Mengapa perempuan? Dan
mengapa menatap masa depan? Bukankah perempuan bagian juga dari masa lampau?
Inilah diskursif topik menarik yang saya ikut di program TVRI (17 Juni 2012)
sekitar jam delapan malam.
Menariknya karena
melibatkan relasi dialog dengan pemerintah, aktivis, dosen, dan penonton itu
sendiri. Pembawa acara dan salah satu nara sumber berjenis kelamin laki-laki.
Kemudian mereka diipit oleh para perempuan jempolan. Jempol bagi mereka (para perempuan)
yang bisa mereduksi, dekonstruksi, dan merekonstruksi apa yang sudah dianggap
‘lazim’, ‘budaya’ salah kaprah.
Maaf saya sudah lupa nama
kelima para nara sumbernya. Maklum, mereka tidak mengenal saya maka dengan
demikian saya juga tidak mengenal mereka. Kok gitu aja repot hehehe.
Namun saya ingat benar bahwa konsep dan kontribusi
pemikiran mereka mengalir membuka cakrawala luas bagi kaum perempuan di mana
saja untuk bebas dan merdeka. Diri mereka sudah bebas dan merdeka lalu bagimana
dengan diri saya dan anda?
Baik maskulinitas maupun
feminitas, ataupun maskulinitas dan feminitas menunjukan kita sama sebagai makhluk
TUHAN yang hidup bersosial membagi kasih yang lebih memberdayakan mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (band. Pancasila sila kelima).
Begitulah perempuan
menatap hidup sebagai anugerah TUHAN, anugerah yang terlukis dalam pancaran masa
depan penuh pelangi kasih bagi seluruh ciptaan-Nya. Inilah perjuangan, optimis,
niat dan tekad kaum perempuan untuk selalu berkarya, berkarier dan
berkontribusi menghidupkan hidup keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
Bagaimana jika ada
perempuan yang masih menatap masa lampau?
Ada pepatah mengatakan
“masa lampau adalah pengalaman, masa sekarang adalah perjuangan dan masa depan
adalah proses mencapai harapan (cita-cita) yang lebih emansipatif dan kompetitif.”
Begitu juga jika seorang
perempuan (atau laki-laki) mengendarai mobil (atau motor) maka ia harus melihat
kaca spion kanan dan kiri. Jika ia hanya menatap ke depan tanpa melihat arah ke belakang maka
mobil yang dikendarainya bisa bertabrakan dengan kendaraan yang lainnya. Bisa-bisa
anda repot dan pusing sendiri.
Nah, bagaimana dengan
anda, apakah hanya melihat masa depan tanpa melihat ke belakang? Jikalau
begitu, Bisakah keberhasilan yang dicapai hari ini tidak di lalui dengan
beratus-ratus kegagalan yang diuji?
Dengan demikian, keberhasilan di capai melalui proses
ketabahan, ketekunan dan kesetiaan untuk memperbaiki kualitas hidup lebih baik
dari kemarin menuju puncak tangga hidup yang masih panjang nan jauh. Bukan, kemarin
lebih baik dari sekarang, bukan juga hidup menuruni tangga tanpa melihat proses
jalan hidup yang makin surut. Bukan, bukan demikian!
Mencetak masa depan berdasarkan pengalaman sebagai
perempuan tidak-lah gampang. Kok bisa? Iya-lah, banyak Pekerjaan Rumah (PR)
yang belum diselesaikan oleh para pejuang perempuan dan penerusnya (termasuk
saya dan anda). PR di sini disebabkan oleh ambisi demi gengsi dan demi aksi
yang tidak memberi kesempatan perempuan bersuara.
Konstruksi sosial membuat pengalaman dan perjuangan
perempuan makin meredup. Streotip laki-laki lebih rasional dan perempuan
emosional, bahkan pembagian kerja menurut jenis kelamin, misalnya laki-laki di
ranah publik dan perempuan di ranah domestik menjadikan manusia (perempuan dan
termasuk juga LGBT) tidak hidup selaknya ia hidup dengan hak dan kebebasannya.
Pernahkah agama monoteis (misalnya agama Kristen)
memposisikan perempuan yang paling depan dan memihak kepada perempuan? Bisakah
membaca Alkitab dengan memihak kepada kaum perempuan yang dianggap sebagai
objek, korban dan yang mengalami diskriminasi dalam kebudayaan patriakhi? Benarkah
Allah preferensi seksualku? Akhirnya, banyak ambigu, salah kaprah dan penafsiran
harafiah teks melihat peran perempuan sebagai ‘momok nan menjijikan’.
Dulu saya jatuh namun sekarang saya bangkit dan
meneruskan perjuangan yang masih ‘tertunda’. Perjuangan sendiri dan Mungkin
juga perjuangan para leluhur saya.
Ingat ini penting sahabat, “menjadi orang penting itu baik tetapi lebih penting menjadi orang baik.”
Kalau mau berhasil, marilah menatap ke depan sambil
melihat ke belakang yang adalah cambuk untuk mentransformasikan diri sebagai
sebuah inspiratif yang menghidupkan dan membanggakan keluarga sendiri untuk
bertahan hari ini dan mengikuti jejak ke-depan-an.
Mengapa kita harus kembali dalam lingkup keluarga
sendiri? Keluarga itulah cermin teladan, panutan dan atas nama keadilan serta
kebebasan diberikan orang tua (papa dan mama) kepada anak-anaknya (termasuk
saya). Keluarga adalah basis yang saling memberi kasih sayang, orang tua selalu
memuji keberhasilan anaknya dan tak ketinggalan kritikan seperti ‘hujan batu’
kala hidup sudah ‘menyimpang’ dari amanat-Nya. Dan oleh karena itu, di dalam
keluarga setiap individu mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Jadi, apakah yang akan kita ciptakan dalam keluarga?
Rumahku, oasis?; atau rumahku, neraka?
Apa lagi yang masih anda tatap wahai sahabatku?
Marilah kita menebarkan kasih yang lebih membebaskan, berkeadilan,
memberi kesempatan demi tenunan bahagia akan keajaiban mimpi. Ingat semboyan
Marthin Luther King “I Have a dream”. Ya, ber-mimpi-lah sambil ora et labora.
Salam Kasih
Manado, 18 Juni 2012
13:40
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar