Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Senin, 18 Juni 2012

Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya




            Kakak Arthur (kakak saya) mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Ini pepatah kesekian kalinya saya dengar kala berbagi pengalaman. Ada tiga bagian mengenai buah dan pohonnya kemudian ketiganya saling berkontradiksi:

            Pertama, buah jatuh tidak jauh dari pohon itu. Artinya pertumbuhan dan hasil buah kokoh seperti pohon induknya. Jika dalam keluarga menanamkan didikan moral dan tanggungjawab secara jujur kepada anak-anaknya, alhasil mereka bertumbuh seperti peran dan ajaran mama dan papanya. Dengan kata lain, figur orang tua berperan mendidik anak-anaknya bertumbuh dengan baik dan benar.

            Kedua, buah belum jatuh, di makan burung lalu buah berpindah tempat. Artinya, belum waktu buah masak, eeeh keburu di bawa lari sang burung. Nah ini dia kendalanya, jika seorang pemuda/i belum siap menghadapi ‘masa orang tua’, identitas diri bak angin ‘genit’ menghantam daun hijau yang berguguran, dan stigma lingkungan membuat dirinya terkucilkan. Perasaan berat ini menjadi pertanyaan yang saya ajukan kepada diri saya sendiri. “Apakah saya sendiri telah berpindah tempat dari “pohon buah” itu?

            Pertanyaan ini mengikuti pikiran saya, ke-mana-pun saya pergi dan berada. Apakah itu di jalan, di tempat ibadah, di dapur, di depan laptop, di tempat tidur bahkan sampai bermimpi. Sulit jika diimajinasikan kala merobek sukma terdalam.

            Bagian ketiga, buah jatuh namun jatuh bukan di tanah tetapi hanyut dibawa air sungai. Kemudian, buah tersebut bertumbuh dan berbuah di tanah yang jauh dari pohon induknya. Tetapi ada beberapa buah lainnya yang tidak bertumbuh karena buah terhimpit di bebatuan sungai.

Bisa di imajinasikan jika seseorang merantau, hidup di tanah orang lain dan hidupnya menjadi berkat di tanah di mana ia berpijak.  Itulah teladan bagi kita sekalian. Namun, ada kendala bagi sebagian orang lain. Apa itu? Ia merantau hanya menyusahkan orang tuanya di jauh; kemudian, ia menjadi kaya mendadak. Kok begitu? Ini dia sang koruptor yang bernari-nari di atas himpitan banyak orang miskin. Segala cara menjadi halal. Halal berdasarkan pemahaman “saya korupsi untuk sambung hidup.” Ironis bukan? Tolong ucapkan apa yang anda pikirkan, dan lakukan demi negara Indonesia ini, wahai koruptor?
             
            Lain ceritanya bagi keluarga yang satu ini. Jika ada seorang anak dalam keluarga yang berhasil dalam pendidikan, pekerjaan dan rumah tangga maka orang tersebut akan disebut oleh kebanyakan orang “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Artinya figur orang tuanya menjadi keberhasilan masa depan anak-anaknya.

            Seperti kata firman TUHAN “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah” (Yesaya 17:7-8).

            Kutipan firman di atas banyak kali dipakai pengkhotbah kala menyampaikan renungan dalam ibadah Hari Ulang Tahun. Namun jika dimaknai dalam hidup setiap hari, firman ini menjadi pegangan hidup kala mengarungi kebahagiaan bahtera keluarga yang bergelombang. Bergelombang tetapi tidak menghilangkan ciri khasnya. Apa ciri khasnya? keluarga Kristen menjadi ‘buah’ roh yang diberkati.

            Berkat bagi keluarga, masyarakat dan keutuhan ciptaan alam semesta. Hidup ini sebenarnya indah, jika kita memaknai penderitaan adalah bagian kecil dari kebahagiaan hidup. Komitmen dalam sebuah janji pernikahan membuat dirinya tidak mau berpisah dengan keluarga besarnya. Menjadi keluarga bahagia selamanya dalam Kristus.

Setiap tahun ada pembaharuan komitmen dan janji setia dalam satu ikatan kudus rumah tangga. Seperti itulah buah tidak jauh dari pohonnya karena ingin menapaki jejak-jejak sang mama dan papa yang inspiratif.

            Sambil tersenyum malu saya (sebagai anak) menuliskannya ini dan berkata dalam sanubari “kita sayang s’kali pa mama deng papa.”



Manado, 18 Juni 2012
22:20
Nency A Heydemans Maramis
           

Tidak ada komentar: