Tidak tahu Injil atau tidak tahu adat atau dalam logat Manado
berkata “nintau Injil ato nintau adat merupakan istilah bernada keras di
mana adat di sampingkan. Ini ironi bagi Tou Minahasa yang mengaku orang
Minahasa maar (baca: tetapi) tidak tahu apa dan bagaimana serta makna Minahasa yang melekat pada dirinya?
Sebagai anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara, maka saya
diperlakukan sama setara dengan kedua kakak laki-laki.
Sebulan lagi saya berusia seperempat abad, ya.., berusia 25 tahun!.
Meskipun selesai kuliah strata dua di usia 23 tahun namun tidak
menghalangi pelayanan saya di ladang Tuhan. Mengapa? Kendala umur ‘muda
belia’ mengakibatkan saya belum memenuhi syarat menjadi vikaris sinode
GMIM.
Berjalannya waktu, 10 Maret menjadi moment
yang tak pernah saya lupakan begitu saja. Apa sebab? Nah, saya dilamar
lelaki muda asal Tomohon. Hendra, nama lelaki yang beruntung itu.
Meskipun awalnya ada keraguan dalam batin. Ragu, apakah saya melangkah dengan pasti bersamanya? Malu,
saya bekerja di ladang Tuhan tetapi belum berpenghasilan dan masih
bergantung pada ekonomi keluarga (mama dan papa). Namun gejolak yang
timbul dalam batin menjadikan saya mau berjalan
bersama-Nya dan bersama Hendra. Nah, sama saja., hehehe. Maaf pembaca
saya lagi gugup mengungkapkan isi hati di tahun 2012 ini.
Apakah anda mau tahu isi hati saya? Mengapa anda menerima Hendra?
Mengapa bukan yang lain? Apakah dia menjadi lelaki idaman anda? Hhmmmn,
jangan terlalu banyak bertanya, kita berhenti di pertanyaan ini dulu.
Baiklah saya akan menjawab satu persatu.
Seperti
lazimnya, pucuk di cinta, ulam pun tiba. Hendra orangnya pendiam, namun
ia bisa diajak kompromi dengan pelbagai perbedaan di antara kita.
Hidungnya yang mancung sedikit menarik perhatian saya. Rambutnya yang
oval dan kulit sawo matang lebih menarik untuk di lihat meskipun bukan
penampilan fisik yang saya incar darinya. Lalu apa yang saya incar
darinya? Nah, ini dia yakni ketulusan hatinya mencintai dan menerima
kekurangan-kelebihan bahkan menghargai masa lalu saya yang ‘kelam’.
Agaknya saya sedang membuka hati dalam ketulusan dan kejujuran
bersamanya. Anjing menggonggong kavila jalan terus. Apapun yang terjadi,
apapun kata orang maka saya akan berjalan bersamanya, bukan dengan yang
‘lain’!.
Mari kembali ke adat dan Injil. Injil
masuk ke tanah Minahasa yang berbeda kebiasaan/budaya dengan Barat.
Alhasil, Manado/Minahasa memiliki warga gereja dan gedung gereja yang
tersebar di mana-mana. Sejauh mata memandang, sejauh itu pula gedung
gereja, simbol keagamaan Kristen kemudian gereja berdiri dan
berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa
kebiasaan/budaya Tou (baca: orang) Minahasa telah mengalami transformasi.
Dengan berlarinya zaman, melajunya transformasi IPTEK, iman, bahasa dan
budaya maka saya mencoba bertahan diri. Bertahan menjadi perempuan
Minahasa seutuhnya. Tetapi bukan berarti saya statis. Tunggu dulu
pembaca, pikiran dan perasaan saya dinamis untuk hal-hal tertentu. Mau
bukti? Simak pertahanan hidup sebagai perempuan Minahsa yang coba saya
diskusikan bersama sang kekasih hati.
Jika ke
depan hidup bersamamu, bolehkah saya memakai marga saya dan bukan
margamu? Jika Tuhan mengaruniakan anak kepada kita, bolehkah salah satu
anak memakai marga saya? Banyaknya tugas dalam rumah tangga, bisakah ada
pembagian kerja di dapur? Dalam karir, saya ingin bekerja di ranah
publik, bagaimana pendapatmu? Awalnya ia tidak bisa menerima begitu saja
pertanyaan aneh saya dan tidak lazim di daerah ini, namun pada akhirnya
ia bisa kompromi dan menerima dengan lapang dada.
Sekarang cerita tentang pertunangan saya atau Tou
Minahasa bilang “maso minta”. Acara pertunangan saya di hadiri kedua
belah pihak keluarga. Seperti biasa, ibadah pertunangan dipimpin oleh
Ibu Pdt Ria Wuntu-Kuhon, S.Th lalu dilanjutkan diskusi kedua belah
pihak. Ada ‘perantara suara’ dari pihak keluarga saya dan sebaliknya. Di
dalam konsensus terdapat beberapa poin penting, yakni: Saya dan Hendra
akan melangsungkan pernikahan melalui adat Minahasa. Jelas acara ini
bernuansa adat yang mulai ditinggalkan muda/i Minahasa. Sungguh ironi,
bukan?
Siapakah yang mengusulkan menikah secara
adat Minahasa? Bagaimana nuansa pernikahan adat Minahasa itu? Lalu, apa
makna menikah secara adat Minahasa? Lalu…, lalu…, lalu…, lalu tunggu
sebentar untuk bertanya lebih banyak, saya mau menjawab pertanyaan di
atas agar tidak melebar ko kiri, ko kanan.
Jujur, pada awalnya saya memberi usul untuk acara pernikahan
menggunakan adat Minahasa. Roh yang membakar di sanubari, kata hati
berbisik di teling dan sejenak saya berpikir bahwa untuk membangkitkan
kembali nilai-nilai luhur bangsa Tou Minahasa harus di mulai
dari diri sendiri. Meskipun banyak orang mengatakan kepada saya bahwa
pernikahan ini sudah ketinggalan zaman alias kuno bahkan menikah dengan
pakaian adat Minahasa bukan disebut baju kaweng (baca: baju nikah). Namun saya melangkah maju, saya tetap tidak peduli akan ocehan Tou Minahasa yang nintau adat itu.
Beginilah rangkaian rencana pernikahan kami. Nuansa acara resepsi pernikahan terbuat dari bambu, pakai sabua (baca: terpal), tersebar pelbagai macam bunga, kemudian di dalam sabua
terdapat pondok-pondok yang beralaskan daun katu dan bambu, meja
panjang makan dihiasi daun pisang, berdiri tunas kelapa di atas
pelaminan dan tidak ketinggalan tempat kue pengantin terbuat dari rumah
panggung plus kue ubi pengantin diracik sedemikian rupa. Belum
lagi para hadirin akan diantar masuk “kampung tengah” (Baca: makan) khas
makanan dan minuman daerah.
Acara ini akan di
iringi musik bambu khas Tomohon, tarian maengket dan tarian
kabasaran/cakalele. Usul sang kekasih yang mulai terjangkit ‘virus’
mencintai budaya lokal. Nah tuuh, makin cinta budaya Minahasa!.
Timbul persoalan, kami berencana tarian cakalele mengiring perjalanan
pengantin. Tetapi apa dikata, Tarian cakalele menjadi pro-kontra di
jemaat. Si A mengatakan “cakalele merupakan tarian memanggil arwah nenek
moyang”. Lalu, si B berucap “tarian cakalele yang memakai kalung
tengkorak dan pedang tajam sangat bertolak dengan Injil Kristus karena
mereka percaya pada opo-opo (baca: ilah-ilah lain). Sebaliknya, si C melihat dari kacamata budaya dan pariwisata sambil berkobar dan berkoar “boleh
sekali pake cakalele karena torang mo kase tunjung itu tarian Minahasa
sesungguhnya yang so dilupakan generasi muda kong karena kaweng adat
jadi musti ada itu tarian cakalele.” Pelbagai perspektif di atas membuat hati saya dan Hendra ambigu.
Diberbagai kesempatan saya bertemu dengan bpk Pdt Roeroe. Prof Roeroe berkata “mana ngana mo dengar, ngana nintau Injil ato ngana nintau adat?.” Injil dan kebudayaan perlu dikomparasikan agar supaya terhindar dari paradoks yang merugikan dan mendiskriminasikan.
Makna dibalik “bunga mawar putih” nan harum ini yakni memberi tebaran
aroma wangian di relung hati melalui rajutan identitas diri sebagai
perempuan Minahasa. Perempuan berani berjalan bersama banyak orang
meskipun kasih mula-mula, redupnya ide-ide kecil, jalan buntu bahkan
dicemooh banyak orang.
Di malam makin larut ini,
saya berefleksi “apakah maksud TUHAN dalam rencana pernikahan adat ini?
Pernikahan hanya sehari, berumah tangga selama-lamnya sampai maut
memisahkan kita berdua. “Ya TUHAN, siapkan hati saya, jiwa, pikiran,
kasih, cinta dan ketekunan untuk menghargai dirinya, untuk menerima
dirinya apa adanya bukan ada apanya!.”
Pikiran dan
perasaan saya rajut melalui kata demi kata bukan untuk kesombongan
pribadi, bukan untuk kepentingan golongan, bukan untuk fanatisme yang
lain. Sebaliknya, saya merajut kisah kasih ini agar supaya Tou
Minahasa tahu dan mau melakukan Injil bersama adat yang berlaku di sini,
kini dan kemudian hari. Siapa lagi yang akan menghargai nilai-nilai
leluhur kalau bukan saya dan pembaca yang telah menerima Injil Yesus
orang Nazaret dan adat yang melekat disanubari kita. Hhmmm, apakah ngana masih nintau adat lei?
Semoga TUHAN melindungi rencana pernikahan kami
(10 November 2012)
Manado, 22 Maret 2012
00:44
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar