Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Kamis, 10 Mei 2012

Cerpen: Mimbar



            Mimbar bagi Lia bocah tujuh tahun itu, adalah tempat yang menarik perhatian bagi banyak orang. Selayang mata memandang, mimbar memang menjadi pusat perhatian si Lia.

Sejak sore itu, ia mengikuti ibadah sekolah minggu di gedung gereja. Seperti biasanya, Lia yang duduk berjejeran dengan teman sebayanya sibuk ba karlota (baca: bercerita) sambil dengar berita firman TUHAN yang diajarkan enci (baca: ibu) guru sekolah minggu itu.

            Memang, enci tidak berdiri di atas mimbar melainkan di bawah mimbar. Ada teman memukul pundak Lia, “Siapa itu?” Cetusnya. Kemudian, ia memalingkan badan ke belakang.., uupss ternyata Ine yang ingin mencari masalah di tengah peribadatan itu. “kiapa, Kapo ngana, anak cengeng” kata Ine dengan raut wajah merah jambu nan membakar.

Tak puas dengan ejekan dan perlakuan Ine maka Lia pun naik pitam. Ia turun dari tempat duduk dan dengan langkah seribu menghampiri Ine sambil membalas pukulan tinju ala Chris John. Tarik-menarik rambut tak bisa dihindari. Akhirnya, engku (baca: bapak) guru sekolah minggu meleraikan pertikaian. Ine menangis tersedu-sedu. Sebaliknya, Lia dengan perasaan jengkel keluar dari gedung gereja.

Diluar gedung gereja, angin tanpa wujud memberi kesejukan di sela rambut lurus kecokelat-cokelatannya. Lia merasa, angin pun menyapa dengan sedih di hatinya. Kemudian, “Kiapa kita yang salah?”Pikir Lia geram sambil menggeleng-gelengkan kepala.

            Ibadah telah usai, semua orang sibuk dengan kesibukan masing-masing. Iiih ada yang mau bertemen, waaw siapa ya? tuuh, Maya menghampiri Lia dan mengajaknya bermain. Dasar anak-anak, namanya bermain sangatlah disukai dan cepat melupakan masalah yang dihadapinya.

Awalnya, lima anak bermain bak-bak sambunyi (baca: petak umpet). Lama-kelamaan, tujuh, delapan dan sembilan anak baik laki-laki maupun anak perempuan ikut bermain di seputaran gedung gereja.

            Kali ini, Maya menjadi penjaga blengko (baca: benteng). Dengan cekatan Lia berlari ke sana dan ke sini tapi tak ada tempat aman untuk bersembunyi. Hmmm, perlahan-lahan si bocah licah ini menaiki anak tangga mimbar gereja. Di lihatnya mimbar coklat terbuat dari kayu khas Minahasa, lalu dengan perasaan gugup dan takut ia duduk dibawa mimbar.

Kok gugup? “karena ini bukan tempat bermain melainkan tempat berdirinya para pendeta”. Kalau begitu, mengapa takut? “Nanti saya dimarahi enci atau engku”, pikir Lia yang mulai gunda hati dan pikirannya.

            Sudah lima belas menit, ia duduk sambil termenung. Tak ada yang datang mencarinya dan tak ada teman bermain menghampiri mimbar itu. Lia yang menggunakan baju putih-hitam bergaris panjang, mulai berdiri, bangkit dari perenungan. Kakinya bergetar bak guntur mengetarkan kaca. Ternyata tinggi mimbar hampir menutupi wajahnya. Kira-kira tinggi mimbar 60 cm sedangkan dirinya 70 cm.

            Memandang ke bawah, di lihatnya enci, engku dan teman sebaya yang sibuk dengan kesibukan masing-masing. Ada yang bernyanyi, bermain, berdiskusi dan ada yang menyibukkan diri masing-masing. Dengan termenung, ia memandang ke atas balkon dengan sudut pandang nan galau. Dilihatnya, tak ada pendengar atau jemaat yang mendengarkan jeritan hati galaunya. Hanya  bangku kosong-lah yang membalas jeritan hati seorang bocah perempuan ini.

           “Ya, saya berdiri di sini untuk bersembunyi bukan mengeluarkan pendapat seperti para pengkhotbah” pikir secuil anak bocah TK ini. Perlahan-lahan ia mulai menanam bibit semangat di relung hatinya.

         Jangan-kan kaki, tangannya pun ikut berkeringat. Ia mulai menekan pengeras suara yang dipakai pembicara kala berkhotbah. Ada juga, lampu baca yang berfungsi untuk menerangi kala pemimpin ibadah membaca Alkitab. Belum lagi, sebotol air minum dalam rak mimbar. Ada yang menarik perhatiannya, apa itu? Alkitab ukuran jumbo di letakkan disamping sebotol air minum itu.

Mulanya, sebagai tempat persembunyian dari musuh, eeh berakhir ingin mencari tahu benda diseputaran mimbar ini. Sekali lagi, dasar anak-anak kamu, Lia.

Hari ini, Lia pun terbangun dari khayalan alam bawah sadarnya. Seakan waktu maju ke depan, menjadi delapan belas tahun kemudian. Yaaa, waktu berputar begitu cepat. Lia, bocah cenggeng itu telah berdiri di atas mimbar sebenarnya.

Memori masa lampau, melajut begitu cepat. Secepat waktu mengejar kehidupan umat manusia. Manusia dikendalikan waktu sehingga ia pun tak sadar bahwa hari ini, eksistensinya adalah seorang pemudi dewasa. Proses kedewasaan menjadi tantangan mimbar hidup pelayanannya.

Berdirinya seorang pemudi menjadi warna tersendiri dalam perenungan ibadah minggu kali ini. Ia berdiri tepat di atas mimbar gereja yang beralaskan karpet merah itu. Benar, ia berdiri bukan untuk mencari tahu barang disekitar mimbar, melainkan ia berdiri untuk menyampaikan firman TUHAN. Sekali lagi, ia berdiri bukan untuk menjadi orang yang tinggi hati atau tinggi jabatan dan atau sebagai orang yang tahu segalanya akan firman TUHAN. Melainkan ia sedang menjadi saluran berkat bagi jemaat di sini. Sungguh tulus dan mulia pelayananmu, Lia!

Keajaiban dalam sebuah perenungan, keajaiban menumbuhkan bibit pohon iman dan ilmu dalam pendidikan teologi mengantarkannya berdiri dan bersuara bak seorang pendeta. Meskipun saat ini, ia sedang dalam proses panggilan hidup sesuai kehendak-Nya.

Sekali, lalu berkali-kali ia berdiri di atas mimbar gereja. Maka dengan akal  budi, berkali-kali itu pula, ia memohon kepada TUHAN Allah yang rahmani dan rahimi untuk memberikan pencerahan dalam firman-Nya. “saya berdiri bukan untuk menjadi guru dan bukan untuk menasehati melainkan memberikan pemahaman bagaimana doing theologi sebenarnya. Gereja (baca: orangnya) harus banyak belajar dari firman-Nya sehingga iman Kristen tidak kerdil” ujar Lia di sela refleksi penghayatan kitab Yesaya 57:14-21. 

Setiap hari minggu, Lia menjadi sorotan ratusan mata memandang. Dari kejauhan, mimbar gereja muncul ‘penghuni’ memberikan refleksi perenungan iman.

Lia bukanlah artis top seperti Agnes Monica dan bukan selebritis seperti Angelina Sondakh. Melainkan, Lia yang menggunakan jas, rok hitam, sepatu hitam hanyalah anak kecil yang dahulunya memandang bangku kosong berjejeran di balkon adalah sebuah misteri Ilahi dalam perjalanan hidupnya.

“Mimbar gereja bukan hanya media dan atau kesempatan saya menyampaikan firman TUHAN melainkan inilah saya belajar tampil sebagai pemudi, lebih tepat lagi sebagai anak dalam keluarga. Berani tampil seperti Yesaya dengan suara kenabiannya/profetik”, kata Lia dengan nada berapi-api.

Lanjut dengan suara hati nurani, Lia pemudi Kristen Minahasa menambahkan “mimbar bukan hanya di gedung gereja, bukan hanya di kolom melainkan mimbar dapat berarti di balik meja belajar kamar ini, di depan laptop, di samping buku multi ilmu ini, maka saya menemukan mimbar itu sebenarnya. Mimbar menjadi lebih luas maknanya dalam realita hidup. Saya lebih senang mengutarakan dalam rajutan tulisan guna wacana teologi refleksi pribadi ke-akan-an dan transformasi iman Kristen. Dan lebih penting lagi, apakah perbuatan hidup saya telah menjadi mimbar berkat bagi orang lain?.”

Namun setelah itu, tatapannya berubah menjadi nur bagi gereja. Mulutnya menjadi berkat. Perbuatannya diikuti orang bahkan mimbar kehidupan menjadi jalan lika-liku pelayanan.

Ada apa dengan dirinya? Apakah Lia berubah wujud menjadi malaikat kecil di jemaatnya? Atau karena gelar akademisnya? Atau karena ajarannya yang lain dari pengkhotbah sebelumnya? Lalu, siapakah ibu dan ayahnya yang telah mendidik anak ini? Bagaimana bisa  imannya kuat seperti akar pohon, dan kokoh berdiri teguh seperti fondasi rumah? Lalu, mengapa dan bagaimana semua ini bisa terjadi? Sejenak berpikir, bertanya-tanya dan memberi apresiasi positif sejalan pertumbuhan iman dan ilmu pengetahuannya.

Setelah ibadah minggu malam selesai, saya mencoba mendakati Lia dengan memberikan tangan kanan sembari ia membalas tangan kanannya melalui sebuah senyuman sambil berucap “selamat hari minggu, sukses selalu yaa”.  Hati dan jantung mulai bergetar begitu cepat, tiba-tiba saya berucap dengan hati-hati namun berani “refleksimu sangat baik, semoga diberkati TUHAN selalu.” Cukup dekat kami bercakap hingga ia merespon dengan kalimat:

“ Kalau bukan TUHAN Allah yang memberikan kebijaksanaan dan inspirasi, maka sia-sialah firman TUHAN ini.
Kalau bukan TUHAN Allah yang memberikan kesempatan dan kebebasan berkarya, maka sia-sialah perenungan akan hidup ini.
Kalau bukan TUHAN Allah yang memberikan orang tua yang bijak dan baik, maka sia-sialah berkat dalam wale (rumah) ini.

Tiba-tiba ia berpikir sejenak, tatapan mendalam, sedikit tersenyum sambil  melanjutkan perkataan :

“Kalau bukan delapan belas tahun yang lalu, saya berdiri di atas mimbar itu, maka sia-sialah rencana TUHAN di balik keajaiban pelayanan sebagai ‘hamba TUHAN’ ini.

Kalimat penutup itu mengantarkannya menuju pada langkah pasti, tepat di bawah mimbar gereja. Ooh ternyata, para majelis jemaat telah menunggunya. Mendoakan Lia untuk selalu berani dan tegas menyampaikan firman-Nya yang hidup itu.

Di sela kegelapan malam, Lia berjalan sendiri. Bayangan hitam menjadi teman menelusuri lorong rumah dan pepohonan rindang itu. Bayang hitam dipancarkan nurlaila (cahaya malam) membuat diri Lia terpengapa melalui alunan hangatnya yang berkata “sobat, selama kamu masih hidup, maka Aku masih setia berjalan bersamamu. Berdirilah teguh seperti mimbar itu, maka dengan hati teguh Aku selalu menyertaimu.”

Akhirnya, ke-galau-an yang terpatri di hati dan akal budi menuju pada rencana TUHAN Allah, rencana penuh anugerah dan damai sejahtera.

“Hai Lia, kamu tidak kembali lagi ke atas mimbar?” tanya Ine yang berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba Lia terkejut dalam lamunan refleksi panggilan hidupnya, ada yang memanggil maka dengan sontak langkah kakinya pun berhenti.

 “Hai Ine., aaah kamu ini buat saya kaget saja. Begini, besok hari ada tugas yang harus saya kerjakan salah satunya di mimbar meja belajar kamarku."

 Tak puas dengan pernyataan itu, Lia pun melanjutkan dengan kalimat  “ooh yaa, agar makin jelas saja. Di malam harinya, saya sering ngumpul dengan teman-teman sebaya sambil tukar pikiran atau curhat-curhatan sebagai pemuda/i gereja. Menarik, bukan? Ayolah gabung dengan kami, besok jam tujuh malam di rumah Harry dengan topik menarik.., hmmm, di tunggu yaaa. ”

“jadi, apa yang harus saya bawa besok?” tanya Ine.
“Sekedar mengingatkan saja, jangan kamu membawa mimbar kolom. Artinya, kita tidak berdiri melainkan duduk santai,” cetus Lia tegas namun lugas.

* * * *
Catatan: Titik awal menulis cerpen

Manado, 11 Mei 2012
00:55
Nency A Heydemans Maramis

Tidak ada komentar: