Saya teringat waktu kuliah
di Fakultas Teologi UKIT sekitar semester lima saya mengambil mata kuliah
teologi pastoral, dan psikologi perkembangan dan beberapa mata kuliah yang
berkaitan dengan konseling pastoral.
Pada saat itu, Fakultas teologi terbagi atas empat
jurusan yakni biblika, agama dan masyarakat, pastoral dan musik gereja. Untuk
memenuhi rumpun sks minor maka saya mengambil bidang pastoral, sedangkan rumpun
mayor saya adalah agama dan masyarakat.
Banyak teori yang di dapat di bangku kuliah, bahkan
sampai terjun di jemaat dengan nama mata kuliah praktek pastoral. Ilmu yang di
dapat masih ‘panas’ di dalam otak dan bagaimana mengkomunikasikan kepada jemaat
yang sedang bergumul dengan masalah keluarga. Pendekatan konselor kepada
konseli jemaat sangat dibutuhkan saat genting. Ya, semacam curahan hati
(curhat) pergumulan keluarganya.
Di sinilah teori berlabur dengan praktek di ladang TUHAN
sama dengan studi kasus. Bagaimana sikap sang konselor yang bijak membuat
strategi dari pelbagai masalah?
Nah, sampai saat tulisan ini ditulis yang menjadi masalah
bukan hanya pada jemaatnya tetapi juga masalah pada konselor Kristen. Jujur,
sebut saja pada diri saya sendiri. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu mata
kuliah berkaitan dengan konseling pastoral tetapi semuanya seperti ‘angin lalu’
saja.
Apa sih maksudmu?
Begini sahabat, berhubung saya pelayanan di jemaat,
kemudian kurang membaca buku mengenai konseling keluarga Kristen maka dengan
demikian minum-lah pengetahuan dan praktek lapangan akan studi kasus di jemaat.
Jujur, saya perlu merubah paradigma bahwa sebenarnya konseling Kristen saat-lah
penting bagi pelayanan di jemaat.
Kok perlu merubah? Apapun yang akan terjadi, saya harus
merubah diri sendiri. Merubah ke hal positif, misalnya membaca kembali
buku-buku mengenai konseling, pastoral, psikologi dan sejenisnya.
Hal ini berfungsi untuk praktek di lapangan. Mengingat,
saya selalu berhadapan dengan pergumulan keluarga jemaat. Setiap selesai
ibadah, ada beberapa orang datang mendekat kepada saya sambil curhat.
Seringkali saya kebingungan, tidak tahu mau ngomong bagaimana, dan takut salah
menanggapi balik akan pergumulannya. Belum lagi, setiba saya di rumah, pastinya
susah tidur sambil pikir-pikir sendiri sampai bisa sedikit ‘stres’ gitu. Waah
kalau sudah begitu pasti solusinya saya tutup dengan doa pribadi.
Dengan kata lain,
sampai saat ini saya hanya kuat mendengar kelu-kesa jemaat, terkurung dalam
bayangan hitam nan gelisa sampai terasa sesak di jantung hati ini. Ya terlalu
berempati.
Begitu pentingkah konseling pastoral Kristen bagi anggota
warga GMIM? Pikir kecil saya saat mengikuti seminar keluarga dengan tema
“Keluarga Bahagia Selamanya dalam Kristus” oleh Bpk Jonathan Parapak (Rektor
Universitas Pelita Harapan) di GMIM Bukit Karmel Batukota. Seminar ini
dilaksanakan dalam rangka HUT ke-181 PI dan Pendidikan Kristen GMIM.
Alhasil, begitu penting dan sangatlah penting guna bekal
bagi para pelayan khusus. Menimbang banyak studi kasus di jemaat yang terjadi
seperti pembunuhan, perceraian dalam keluarga, mencari pasangan lain (WIL atau
PIL), HIV dan AIDS, kekerasan, dan masalah keluarga lainnya.
Melakukan pendekatan konseling pastoral seperti sang
gembala sedang mencari dombanya yang hilang. Injil Lukas 15:4-7 menuliskan
“Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia
kehilangan seekor diantaranya, tidak meninggalkan yang sembilang puluh sembilan
ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?
Dan kalai ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan
gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan
tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: bersukaciltah bersama-sama
dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata
kepadamu: demikian juga aka nada sukacita di Sorga karena satu orang berdosa
yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilah puluh Sembilan orang
benar yang tidak memerlukan pertobatan.”
Mendampingi orang yang sedang sedih, mengalami
pergumulan, tindakan yang merugikan, memang sangatlah sulit. Saya awalnya
mengira bahwa melakukan pendampingan pastoral adalah mudah. Cukup baca buku dan
praktek, ya sudah selesai studi kasus tersebut. Akibat kurang peka terhadap
jemaat yang ‘hilang’ ini maka jemaat merasa kurang dipedulikan. Padahal jemaat
membutuhkan hubungan dan pendampingan dari gembala (baca: pelayan khusus).
Pendampingan ini terjadi dengan sendirinya, berproses,
tidak tergesa-gesa seakan di buat-buat. Sangat dibutuhkan bukan hanya
komunikasi verbal melainkan non verbal juga (sentuhan, belaian, senyuman, raut
wajah yang menunjukkan seribu bahasa tanpa perkataan). Ketabahan mencari jalan
keluar sang ‘domba’, mencari sampai menemukan, ikut berempati dengan luka
batinnya sangat membahagiakan sang gembala.
Sangat memilukan hati ketika ada orang berucap “sekarang ini para pendeta bukang cuma cari
domba maar so cari oto kijang, oto kuda.” Apakah pernyataan ini benar?
Hmmmmm
Dalam melakukan pendampingan konseling pastoral bukan untuk
menghakimi, menuduh bahkan mencari tahu siapa yang salah dan benar. Yang pasti
kita tidak menasehati dan mengkhotbahinya. Tidak mendominasi pembicaraan
sehingga jemaat tidak tahu mana yang akan di dengarnya. Bisa-bisa pikiran
jemaat korsleting karena komunikasi tidak jalan dengan baik. Waah, apakah ini
konseling atau korsleting?
Selamat Melayani Umat
Manado, 21 Juni 2012
22:00
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar