Kakak Arthur (kakak saya) mengatakan “buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya”. Ini pepatah kesekian kalinya saya dengar kala berbagi
pengalaman. Ada tiga bagian mengenai buah dan pohonnya kemudian ketiganya saling
berkontradiksi:
Pertama, buah
jatuh tidak jauh dari pohon itu. Artinya pertumbuhan dan hasil buah kokoh
seperti pohon induknya. Jika dalam keluarga menanamkan didikan moral dan
tanggungjawab secara jujur kepada anak-anaknya, alhasil mereka bertumbuh
seperti peran dan ajaran mama dan papanya. Dengan kata lain, figur orang tua
berperan mendidik anak-anaknya bertumbuh dengan baik dan benar.
Kedua, buah
belum jatuh, di makan burung lalu buah berpindah tempat. Artinya, belum waktu
buah masak, eeeh keburu di bawa lari
sang burung. Nah ini dia kendalanya,
jika seorang pemuda/i belum siap menghadapi ‘masa orang tua’, identitas diri
bak angin ‘genit’ menghantam daun hijau yang berguguran, dan stigma lingkungan
membuat dirinya terkucilkan. Perasaan berat ini menjadi pertanyaan yang saya
ajukan kepada diri saya sendiri. “Apakah saya sendiri telah berpindah tempat
dari “pohon buah” itu?
Pertanyaan ini mengikuti pikiran saya, ke-mana-pun saya
pergi dan berada. Apakah itu di jalan, di tempat ibadah, di dapur, di depan
laptop, di tempat tidur bahkan sampai bermimpi. Sulit jika diimajinasikan kala
merobek sukma terdalam.
Bagian ketiga,
buah jatuh namun jatuh bukan di tanah tetapi hanyut dibawa air sungai. Kemudian,
buah tersebut bertumbuh dan berbuah di tanah yang jauh dari pohon induknya.
Tetapi ada beberapa buah lainnya yang tidak bertumbuh karena buah terhimpit di
bebatuan sungai.
Bisa di
imajinasikan jika seseorang merantau, hidup di tanah orang lain dan hidupnya
menjadi berkat di tanah di mana ia berpijak.
Itulah teladan bagi kita sekalian. Namun, ada kendala bagi sebagian
orang lain. Apa itu? Ia merantau hanya menyusahkan orang tuanya di jauh;
kemudian, ia menjadi kaya mendadak. Kok begitu? Ini dia sang koruptor yang
bernari-nari di atas himpitan banyak orang miskin. Segala cara menjadi halal.
Halal berdasarkan pemahaman “saya korupsi untuk sambung hidup.” Ironis bukan?
Tolong ucapkan apa yang anda pikirkan, dan lakukan demi negara Indonesia ini,
wahai koruptor?
Lain ceritanya bagi keluarga yang satu ini. Jika ada
seorang anak dalam keluarga yang berhasil dalam pendidikan, pekerjaan dan rumah
tangga maka orang tersebut akan disebut oleh kebanyakan orang “buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya.” Artinya figur orang tuanya menjadi keberhasilan masa depan
anak-anaknya.
Seperti kata firman TUHAN “Diberkatilah orang yang
mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon
yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan
yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang
tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah”
(Yesaya 17:7-8).
Kutipan firman di atas banyak kali dipakai pengkhotbah
kala menyampaikan renungan dalam ibadah Hari Ulang Tahun. Namun jika dimaknai dalam
hidup setiap hari, firman ini menjadi pegangan hidup kala mengarungi kebahagiaan
bahtera keluarga yang bergelombang. Bergelombang tetapi tidak menghilangkan
ciri khasnya. Apa ciri khasnya? keluarga Kristen menjadi ‘buah’ roh yang
diberkati.
Berkat bagi keluarga, masyarakat dan keutuhan ciptaan
alam semesta. Hidup ini sebenarnya indah, jika kita memaknai penderitaan adalah
bagian kecil dari kebahagiaan hidup. Komitmen dalam sebuah janji pernikahan
membuat dirinya tidak mau berpisah dengan keluarga besarnya. Menjadi keluarga
bahagia selamanya dalam Kristus.
Setiap tahun
ada pembaharuan komitmen dan janji setia dalam satu ikatan kudus rumah tangga. Seperti
itulah buah tidak jauh dari pohonnya karena ingin menapaki jejak-jejak sang
mama dan papa yang inspiratif.
Sambil tersenyum malu saya (sebagai anak) menuliskannya
ini dan berkata dalam sanubari “kita
sayang s’kali pa mama deng papa.”
Manado, 18 Juni 2012
22:20
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar