Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Minggu, 27 Mei 2012

Teologi Rahim: why not?



Sejenak membaca tema teologi rahim, aah menggelitik iman ini. Apalagi disodorkan kepada para oma dan opa. Why not ? Sengaja saya mengangkat tema dan membawakan dalam sebuah ibadah interaktif kreatif. Pikir kecilku, meskipun sudah lanjut usia (lansia) tapi tak kala ketinggalan dengan para pemuda yang selalu mencari paradigma baru. Saya mengakui bahwa keterbatasan menyimpan hal baru menjadi tantangan dalam penyerapan memori kaum lansia. Namun namanya usaha, maka jadilah tema Teologi Rahim dalam Perspektif Masmur 145:9, saya bawakan dengan perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian.

Kok kehati-hatian? Ini dia sobat, saya takut di cap ajaran sesat. Kok bisa? Seperti kita ketahui bersama bahwa teologi baku dan statis terdapat pada kaum lansia fundamental tanpa transformasi teologi. Kan bisa-bisa saya jadi repot. Hehehehe

Namun, untunglah semua tidak seperti yang saya bayangkan. Coba lihat kebaikan TUHAN, ia memakai dan mengutus orang-orang pilihan untuk menyampaikan firman TUHAN bagi seluruh ciptaan makluk hidup. Saya terpaku dengan mujizat-Nya dalam pembaharuan diri, pembaharuan yang makin bertumbuh dan berkembang.  

Teologi rahim ini terinspirasi kala saya mengikuti PERUATI Minahasa. Saya merasa terpanggil memberitakan, dan berkontribusi bagi lansia. Jangan salah sobat, saya mempergunakan kesempatan yang tidak datang kedua kali ini dengan tema yang cukup ‘menantang.’

Awalnya, saya keluar dari rumah dengan perasaan harap-harap cemas (H2C). Dua rumah telah di lewati, ternyata ketinggalan kaca mata. Maklum sobat, 10 meter pandangan ke depan tidak bisa terlihat secara jelas. Jangankan tulisan atau huruf, wajah orang pun kelihatan samar-samar. Itu pertanda saya makin tua atau kuat membaca yaa? Hmmm.,

Saya balik ke rumah untuk mengambil kacamata yang diletakkan di piring antik bergambar burung cendrawasi  Papua. Saya pun bergegas karena jam dinding rumah telah menunjukkan pukul 14:34. Kali ini tidak berjalan sendiri, saya bersama Oma Longkutoy-Oroh.

Setibanya di gedung gereja, di barisan bangku paling depan hadir oma dan opa dari beberapa jemaat yang berada di seputaran wilayah Manado Barat Daya (MBD). Dengan langkah pasti, saya maju ke depan. Dengan baju kemeja bentenan, saya memperkenalkan corak khas Minahasa.

Bpk Jacob Kalesing (sebagai sekretaris kelompok fungsional lanjut usia GMIM Bukit Karmel Batu kota) mengajak saya menyapa para jemaat yang hadir. Dilihatnya-lah perempuan Minahasa muda, kecil dan kerucuk. Setelah berjabatan tangan, saya langsung mengambil posisi duduk paling belakang seperti biasanya.

Tiba-tiba datanglah enci Sumampouw dengan senyuman khas bagai bunga mawar yang lagi mekar. “adoh kiapa Nency so duduk paling balakang? Adooh enci so salah bacarita, nona pendeta kote, kiapa so duduk paling balakang?” cetusnya. Saya mengatakan “belum pendeta masih bantu-bantu pelayanan, biar jo nyanda apa-apa.” Lanjut menurut enci “ biar jo nyanda apa-apa enci bilang pendeta pa Nency karena somo kasana kwa, enci dapa inga ee…,waktu pendeta masih anak sekolah minggu, masih ba ingus-ingus kong sekarang so ba pimpin di mimbar. Nyanda sangka noh.” Saya pun langsung membalas dengan senyum sambil berucap “karena didikan dari guru, orang tua sampe bisa sekolah lebe. Maar samua ada rencana TUHAN terbaik voor torang pe hidop masing-masing.”

Asyiknya percakapan antara guru-murid, upps terdengar nama saya dipanggil untuk duduk paling depan. Kebanyakan panggil nama saya, alhasil saya-pun mengalah. Ya mengalah untuk duduk paling depan. Kata oma Tina “tidak baik kalau pemimpin ibadah duduk paling belakang.”

Duduk di paling depan membuat hati dan pikiran ‘sedikit’ kacau. Kok kacau? Yaa, sebenarnya saya tidak suka duduk paling depan apalagi menjadi pusat perhatian banyak orang. Sementara duduk, terdengar suara memanggil nama Nency Heydemans dari arah belakang.

Siapa itu? Aduuh ternyata guru sekolah minggu waktu saya masih anak-anak. Waah belasan tahun tidak ketemu. Sambil cipika-cipiki, terharu dan tak menyangka bisa bertemu kembali. Aduuh sayang, kami tidak bisa bercerita lebih lama. Ternyata ibadah akan segera dimulai, saya di giring oleh pembawa acara untuk berdiri di atas mimbar pelayanan khusus.

Dari atas mimbar saya melihat guru besar UNSRAT, mantan kepala dinas provinsi SULUT, mantan dosen, guru sekolah minggu dan sebagainya. Saya  merasa anak kerucuk, anak kemarin yang sekarang memimpin ibadah disaksikan puluhan mata. Apakah makna hidup ku ini, TUHAN?

Renungan digantikan dengan ceramah, melalui metode dialog; tanya-jawab.

Ada dua orang memberikan pertanyaan, dan dua orang memberikan masukan. Semuanya berjenis kelamin laki-laki. saya maklumi saja. Mengapa? karena tema ini kebanyakan menyinggung ke-perempuan-an. Jadi, kontribusi suara laki-laki untuk memberi, melengkapi nuansa ibadah dengan tema teologi rahim.

Kesimpulan dari pemaparan materi dan diskusi, yakni: TUHAN itu baik kepada semua orang, TUHAN itu kasih, agar supaya setiap orang dibenarkan dan diselamatkan. Dengan cara apa TUHAN itu baik? Melalui sikap kasih kita kepada sesama manusia dan makhluk hidup. Kemudian, rahim sebagai sarana keturunan, sebagai tempat firdaus yang aman, nyaman. Setelah janin keluar dari rahim ibu, maka ia menjadi manusia seutuhnya yang mencari-cari kedamaian dan mencari kesejahteraan. Aplikasinya, gereja yang adalah orangnya menjadi pembawa rahim keturunan, berkat bagi alam semesta dan memberitakan kabar baik keselamatan Yesus bagi semua mahkluk hidup.

Saya merasa bersyukur kepada TUHAN Sang Pencipta di kala mereka bisa menyerap materi ini, meskipun serapan hanya berupa sari-sari perenungan.

Setelah ibadah selesai, ada tiga peristiwa yang coba saya renungkan.

Pertama, tiba-tiba sekretaris kelompok fungsional lansia wilayah MBD, Bpk Mait meminta nomor hp saya. Waah, saya merasa anak kerucuk tapi kok di minta nomor hp? Wele-wele, kayak orang penting saja, bukan? hehehe

Menurut Bpk Mait, “teologi rahim merupakan hal baru yang di dengar dan di sampaikan oleh pembicara muda. Meskipun tua-tua begini, tapi teologi rahim belum se-tua umur kami.” Dan oleh karena itu, lanjut menurutnya “saya bersyukur bisa mengikuti perkembangan teologi yang lebih membebaskan dan memberikan pencerahan.”

Kedua, saya diberi emplop putih. Apa ini? kata bpk Jacob Kalesing, ini adalah hasil dari ibadah, ceramah hari ini. ya, uang!. Saya pun langsung menolak uang tersebut. Memang, manusia siapa yang tidak memerlukan uang, tetapi bukan dengan cara demikian. Maksudnya? Saya tidak mau menerima emplop setelah memimpin ibadah. Menurut saya, Yesus Kristus datang ke dunia untuk membebaskan manusia, untuk menyelamatkan seluruh ciptaan-Nya tanpa menerima imbalan uang dari para imam dan ataupun tanpa mengambil uang demi kepentingan kerajaan Romawi.

Jujur, uang hasil memimpin ibadah memang menjadi beban moril dan bertolak belakang dengan hati nurani saya. Dan oleh karena itu sampai tulisan ini diterbitkan, saya menolak! Meskipun sampai hari ini, saya tidak menerima tunjungan hidup sebagai orientasi jemaat di GMIM Bukit Karmel Batukota. Ya perlu ada ketekunan dan kesabaran dalam ujian dan prinsip hidup akan panggilan pelayanan. Memang tak gampang menjadi Tou Minahasa Kristen yang bukan berorientasi pada uang hasil memimpin ibadah!.

Akhirnya, saya memberikan masukan kalau uang tersebut di masukan ke kas lansia jemaat. Ini baru dinamakan: “banyak memberi dengan ketulusan hati tanpa paksaan atau pilih-pilih kasih meskipun tanpa diminta.” benar, semoga saya bisa bertahan dengan prinsip pelayanan hidup ini. Ya,  jika TUHAN menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu (Yakobus 4:15).

Ketiga, seperti biasanya, siapa yang memimpin ibadah pastilah diberikan kue yang paling banyak. Kue pun telah dibungkus rapi. Saya mendapat perlakuan spesial dari para pemimpin lansia jemaat ini. Kali ini, kue tidak saya bawa pulang. Tetapi saya bagi-bagikan kepada oma-opa yang lain. Bukannya saya tidak menghargai pemberian mereka, melainkan di rumah hampir tiap hari banyak kue, banyak berkat TUHAN melalui pemberiaan jemaat. Sayangkan kalau kue-kue-nya mubasir. Mari berbagi kasih bagi mereka yang membutuhkan. Bukan begitu?









Manado, 27 Mei 2012
22:25
Nency A Heydemans Maramis




Tidak ada komentar: