Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Selasa, 10 April 2012

Nintau Injil ato Nintau Adat?

Tidak tahu Injil atau tidak tahu adat atau dalam logat Manado berkata “nintau Injil ato nintau adat merupakan istilah bernada keras di mana adat di sampingkan. Ini ironi bagi Tou Minahasa yang mengaku orang Minahasa maar (baca: tetapi) tidak tahu apa dan bagaimana serta makna Minahasa yang melekat pada dirinya?

        Sebagai anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara, maka saya diperlakukan sama setara dengan kedua kakak laki-laki.

        Sebulan lagi saya berusia seperempat abad, ya.., berusia 25 tahun!. Meskipun selesai kuliah strata dua di usia 23 tahun namun tidak menghalangi pelayanan saya di ladang Tuhan. Mengapa? Kendala umur ‘muda belia’ mengakibatkan saya belum memenuhi syarat menjadi vikaris sinode GMIM.

        Berjalannya waktu, 10 Maret menjadi moment yang tak pernah saya lupakan begitu saja. Apa sebab? Nah, saya dilamar lelaki muda asal Tomohon. Hendra, nama lelaki yang beruntung itu. Meskipun awalnya ada keraguan dalam batin. Ragu, apakah saya melangkah dengan pasti bersamanya? Malu, saya bekerja di ladang Tuhan tetapi belum berpenghasilan dan masih bergantung pada ekonomi keluarga (mama dan papa). Namun gejolak yang timbul dalam batin menjadikan saya mau berjalan bersama-Nya dan bersama Hendra. Nah, sama saja., hehehe. Maaf pembaca saya lagi gugup mengungkapkan isi hati di tahun 2012 ini.

        Apakah anda mau tahu isi hati saya? Mengapa anda menerima Hendra? Mengapa bukan yang lain? Apakah dia menjadi lelaki idaman anda? Hhmmmn, jangan terlalu banyak bertanya, kita berhenti di pertanyaan ini dulu. Baiklah saya akan menjawab satu persatu.

        Seperti lazimnya, pucuk di cinta, ulam pun tiba. Hendra orangnya pendiam, namun ia bisa diajak kompromi dengan pelbagai perbedaan di antara kita. Hidungnya yang mancung sedikit menarik perhatian saya. Rambutnya yang oval dan kulit sawo matang lebih menarik untuk di lihat meskipun bukan penampilan fisik yang saya incar darinya. Lalu apa yang saya incar darinya? Nah, ini dia yakni ketulusan hatinya mencintai dan menerima kekurangan-kelebihan bahkan menghargai masa lalu saya yang ‘kelam’.

        Agaknya saya sedang membuka hati dalam ketulusan dan kejujuran bersamanya. Anjing menggonggong kavila jalan terus. Apapun yang terjadi, apapun kata orang maka saya akan berjalan bersamanya, bukan dengan yang ‘lain’!.

        Mari kembali ke adat dan Injil. Injil masuk ke tanah Minahasa yang berbeda kebiasaan/budaya dengan Barat. Alhasil, Manado/Minahasa memiliki warga gereja dan gedung gereja yang tersebar di mana-mana. Sejauh mata memandang, sejauh itu pula gedung gereja, simbol keagamaan Kristen kemudian gereja berdiri dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa kebiasaan/budaya Tou (baca: orang) Minahasa telah mengalami transformasi.

        Dengan berlarinya zaman, melajunya transformasi IPTEK, iman, bahasa dan budaya maka saya mencoba bertahan diri. Bertahan menjadi perempuan Minahasa seutuhnya. Tetapi bukan berarti saya statis. Tunggu dulu pembaca, pikiran dan perasaan saya dinamis untuk hal-hal tertentu. Mau bukti? Simak pertahanan hidup sebagai perempuan Minahsa yang coba saya diskusikan bersama sang kekasih hati.

        Jika ke depan hidup bersamamu, bolehkah saya memakai marga saya dan bukan margamu? Jika Tuhan mengaruniakan anak kepada kita, bolehkah salah satu anak memakai marga saya? Banyaknya tugas dalam rumah tangga, bisakah ada pembagian kerja di dapur? Dalam karir, saya ingin bekerja di ranah publik, bagaimana pendapatmu? Awalnya ia tidak bisa menerima begitu saja pertanyaan aneh saya dan tidak lazim di daerah ini, namun pada akhirnya ia bisa kompromi dan menerima dengan lapang dada.

        Sekarang cerita tentang pertunangan saya atau Tou Minahasa bilang “maso minta”. Acara pertunangan saya di hadiri kedua belah pihak keluarga. Seperti biasa, ibadah pertunangan dipimpin oleh Ibu Pdt Ria Wuntu-Kuhon, S.Th lalu dilanjutkan diskusi kedua belah pihak. Ada ‘perantara suara’ dari pihak keluarga saya dan sebaliknya. Di dalam konsensus terdapat beberapa poin penting, yakni: Saya dan Hendra akan melangsungkan pernikahan melalui adat Minahasa. Jelas acara ini bernuansa adat yang mulai ditinggalkan muda/i Minahasa. Sungguh ironi, bukan?

        Siapakah yang mengusulkan menikah secara adat Minahasa? Bagaimana nuansa pernikahan adat Minahasa itu? Lalu, apa makna menikah secara adat Minahasa? Lalu…, lalu…, lalu…, lalu tunggu sebentar untuk bertanya lebih banyak, saya mau menjawab pertanyaan di atas agar tidak melebar ko kiri, ko kanan.

        Jujur, pada awalnya saya memberi usul untuk acara pernikahan menggunakan adat Minahasa. Roh yang membakar di sanubari, kata hati berbisik di teling dan sejenak saya berpikir bahwa untuk membangkitkan kembali nilai-nilai luhur bangsa Tou Minahasa harus di mulai dari diri sendiri. Meskipun banyak orang mengatakan kepada saya bahwa pernikahan ini sudah ketinggalan zaman alias kuno bahkan menikah dengan pakaian adat Minahasa bukan disebut baju kaweng (baca: baju nikah). Namun saya melangkah maju, saya tetap tidak peduli akan ocehan Tou Minahasa yang nintau adat itu.

        Beginilah rangkaian rencana pernikahan kami. Nuansa acara resepsi pernikahan terbuat dari bambu, pakai sabua (baca: terpal), tersebar pelbagai macam bunga, kemudian di dalam sabua terdapat pondok-pondok yang beralaskan daun katu dan bambu, meja panjang makan dihiasi daun pisang, berdiri tunas kelapa di atas pelaminan dan tidak ketinggalan tempat kue pengantin terbuat dari rumah panggung plus kue ubi pengantin diracik sedemikian rupa. Belum lagi para hadirin akan diantar masuk “kampung tengah” (Baca: makan) khas makanan dan minuman daerah.

        Acara ini akan di iringi musik bambu khas Tomohon, tarian maengket dan tarian kabasaran/cakalele. Usul sang kekasih yang mulai terjangkit ‘virus’ mencintai budaya lokal. Nah tuuh, makin cinta budaya Minahasa!.

        Timbul persoalan, kami berencana tarian cakalele mengiring perjalanan pengantin. Tetapi apa dikata,  Tarian cakalele menjadi pro-kontra di jemaat. Si A mengatakan “cakalele merupakan tarian memanggil arwah nenek moyang”. Lalu, si B berucap “tarian cakalele yang memakai kalung tengkorak dan pedang tajam sangat bertolak dengan Injil Kristus karena mereka percaya pada opo-opo (baca: ilah-ilah lain). Sebaliknya, si C melihat dari kacamata budaya dan pariwisata sambil berkobar dan berkoar “boleh sekali pake cakalele karena torang mo kase tunjung itu tarian Minahasa sesungguhnya yang so dilupakan generasi muda kong karena kaweng adat jadi musti ada itu tarian cakalele.” Pelbagai perspektif di atas membuat hati saya dan Hendra ambigu.

        Diberbagai kesempatan saya bertemu dengan bpk Pdt Roeroe. Prof Roeroe berkata “mana ngana mo dengar, ngana nintau Injil ato ngana nintau adat?.” Injil dan kebudayaan perlu dikomparasikan agar supaya terhindar dari paradoks yang merugikan dan mendiskriminasikan.

        Makna dibalik “bunga mawar putih” nan harum ini yakni memberi tebaran aroma wangian di relung hati melalui rajutan  identitas diri sebagai perempuan Minahasa. Perempuan berani berjalan bersama banyak orang meskipun kasih mula-mula, redupnya ide-ide kecil, jalan buntu bahkan dicemooh banyak orang.

        Di malam makin larut ini, saya berefleksi “apakah maksud TUHAN dalam rencana pernikahan adat ini? Pernikahan hanya sehari, berumah tangga selama-lamnya sampai maut memisahkan kita berdua. “Ya TUHAN, siapkan hati saya, jiwa, pikiran, kasih, cinta dan ketekunan untuk menghargai dirinya, untuk menerima dirinya apa adanya bukan ada apanya!.”

        Pikiran dan perasaan saya rajut melalui kata demi kata bukan untuk kesombongan pribadi, bukan untuk kepentingan golongan, bukan untuk fanatisme yang lain. Sebaliknya, saya merajut kisah kasih ini agar supaya Tou Minahasa tahu dan mau melakukan Injil bersama adat yang berlaku di sini, kini dan kemudian hari. Siapa lagi yang akan menghargai nilai-nilai leluhur kalau bukan saya dan pembaca yang telah menerima Injil Yesus orang Nazaret dan adat yang melekat disanubari kita. Hhmmm, apakah ngana masih nintau adat lei?

                                   Semoga TUHAN melindungi rencana pernikahan kami
                                                               (10 November 2012)


                                                                                                   Manado, 22 Maret 2012
                                                                                                                                 00:44
                                                                                       Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: