Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Rabu, 27 Juni 2012

Yunus Punya Cerita



            Saya Yunus, nabi kecil dari Gat-Hefer. Nama lengkap saya, Yunus bin Amitai. Saya dipanggil TUHAN untuk menyampaikan firman di kota Niniwe. Banyak orang menyebut kota ini sebagai kota metropolitan, kota besar yang penuh dengan hiruk-pikuk keramaian dan kejahatan manusia. Oleh karena perbuatan jahat maka mereka berdosa dihadapan TUHAN.

            Sebenarnya, pemanggilan firman TUHAN kepada diri saya membuat hati ini galau. Galau di satu sisi, TUHAN adalah pengasih dan penyayangi bagi umat manusia. Di sisi lain, saya menjadi binggung dengan hukuman TUHAN akan ciptaan-Nya, mengingat TUHAN itu pengasihi. Kok, Dia ingin membunuh sendiri ciptaan-Nya? Ditambah lagi saya takut berhadapan dengan para pembesar di kota Niniwe. Maka tibalah saya menyusun strategi untuk melarikan diri ke Tarsis. Ya, melarikan diri jauh dari TUHAN, jauh dari firman-Nya, pikir kecilku.

            Dengan langkah tertati-tati saya menuju ke Yafo. Awalnya hati ini galau, eeeh akhirnya apa yang terlihat menyenangkan diri sendiri, keinginan daging, keinginan untuk melarikan diri sudah di depan mata. Benar sekali, sebuah kapal besar sedang parkir di dermaga, terlihat jelas para penumpang menaiki tangga kapal dengan muatan perlengkapan masing-masing.

            Saya pun menoleh ke kanan, ke kiri dan ke belakang ternyata TUHAN tidak kelihatan. Dengan langkah seribu saya berlari ke depan menuju kapal itu. Berlari jauh dari hadapan TUHAN dengan menggenggam sebuah tiket penumpang kapal. Ya ampun, nama kapal itu saya sudah lupa. Maklum tiketnya ketinggalan di kapan.
           
“Kok bisa ketinggalan?”
“Begini, ada sebuah kisah yang tak pernah dilupakan. Karena itu, jangankan tiket kapal yang ketinggalan, saya pun ditinggalkan kapal beserta para penumpang tersebut.” Ternyata saya ditegur oleh TUHAN kala pelarian itu.
“waah, ironis benar kamu?”
“Memang benar, sangat ironis hidup saya ini.”

Saudara/i coba anda imajinasikan betapa malang cerita hidup saya ini. Pertama, saya berpaling dari pemanggilan TUHAN, saya tidak mau disuruh atau diperintah. “kan masih banyak nabi di pelbagai kota, kok mengapa harus saya? Resiko kematian akan pemanggilan-Mu sangat besar, ya TUHAN,” kata hati saya. Nah sekarang, sudah aman di atas kapal, jadi jangan ada yang ganggu tidur nyenyak saya.

Kedua, saya tidak tahu bahwa telah terjadi badai besar, angin ribut menguncang kapal sehingga kapal itu hampir hancur. Saya tidak mendengar jeritan awak kapal yang sedang ketakutan; para penumpang yang sedang berteriak histeris kepada allah-nya. Bukan hanya tekanan psikologis yang dialami mereka, melainkan ada juga ide secuil dengan membuang barang-barang agar supaya muatan kapal menjadi lebih ringan.

“Loh, kamu bisa mengetahui situasi kapal yang sedang oleng di tengah laut?”
“bagaimana saya tidak tahu jalan cerita di atas, kan saya sedang tidur nyenyak di ruang kapal paling bawa, tiba-tiba saya dibangunin nakhoda kapal. Kemudian ia menceritakan situasi kapal pada saat itu dan ia menyuruh berseru kepada Allah-ku.”

Aduh, terasa pusing kepala ini, mata masih lima watt belum lagi rasa ngantuk, sangat. Bergabung dengan para penumpang lainnya, “mereka sedang apa ya?” tanyaku kepada seorang penumpang. “kita lagi membuang undi, barang siapa kena undian maka ia harus berkata jujur dari  mana malapetaka ini datang,” jawabnya. Sementara mereka membagikan undian, tak satu pun yang kena undian. Tiba-tiba undian itu menakuti mata saya. Benar, apa yang terjadi pada saat undian mengarah pada diri saya. Kali ini saya tidak beruntung, karena mendapat undian sial itu. Tersentak, kaget dan seakan tak percaya saya kena undian itu.

Ketakutan mengampiri saya kala semua mata langsung melihat bahkan ingin mengetahui rencana pelarian ini. Saya tak bisa menyembunyikannya lagi. Memang benar bahwa saya orang Ibrani yang takut akan TUHAN Allah yang empunya langit, yang menjadikan lautan dan daratan.

Ketika semua orang mendengar pengakuan saya, maka takutlah mereka. Angin, gelombang laut makin bergelora sehingga saya memutuskan untuk dilemparkan ke dalam laut dengan harapan laut berhenti mengamuk. Ya, prediksi itu benar terjadi, sesuai dengan kehendak TUHAN, laut menjadi tenang, saya ditinggalkan di bawa arus laut bahkan dimakan seekor ikan besar. Sangat ironis memang, saya berada dalam perut ikan selama tiga hari, tiga malam. Untung saja tubuh saya ini tidak menjadi bagian-bagian kecil dalam perut ikan. Jika dipikirkan, apakah ikan besar itu diperintahkan TUHAN untuk menyelamatkan saya? Atau bukan perintah melainkan menjadi pelajaran untuk insaf kepada-Nya?

Di suatu hari dalam kesesakan perut ikan, saya panjatkan doa kepada TUHAN. Memang terasa susah tapi ucapan syukur keluar dari bibir init tidak lain, TUHAN selalu bersamaku. Diakhir doa itu, saya mengutarakan nazar sambil berseru “ keselamatan hanya dari TUHAN sajalah. Jangankan manusia, ikan besar pun dengar-dengaran akan firman TUHAN. Alhasil saya dilemparkan disebuah pulau asing tanpa penduduk. Keluar dari perut ikan yang becek, penuh anyer dan bau tak sedap.

Sejak malam terdampar, tubuh menjadi lemah tak berdaya. Di pagi itu, kalah fajar menyingsing saya terbangun dari mimpi malam. Fajar TUHAN memanggilku untuk kedua kalinya pergi ke Niniwe. Tiga hari lamanya menempuh perjalanan dari padang gurun, lembah dan desa. Karena nazar, maka dengan demikian saya harus berjalan kaki menuju kota metropolitan.

Dengan gagah berani saya memasuki kota yang penuh dengan kejahatan itu. Keberanian saya terpancar saat mengelilingi kota sambil berseru “empat puluh hari lagi, kota Niniwe akan menadapat malapetaka dari Allah karena kejahatanmu.” Ternyata seruan saya didengar dan dipercayai mereka. Bukan hanya percaya saja melainkan mereka melakukan puasa sambil menggunakan kain kabung. Mereka yang dimaksudkannya di sini adalah raja, para pembesar kota, rakyat, ternak, lembu sapi dan kambing serta domba. Akibat pertobatan mereka, tiba-tiba saja TUHAN Allah menyesali perbuatan-Nya sehingga pemusnahan seisi kota tidak terjadi.

Empat puluh hari kemudian malapetaka tidak terjadi sesuai dengan apa yang difirmankan-Nya kepadaku. Jujur dengan perasaan marah, kesal, kecewa sampai stress di kala memandang firman TUHAN tidak menepati janji-Nya. Di sisi lain dalam pandangan sesama manusia, mau diletakkan di mana muka saya? Benar, saya sedang malu kepada masyarakat Niniwe. Malu karena firman TUHAN tidak terjadi karena TUHAN itu pengasih dan penyayang bagi mereka yang telah bertobat. TUHAN adalah TUHAN di atas segala bangsa (universalistis) yang dalam kehendak bebas-Nya menerima orang dengan apa adanya.

Saya jadi pesimis akan hidup ini. Nah, lebih baik saya mati saja daripada hidup. Tak ada gunanya lagi suara profetik ini. Tak ada yang mempercayai saya. Kesal, kesal dan saat kesal itulah saya menulis cerita ini. lebih baik saya mengungsi ke daerah Timur lalu mendirikan pondok untuk berteduh.

Saat berteduh, dikeheningan malam saya melihat ada sebatang pohon jarak sedang bertumbuh. Mulanya, saya merasa terhibur karena ada teman (baca: pohon jarak) untuk bisa dijadikan tempat curahan hati (curhat). Tetapi apa yang terjadi dengan pohon jarak itu? Tiba-tiba ia menjadi kerontang meradang, bahkan layu dimakan ulat. Akhirnya, ia pun menjadi kering lalu meninggalkan saya. Tak bisa menerima perlakuan TUHAN Allah kepadanya, pikiran saya pun langsung frustasi. Di siang terik panas menyengat, saya berharap mati saja, mati dibakar sinar matahari. Sementara memikirkan kematianku, di sebelah kanan terdengar TUHAN berfirman “layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?”. Dengan perasaan jengkel saya menjawab: “selayaknyalah saya marah sampai mati.”

Memang pohon jarak seudah saya anggap teman baik meskipun hanya semalaman perjumpaan kami, tapi apa yang terjadi, ia pergi meninggalkanku tanpa alasan. Tak menerima pelbagai ocehan Yunus, maka TUHAN Allah memberikan alasan panjang-lebar. Memang Aku menyayangi seisi kota Niniwe yang adalah ciptaan-Ku sendiri; ciptaan yang telah menyesali dosa umat manusia.

Ketika mendengar Penyataan-Nya, saya seakan menjadi kecil dan tak berharga di mata TUHAN. Saya tidak lagi menuliskan perjalanan hidup ini. Biarlah menjadi sejarah; puing-puing kehancuran batin yang menyedihkan. Tepat sekali, saya berhenti (apakah berhenti menulis dan atau berhenti hidup) sampai di sini
.

(Cerita ini saya rekonstruksikan dari kisah Yunus)


Manado, 27 Juni 2012
16:20
Nency A Heydemans Maramis




           

Tidak ada komentar: