Ujang rinte-rinte kase basah kota Manado sampe Tomohon. Kita
deng ibu pendeta Jane, ibu pendeta Evie, pake oto Rush warna putih
melaju deng kelincahan tangan deng kaki dari ibu pendeta Magda yang pake
kacamata gaul warna merah jambu itu. Kira-kira jam 12 siang torang
sampe di GMIM Syaloom Tumatantang, Tomohon. Waktu itu, Rabu 14 Maret
2012 torang datang voor iko kegiatan PERUATI Minahasa.
Dari luar so dapa lia ini bangunan gedung gereja peninggalan Belanda.
Pe maso jo di dalam gedung gereja so dapa lia lima keke ada duduk di
kursi plastik deng di depan meja taplak ungu. Ini peserta paling banya
sekitar 50-an para pendeta parampuang di daerah Tomohon.
Adooh,
so terlambat jadi malo jo noh mo duduk di muka karena peserta dan
pembawa sosialisasi adalah pendeta parampuang senior. Maklum, kita weta
masih krucu di PERUATI. Syukur ada kakak Angie yang ada ba togor. Kong
kita ba duduk deng kakak Angie meskipun depe sapuluh menit kamudian
kakak Angie so pulang karena ada urusan.
Kase
kanal (sosialisasi) PERUATI Minahasa so ba tengah pembahasan, kong ibu
pendeta Ruth bilang “wewene Minahasa luar biasa. Yang iko sosialisasi
ini ada generasi tua, generasi tengah deng generasi muda. Yang jadi
masalah voor parampuang pendeta yakni struktur sinodal. Sama deng model
piramida. Makin ka bawah, makin banyak pendeta parampuang maar makin ka
atas, lebe banya pendeta laki-laki. lebe jadi masalah kalo ada pendeta
parampuang ba calon maso struktural sinode bukang mo pilih pa dia maar
lebe kase cungkel depe nama. Sebaliknya ada pendeta laki-laki yang
mendukung pa pendeta parampuang maso struktural maar cuma dukung
setengah-setengah hati. Nah, torang musti pertanyakan ini noh. Namun
perjuangan PERUATI Minahasa sebenarnya jaoh lebe luas dari struktural
sinodal GMIM.
Ada tanggapan dari ibu pendeta
Sientje Abram (sebutan: bunda) “kase kanal lebe jelas itu
program-program rayon PERUATI. Kemudian, perlu ada ketegasan kalo
pendeta parampuang di atas mimbar bukang sama deng selebritis.”
Kong ada lei tanggapan dari ibu pendeta Posumah “kalo kelemahan
parampuang yakni ia ba urus rumah tangga (anak deng suami).” Ibu Posumah
ba Tanya “ so siap para pendeta parampuang maso dalam BPMS?. Ada yang
ba jawab “siap”. Kong Ibu Posumah bilang “bukang cuma sekedar siap maar
apa yang harus torang lakukan setelah duduk di struktural sinodal?.”
Pertanyaan kritis voor para pendeta parampuang.
Sejam so talewat, akhirnya torang istirahat makang/kuman. Isi kampung tengah dulu aaahh.,
Ini dia diskusi yang kita tunggu dari tadi. Apa re’en itu’e? itu dank,
materi Teologi Rahim dalam perspektif Mazmur 145:8-9. Diskusi ini
disampaikan oleh ibu pendeta Eva Karamoy. Materi ini kwa tesis ibu
pendeta Eva di Fak. Teologi UKIT. Moderator: ibu pendeta Evi. Setelah
ibu pendeta Eva sampaikan garis besar materi, nah sekarang torang buka
ruang diskusi, tanya-jawab.
Pertama, ibu
pendeta Posumah ba Tanya sambil duduk dengan rambut putihnya yang khas
itu “apakah ini teologi rahim ato teologia rahim? woman – man. Womb depe
arti rahim. jelas kalo kasih ibu itu adalah kasih yang spesial. Trus
bagimana kasih Allah yang spesial sama deng kasih ibu itu?
Ada seorang ibu pendeta ba Tanya “apa depe makna Allah yang rahimi?
Ibu pendeta Meyta Tamboto kase masukan “ini komang materi yang bagus
voor jadi rujukan pa kaum ibu, pemuda deng remaja. Kalo voor remaja lebe
cocok yang kaweng muda.” Setelah kase ini materi, “apakah materi ini
Cuma tergerak dari kongres PERUATI di Ambon dan ato cuma memenuhi
persyaratan jadi magister teologi?”
“Materi
yang kita ada bawa adalah latar belakang tesis. Pengalaman waktu kita
beking penelitian, ada seorang ibu tidak melahirkan menganggap kalo
rahimnya sebagai keadaan yang kelam. Meskipun dia akui kalo dia lahir
dari rahim seorang ibu” Jawab pendeta Eva dengan suara tegas. Lalu usul
pendeta Eva yang berkacamata deng pake baju putih-hitam kotak-kotak itu:
“kalo torang baca alkitab musti pake kaca mata baru.”
Ibu pendeta Ruth kase tambahan “teologi feminis lahir di Barat, mungkin
lebe cocok kalo pake istilah teologi rahim karena berangkat dari torang
pe budaya. Kita pe pemahaman tentang teologi rahim pertama, manusia
(bae dia keke ato utu) diciptakan dari rahim ibu. Kadua, belas kasih
Allah dimana parampuang ta pinggir (baca: termarginalkan) dan di tindas.
Istilah teologi rahim muncul dari tokoh parampuang Minahasa yakni
Marianne Katoppo dengan bukunya Compassionate and Free.
Bunda sebagai pendeta senior ba angka tangan memberikan pernyataan
“pendeta Margaretha Hendriks-Ririmasse melampaui tema yang ditetapkan
para kaum adam di PGI. Mazmur 145:9b kata “rahmat” berbicara tentang
bumi yang sama-sama manderita deng manusia. Jadi bisa dibilang rahim
memiliki makna yang indah dan penting. Apa depe maksud? Rahim bukang
hanya pa tubuh parampuang, lebe jauh rahim dipandang sebagai bumi.”
Kontribusi yang membuka cakrawala para ibu pendeta.
Ada seorang ibu pendeta yang bekerja di RS Bethesda memberikan usul
“bagimana kalo cara kerja rahim dikaitkan deng pandangan medis”. Hmmm,
menarik juga. Usulan disertasi voor ibu pendeta Eva Karamoy hahaha..,
Nuansa makin ramai, para ibu pendeta mulai dapa pencerahan tentang
teologi rahim. di kursi belakang, dorang ba carita bise-bise malo “kalo
ada teologi rahim bagimana kalo beking teologi rahim ka atas seperti
teologi buah dada ato teologi rahim ka bawa seperti teologi vagina..,
samua tatawa. Dalam nuansa ramai itulah muncul ide kacil pa kita pe
lampu otak “Manusia datang (baca: lahir) dari rahim ibu dan kembali (baca: mati) ke rahim bumi.
Bunda
langsung kase tanggapan “apakah teologi vagina ini di anggap tabu,
porno tetapi itulah yang ada pa (baca: milik) parampuang yang perlu
diangkat ato di bahas kembali.” Ada yang tatawa, ada yang ba serius maar
ada lei yang baku bise malo-malo.
Penegasan
di suarakan ibu Posumah “perjuangan parampuang adalah perjuangan
menjadi parampuang melalui jejaring deng laki-laki demi kemanusiaan. Apa
so makna rahim voor parampuang? Apakah karena parampuang melahirkan dan
ba bilang “eeeh kita melahirkan, ngana (laki-laki) nyanda. Di sinilah
peran pendidikan keluarga generasi baru sangat penting. Parampuang
melahirkan bukang hanya melahirkan, kong parampuang memiliki rahim bukan
hanya membuahi. Setelah anak lahir dari rahim ibu, apakah torang mo
kase biar ato angka tangan (baca: tidak bertanggungjawab) deng anak itu?
Noh, bagimana kalo teologi rahim diganti istilah teologi vagina?”.
Biar ujang-ujang maar diskusi makin hangat tentang penamaan teologi
rahim ato teologi vagina? Hahahaha.., maar torang so musti akhiri ini
materi karena so jam tiga sore.
Abis diskusi
dilanjutkan deng pelantikan PERUATI Minahasa rayon Tomohon yang dipimpin
ketua PERUATI Pusat, ibu pendeta Ruth Wangkai dan Sekretaris PERUATI
Minahasa, ibu pendeta Evie Rawung. Nyanda ketinggalan foto bersama voor
dokumentasi.
Sampe Bakudapa
Manado, 16 Maret 2012
23:40
Nency A. Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar