Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Kamis, 21 Juni 2012

Konseling atau Korsleting (?)



            Saya teringat waktu kuliah di Fakultas Teologi UKIT sekitar semester lima saya mengambil mata kuliah teologi pastoral, dan psikologi perkembangan dan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan konseling pastoral.

Pada saat itu, Fakultas teologi terbagi atas empat jurusan yakni biblika, agama dan masyarakat, pastoral dan musik gereja. Untuk memenuhi rumpun sks minor maka saya mengambil bidang pastoral, sedangkan rumpun mayor saya adalah agama dan masyarakat.

Banyak teori yang di dapat di bangku kuliah, bahkan sampai terjun di jemaat dengan nama mata kuliah praktek pastoral. Ilmu yang di dapat masih ‘panas’ di dalam otak dan bagaimana mengkomunikasikan kepada jemaat yang sedang bergumul dengan masalah keluarga. Pendekatan konselor kepada konseli jemaat sangat dibutuhkan saat genting. Ya, semacam curahan hati (curhat) pergumulan keluarganya.

Di sinilah teori berlabur dengan praktek di ladang TUHAN sama dengan studi kasus. Bagaimana sikap sang konselor yang bijak membuat strategi dari pelbagai masalah?

Nah, sampai saat tulisan ini ditulis yang menjadi masalah bukan hanya pada jemaatnya tetapi juga masalah pada konselor Kristen. Jujur, sebut saja pada diri saya sendiri. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu mata kuliah berkaitan dengan konseling pastoral tetapi semuanya seperti ‘angin lalu’ saja.

Apa sih maksudmu?

Begini sahabat, berhubung saya pelayanan di jemaat, kemudian kurang membaca buku mengenai konseling keluarga Kristen maka dengan demikian minum-lah pengetahuan dan praktek lapangan akan studi kasus di jemaat. Jujur, saya perlu merubah paradigma bahwa sebenarnya konseling Kristen saat-lah penting bagi pelayanan di jemaat.

Kok perlu merubah? Apapun yang akan terjadi, saya harus merubah diri sendiri. Merubah ke hal positif, misalnya membaca kembali buku-buku mengenai konseling, pastoral, psikologi dan sejenisnya.

Hal ini berfungsi untuk praktek di lapangan. Mengingat, saya selalu berhadapan dengan pergumulan keluarga jemaat. Setiap selesai ibadah, ada beberapa orang datang mendekat kepada saya sambil curhat. Seringkali saya kebingungan, tidak tahu mau ngomong bagaimana, dan takut salah menanggapi balik akan pergumulannya. Belum lagi, setiba saya di rumah, pastinya susah tidur sambil pikir-pikir sendiri sampai bisa sedikit ‘stres’ gitu. Waah kalau sudah begitu pasti solusinya saya tutup dengan doa pribadi.

 Dengan kata lain, sampai saat ini saya hanya kuat mendengar kelu-kesa jemaat, terkurung dalam bayangan hitam nan gelisa sampai terasa sesak di jantung hati ini. Ya terlalu berempati.

Begitu pentingkah konseling pastoral Kristen bagi anggota warga GMIM? Pikir kecil saya saat mengikuti seminar keluarga dengan tema “Keluarga Bahagia Selamanya dalam Kristus” oleh Bpk Jonathan Parapak (Rektor Universitas Pelita Harapan) di GMIM Bukit Karmel Batukota. Seminar ini dilaksanakan dalam rangka HUT ke-181 PI dan Pendidikan Kristen GMIM.

Alhasil, begitu penting dan sangatlah penting guna bekal bagi para pelayan khusus. Menimbang banyak studi kasus di jemaat yang terjadi seperti pembunuhan, perceraian dalam keluarga, mencari pasangan lain (WIL atau PIL), HIV dan AIDS, kekerasan, dan masalah keluarga lainnya.

Melakukan pendekatan konseling pastoral seperti sang gembala sedang mencari dombanya yang hilang. Injil Lukas 15:4-7 menuliskan “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor diantaranya, tidak meninggalkan yang sembilang puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalai ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: bersukaciltah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: demikian juga aka nada sukacita di Sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilah puluh Sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Mendampingi orang yang sedang sedih, mengalami pergumulan, tindakan yang merugikan, memang sangatlah sulit. Saya awalnya mengira bahwa melakukan pendampingan pastoral adalah mudah. Cukup baca buku dan praktek, ya sudah selesai studi kasus tersebut. Akibat kurang peka terhadap jemaat yang ‘hilang’ ini maka jemaat merasa kurang dipedulikan. Padahal jemaat membutuhkan hubungan dan pendampingan dari gembala (baca: pelayan khusus).

Pendampingan ini terjadi dengan sendirinya, berproses, tidak tergesa-gesa seakan di buat-buat. Sangat dibutuhkan bukan hanya komunikasi verbal melainkan non verbal juga (sentuhan, belaian, senyuman, raut wajah yang menunjukkan seribu bahasa tanpa perkataan). Ketabahan mencari jalan keluar sang ‘domba’, mencari sampai menemukan, ikut berempati dengan luka batinnya sangat membahagiakan sang gembala.

Sangat memilukan hati ketika ada orang berucap “sekarang ini para pendeta bukang cuma cari domba maar so cari oto kijang, oto kuda.” Apakah pernyataan ini benar? Hmmmmm

Dalam melakukan pendampingan konseling pastoral bukan untuk menghakimi, menuduh bahkan mencari tahu siapa yang salah dan benar. Yang pasti kita tidak menasehati dan mengkhotbahinya. Tidak mendominasi pembicaraan sehingga jemaat tidak tahu mana yang akan di dengarnya. Bisa-bisa pikiran jemaat korsleting karena komunikasi tidak jalan dengan baik. Waah, apakah ini konseling atau korsleting?


Selamat Melayani Umat

Manado, 21 Juni 2012
22:00
Nency A Heydemans Maramis









Tidak ada komentar: