Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Rabu, 18 April 2012

Membaca Alkitab Dengan Mata Baru: Diskusi dan Sosialisasi PERUATI Minahasa

Setiap bulan, PERUATI Minahasa mengadakan diskusi dan sosialisasi di beberapa tempat yang tersebar di tanah Minahasa. Bulan April tanggal 11, PERUATI Minahasa berkunjung di GMIM Bahtera Amongena Langowan I dengan nyonya rumah Ibu Pdt Telly Sondakh. Perkunjungan ini diikuti oleh pengurus inti dan rekrutmen PERUATI Minahasa Raya II. Peserta sekitar 17 orang berpendidikan teologi, yang terdiri dari pendeta, vikaris dan tenaga orientasi.

            Hujan membasahi daerah Langowan, di luar gedung gereja sejenak terlihat embun tebal menutup pandangan mata dan terasa udara dingin menusuk di sela-sela kulit. Namun tak memudarkan semangat kami memulaikan kegiatan ini. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 11:40. Ibadah pembukaan di pimpin oleh Pdt Ejodia Kakoensi.

            Kemudian, Pdt Ejodia menuntun  kami masuk dalam metode PA melalui Membaca Alkitab dengan Kaca Mata Baru. Memandang Alkitab dari kaca mata pendidikan perempuan teologi. Alkitab dikaji dari sisi korban dalam hal ini kaum perempuan. Kajian yang dibahas yakni “Kisah Dina Putri Leah dan Yakub.”
Ada tiga pertanyaan diskusi bersama yang tertera di makalah, yakni:
  1. Adakah kemungkinan lain yang masih bisa kita gali dalam menemukan pendekatan yang pas pada kisah Dina ini?
  2. Angkatlah satu kasus yang similar dalam jemaat atau masyarakat untuk kita kritisi dengan memakai tawaran pendekatan yang lebih memihak korban.
  3. Bagaimana Pandangan kita tentang hubungan antar individu dalam masyarakat saat ini? Apakah benar pihak perempuan memiliki kesulitan lebih besar dibandingkan laki-laki dalam melakukan pendekatan?
            Menarik, bukan? Mari kita simak diskusi yang tercipta saat kaum perempuan teolog Minahasa berbicara.

            Ibu Pdt Linda Giroth memulai dengan memberi tanggapan “Konteks sosial penulisan saat itu sangat mendiskriminasikan perempuan. Saat ini, situasinya sudah berbeda. Artinya, Perkembangan dunia maya melalui teknologi membuka cakrawala jejaring pertemanan. Membangun pertemanan seringkali membahayakan jika kita hanya berteman tanpa mengenalnya lebih dahulu. Dan oleh karena itu, pendekatan face to face dari PERUATI Minahasa seperti merekrut dan berkunjung sangatlah bermanfaat kepada kami. Manfaatnya, kita bisa saling mengenal antar pengurus dan anggota PERUATI Minahasa.”

            Dari sisi kanan depan, ibu Pdt Politon-Assa (Bunda) mengomentari “Perasaan Dina tidak dirasakan penulis sehingga terjadi bias. Kisah Dina merupakan pelecehan hak kaum perempuan. Mengapa demikian? Pertama,  penulis tidak merasakan penderitaan korban (Dina) bahkan tidak menuliskan dalam kitab ini. Kedua, Penulisan kitab dilatar belakang budaya Patriakhi Yahudi. Lalu bagaimana dalam konteks Minahasa? Torang di Minahasa dalam hal ini kaum perempuan masih dipegang pada keputusan-keputusan dan atau kebijakan-kebijakan laki-laki.”

            Sebagai perempuan teolog berpikir kritis, Pdt Evie Rawung memberikan pernyataan “Pernikahan merupakan sebuah proses pengambilan keputusan dari kumpulan orang-orang yang bersepakat atau komunal. Kontribusi yang sangat berarti tercipta kala dua orang dari sikap suka sama suka, dari kedua bela pihak mengambil keputusan untuk menikah. Namun, konteks Dina pada saat itu sangat dipengaruhi oleh budaya patriakhi. Akhirnya perempuan dirugikan dan menjadi korban.”

            Sementara Pdt Evie memberikan pernyataan, tiba-tiba muncul suara Bunda dengan mempertanyakan “Apakah ada pendeta perempuan mengkhotbahkan kisah ini di atas mimbar?.” Kami sekalian mengeleng-gelengkan kepala sambil berucap “Sepertinya belum ada.”

           Di sisi kiri paling depan muncul pendapat dari ketua PERUATI Pusat sekaligus ketua PERUATI Minahasa, yakni Pdt Ruth Wangkai. Ibu Pdt Ruth berpendapat “Masyarakat Israel Kuno sampai pada Yahudi memandang kaum perempuan adalah milik ayahnya, atau milik kakaknya laki-laki. Lalu, perempuan dipandang sebagai objek, pasif  dan ia tidak berhak memilih. Hal ini dilatar belakangi budaya Patriakhi yang sangat kuat. Di ranah patriakhi inilah muncul sosok Dina yang mencoba menerobos budaya ini. Alhasil, kisah ditulis dalam Alkitab tentang Dina sebagai perempuan sundal sangatlah merugikan dirinya sendiri sebagai perempuan. Itulah tantangan dan konsekuensi kaum perempuan (seperti Dina) yang mulai medekonstruksi budaya patriakhi. Di Indonesia, Budaya partriakhi bisa ditemui di daerah Jawa dan Batak.

          “Dahulu, pernikahan anak perempuan Minahasa di pilih dan di atur orang tua. Ada yang rumah tangganya langgeng sampai selama-lamanya dan ada juga mandek. Berbicara Injil dan kebudayaan, maka kita tahu bersama bahwa Injil masuk dalam budaya. Misalnya, budaya patriakhi yang dianggap kaum perempuan pada saat itu, posisinya biasa-biasa saja dan tidak menjadi masalah. Meskipun ada yang memberontak seperti Dina. Dalam Alkitab di kisah penciptaan, perempuan dan laki-laki adalah setara,” cetus Ibu Pdt Hanny Pua.

           Ada contoh kasus yang dipaparkan kakak Pdt Ejodia, “Di Afganistan, Seorang perempuan tidak boleh berkumpul dengan sesama teman perempuannya. Mengapa? Karena perempuan adalah milik suaminya, atau milik ayahnya. Anehnya, masih ada kasus-kasus yang melarang aktivitas perempuan di ranah publik, meskipun sudah diaktakan HAM (termasuk perempuan) di dunia internasional.”

            Dengan berani Pdt Jane Rambing memberikan pemikiran merdeka, dengan berucap “kekerasan kepada perempuan jangan seperti menjadi alat untuk memicu perebutan tanah Kanaan. Politik pencitraan kaum perempuan sudah terjadi sejak Israel sehingga kekerasan berlapis-lapis bagi kaum perempuan sangat membuat dirinya menjadi korban. Korban struktur dan streotip yang tidak membebaskan pergerakan kaum perempuan.

            Kakak Pdt Ejodia menambahkan “Kitab Ulangan lebih dahulu ditulis dari kisah Penciptaan alam semesta. Bisa saja kisah Dina ditulis untuk kepentingan heroik laki-laki tertentu melalui gaya penutur berlatar belakang patriarkhal.”

            Sekarang, kita akan masuk dalam sesi pertanyaan kedua. Mari kita simak terus kontribusi kaum perempuan merdeka Minahasa dari kacamata baru, doing theology.


           Angin berhembus dengan kencang di kala kakak Pdt Ejodia memberikan contoh kasus dalam jemaat. “Kekerasan sang suami terhadap Istri. Ada seorang suami yang memiliki kelainan seksual. Kelainannya terlihat ketika ia memerintahkan sang istrinya untuk berhubungan dengan laki-laki lain di depan kedua bola matanya yang ‘tak waras dan tak terpuji’. Suatu kali sang istri pergi meninggalkan suaminya. Dua anak ikut kepadanya dan dua anak ikut suaminya. Kemudian, istrinya bekerja di Manado. Suaminya berencana untuk membunuhnya. Ketika ia tidak mendapat keberadaan istrinya maka ia mengakhiri hidup di kebun. Karena ia bunuh diri maka hanya dibuat doa singkat dan ibadah pemakaman di pekuburan. Akhirnya, sang istri mendapat cercahan dari keluarga laki-laki dan kedua anaknya yang berpihak pada sang suami.”

           Kakak Pdt Ejodia memberikan usulan bahwa “para pendeta bukan hanya sampai pada berdoa dan selesai masalah di jemaat. Sebaliknya, para pendeta perlu banyak membekali diri dengan perkunjungan pastoral. Di lapangan (baca: jemaat), para pendeta sering memberi nasehat kala jemaat sedang menghadapi masalah. Sebaiknya, pendeta atau pastor yang baik adalah mendengar keluh kesah mereka (korban). Bukan, memberikan banyak ‘hujan’ nasehat!

           Ada seorang teolog datang ke tanah Minahasa, ia mengadakan seminar tentang penggembalaan pastoral. Dari seminar itu, ia menyimpulkan dalam tulisan website-nya “para pendeta GMIM kurang mengadakan pastoral.” Mengapa? Pertama, Pendeta GMIM kebanyakan berkunjung di ibadah HUT daripada mengadakan penggembalaan jemaat. Kedua, Pendeta GMIM malas membaca buku penggembalaan pastoral. Ia hanya mengetahui penggembalaan sekitar 10-25 tahun yang lalu di bangku kuliah teologi. Astaga parah.

           Contoh masalah lainnya, Suara Parampuang Minahasa mengatakan bahwa korban kekerasan perempuan terjadi pada warga GMIM. Pertanyaannya, dimanakan suara profetik dan pendampingan pastoral para pendeta GMIM? Selama ini, banyak warga GMIM berlindung di LSM Suara Parampuang Minahasa.” Cetus kk Pdt Ejo dengan kritis dan menjadi bahan evaluasi kami sekalian.

           Saat masuk dalam pertanyaan ketiga, nuansa makin memanas. Pemanasan pikiran brilian sebagai bahan koreksi diri kaum perempuan Minahasa. Sementara berlangsung diskusi hangat ini, nyonya rumah Pdt Telly Sondakh membagikan makanan khas Minahasa dalam dos. Sayangnya, makanan ini sudah tidak panas lagi. Maklum yaa.., udara dingin di Langowan. Ada pepatah yang mengatakan “Sekali mendayung, dua pulau terlewati. Sementara mendengar diskusi, sementara itu pula kami makan.”

           Waktunya sosialisasi PERUATI Pusat dan PERUATI Minahasa. Sosialisasi pertama dibawakan Ibu Pdt Ruth Wangkai Sebagai ketua PERUATI Pusat, dan di lanjutkan dengan sosialisasi PERUATI Minahasa oleh Ibu Pdt. Evie Rawung selaku Sekretaris PERUATI Minahasa.

            Sampai saat ini, banyak tantangan yang dihadapi PERUATI Minahasa. Tantangan menjadi “cambuk” bagi kami untuk membenahi diri lebih baik dengan mengedepankan sisi kemanusiaan yang membebaskan dan memerdekakan. Dan oleh karena itu, perempuan berpendidikan teologi perlu membekali diri dalam perspektif, sikap dan langkah serta dapat mengembangkan potensi demi peran serta sumbangsihnya bagi kehidupan Gereja dan masyarakat di Indonesia.

             Ekoteologi adalah topik yang akan diselenggarakan tanggal 17-18 April di GMIM Petra Sario Tumpaan, Manado. Topik Ini sangat menarik dengan ulasan lingkungan hidup sebagai tanggungjawab bersama mengingat sekarang ini bumi sedang dilanda Global Warming dan Climate Change. Ada juga topik ekofeminis. Seminar ini diselenggarakan PERUATI, bermitra dengan PGI. Pendaftaran peserta seminar ini disampaikan oleh Ibu Pdt Rut Wangkai.

             Sebelum kegiatan ini di tutup, Ibu Pdt Rut memberikan kesempatan kepada Ibu Roos Pontororing-Bastian (Ketua STAKEN Manado) selaku salah satu tokoh pendiri PERUATI untuk membagikan pengalaman awal mulanya PERUATI terbentuk, dan masukan demi kemajuan PERUATI Minahasa hari ini dan ke depan.

             Kegiatan berakhir pukul 14:30. Tidak ketinggalan foto bersama (meskipun banyak pendeta yang sudah pulang) untuk kenang-kenangan.

                                                        S.E.K.I.A.N

                                                                                                        Salam Kasih,
                                                                                                        Manado, 14 April 2012
                                                                                                        Nency A Heydemans Maramis


Tidak ada komentar: