Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 27 Februari 2012

Selamat Hari Ibu

Di kala aku dalam kandungan, ibu (mama) melindungku dalam rahim, memberi kehangatan dan asupan makanan bergizi yang mengalir dalam sehelai tali pusar. Kemudian, aku tidak melupakan tempat di mana tali pusar di kuburkan. Ya.., tanah Minahasa tempat kelahiranku. Tanah Ibu Pertiwi, tanah Minahasa.
Di kala aku lahir, ibu membuktikan buah cintanya lahir dengan baik dan selamat. Ayah (papa) selalu siap antar jaga (SIAGA) demi keselamatan si buah kecilnya dan si ibu.
           Di kala aku dalam masa pertumbuhan anak balita, ibu menunjukkan cintanya yang tak terhingga melalui sentuhan tangan. Tangannya merangkul, air susu ibu merangsang daya nalar dan matanya menatap setiap keingin tahu-an-ku akan isi dunia ini.
           Di kala masa pertumbuhan anak, ibu turut berpartisipasi mengajarkan aku membaca, menulis, dan pengenalan akan ibadah dalam satu komunitas Kristen (misalnya, kebaktian dalam gedung gereja, kolom, kaum ibu). Itulah pertama kalinya aku mengenal huruf (dan angka), dan iman Kristen Protestan beraliran Calvinis (agama Kristen dalam payung GMIM adalah agama keturunan ibu dan bapak-ku).
           Di kala masa anak didik, ibu sibuk menentukkan sekolah negeri yang baik demi masa depan anaknya. Kesibukan ibu nampak ketika pendaftaran menjadi seorang siswi, penerimaan raport, rapat, bahkan menyediakan sarapan dan atau bekal sebelum aku pergi ke sekolah. Aku bersekolah di sekolah yang tidak terlalu terkenal dengan biaya murah. Seolah belajar di sekolah menjadikanku lebih mengenal interaksi sosial, karakter dan pelbagai isi pengetahuan alam semesta yang menarik untuk dipelajari bahkan diteliti. Mata pelajaran favoritku yakni matematika, biologi dan fisika. Tapi sangat disayangkan, aku bukan masuk dalam kategori seorang peneliti ilmu pengetahuan alam tetapi seorang pemikir yang ‘doyan’ berimajinasi di malam hari. Aku senang bisa tumbuh dari sekolah biasa, yang berakhir menjadi orang biasa, yang mempunyai kebiasaan ‘tidur sambil mendengar” celote sang ibu guru di depan kelas tapi aku tidak ber-bisa menimbulkan virus bagi teman.
          Di kala masa dewasa, aku mempunyai ‘nasar’ menjadi seorang hamba Tuhan. Ibu merupakan orang pertama kaget akan panggilan dan pilihan hidupku itu. Kaget dan tidak menyangka si anaknya yang ‘brilian’ masuk dalam sekolah pendidikan teologi. Pilihanku didukung bapak melalui material, motivasi bahkan sewaktu-waktu menjadi sahabat karib di kala aku kalang kabut. Proses belajar teologi dari nihil menjadi nilai yang berkualitas. Meskipun terkadang pasang surut semangat belajar tak bisa di hindari. Pasang, spirit yang berkobar-kobar mendekonstruksi ideologi berteologi. Surut, matinya Tuhan dalam nama ketuhanan hidupku, menjadikanku mempercayai banyak Tuhan dalam kepercayaan, agama bahkan ateis-pun mengaku akulah tuhan. Itulah kehidupan dalam proses ‘gelombang cinta’ menatap cakrawala luas dengan berpikir bebas, merdeka dan kritis. Kritis yang seringkali membuat diriku mengalami krisis ideologi. Krisis, takkalah aku berpaling dari sebuah nazar. Ke manapun aku pergi menghindar tapi sulit tuk melaluinya. Banyak yang terpanggil, sedikit yang terpilih. Itulah yang aku yakini dan harus menjalani proses berteologi sosiologi agama. Begitulah tepatnya aku di belajar, proses, menjadikan ke-aku-an yang tidak-angku.

Hari ini spesial tulisan untuk sang ibu yang telah melahirkan, merawat, mendidik, memberi kasih sayang, dan peduli akan masa depan anaknya. Peran orang tua (ibu dan ayah) menghargai kemanusiaan sang anak yakni orang tua memberikan jalan masuk agar sang anak bisa memilih dengan bebas jalan kehidupannya.

Ungkapan isi hatiku buat sang ibu (mama, bunda) tersayang:
       Ibu melahirkan aku, ini membuktikan aku menghargai tahun rahmat Tuhan; rahim bumi dirusaki oleh anak manusia yang berujung terjadi kerusakan lingkungan alam seperti pemanasan global dan perubahan iklim. Inilah lingkaran setan bernaung dalam rahim bumi, bahkan virus HIV dan AIDS merusaki rahim ibu. Sungguh ironis! L
       Ibu merawat aku, ini membuktikan aku perlu banyak belajar akan kepedulian sesama manusia seperti kemiskinan, anak yatim piatu, para janda/duda, ketidakadilan sosial, pelanggaran HAM dan kekerasan. Aku merasa banyak ratusan jiwa yang tidak berdosa menjadi korban ‘perawatan’ (baca proyek) Negara yang salah kaprah. Mengapa? Bermacam alasan bak ‘perawat meminta di rawat’. Aneh tapi nyata negera terkaya akan korupsi. Itulah mereka yang bertangan besi, hati panas dan muka yang menjadi murka pembinasaan.
       Ibu mendidik aku, ini membuktikan aku harus berbagi ilmu (teologi dan sosiologi agama) kepada siapa saja yang bersedia mendengarkan dan berpikir realistis kritis. Aku tidak senang menasehati seseorang (bahkan lebih tua) seakan, aku adalah gurunya. Seringkali si pendengar merasa minder seperti anak kecil, bahkan merasa takut di depan Tuhan yang kejam. Khotbah yang hidup bukan menasehati ‘membabi buta’ jemaat di bawah mimbar, khotbah yang telah lumrah di dengar oleh jemaat tentang moral dan keadilan Tuhan bagi perikemanusiaan (pertanyaannya, apakah keadilan dan moral telah di junjung tinggi oleh manusia?). Lanjut, bagaimana khotbah hidup bisa hidup dalam perilaku si pengkhotbah sehingga dia menjadi teladan di jemaat.
       Ibu memberi kasih sayang kepadaku, ini membuktikan kejujuran dan mengasihi sesama manusia tidak bisa dibeli dengan materi/harta. Seringkali harta, tata, dan sistem ‘memperkosa’ kejujuran. Sulitnya kejujuran menandakan pilar dan pijar bangsa Indonesia lagi terhimpit dimakan ‘kutu-kutu’ burung garuda.
       Ibu peduli kepadaku, ini membuktikan masa depan terbentang luas meraih karya, karsa dan karier. Masa depan yang pernah tercoreng dalam karya bunda Maria Walanda Maramis untuk anak temurunnya. Karya menjadikan setiap ibu bisa mandiri melalui skill, berpikir merdeka dan bertindak bebas tanpa kungkungan adat yang patriakhi itu. Ibu dan bunda adalah pohon inspirator, bagaimana aku menjadi perempuan yang berpengharapan akan sebuah mimpi. Bermimpilah anakku, gapailah dengan tongkat kejujuran, setajam mata membela keadilan dan berjalanlah sesuai hati nurani nan suci itu.

Jangan mengharapkan apa yang akan Negara berikan kepada kita,
Tetapi, pikirkan dan perbuatlah apa yang akan kita kontribusikan kepada Negeri Pertiwi ini.
Jangan, biarkan ibu selalu memberikan kasih sayang kepada kita.
Tetapi, bagaimana kita akan setia membantu, sabar menghibur dan memberi cinta dari hati yang tulis kepada sang ibu yang telah membesarkan kita.  

Semoga tulisan ini menjadi bahan ‘referensi’ bagi pembaca. Kamu bisa membuat sebuah refleksi singkat sosok ibu-mu selama ini. Marilah berefleksi dalam sebuah imajinasi berhiaskan sebuah coretan sang legenda kita, ibu. Selamat Hari Ibu

Manado, 22 Desember 2011
Nency A. Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: