberapa topik yang bisa saya rangkum dari sesi kedua ini, yakni:
-           Apa itu “objektifitas”? objektif, harus seimbang dan tidak berat sebelah.
-          Institusi media yang baik adalah membangun reportase yang bermutu bukan mengandung pengamat. Pengamat sering merusak demokrasi. Pengamat seringkali berbahaya, menjadi virus bagi masyarakat.
-          Penulis/peserta harus menentukkan sikap dalam penulisan. Apakah dalam bentuk demokrasi/ intoleransi/ propaganda/ profetik.
-          Menulis bukan hanya mencari sensasional berita melainkan  menulis berita yang baik harus proporsional dan konprehensif.
-          Kebanyakan menjadi pemimpin negara kita adalah dia yang menguasai media. Jadi dapat dikata, media menjadi ajang kepentingan politik!
-          Belajar menjadi penulis yang hebat, maka haruslah bersiap diri belajar menulis dengan memakai bahasa Inggris. Hematnya, mempersiapkan tulisan untuk pembaca standar Internasional.

Sesi# 03: Wartawan, Perusahan Media dan Kekuasaan
Pukul 16:00-17:00
            Sesi ketiga ini dibawakan oleh Rikson Karundeng dengan topik makalahnya “Selingkuh”. Topik ini dideskripsikan dengan sebuah cerita sang wartawan yang memberontak melawan ‘perselingkuhan’ yang dilakukan oleh perusahan media di mana ia bekerja. Sang wartawan dituntut lima berita setiap harinya dan mengejar target yang dibebankan perusahan media kepada dirinya. Cerita fakta ini merangsang daya kritis para peserta. Diskusi tercipta dengan pelbagai pendapat yang di lontarkan. Ada beberapa hal yang saya garisbawahi dalam sesi ini, yakni:
-          Ada dua kendala yang terjadi dalam media cetak koran, pertama kurangnya pembaca kritis. Kedua, banyak wartawan menerima emplop dari berbagai pihak demi kepentingan sepihak. Akhirnya sang wartawan, sang media ‘berselingku”. Nah, apakah saya dan anda telah melakukan ‘perselingkuhan” uang panas tersebut? Sehingga ada istilah “bos aman, saya pun nyaman”.
-          Sebelum menjadi wartawan, belajar menulis yang baik, analistis dan mendalam. Menurut kakak Rikson “jangan mencoba menjadi wartawan kalau belum bisa menulis dengan baik, maka anda bukan hanya menjadi wartawan tetapi menjadi penjual Koran”.
-          Seringkali muncul WTS (Wartawan Tanpa Surat kabar) dalam ‘perselingkuhan’.
Diskusi hangat membongkar  perselingkuhan media massa di balik tulisan-tulisan. Saya termenung dan ngeri akan media massa yang kurang memihak pada masyarakat menengah ke bawah. Hikmah yang saya ambil selama sesi ini adalah hati nurani dibalik maya semu, apakah loyal pada perusahan atau loyal kepada penguasa dan atau loyal pada jeritan masyarakat (?).

Coffe Break dan MCK (Mandi Cuci Kaki)
Pukul 17:00-19:00

Makan Malam di Aula UKIT
Pukul 19:00-20:00

Pemutaran Film Black Road-William Nessen dan Diskusi
Pukul 20:00-22:00
            Malam makin larut, dingin dan berkabut. Para peserta dan instruktur terlihat memakai jeket. Diskusi makin hangat meskipun mata sayup-sayup. Kopi panas menjadi solusi yang tepat kala mata “lima watt” dan sedikit memberi kehangatan badan.
            Sebelum diskusi berakhir, Fahri memberikan tugas pribadi di mana peserta membuat deskripsi sekitar 300-500 kata mengenai seseorang, atau ruangan, dan atau keduanya. Tulisan ini memakai kutipan particular. Akhirnya, sesi demi sesi telah terlewatkan dan  kami pulang di pemondokan yang telah disiapkan penyelenggara. Kecuali kaum perempuan diberi tumpangan di rumah kakak Riane.

Hari III, Rabu 25 Januari 2012 
            Pagi itu, nuansa keakraban para peserta di asrama West Hill makin terasa. Topik hangat yang dibicarakan mengenai trans-gender. Sementara topik dibicarakan, sementara itu pula para peserta smokol. Kali ini, para peserta molor dua jam seperti hari kemarin. Jam di tangan saya menunjukkan pukul setengah sepuluh. Setelah selesai smokol, para peserta sekitar lima orang menuju ke Aula UKIT mengikuti sesi pertama. Ada juga, peserta lainnya tidak smokol karena pertama, tidak biasa semokol. Kedua, bangun terlambat. Ketiga, ada yang tinggal di kos atau rumah mereka yang jaraknya agak jauh.
            Sesampainya di Aula UKIT, pemandangan tidak seperti biasanya. Nah, apakah itu? Ada sekitar tiga peserta datang lebih awal untuk membuat tugas deskripsi. Maka, sikap cepat menyalakan laptop lalu konsentrasi akan tugas yang diberikan Fahri sangat mendorong semangat menulis di pagi itu. Beberapa menit kemudian, datang  beberapa peserta sambil berebutan stop kontak. Untung saja kakak Riane, saya dan  Fahri membawa stop kontak sehingga hampir semua peserta mendapat celokan.

Sesi # 01: Piramida Terbalik dan Feature
Pukul: 10:00-12:00
            Sesi ini dibawakan Fahri Salam dengan gaya santai namun serius. Mengapa serius? Kali ini peserta diperhadapkan dengan beberapa teori. Apa itu berita lempang” apa itu feature? Ibarat membangun rumah, apa saja perkakas dalam menulis? Bandingkan berita sehari-hari dengan berita bentuk feature. Bacaan yang disodorkan “Bagaimana Mempersiapkan Suatu Naskah?” dalam buku Agama Saya adalah Jurnalisme (Andreas Harsono).

            Feature, awal beritanya adalah cerita terpenting dan berita lengkap. Beritanya perlahan2 akan mulai menjawab 5 W + 1 H (what, when, who, where, which, how). “Siapakah yang pernah menulis cerita piramida/berita lengkap terbalik?” Cetus Fahri sambil menatap para peserta. Pikiran saya yang berbicara dalam hati kecil ini berbunyi “Saya tidak pernah memakai feature, sejenis makanan apakah itu dalam tulisan saya (?).  Lalu selama ini, saya  menulis tanpa teori dan mengalir begitu saja. Alias saya menulis, ya menulis saja.”
           Berita lengkap seringkali bisa terasa kebosanan. Caranya agar menulis tidak membosankan adalah dengan menulis feature (5w + 1H). Siapa pelakunya, latar belakang apa, situasi di situ bagaimana, terdapat berbagai macam benda di situ? Mengajak pembaca masuk dalam dunia feature ini. Bagaimana mengawali cerita? Maka awalnya di mulai dengan deskripsi atau bercerita.
           Fahri memberi contoh, meneliti sejarah Minahasa dalam bingkai perempuan Minahasa. Penelitian ini belum tentu di minati oleh perempuan Papua, dan belum tentu juga di minati peneliti asing. Yang sangat tertarik dengan sejarah adalah dia yang menulis informasi dari sejarah dan di baca oleh peminat sejarah Minahasa.
            Lebih lanjut dia menjelaskan, Untuk menarik perhatian pembaca maka penulis harus membuka pintu, buka jendela, beri oksigen dalam tulisan. Dengan cara apa? Buatlah deskripsi! (mantap)

           Pedoman standar 5 W 1H. Pada narasi, “who” berupa menjadi siapa, “what” menjadi plot atau alur narasi, “where” menjadi stting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.  

            Perkakas membuat narasi harus faktual, benar, dan jangan mengarang, tegasnya! Ia mengajak agar peserta membuat perkakas tulisan yang baik, benar, loyal pada masyarakat, menarik dan relevan bahkan berangkat dari hati nurani.
            Setiap penulis memiliki bias atau identitas seseorang. Saya seorang Minahasa, beragama Kristen. Nah, bias ini tidak bisa saya tanggalkan krn melekat dalam diri saya. Untuk mengurangi bias ini hanya dengan cara mendengarkan pendapat orang lain. Artinya berpikir terbuka dengan pelbagai pendapat orang lain.
            Diskusi harus diberhentikan karena  para peserta dan instruktur masuk ke acara pengisian “bahan bakar perut” alias makan siang. Jam di hp saya menunjukkan pukul 12:00. Makan bersama dengan  menu berbeda dari hari kemarin. Menu ikan bakar cakalang pedis, ikan bakar, cah kangkung, nasi, dan pisang.

Sesi # 02 : Jurnalisme dalam Konteks Masyarakat Multikultural Sulawesi Utara
Pukul 13:00-15:00
            Sesi ini dibawakah oleh kakak Denny Pinontoan dengan judul makalahnya “Ada Banyak Orang di Minahasa: Menjadi Jurnalis atau Penulis yang Independen di Tengah Keberagaman”. Materi ini menjadi menarik karena berangkat dari isu dan fakta lokal (Minahasa). Kebanyakan peserta diikuti dari grub Mawale Cultural Center yang semuanya dominan kaum Adam. Diskusi menjadi hangat kala peserta melontarkan pertanyaan demi pertanyaan.
            Pembukaan materi ini dimulai dengan pertanyaan kakak Denny “apakah ada seseorang keturunan asli Toar-Lumimuut? Lalu, Sebenarnya apakah identitas kita di tanah Minahasa?
            Saya mengutip pernyataan makalah kakak Denny “Menulis tentang masalah-masalah yang beragama dalam konteks Minahasa yang majemuk membutuhkan keterbukaan. Orang Minahasa yang menulis tentang Minahasa seringkali terjebak pada keberpihakan yang asalan. Berpihak pada kemanusiaan, adalah keharusan. Orang Minahasa berpihak kepada ke-Minahasa-an adalah juga kebutuhan di era ini. Artinya, menulis dengan prinsip-prinsip dan metode jurnalistik yang sah tidak mesti membunuh sikap kritis terhadap persoalan yang menancam ruang hidup bersama itu, Minahasa.
            Dalam diskusi ini kakak Denny memberikan contoh bagaimana ia terjun dalam majalah Inspirator terbitan fak. Teologi UKIT. “saya sendiri bekerja di majalah ini sejak tahun 2003, waktu masih mahasiswa. Tetapi kendalanya, dana dan manajemen pemasaran. Jadi dapat dikata, nasib majalah ini seperti orang mo hidop susah, mo mati lei stengah mati” cetusnya.
            Ajakan atau seruan kakak Denny “jurnalis atau penulis yang memakai media gereja harus memiliki tanggung jawab untuk mendidik warga menjadi orang-orang yang menghargai perbedaan. Bersamaan dengan itu, mereka juga dipanggil untuk menulis fakta diskriminasi, marginalisasi, eksloitasi lingkungan hidup, korupsi dan permasalahan sosial lainnya. Dan oleh karena itu, dibtuhkan jurnalis dan penulis yang memiliki kemampuan menulis yang panjang, dalam dan sadap (di baca)”.

Sesi # 03: Tugas Deskripsi
Pukul: 15:00-18:00
            Sesi ini dipandu oleh Fahri Salam. Di sini, peserta membacakan pekerjaan deskripsi dan peserta lain menanggapinya. Tugas ini di copy ke fles dan peserta lainnya bisa membaca di layar putih itu. Sementara sesi ini berlangsung, peserta mengambil kue, kopi dan tea agar tidak mengantuk. Saya mengangkat topik “Acara Perkenalan” yang telah di posting di FB.

MCK
Pukul 18:00-19:00
            Para peserta pulang ke penginapan masing-masing. Sejam kemudian balik ke Aula UKIT.

Makan Malam
Pukul 19:00-20:00
            Malam itu, hujan sangat deras sehingga semua yang berada di Aula ini memakai jeket dan jeans panjang. Grrrrr, dinginnya kota Tomohon. Untung saja hidangan malam itu masih hangat, dari nasinya, ikan dan sayur plus buah. Hmmm., manyus dech !

Sesi # 04 Pemutaran Film dan Diskusi (Isu Anti-Ahmadiyah “Cikeusik Case)
Pukul: 20:00-22:00
            Iklim Tomohon yang hujan seharian membuat pikiran perlu disegar dengan sebuah film. Nah, film ini diikuti semua peserta. Namun, tidak banyak komentar dari peserta. Mungkin, ada yang mengantuk karena nuansa dingin dan hujan. Dan ada juga kecapean.
            Sebelum bubar, Fahri mengingatkan kembali akan tugas para peserta dengan menulis sebuah feature, maksimal 800-1000 kata. Tema bebas dan menarik. Gunakan  perkakas yang sudah di bahas kemarin dan hari ini. Deskripsi, fokus, angle dan kutipan. Bisa juga dari tulisan feature yang pernah anda tulis dan diperbaiki. Tetapi sebaiknya tulisan update, jujur dan fakta tanpa rekayasa, cetus Fahri sebelum menutup sesi ini.

Hari IV, Kamis 26 Januari 2012
            Nuansa pagi yang cerah, matahari mulai memancarkan sinarnya di sela semangat pagi yang membakar. Saya dan peserta lainnya smokol nasi dan telur goreng pedes seperti biasanya. Kemudian, kami melangka dan  melangka dengan pasti menuju lantai 2 Aula UKIT. Sesampainya di ruang itu, ternyata Fahri Salam dan Imam Shofwan telah tiba duluan dari peserta. Aduh malunya saya sebagai peserta datang terlambat.

Sesi # 01 : Narrative Reporting
Pukul: 10:00-12:45
            Materi ini sebenarnya akan dibawakan Andreas Harsono. Namun, Andreas belum tiba di Tomohon sehingga materi ini dibawakan oleh Fahri Salam. Fahri yang memakai baju biru, celana jeans, memakai jam  tangan, berkacamata dan sandal jepit itu menyampaikan teori dan contoh-contoh karya narasi yang dikenalkan jurnal Nieman Reports edisi Spring 2002 Volume 56 No.1 tentang narrative journalism.
            Materi ini penting agar supaya peserta mengetahui sejarah dan perdebatan soal genre di Barat serta bagaimana genre ini masuk dalam cerita-cerita sehari-hari dalam surat kabar. Bacaan pengiring: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono.
            Fahri menjelaskan “Menulis adalah lahir secara alami, jika mau lebih menarik pakailah feature dan jika mau  lebih bagus lagi maka pakailah narrative reporting dan pengen lebih baik lagi maka buatlah sebuah buku. Lanjut menurutnya, penulis yang baik langsung ke pusat peristiwa (mislnya mengundang pembicara dari Minahasa tidak jauh dari pusat peristiwa) dan tidak memakai pengamat. Sebaliknya, jika mau memakai orang Jawa (misalnya) maka si penulis/pembicara memerlukan bantuan buku mengenai konteks keminahasaan sehingga ia bisa mengenal lokus yang akan dihadapinya.”
            Yang membuat saya sebagai terkesan dengan pernyataan Fahri yakni “buang waktu menulis tulisan yang sudah ditulis orang lain. Banyak orang membaca dari tulisan karena ada sesuatu yang baru, unik dan langka. Like dech! Apa yang membuat saya di kenang? Buatlah tulisan, tulisan membuat saya abadi.
            Narrative reporting memakai obyek: saya, aku, beta, kita atau penulis. Berita atau tulisan harus verifikasi dan objektif. Seorang jurnalis seharusnya sama dengan seorang penulis. Kemudian, metode objektif bukan berarti tujuannya menjadi objektif karena tiap reporter punya bias. Menurut Fahri, inilah metode yang baik. Seorang penulis sebaiknya lebih menyaring stigma, strotip dan bukan membuat streotip!
            Sambil menyelam materi, maka peserta ikut tenggelam bersama coffe dan kue yang disajikan. Makin seru materi ini. Seperti membongkar metode gaya menulis saya menjadi lebih terarah. Meskipun pada mulanya, sulit beradabtasi dengan pelbagai teori ‘mencekam” di otak. Hahaha.

Makan Siang
Pukul 12:45-13:45

Sesi # 02: Jurnalisme dan Kebudayaan Minahasa
Pukul: 13:45-17:00
            Sesi ini  dipaparkan oleh Fredy Sreudeman Wowor dengan judul makalahnya “Semuanya Bermula dari Rumah”. Kakak Fredy (panggilan akbra) pada saat itu, memakai baju putih berlapis kemeja panjang cokelat2an, jeans kuning dan sepatu hitam  plus sesekali merokok. Siang menjelas sore itu, suasana makin dingin karena hujan mulai turun membasahi tanah Tomohon, UKIT.
            Adapun beberapa penjelasan kakak Fredy yang saya akan tulis di bawah ini (berdasarkan saya dengar dan tulis pada saat diskusi itu):
  • Untuk menilai atau membaca sesuatu maka orang itu harus melihat pada situasi. Situasi ini adalah prodak/ciptaan  manusia.
  • Ngana orang apa? Orang Indonesia (mantap!), orang Minahasa tepatnya  suku Tontemboan (di jawab malo-malo). Situasi ini biasanya mempengaruhi sikap.
  • Bagaimana cara mengenal budaya Minahasa di tengah kemajemukaan Indonesia?
  1. Objeknya adalah orang Minahasa.
  2. Pembacanya atau sasarannya adalah Tou (orang) Minahasa. Tou Minahasa terasa lebih dekat dan lebih familiar.
  3. Masuk pada situasi budaya Minahasa. Jangan hanya menulis dari luar rumah seseorang tetapi masuk dan kenali orang tersebut dari dalam r umahnya. Bahkan bisa saja tidur di rumah itu.
  • Apa itu fakta?
Fakta tidak hanya bicara tetapi fakta bisa saja bisu. Fakta bisu maksudnya makin tertata sesuatu maka makin terang wacana. Artinya, kita harus kritis dalam berpikir akan berbagai kasus.
  • Tugas jurnalis bukan hanya melaporkan fakta, tetapi juga membongkar fakta yang telah ada, baik itu fakta berupa tulisan maupun fakta tidak ditulis. Apa maksudnya? Bias kolonia, bias penjajahan.
  • Kolonialisasi di zaman sekarang  adalah penghancuran harga kemanusiaan. Dari manusia menjadi mayat hidup. Penghancuran paradigma dalam otak kita.
  • Seiring waktu, BB menjadi gaya hidup. Sekali ada waktu, sekali ada cela klik, klik, klik update status FB. Tidak menggunakan BB gaya hidup menurun.
  • Cerita menjadi hidup karena ada saya. Saya yang berempati, berkontribusi; dan saya yang menjadi saya bagi banyak orang.
  • Tulisan naratif bermulai dari rumah dan berawal kembali dari rumah.
  • Kekuatan bahasa puitis adalah  melabilkan atau ambiguitas sebuah makna. Di mana memicu atau  melahirkan  kembali ingatan-ingatan yang dahulu. Voor apa? Agar supaya saya menjadi manusia untuk memanusiakan manusia. Tanah sodaranya manusia. sodara dalam bentuk satu udara. Sodara berbeda dengan saudara.
  • Banyak peristiwa besar karena keusilan. Perang dunia 1 muncul karena keusilan penembak menembeki sesorang akhirnya Eropa hancur. Cerita ini muncul bukan hanya remeteme.., hahahaha
  • Tulisan menimbulkan banyak tafsiran. Tulisan ditulis karena sering dilupakan. Cerita yang belum ditulis, sulit di lupakan.  Setiap kata dalam tulisan menimbulkan paradox dan multi tafsir.
  • Fungsi menulis yakni membangkitkan daya ucap, daya ingatan kolektif suatu masyarakat.
  • Kenapa bahasa makatana penting bagi penulis? Ada pepatah yang mengatakan: orang yang tidak bicara hanya simpan di dalam pikiran dan hati. Lalu, apa tindakan saya? Ya, haruslah menulis. Tanpa pengetahuan dan tanpa imajinasi maka tulisan ini tidak ada hehehe… ;)
  • Dapur adalah kehidupan.
  • Bagaimana kebiasaan tongka dagu menurut Tou Minahasa? Di sisi A, orang tersebut sementara berpikir (contoh patung thinker. Sisi B, dia sementara berimajinasi. Sisi C, dia dapa lia bogo2 sampe orang tua marah2 apalagi parampuang. Kok bisa’e? hehehe
  • Setan yang terdapat dalam jurnalis adalah propaganda.
          Diskusi makin hidup dan seru tetapi dengan keterbatasan waktu, maka kakak Fredy harus menghentikan sesi ini dengan di tutup tepuk tangan meriah dari para peserta. Tidak ada waktu lagi untuk MCK, berdasarkan keputusan bersama maka lanjut ke sesi tiga.

Sesi # 03: Latihan Wawancara (kelas pararel)
Pukul 17:00-19:00
            Kali ini peserta latihan wawancara di depan kelas, yang satu sebagai intervieew dan satunya interviewer; dilakukan bergantian. Perhatikan berapa jumlah kata dalam tiap kalimat pertanyaan (maksimal 16 kata)? Berapa pertanyaan terbuka, berapa pertanyaan tertutup? Bagaimana persiapan wawancara yang baik? Panduan bacaan: Ten Tips for a Better Interview dari Ijnet; The Art of Interview oleh Eric Nalder; “Wawancara, Wartawan dan Ratu Kecantikan” dalam buku “Agama” Saya adalah Jurnalisme (Andreas Harsono, Kanisius: 2010).
Sesi ini dipimpin Fahri Salam yang mengenakan kaos oblong warna biru, jeans biru dan sandal jepit. Fahri memberikan contoh pertanyaan tertutup menghasilkan jawaban  “ya atau tidak”, misalnya apakah di GMIM terjadi konflik? Jawabnya “ya”.. Sebaliknya, Pertanyaan terbuka menghasilkan jawaban menggali, misalnya kenapa GMIM sekarang ini mengalami konflik?. Jadi di sesi ini, pertanyaan terbuka yang diperlukan untuk melakukan wawancara.

Ten tips for a better interview
  1. Siap bahan.
  2. Tahu aturannya.
  3. On time/ tepat waktu
  4. Observasi: biasa kalau saya mau wawancara maka saya memilih tempat di mana (spt, café, di rmh dll)
  5.  Harus sopan
  6. Menyimak narasumber itu berbicara
  7. Diam adalah emas, jangan bilang “ooh begitu yah, eeeh, eem, hmhmhm iya, iya2”. Cukup dengan anggukan kepala.
  8. Kontak mata
  9. Meminta nama lengkap dan nomor hp
  10.  Langsung di ulas hasil wawancara kita, jangan di tunda2 hasil wawancara itu.
            Fahri mengingatkan peserta kalau melakukan wawancara, pakailah  notes, sering diwarnai atau pakai polpen. Ia menutup sesi ini dengan berkata “Inti dari interview  adalah latihan bertanya ketika selesai dari pelatihan ini”.
Nah, tibalah saya bersama Nina melakukan wawancara di depan kelas. Begitu juga setiap peserta mendapat giliran bersama peserta pilihannya untuk menampilkan gaya khas masing-masing peserta. Topik yang dibicarakan bebas sesuai minat.

Makan Malam
Pukul 19:00-20:00

Sesi # 04: Pemutaran film & diskusi (“Surat Cinta Kepada Sang Prada” – Papua Voices).
Pukul 20:00-22:00

Hari V, Jumat 27 Januari 2012
            Pagi yang cerah, saya bersama Nina pergi ke West Hill untuk smokol dengan menu abon dan nasi hangat. Setelah smokol, kami berdua menuju ke ruangan diskusi Aula UKIT.
Sesi # 01: News Analysis
Pukul 10:15-12:00
            Dalam ruangan itu, saya melihat dengan sesakma sosok laki-laki yang memakai kacamata, baju cokelat, jeans biru panjang dan memiliki jam tangan hitam sambil melihat ke arah saya dan Nina. Ternyata kami peserta pertama di mana jam menunjukkan sepuluh pagi. Lelaki itu mendekati kami sambil berjabat tangan dan memperkenalkan diri dengan ucapan “saya, Andreas Harsono”. Saya membalas tatapan dan jabatan tangannya dengan mengatakan “saya, Nency Heydemans”. Begitu juga dengan Nina. Kami bercakap-cakap dan mulai berdatangan beberapa teman. Kakak Denny dan beberapa teman sibuk memanggil teman yang lainnya di pemondokan.
            Sesi ini dimulai pukul 10:15, yang awalnya diikuti delapan peserta.  Materinya: Bagaimana bikin analisis yang kuat, solid, ditopang riset bermutu untuk penulisan artikel maupun kebutuhan laporan. | Bacaan: “The Tinker: See No Prisoners?” oleh Carmel Budiardjo dari Tapol; “Obama Has the Power to Help Papua” & “On Faith, Indonesia Still Unenlightened” oleh Andreas Harsono.
Adapun pertanyaan yang dilontarkan Bpk Andreas, Bagaimana menulis opini?
  1. Sikap terhadap sikap
  2. Struktur/panjang
  3. Berani dan tahu
  4. Sejarah opini
  • Kapan jurnalisme lahir?
  • Mengapa jurnalisme ada? Mengapa kita memerlukan jurnalisme?
  • Opini pertama kali muncul di New England atau London sekitar 1890-an sampai 1920-an. Mengapa bpk. Andreas lebih condong pada jurnalisme Amerika?
  • Jika berita di tulis oleh orang Minahasa dan tulisannya mengenai orang sangier maka penulis ada biasnya.
  • Ada 2 pertimbangan orang menulis opini?
  1. Berita ditulis dengan perspektif.
  2. Wartawan mengambil jarak mundur di dalam penulisannya.
  • News paper  (Koran) di Indonesia tidak memiliki ruang berita yang memiliki editor dan ruang opini memiliki editor. Sebaliknya, setiap Koran memiliki 2 editor yang berbeda.
  • Menjadi wartawan perlu melakukan  reportase (wawancara) dan duduk dengan orang tersebut. Setiap orang mempunyai opini tetapi tidak semua orang mempunyai opini yang bermutu.
  • Di Indonesia belum ada Koran yang memiliki opini atau kolomnis.
  • Ada beberapa posisi di Koran:
  1. Pembantu/asisten/kurcaci
  2. Desk kota, mis. Polisi, kamar mayat, pendidikan dll.
  3. Desk internasional
  4. Spesialis, mis. Ahli agama, ahli kesehatan dll.
         Panjang tulisan/naskah minimal 800 kata sampai 100.000 kata.
  • Jangan menulis opini kalau anda belum  paham benar tentang fakta. Dan lebih ditekannya yakni jurnalisme tidak boleh ada fiksinya (tidak boleh bohong) !
  • Sikap yang bagaimana menulis sesuatu? Atau bagaimana sikap kita? Ambillah sikap netral.
         Para peserta diminta membaca tulisan berbahasa Inggris. Setiap peserta mendapat giliran membaca. Nah,anda  harus fasih berbahasa Inggris untuk menjadi jurnalis yang handal dan berskala internasional sehingga tulisan anda bisa di baca. Cetus Bpk. Andreas.


Makan Siang
Pukul 12:00-13:00

Sesi # 02: Media dan Perempuan
Pukul 13:00-15:00
            Sesi ini dibawakan oleh Kakak Kemerlin Ondang yang memakai baju merah jambu, berkacamata, dan rambut pendek membuat nuansa makin hidup. Mengingat sebelumnya para pembicara adalah kaum Adam. Kakak Kemerlien adalah alumnus Pascasarjana Sosiologi Agama, UKSW dan sekarang ini sedang menempuh kuliah lanjut S3 di Universitas Kampen, Belanda. Ia juga peneliti masalah-masalah perempuan dan dosen Fak. Teologi UKIT.

            Kualitas perempuan seringkali di manfaatkan oleh media dalam menarik pelanggan melalui tubuh perempuan, sehingga perempuan dilihat sebagai objek (pasif) bukan subjek (aktif)? Pelbagai masalah perempuan menjadikannya tidak lepas dari lingkaran setan. Berarti perempuan sedang dirugikan dan dimanfaatkan oleh laki-laki. Jadi menurut kk, apakah ada solusinya dalam bingkai keperempuanan? Pertanyaan saya di jawab “Streotip tubuh perempuan Minahasa/ manado sering dekat dengan negative. Perempuan Minahasa secara fisik berbeda-beda, jauh di luar  imajinasi perempuan Manado samua hanya berwarna putih.  Ini membuat orang Jawa terpicu dan terpikatdengan wewene/keke.
             Solusinya bagaimana? Inilah tanggungjawab bersama-sama semua pihak. Hati-hati dengan streotip dan asumsi yang menjebak paradigma. Mantap!
             Sangat ironis, masalah diangkat hanya rujukan pada emansipasi perempuan Kartini. Jika kembali pada perjuangan perempuan Minahasa terdapat tokoh emansipasi perempuan, yakni Bunda Maria Walanda Maramis yang mulai di lupakan para peserta diskusi. Kearifan lokal yang perlu di angkat dan di hargai sebagai peradaban Bumi Nyiur Melambai yang mulai terabai.
              Keberanian perempuan Minahasa kurang berani bahkan menghindar. Apakah  fakta atau fiktif (?)  kemudian, Diskusi makin ribut, laki-laki makin memanas dengan diskusi yang ada. Perempuan tidak kala aksi. Hahaha

              Buatlah bahasa yang baik demi kepentingan bersama di masa depan. Cetus kakak kamerlin. Topik terakhir dan belum terselesaikan yakni topik Gey dan lesbian. Apakah mereka (gey dan lesbi) melakukan itu berdasarkan sebuah pilihan atau given?

Coffe Break, MCK dan Makan Malam
Pukul 15:00-20:00

Maaf pembaca, saya tidak mengikuti sesi berikutnya karena pulang ke rumah.

Hari VI, Sabtu 28 Januari 2012
            Pagi itu, kami smokol jam Sembilan sampai sepuluh pagi di tempat biasanya. Ini menjadi pagi terakhir di kota Tomohon selama mengikuti Workshop Menulis Narasi. Kemudian, saya melihat banyak peserta masuk kelas tepat waktunya, yakni jam sepuluh. Maklum, pembawa materi oleh bpk. Andreas Harsono.

Sesi # 01 : New Media
Pukul 10:00-12:00
            Andreas Harsono kelihatan segar dan tenang saat membawakan sesi ini. Ia memakai topi cokelat, kaos putih berkerah, jeans biru dan berkacamata. Ia memyampaikan materi tentang bagaimana perkembangan new media atau media sosial dalam kebebasan berbicara dan berpendapat. Bagaimana medium tersebut  dipakai menggulingkan rezim diktator di negara-negara Arab? Bagaimana hukum pencemaran nama baik di Indonesia? Warga berhak dan punya tanggung-jawab dalam citizen journalism. Bacaan pengiring: “Apakah Wartawan Perlu Dipidanakan?” & “Jurnalisme Warga (Gereja)” dalam buku “Agama” Saya adalah Jurnalisme (Andreas Harsono, 2010).
            Ia juga  menyampakan betapa pentingnya wife secara gratis untuk keperluan gereja/jemaat di gedung gereja. Mengapa demikian? Karena dampak informasi internet tidak bisa dihindari dan informasi di dunia maya terbuka lebar bagi siapa saja.
           Internet selain sebagai media sosial (seperti Fb, blog, twitter dll), ada juga keuntungan yang bisa diperoleh di dunia maya yakni bisnis di kaskus.  Oleh karena itu, jejaring sosial sangat mempengaruhi dunia jurnalisme. Sehingga pengangguran dibidang jurnalis cukup besar karena dampak google (Google artinya tak terhingga, 10 100).
Dulu, surat kabar sebagai penjaga pintu masuk orang melihat dunia. Sekarang, masyarakat yang ingin mencari kebutuhan beritanya, tinggal klik, “om google”, cetus Bpk. Andreas. Inilah laju  perkembangan  dunia informasi maya atau internet yang tidak bisa dihindari oleh gereja dan jurnalis bahkan masyarakat.
            Bpk. Andreas memberikan masukan “jika anda mau mencalonkan diri sebagai bupati atau gubernur maka naikkan 30 % lebih penggunaan internet di Sulawesi Utara. Buatlah wife free di wilayah Minahasa dan sekitarnya. Lalu, buatlah FB dan pakai youtobe untuk menyebarkan info pencalonan diri. Hal ini bertujuan, agar supaya anda tidak repot membuat baliho.” Menurut saya, ini ide yang cemerlang.
           Ada juga masukannya yang sangat berarti bagi kaum jurnalis “Media koran saat ini hanya menyajikan “makanan” berita kepada masyarakat. UBAH, masyarakatlah yang harus menyajikan makanannya via internet.” Kata Bpk. Andreas. Ini menjadi masukan berarti bagi transformasi media massa.
          Ia juga menjelaskan delapan peran wartawan dalam dunia internet
  1. Authenticator
  2. Sence maker
  3. Investigator
  4. Witness bearer
  5. Empowerer
  6. Smart aggregator
  7. Forum arganizer
  8. Role model
          Akhirnya ia mengatakan “jangan menerima orang yang tidak dikenal di FB; jangan menerima suap dalam menyebarkan pemberitaan di media massa.”

Sesi # 02, Papua: Nasionalisme atau Separatisme?
Pukul: 12:00-13:00
          Setelah sesi pertama selesai, kami melanjutkan sesi kedua sambil ada yang ngopi dan ada juga yang makan kue. Topik yang membuka hati nurani yakni Papua.
          Sejak 1963, Papua Barat menjadi perhatian internasional, melalui “New York Agreement”, wilayah di ujung barat New Guinea itu diserahkan ke Indonesia, dan di bawah pengawasan PBB, dibikin apa yang disebut “Act of Free Choice”, bukan “satu orang satu suara”, melainkan melalui “suara perwakilan,” yang hasilnya integrasi dengan Indonesia. Sudah ada bukti dan publikasi yang menggambarkan proses integrasi tersebut di bawah paksaan, mobilisasi, dan intimidasi. Kini Papua Barat wilayah paling bergolak di mana mayoritas bangsa Papua menuntut merdeka. Bacaan:  “Belajar dari Filep Karma” oleh Andreas Harsono.
          Sesi ini dibuka dengan diberikannya kesempatan para peserta untuk bertanya. “adakah yang akan bertanya?”, cetusnya. Saya mengangkat tangan dan mulai bersuara “menurut Bpk Andreas, Apakah Papua bisa mereka dari penjajahan Indonesia dan bagaimana caranya?”. Dari pertanyaan ini, Bpk. Andreas balik bertanya kepada saya “menurut Nency, bagaimana reaksi orang Papua memperjuangkan kemerdekaannya?”
            Dari penjelasan balik saya, kemudia bpk. Andreas menjawab “secara teoritis/prinsip/moral, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sebaliknya secara praktis/politik, Papua harus memiliki 2/3 suara di PBB sekitar 193 negara. Jadi data dikata, Papua harus memperoleh sekitar 129 suara negera di dunia. Sudah berapa negara yang mendukung Papua merdeka? Tahun lalu, satu  negara. Namun, setelah kembali di cek awal tahun ini (di Jakarta) maka hanya nol negara. Memang di Australia ada masyarakat yang pendukung Papua untuk mederka tetapi negara tidak mendukung. Hanya warganya!. Bandingkan saja dengan Palestina yang memiliki pendukung 127 negara PBB.  Dengan demikian, terlihat jelas ada kepentingan politik dalam negara”.
            Lanjut, menurutnya “Nasionalisme orang Papua lebih berani dan maju daripada nasionalisme Minahasa. Nasionalisme orang Minahasa hanya mengacu pada PERMESTA nasional. Belum membangkitkan PERMESTA lokal yang berbeda dengan perjuangan  kemerdekaan Indonesia. Orang Minahasa belum tentu menjadi orang Minahasa seutuhnya jikalau  ia tidak mengerti apa itu Minahasa?.”
             Ia mengibaratkan Orang Papua sedang  main catur, merasa ingin menang dalam permainan. Mereka belum banyak persiapan, lalu  langsung menyatakan kemerdekaan. Sebaiknya tahap demi tahap  atau dengan kata lain proseslah. Palestina 60 tahun baru mendapat pengakuan 127 negara PBB untuk merdeka. Nah, pikir sendiri bagaimana kemerdekaan di Aceh dan Papua? Hmmmm
             Bpk. Andreas memberikan saran “untuk menjadi orang terkenal, maka jangan terlalu banyak bicara tetapi menulislah. Saya menjadi orang pertama di Indonesia yang berbicara melewat tulisan dan diakui oleh PBB dan saya mendapat penghargaan”, kata Bpk. Andreas.
            “Orang Indoensia, kaummu menciptakan kejijian bagi orang Papua. Deskripsi jijik adalah orang Papua suka mabuk, bodoh, hitam, bau  maka disitulah mereka diperlakukan seperti anjing untuk di siksa dan dipermainkan”, Cetus Bpk. Andreas.
            Apakah  upaya PANTAU akan deskriminasi dan penindasan ini? maka kami membuat pelatihan menulis menggunakan otak akan realita sekitar, tepat waktu dan tulislah kebenaran yang proposional.

Makan Siang
Pukul 13:00-13:45
            Siang yang mendung tanpa asap rokok dengan kesibukan tanda tangan dari Bpk Andreas melalui bukunya Agama Saya adalah Jurnalisme. Tak ketinggalan foto bareng. Lalu kami beranjak ke meja makan. Ini menjadi makan siang terakhir bersama para peserta, instruktur dan pembicara.

Sesi # 03 : Sejarah Lokal Minahasa sebagai Subjek dalam Penulisan
Pukul 13:45-16:00
            Pengampuh sesi ini adalah Ivan Kaunang. Bpk. Ivan  adalah dosen  Sejarah di Universitas Sam Ratulangi. Ia menulis buku "Bulan Sabit di Nusa Utara dan desertasinya dibuat buku yang berjudul Maengket: Kristalisasi Politik Identitas ke-minahasa-an" .
            Dengan gaya bicara yang ‘gaul’, ia mengajak kelas untuk santai. Pada saat itu, ia memakai kemeja merah garis-garis, celana jeans hitam, memakai jam  tangan cokelat, dan sandal kulit.
            Setelah memaparkan materinya melalui powerpoint, ia memberikan kesempatan untuk bertanya. Saya-pun tidak menyiayiakan kesempatan ini. “Mengapa cover  depan buku Maengket mner (bpk. Ivan) memakai baju kemeja jeans bukan memakai baju maengket?”, Tanyaku.
            Lalu mner (panggilan akrab) menjawab:
  1. Buku ini ibarat sebuah puisi. Saya memakai baju biasa agar supaya pembaca penasaran tulisan di balik buku ini. Cover depan adalah wajah tulisan itu. Saya melihat Koran, nama foto, berita foto. Kong saya di mana? Maka buku ini saya pampang foto saya hahaha J
  2.  Dipercetakan saya bilang foto beking kecil maar dia beking ukuran foto basar.
  3. Biasanya orang memasang foto di buku mereka so meninggal tetapi saya hebat. Sedangkan menteri memasang fotonya di buku pe besar. Kong apa lagi kita? Nda mo kala hahaha J
            Ada tips jitu yang dibagikan mner bagi kami sekalian “Menulis ibarat menyapu. Ada ide, tulis. So nda ada ide kase biar. Bapontar. Bale ulang di kamar kalo dapa ide. Periksa-periksa ulang, lama-lama jadi bukit. Akhirnya kumpulan tulisan menjadi banyak.” Mantap, mner !

            Ada ajakan yang bisa menjadi fondasi kala menulis “Kalau merasa menulis itu gampang, menulis itu keterampilan maka jangan takut salah. Kalau salah bisa revisi kembali. Oleh karena itu,  jangan jenuh-jenuh  melatih diri untuk menulis terus” Ajakan mner Ivan.

Coffe Break
16:00-16:30

Penutupan : Panitia dan peserta serta instruktur berbagi kesan dan saran. Pembagian sertifikat dan persiapan pulang.
Pukul 17:00-18:00
              Sore yang cerah, Bpk. Andreas Harsono memakai jeket hitam berlapis baju putih, berkaca ata, memakai jeans hitam, sambil memberikan arahan sebelum menutup workshop menulis narasi.
Ada beberapa hal yang saya catat berdasarkan arahan Bpk Andreas, yakni:
  1. Apakah kaitan saya menulis dengan latar belakang agama. Dan Apakah yang hendak saya kerjakan dan akan hendak dikerjakan bersama-sama (?).
  2.  “lebih penting bagi hidup saya (bpk. Andreas) untuk belajar hukum, internet, dan  menulis. Bukan lebih penting mencari gelar. Gelar tidak penting, yang penting ilmunya”. Dan yang lebih penting lagi, saya sendiri siapa?
  3. Carilah beasiswa ke luar negeri. Ketika mencari beasiswa, Ada 2 hal yang harus dipikirkan: pertama, studinya apa/sekolah. Kedua, melamar di lembaga mana yang membiayai beasiswa saya/duitnya dari mana.
            Jika anda lolos sebagai mahasiswa penerima beasiswa maka anda harus berpikir lebih lanjut misalnya menjadi  mahasiswa Harvard? Hal (1). Siapa kau?  (2). Kau mau apa di kampus ini? Harvard 800 juta/persemester. Astaga mahalnya . Ingat, Bahasa Inggris harus bagus! Mulailah dengan bahasa Inggris dan berkarierlah di tingkat internasional.
4.  Perbedaan jurnalisme dan aktivisme.
5.  Kalau anda bisa menulis dengan baik, maka anda akan dikejar untuk menulis dengan banyak. Setiap hari saya menulis, apakah itu di hotel, di rumah dll. Cetus Andreas.

           Setelah bpk. Andreas memberikan arahan, diikuti kakak Imam, maka berakhir juga workshop ini. Akhirnya, kami foto bersama, makan malam terakhir, pembagian sertifikat, uang transportasi dan tibalah kami pulang ke wale masing-masing.
          Terima kasih saya sampaikan kepada :
  1. Andreas Harsono, Imam Shofwan, dan Fahri Salam (yayasan Pantau)
  2. Rikson Karundeng, Denny Pinontoan, Fredy Wowor, Kemerlien Ondang dan Ivan Kaunang
           Yang telah memberikan ilmu, pengalaman, fasilitas dan buku secara gratis. Semoga Tuhan yang Maha Esa membalas segala niat baik dan akal budi tulus kalian.
Tuhan memberkati.


Disusun oleh: Nency A Heydemans Maramis (anggota PERUATI Minahasa)
Manado, Jumat 24 Februari 2012

Tidak ada komentar: