Di kala aku dalam kandungan, ibu (mama) melindungku dalam rahim,
memberi kehangatan dan asupan makanan bergizi yang mengalir dalam
sehelai tali pusar. Kemudian, aku tidak melupakan tempat di mana tali
pusar di kuburkan. Ya.., tanah Minahasa tempat kelahiranku. Tanah Ibu
Pertiwi, tanah Minahasa.
Di kala aku lahir, ibu membuktikan buah
cintanya lahir dengan baik dan selamat. Ayah (papa) selalu siap antar
jaga (SIAGA) demi keselamatan si buah kecilnya dan si ibu.
Di kala aku dalam masa pertumbuhan anak balita, ibu menunjukkan
cintanya yang tak terhingga melalui sentuhan tangan. Tangannya
merangkul, air susu ibu merangsang daya nalar dan matanya menatap setiap
keingin tahu-an-ku akan isi dunia ini.
Di kala masa
pertumbuhan anak, ibu turut berpartisipasi mengajarkan aku membaca,
menulis, dan pengenalan akan ibadah dalam satu komunitas Kristen
(misalnya, kebaktian dalam gedung gereja, kolom, kaum ibu). Itulah
pertama kalinya aku mengenal huruf (dan angka), dan iman Kristen
Protestan beraliran Calvinis (agama Kristen dalam payung GMIM adalah
agama keturunan ibu dan bapak-ku).
Di kala masa anak
didik, ibu sibuk menentukkan sekolah negeri yang baik demi masa depan
anaknya. Kesibukan ibu nampak ketika pendaftaran menjadi seorang siswi,
penerimaan raport, rapat, bahkan menyediakan sarapan dan atau bekal
sebelum aku pergi ke sekolah. Aku bersekolah di sekolah yang tidak
terlalu terkenal dengan biaya murah. Seolah belajar di sekolah
menjadikanku lebih mengenal interaksi sosial, karakter dan pelbagai isi
pengetahuan alam semesta yang menarik untuk dipelajari bahkan diteliti.
Mata pelajaran favoritku yakni matematika, biologi dan fisika. Tapi
sangat disayangkan, aku bukan masuk dalam kategori seorang peneliti ilmu
pengetahuan alam tetapi seorang pemikir yang ‘doyan’ berimajinasi di
malam hari. Aku senang bisa tumbuh dari sekolah biasa, yang berakhir
menjadi orang biasa, yang mempunyai kebiasaan ‘tidur sambil mendengar”
celote sang ibu guru di depan kelas tapi aku tidak ber-bisa menimbulkan
virus bagi teman.
Di kala masa dewasa, aku mempunyai
‘nasar’ menjadi seorang hamba Tuhan. Ibu merupakan orang pertama kaget
akan panggilan dan pilihan hidupku itu. Kaget dan tidak menyangka si
anaknya yang ‘brilian’ masuk dalam sekolah pendidikan teologi. Pilihanku
didukung bapak melalui material, motivasi bahkan sewaktu-waktu menjadi
sahabat karib di kala aku kalang kabut. Proses belajar teologi dari
nihil menjadi nilai yang berkualitas. Meskipun terkadang pasang surut
semangat belajar tak bisa di hindari. Pasang, spirit yang berkobar-kobar
mendekonstruksi ideologi berteologi. Surut, matinya Tuhan dalam nama
ketuhanan hidupku, menjadikanku mempercayai banyak Tuhan dalam
kepercayaan, agama bahkan ateis-pun mengaku akulah tuhan. Itulah
kehidupan dalam proses ‘gelombang cinta’ menatap cakrawala luas dengan
berpikir bebas, merdeka dan kritis. Kritis yang seringkali membuat
diriku mengalami krisis ideologi. Krisis, takkalah aku berpaling dari
sebuah nazar. Ke manapun aku pergi menghindar tapi sulit tuk melaluinya.
Banyak yang terpanggil, sedikit yang terpilih. Itulah yang aku yakini
dan harus menjalani proses berteologi sosiologi agama. Begitulah
tepatnya aku di belajar, proses, menjadikan ke-aku-an yang tidak-angku.
Hari
ini spesial tulisan untuk sang ibu yang telah melahirkan, merawat,
mendidik, memberi kasih sayang, dan peduli akan masa depan anaknya.
Peran orang tua (ibu dan ayah) menghargai kemanusiaan sang anak yakni
orang tua memberikan jalan masuk agar sang anak bisa memilih dengan
bebas jalan kehidupannya.
Ungkapan isi hatiku buat sang ibu (mama, bunda) tersayang:
Ibu melahirkan aku, ini membuktikan aku menghargai tahun rahmat Tuhan;
rahim bumi dirusaki oleh anak manusia yang berujung terjadi kerusakan
lingkungan alam seperti pemanasan global dan perubahan iklim. Inilah
lingkaran setan bernaung dalam rahim bumi, bahkan virus HIV dan AIDS
merusaki rahim ibu. Sungguh ironis! L
Ibu merawat aku, ini
membuktikan aku perlu banyak belajar akan kepedulian sesama manusia
seperti kemiskinan, anak yatim piatu, para janda/duda, ketidakadilan
sosial, pelanggaran HAM dan kekerasan. Aku merasa banyak ratusan jiwa
yang tidak berdosa menjadi korban ‘perawatan’ (baca proyek) Negara yang
salah kaprah. Mengapa? Bermacam alasan bak ‘perawat meminta di rawat’.
Aneh tapi nyata negera terkaya akan korupsi. Itulah mereka yang
bertangan besi, hati panas dan muka yang menjadi murka pembinasaan.
Ibu mendidik aku, ini membuktikan aku harus berbagi ilmu (teologi dan
sosiologi agama) kepada siapa saja yang bersedia mendengarkan dan
berpikir realistis kritis. Aku tidak senang menasehati seseorang (bahkan
lebih tua) seakan, aku adalah gurunya. Seringkali si pendengar merasa
minder seperti anak kecil, bahkan merasa takut di depan Tuhan yang
kejam. Khotbah yang hidup bukan menasehati ‘membabi buta’ jemaat di
bawah mimbar, khotbah yang telah lumrah di dengar oleh jemaat tentang
moral dan keadilan Tuhan bagi perikemanusiaan (pertanyaannya, apakah
keadilan dan moral telah di junjung tinggi oleh manusia?). Lanjut,
bagaimana khotbah hidup bisa hidup dalam perilaku si pengkhotbah
sehingga dia menjadi teladan di jemaat.
Ibu memberi kasih
sayang kepadaku, ini membuktikan kejujuran dan mengasihi sesama manusia
tidak bisa dibeli dengan materi/harta. Seringkali harta, tata, dan
sistem ‘memperkosa’ kejujuran. Sulitnya kejujuran menandakan pilar dan
pijar bangsa Indonesia lagi terhimpit dimakan ‘kutu-kutu’ burung garuda.
Ibu peduli kepadaku, ini membuktikan masa depan terbentang luas meraih
karya, karsa dan karier. Masa depan yang pernah tercoreng dalam karya
bunda Maria Walanda Maramis untuk anak temurunnya. Karya menjadikan
setiap ibu bisa mandiri melalui skill, berpikir merdeka dan
bertindak bebas tanpa kungkungan adat yang patriakhi itu. Ibu dan bunda
adalah pohon inspirator, bagaimana aku menjadi perempuan yang
berpengharapan akan sebuah mimpi. Bermimpilah anakku, gapailah dengan
tongkat kejujuran, setajam mata membela keadilan dan berjalanlah sesuai
hati nurani nan suci itu.
Jangan mengharapkan apa yang akan Negara berikan kepada kita,
Tetapi, pikirkan dan perbuatlah apa yang akan kita kontribusikan kepada Negeri Pertiwi ini.
Jangan, biarkan ibu selalu memberikan kasih sayang kepada kita.
Tetapi,
bagaimana kita akan setia membantu, sabar menghibur dan memberi cinta
dari hati yang tulis kepada sang ibu yang telah membesarkan kita.
Semoga
tulisan ini menjadi bahan ‘referensi’ bagi pembaca. Kamu bisa membuat
sebuah refleksi singkat sosok ibu-mu selama ini. Marilah berefleksi
dalam sebuah imajinasi berhiaskan sebuah coretan sang legenda kita, ibu.
Selamat Hari Ibu
Manado, 22 Desember 2011
Nency A. Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar