Sejenak membaca tema teologi rahim, aah
menggelitik iman ini. Apalagi disodorkan kepada para oma dan opa. Why not ? Sengaja saya mengangkat tema
dan membawakan dalam sebuah ibadah interaktif kreatif. Pikir kecilku, meskipun
sudah lanjut usia (lansia) tapi tak kala ketinggalan dengan para pemuda yang
selalu mencari paradigma baru. Saya mengakui bahwa keterbatasan menyimpan hal
baru menjadi tantangan dalam penyerapan memori kaum lansia. Namun namanya
usaha, maka jadilah tema Teologi Rahim dalam Perspektif Masmur 145:9, saya
bawakan dengan perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian.
Kok kehati-hatian? Ini dia sobat, saya takut di cap ajaran sesat. Kok bisa?
Seperti kita ketahui bersama bahwa teologi baku dan statis terdapat pada kaum
lansia fundamental tanpa transformasi teologi. Kan bisa-bisa saya jadi repot. Hehehehe
Namun, untunglah semua tidak seperti yang saya bayangkan. Coba lihat
kebaikan TUHAN, ia memakai dan mengutus orang-orang pilihan untuk menyampaikan
firman TUHAN bagi seluruh ciptaan makluk hidup. Saya terpaku dengan mujizat-Nya
dalam pembaharuan diri, pembaharuan yang makin bertumbuh dan berkembang.
Teologi rahim ini terinspirasi kala saya mengikuti PERUATI Minahasa. Saya
merasa terpanggil memberitakan, dan berkontribusi bagi lansia. Jangan salah
sobat, saya mempergunakan kesempatan yang tidak datang kedua kali ini dengan
tema yang cukup ‘menantang.’
Awalnya, saya keluar dari rumah dengan perasaan harap-harap cemas (H2C). Dua
rumah telah di lewati, ternyata ketinggalan kaca mata. Maklum sobat, 10 meter
pandangan ke depan tidak bisa terlihat secara jelas. Jangankan tulisan atau
huruf, wajah orang pun kelihatan samar-samar. Itu pertanda saya makin tua atau
kuat membaca yaa? Hmmm.,
Saya balik ke rumah untuk mengambil kacamata yang diletakkan di piring
antik bergambar burung cendrawasi Papua.
Saya pun bergegas karena jam dinding rumah telah menunjukkan pukul 14:34. Kali
ini tidak berjalan sendiri, saya bersama Oma Longkutoy-Oroh.
Setibanya di gedung gereja, di barisan bangku paling depan hadir oma dan
opa dari beberapa jemaat yang berada di seputaran wilayah Manado Barat Daya
(MBD). Dengan langkah pasti, saya maju ke depan. Dengan baju kemeja bentenan,
saya memperkenalkan corak khas Minahasa.
Bpk Jacob Kalesing (sebagai sekretaris kelompok fungsional lanjut usia GMIM
Bukit Karmel Batu kota) mengajak saya menyapa para jemaat yang hadir.
Dilihatnya-lah perempuan Minahasa muda, kecil dan kerucuk. Setelah berjabatan
tangan, saya langsung mengambil posisi duduk paling belakang seperti biasanya.
Tiba-tiba datanglah enci Sumampouw dengan senyuman khas bagai bunga mawar
yang lagi mekar. “adoh kiapa Nency so duduk
paling balakang? Adooh enci so salah bacarita, nona pendeta kote, kiapa so
duduk paling balakang?” cetusnya. Saya mengatakan “belum pendeta masih
bantu-bantu pelayanan, biar jo nyanda
apa-apa.” Lanjut menurut enci “ biar jo nyanda apa-apa enci bilang pendeta
pa Nency karena somo kasana kwa, enci dapa inga ee…,waktu pendeta masih anak sekolah minggu, masih ba ingus-ingus kong
sekarang so ba pimpin di mimbar. Nyanda sangka noh.” Saya pun langsung
membalas dengan senyum sambil berucap “karena
didikan dari guru, orang tua sampe bisa sekolah lebe. Maar samua ada rencana
TUHAN terbaik voor torang pe hidop masing-masing.”
Asyiknya percakapan antara guru-murid, upps
terdengar nama saya dipanggil untuk duduk paling depan. Kebanyakan panggil nama
saya, alhasil saya-pun mengalah. Ya mengalah untuk duduk paling depan. Kata oma
Tina “tidak baik kalau pemimpin ibadah duduk paling belakang.”
Duduk di paling depan membuat hati dan pikiran ‘sedikit’ kacau. Kok kacau?
Yaa, sebenarnya saya tidak suka duduk paling depan apalagi menjadi pusat
perhatian banyak orang. Sementara duduk, terdengar suara memanggil nama Nency
Heydemans dari arah belakang.
Siapa itu? Aduuh ternyata guru sekolah minggu waktu saya masih anak-anak. Waah belasan tahun tidak ketemu. Sambil
cipika-cipiki, terharu dan tak menyangka bisa bertemu kembali. Aduuh sayang, kami
tidak bisa bercerita lebih lama. Ternyata ibadah akan segera dimulai, saya di
giring oleh pembawa acara untuk berdiri di atas mimbar pelayanan khusus.
Dari atas mimbar saya melihat guru besar UNSRAT, mantan kepala dinas
provinsi SULUT, mantan dosen, guru sekolah minggu dan sebagainya. Saya merasa anak kerucuk, anak kemarin yang
sekarang memimpin ibadah disaksikan puluhan mata. Apakah makna hidup ku ini,
TUHAN?
Renungan digantikan dengan ceramah, melalui metode dialog; tanya-jawab.
Ada dua orang memberikan pertanyaan, dan dua orang memberikan masukan.
Semuanya berjenis kelamin laki-laki. saya maklumi saja. Mengapa? karena tema
ini kebanyakan menyinggung ke-perempuan-an. Jadi, kontribusi suara laki-laki
untuk memberi, melengkapi nuansa ibadah dengan tema teologi rahim.
Kesimpulan dari pemaparan materi dan diskusi, yakni: TUHAN itu baik kepada
semua orang, TUHAN itu kasih, agar supaya setiap orang dibenarkan dan
diselamatkan. Dengan cara apa TUHAN itu baik? Melalui sikap kasih kita kepada
sesama manusia dan makhluk hidup. Kemudian, rahim sebagai sarana keturunan,
sebagai tempat firdaus yang aman, nyaman. Setelah janin keluar dari rahim ibu,
maka ia menjadi manusia seutuhnya yang mencari-cari kedamaian dan mencari
kesejahteraan. Aplikasinya, gereja yang adalah orangnya menjadi pembawa rahim
keturunan, berkat bagi alam semesta dan memberitakan kabar baik keselamatan
Yesus bagi semua mahkluk hidup.
Saya merasa bersyukur kepada TUHAN Sang Pencipta di kala mereka bisa
menyerap materi ini, meskipun serapan hanya berupa sari-sari perenungan.
Setelah ibadah selesai, ada tiga peristiwa yang coba saya renungkan.
Pertama, tiba-tiba
sekretaris kelompok fungsional lansia wilayah MBD, Bpk Mait meminta nomor hp
saya. Waah, saya merasa anak kerucuk
tapi kok di minta nomor hp? Wele-wele, kayak orang penting saja,
bukan? hehehe
Menurut Bpk Mait, “teologi rahim merupakan hal baru yang di dengar dan di
sampaikan oleh pembicara muda. Meskipun tua-tua begini, tapi teologi rahim
belum se-tua umur kami.” Dan oleh karena itu, lanjut menurutnya “saya bersyukur
bisa mengikuti perkembangan teologi yang lebih membebaskan dan memberikan
pencerahan.”
Kedua, saya diberi
emplop putih. Apa ini? kata bpk Jacob Kalesing, ini adalah hasil dari ibadah,
ceramah hari ini. ya, uang!. Saya pun langsung menolak uang tersebut. Memang,
manusia siapa yang tidak memerlukan uang, tetapi bukan dengan cara demikian.
Maksudnya? Saya tidak mau menerima emplop setelah memimpin ibadah. Menurut
saya, Yesus Kristus datang ke dunia untuk membebaskan manusia, untuk
menyelamatkan seluruh ciptaan-Nya tanpa menerima imbalan uang dari para imam
dan ataupun tanpa mengambil uang demi kepentingan kerajaan Romawi.
Jujur, uang hasil memimpin ibadah memang menjadi beban moril dan bertolak
belakang dengan hati nurani saya. Dan oleh karena itu sampai tulisan ini
diterbitkan, saya menolak! Meskipun sampai hari ini, saya tidak menerima
tunjungan hidup sebagai orientasi jemaat di GMIM Bukit Karmel Batukota. Ya
perlu ada ketekunan dan kesabaran dalam ujian dan prinsip hidup akan panggilan
pelayanan. Memang tak gampang menjadi Tou Minahasa Kristen yang bukan
berorientasi pada uang hasil memimpin ibadah!.
Akhirnya, saya memberikan masukan kalau uang tersebut di masukan ke kas
lansia jemaat. Ini baru dinamakan: “banyak memberi dengan ketulusan hati tanpa
paksaan atau pilih-pilih kasih meskipun tanpa diminta.” benar, semoga saya bisa
bertahan dengan prinsip pelayanan hidup ini. Ya, jika TUHAN menghendakinya, kami
akan hidup dan berbuat ini dan itu (Yakobus 4:15).
Ketiga, seperti
biasanya, siapa yang memimpin ibadah pastilah diberikan kue yang paling banyak.
Kue pun telah dibungkus rapi. Saya mendapat perlakuan spesial dari para
pemimpin lansia jemaat ini. Kali ini, kue tidak saya bawa pulang. Tetapi saya
bagi-bagikan kepada oma-opa yang lain. Bukannya saya tidak menghargai pemberian
mereka, melainkan di rumah hampir tiap hari banyak kue, banyak berkat TUHAN
melalui pemberiaan jemaat. Sayangkan kalau kue-kue-nya mubasir. Mari berbagi kasih
bagi mereka yang membutuhkan. Bukan begitu?
Manado, 27 Mei 2012
22:25
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar