TEOLOGI RAHIM DALAM PERSPEKTIF MAZMUR 145:9
Nency A. Heydemans, S.Teol., M.Si *
Pengantar
Teks kajian kita dalam Mazmur 145:9
terdiri atas dua frasa. Frasa pertama berisi pengakuan pemazmur bahwa TUHAN itu baik kepada semua orang. Frasa
kedua mengungkapkan pengakuan pemazmur bahwa TUHAN penuh Rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya. Sekalipun teks
kajian ini adalah sebuah himne yang mengekspresikan pengakuan individu
pemazmur, tetapi sebagaimana mazmur-mazmur lain, pengakuan individu pemazmur
dapat dipandang sebagai pengakuan umat secara menyeluruh. Oleh karena itu dalam
rangka ibadah Lansia Manado Barat Daya sekaligus materi PA, teks ini kita kaji
bersama untuk menemukan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk membangun sikap hidup
bersama merespon persoalan kerusakan lingkungan alam yang melibatkan manusia
dan isi dunia.
Marrianne
Katoppo menjadi pelopor dari istilah teologi rahim. Ia lahir di Tomohon, 9 Juni
1943 dan meninggal di Bogor, 12 Oktober 2007. Novelnya yang berjudul Raumanan dan buku yang berjudul Compassionate and Free berisi refleksi
teologis akan kepekaan ratapan perempuan dan harapannya untuk menjadi pribadi
yang merdeka, bebas dan berpikir ktiris serta menjalankan kasih Allah kepada
sesama.
TUHAN itu baik kepada semua orang
Dalam frasa pertama ini, yang
mendapat perhatian pemazmur adalah sikap TUHAN terhadap manusia. Pemazmur
mengakui bahwa di hadapan TUHAN, semua manusia sama; tidak ada kelompok ‘anak
emas’. Sifat baik yang dikenakan pemazmur kepada Tuhan dalam menggambarkan
relasi antara TUHAN dengan manusia. Relasi yang dibangun oleh TUHAN dengan
manusia tidak didasarkan atas klasifikasi tertentu, apalagi diskriminasi
berdasarkan bangsa, suku, agama dan gender. Konsep ini menunjukkan pandangan
pemazmur bahwa TUHAN tidak mengenal batas-batas antar manusia yang dibuat oleh
manusia sendiri.
Sifat baik membuat tangan TUHAN
terbuka untuk merangkul semua manusia. Tidak ada keterpisahan dalam rangkulan
tangan TUHAN. Sebaliknya, rangkulan-Nya membuat manusia terhubung satu dengan
yang lain seperti persoalan hidup, harapan hidup dan karya-karya hidupnya. Oleh
sebab itu, tangan TUHAN tetap terbuka menerima dan merangkul manusia. inilah
hakikat kebaikan TUHAN.
Meskipun demikian, rangkulan TUHAN
yang mempertemukan manusia tidak menyebabkan manusia kehilangan pelbagai
perbedaan yang mereka miliki. Tangan TUHAN merangkul semua bangsa. Ia juga
merangkul laki-laki dan perempuan dari anak, remaja, pemuda dan orang tua.
Dalam setting rangkulan TUHAN inilah,
perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dipertentangkan dan dianggap sebagai
ancaman sehingga dijadikan alasan untuk pemisahan dan diskriminasi dalam hidup
manusia. pelbagai perbedaan menolong manusia untuk mengembangkan diri menjadi
manusia yang menghargai perbedaan dan talenta atau karunia-karunia yang
berbeda. Pelpagai perbedaan ini juga membuat manusia menyadari bahwa mereka
saling membutuhkan. Kesadaran ini menjadi pegangan untuk membangun hidup
bersama, dan bertindak bersama sebagai umat TUHAN.
Dalam
kerangka iman, setiap orang perlu mengambil bagian dalam realitas bahwa TUHAN
itu baik kepada semua orang. Di sinilah aspek kemanusiaan manusia yang dijunjung
tinggi seperti yang di firman-kan pemazmur kepada umat/gereja.
TUHAN penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya
Pada frasa kedua ini, pemazmur
menggambarkan sifat TUHAN dalam relasi dengan segala ciptaan-Nya. Relasi TUHAN
sebagai Pencipta dan ciptaan-Nya mendapat perhatian dari pemazmur. Yang menarik
dari frasa ini adalah ketika menggambarkan relasi TUHAN, Sang Pencipta dengan
ciptaan-Nya, pemazmur menggunakan kata benda Ibrani rechem yang artinya rahim (womb).
Kemudian, rahim menurut kata sifat berasal dari akar kata Ibrani rakhum artinya pengasih dan penyayang; rakhama yakni penuh rahmat; raham artinya kasih sayang; dan hanen yang berarti kemurahan hati. Dengan
demikian, rechem dipahami pemazmur
sebagai hubungan TUHAN dengan ciptaan-Nya sama seperti hubungan seorang ibu
dengan anak-anaknya. Dengan demikian, jelas bahwa pemazmur hendak menekankan
sifat dan hakikat Tuhan sebagai asal dan sumber kehidupan. Hati TUHAN Allah
berasal dan bersumber dalam kehidupan bak hati seorang ibu: menciptakan isi
bumi (baca: melahirkan), menjaga, memelihara, merawat, menutrisi dan memberi
kehidupan kepada anak-anaknya.
Menariknya, ketika menterjemahkan
kata rechem, LAI (Lembaga Alkitab
Indonesia) menggunakan kata rahmat, di mana memiliki kedekatan dengan kata rechem. LAI menggunakan kata rahmat
untuk memudahkan para pembaca memahami makna kata itu dalam frasa ini.
Nampaknya pemazmur memahami secara
baik kharakter seorang ibu. Seorang ibu memiliki hati yang menghidupkan.
Seorang ibu tidak pernah menginginkan kehancuran hidup anak-anaknya. Seorang
ibu rela melakukan apa saja demi membahagiakan anak-anaknya, sekalipun untuk
itu ia harus menderita. Oleh karena itu, pemazmur menggambarkan relasi TUHAN
dengan segala ciptaanNya dalam perspektif seorang ibu; perspektif ibu yang
memiliki keterkaitan dengan sifat menopang kehidupan. Sifat menjaga kehidupan
dari anak-anaknya namak dalam kenyataan kasih yang tulus seorang ibu. Berdasarkan
perspektif ini, eksploitasi, penghancuran, penindasan dan pembinasaan ciptaan
TUHAN merupakan hal yang bertentangan dengan maksud penciptaan itu. Segala yang
diciptakan TUHAN adalah baik adanya, saling berelasi, dan teratur untuk saling
menopang kehidupan.
Pengakuan di atas yang berangkat
dari pengalaman pemazmur menjadi inspirasi bagi pembaca untuk menjaga,
memelihara dan memberi kehidupan kepada segala ciptaan TUHAN dengan melakukan
perbaikan, pemulihan dan kepedulian dari kerusakan-kerusakan alam yang terjadi
di sekitar kita. Pengakuan ini harus sejalan dengan perbuatan untuk menjaga
keberlangsungan bumi pertiwi demi kehidupan masa kini dan masa depan.
Kita ingat bahwa, manusia diciptakan
TUHAN pada hari keenam. Mengapa demikian? Karena jika manusia diciptakan pada
hari pertama maka apa yang akan dia makan, minum, tidak ada penerang, tidak ada
udara, tidak ada tanah, tidak ada tumbuh-tumbuhan dan tidak ada binatang. Maka
musnah-lah manusia. Oleh karena itu, manusia diciptakan sesudah makhluk hidup
hadir di muka bumi ini. Artinya, manusia hidup di bumi bergantung pada makhluk
hidup. Tanpa mereka, maka musnahlah manusia. Jika rantai makanan berupa
lingkaran spiral terputus, maka rusaklah alam semesta ini. Dengan kerusakan
alam yang sementara kita lakukan, kita rasakan, menjadikan kita berkontribusi
untuk merusaki rahim bumi. Rahim di mana kita akan kembali ke tanah liat.
Pengakuan
pemazmur juga menggambarkan bahwa fungsi reproduksi rahim perempuan diikuti
fungsi biologisnya disebut kodrat. Perbedaan perempuan dan laki-laki adalah
perbedaan kodrati. Kodrat dari bahasa Arab “qudra”
berarti yang terberi. Kodrat adalah pemberian Tuhan, bukan buatan atau hasil
dari suatu pembiasaan atau pelatihan bukan rekayasa prilaku, bukan konstruksi
sosial atau citra baku buatan manusia, ya… bukan budaya manusia.
Perempuan
mengandung dengan susah payah dan rasa sakit saat melahirkan bukan lagi menjadi
hukuman atau akibat dosa tetapi suatu berkat yang dijadikan-Nya. Berkat bagi
seluruh dunia, bagi semua orang, semua kaum, semua bangsa. Berkat rahim di satu
sisi, kehidupan dunia terus berlanjut. Manusia yang lahir dan hidup, terus
melahirkan kehidupan, bukan hanya bagi manusia tetapi bagi semua ciptaan (bnd.
: Tuhan Yesus lahir dari seorang rahim, bunda Maria). Dapat kita bandingkan
dengan filosofi khas Minahasa yang memiliki makna mendalam, Dr Sam Ratulangi “Si
Tou Timou Tumou Tou” (Manusia Hidup untuk Memanusiakan Manusia).
Berkat
rahim di sisi lain, kehidupan akan tuntutan kebutuhan dunia terus bertambah.
Dari bertambah banyak dan penuhilah bumi menunjukkan pertumbuhan penduduk makin
padat. Tuntutan sandang, papan dan pangan meningkat. Dan oleh karena itu,
gereja yang bukan hanya sebagai lembaga keagamaan tetapi juga orangnya (baca:
termasuk kelompok fungsional lansia) harus terus memancarkan garam dan terang
dunia. Kemudian, memancarkan kesejukan di tengah keluarga melalui sikap
bersahabat dengan alam antara lain salah satu sikap dengan menanam dan
memelihara pohon atau bunga hidup.
Dunia
sedang mengalami perubahan iklim yang ekstrim. Tak bisa dipungkiri lagi,
pemanasan global sedang dan akan kita rasakan kelak. Apakah yang akan kita
wariskan kepada anak, cucu dan cece kita ke-akan-an? Apakah kemacetan atau
polusi udara atau kepadatan penduduk, penghijauan lingkungan dengan penanaman
pohon/bunga dan atau hidup hemat energi?
Kerusakan
lingkungan hidup menjadikan gereja membawa diri sebagai sahabat dengan alam
semesta melalui keadilan, kesederhanaan, kerendahan hati, hormat, hidup
harmoni, menghargai hak-hak hidup segala ciptaan (termasuk hewan dan
tumbuh-tumbuhan). Cara pandang pemazmur 145:9 akan membantu gereja dalam upaya
memberi pemahaman, memberi sikap untuk berekonsiliasi dan berpartisipasi
mencintai alam berdasarkan kasih dari TUHAN Allah, kasih dari Yesus Kristus
kepada dunia ini. Sebagai warga gereja yang percaya bahwa Roh Kudus bekerja
mentransformasikan gereja dan alam semesta, maka sebagai warga gereja inilah
kita memberi makna, menikmati dan merasakan rahmat-Nya bak seorang ibu kepada
anak-anaknya. Akhir kata, Manusia datang
(baca: lahir) dari rahim ibu dan kembali (baca: mati) ke rahim bumi.
*
Materi
Teologi Rahim dalam Perspektif Mazmur 145:9 Disampaikan dalam Ceramah Kelompok
Fungsional Lansia Wilayah Manado Barat Daya. Batukota, 26 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar