Mimbar bagi Lia bocah tujuh
tahun itu, adalah tempat yang menarik perhatian bagi banyak orang. Selayang
mata memandang, mimbar memang menjadi pusat perhatian si Lia.
Sejak sore itu, ia mengikuti ibadah sekolah minggu di
gedung gereja. Seperti biasanya, Lia yang duduk berjejeran dengan teman
sebayanya sibuk ba karlota (baca:
bercerita) sambil dengar berita firman TUHAN yang diajarkan enci (baca: ibu) guru sekolah minggu
itu.
Memang, enci tidak berdiri di atas mimbar
melainkan di bawah mimbar. Ada teman memukul pundak Lia, “Siapa itu?” Cetusnya.
Kemudian, ia memalingkan badan ke belakang.., uupss ternyata Ine yang ingin mencari masalah di tengah peribadatan
itu. “kiapa, Kapo ngana, anak cengeng” kata Ine dengan raut wajah merah jambu
nan membakar.
Tak puas dengan ejekan dan perlakuan Ine maka Lia pun naik
pitam. Ia turun dari tempat duduk dan dengan langkah seribu menghampiri Ine
sambil membalas pukulan tinju ala Chris John. Tarik-menarik rambut tak bisa
dihindari. Akhirnya, engku (baca:
bapak) guru sekolah minggu meleraikan pertikaian. Ine menangis tersedu-sedu. Sebaliknya,
Lia dengan perasaan jengkel keluar dari gedung gereja.
Diluar gedung gereja, angin tanpa wujud memberi kesejukan
di sela rambut lurus kecokelat-cokelatannya. Lia merasa, angin pun menyapa
dengan sedih di hatinya. Kemudian, “Kiapa
kita yang salah?”Pikir Lia geram sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ibadah telah usai, semua
orang sibuk dengan kesibukan masing-masing. Iiih
ada yang mau bertemen, waaw siapa ya?
tuuh, Maya menghampiri Lia dan
mengajaknya bermain. Dasar anak-anak, namanya bermain sangatlah disukai dan
cepat melupakan masalah yang dihadapinya.
Awalnya, lima anak bermain bak-bak sambunyi (baca: petak umpet). Lama-kelamaan, tujuh, delapan
dan sembilan anak baik laki-laki maupun anak perempuan ikut bermain di
seputaran gedung gereja.
Kali ini, Maya menjadi
penjaga blengko (baca: benteng).
Dengan cekatan Lia berlari ke sana dan ke sini tapi tak ada tempat aman untuk
bersembunyi. Hmmm, perlahan-lahan si bocah
licah ini menaiki anak tangga mimbar gereja. Di lihatnya mimbar coklat terbuat
dari kayu khas Minahasa, lalu dengan perasaan gugup dan takut ia duduk dibawa
mimbar.
Kok gugup? “karena ini bukan tempat bermain melainkan
tempat berdirinya para pendeta”. Kalau begitu, mengapa takut? “Nanti saya
dimarahi enci atau engku”, pikir Lia yang mulai gunda hati
dan pikirannya.
Sudah lima belas menit, ia
duduk sambil termenung. Tak ada yang datang mencarinya dan tak ada teman
bermain menghampiri mimbar itu. Lia yang menggunakan baju putih-hitam bergaris
panjang, mulai berdiri, bangkit dari perenungan. Kakinya bergetar bak guntur mengetarkan
kaca. Ternyata tinggi mimbar hampir menutupi wajahnya. Kira-kira tinggi mimbar
60 cm sedangkan dirinya 70 cm.
Memandang ke bawah, di
lihatnya enci, engku dan teman sebaya yang sibuk dengan kesibukan masing-masing.
Ada yang bernyanyi, bermain, berdiskusi dan ada yang menyibukkan diri
masing-masing. Dengan termenung, ia memandang ke atas balkon dengan sudut
pandang nan galau. Dilihatnya, tak ada pendengar atau jemaat yang mendengarkan
jeritan hati galaunya. Hanya bangku
kosong-lah yang membalas jeritan hati seorang bocah perempuan ini.
“Ya, saya berdiri di sini
untuk bersembunyi bukan mengeluarkan pendapat seperti para pengkhotbah” pikir
secuil anak bocah TK ini. Perlahan-lahan ia mulai menanam bibit semangat di
relung hatinya.
Jangan-kan kaki, tangannya
pun ikut berkeringat. Ia mulai menekan pengeras suara yang dipakai pembicara
kala berkhotbah. Ada juga, lampu baca yang berfungsi untuk menerangi kala
pemimpin ibadah membaca Alkitab. Belum lagi, sebotol air minum dalam rak
mimbar. Ada yang menarik perhatiannya, apa itu? Alkitab ukuran jumbo di
letakkan disamping sebotol air minum itu.
Mulanya, sebagai tempat persembunyian dari musuh, eeh berakhir ingin mencari tahu benda diseputaran
mimbar ini. Sekali lagi, dasar anak-anak kamu, Lia.
Hari ini, Lia pun terbangun dari khayalan alam bawah
sadarnya. Seakan waktu maju ke depan, menjadi delapan belas tahun kemudian. Yaaa,
waktu berputar begitu cepat. Lia, bocah cenggeng itu telah berdiri di atas
mimbar sebenarnya.
Memori masa lampau, melajut begitu cepat. Secepat waktu
mengejar kehidupan umat manusia. Manusia dikendalikan waktu sehingga ia pun tak
sadar bahwa hari ini, eksistensinya adalah seorang pemudi dewasa. Proses
kedewasaan menjadi tantangan mimbar hidup pelayanannya.
Berdirinya seorang pemudi menjadi warna tersendiri dalam
perenungan ibadah minggu kali ini. Ia berdiri tepat di atas mimbar gereja yang
beralaskan karpet merah itu. Benar, ia berdiri bukan untuk mencari tahu barang
disekitar mimbar, melainkan ia berdiri untuk menyampaikan firman TUHAN. Sekali
lagi, ia berdiri bukan untuk menjadi orang yang tinggi hati atau tinggi jabatan
dan atau sebagai orang yang tahu segalanya akan firman TUHAN. Melainkan ia
sedang menjadi saluran berkat bagi jemaat di sini. Sungguh tulus dan mulia
pelayananmu, Lia!
Keajaiban dalam sebuah perenungan, keajaiban menumbuhkan
bibit pohon iman dan ilmu dalam pendidikan teologi mengantarkannya berdiri dan
bersuara bak seorang pendeta. Meskipun saat ini, ia sedang dalam proses
panggilan hidup sesuai kehendak-Nya.
Sekali, lalu berkali-kali ia berdiri di atas mimbar
gereja. Maka dengan akal budi,
berkali-kali itu pula, ia memohon kepada TUHAN Allah yang rahmani dan rahimi
untuk memberikan pencerahan dalam firman-Nya. “saya berdiri bukan untuk menjadi
guru dan bukan untuk menasehati melainkan memberikan pemahaman bagaimana doing theologi sebenarnya. Gereja (baca:
orangnya) harus banyak belajar dari firman-Nya sehingga iman Kristen tidak
kerdil” ujar Lia di sela refleksi penghayatan kitab Yesaya 57:14-21.
Setiap hari minggu, Lia menjadi sorotan ratusan mata
memandang. Dari kejauhan, mimbar gereja muncul ‘penghuni’ memberikan refleksi
perenungan iman.
Lia bukanlah artis top seperti Agnes Monica dan bukan
selebritis seperti Angelina Sondakh. Melainkan, Lia yang menggunakan jas, rok
hitam, sepatu hitam hanyalah anak kecil yang dahulunya memandang bangku kosong
berjejeran di balkon adalah sebuah misteri Ilahi dalam perjalanan hidupnya.
“Mimbar gereja bukan hanya media dan atau kesempatan saya
menyampaikan firman TUHAN melainkan inilah saya belajar tampil sebagai pemudi,
lebih tepat lagi sebagai anak dalam keluarga. Berani tampil seperti Yesaya
dengan suara kenabiannya/profetik”, kata Lia dengan nada berapi-api.
Lanjut dengan suara hati nurani, Lia pemudi Kristen
Minahasa menambahkan “mimbar bukan hanya di gedung gereja, bukan hanya di kolom
melainkan mimbar dapat berarti di balik meja belajar kamar ini, di depan laptop,
di samping buku multi ilmu ini, maka saya menemukan mimbar itu sebenarnya. Mimbar
menjadi lebih luas maknanya dalam realita hidup. Saya lebih senang mengutarakan
dalam rajutan tulisan guna wacana teologi refleksi pribadi ke-akan-an dan
transformasi iman Kristen. Dan lebih penting lagi, apakah perbuatan hidup saya
telah menjadi mimbar berkat bagi orang lain?.”
Namun setelah itu, tatapannya berubah menjadi nur bagi
gereja. Mulutnya menjadi berkat. Perbuatannya diikuti orang bahkan mimbar
kehidupan menjadi jalan lika-liku pelayanan.
Ada apa dengan dirinya? Apakah Lia berubah wujud menjadi
malaikat kecil di jemaatnya? Atau karena gelar akademisnya? Atau karena
ajarannya yang lain dari pengkhotbah sebelumnya? Lalu, siapakah ibu dan ayahnya
yang telah mendidik anak ini? Bagaimana bisa
imannya kuat seperti akar pohon, dan kokoh berdiri teguh seperti fondasi
rumah? Lalu, mengapa dan bagaimana semua ini bisa terjadi? Sejenak berpikir,
bertanya-tanya dan memberi apresiasi positif sejalan pertumbuhan iman dan ilmu
pengetahuannya.
Setelah ibadah minggu malam selesai, saya mencoba
mendakati Lia dengan memberikan tangan kanan sembari ia membalas tangan
kanannya melalui sebuah senyuman sambil berucap “selamat hari minggu, sukses
selalu yaa”. Hati dan jantung mulai bergetar
begitu cepat, tiba-tiba saya berucap dengan hati-hati namun berani “refleksimu
sangat baik, semoga diberkati TUHAN selalu.” Cukup dekat kami bercakap hingga
ia merespon dengan kalimat:
“ Kalau bukan TUHAN Allah yang memberikan kebijaksanaan
dan inspirasi, maka sia-sialah firman TUHAN ini.
Kalau bukan TUHAN Allah yang memberikan kesempatan dan
kebebasan berkarya, maka sia-sialah perenungan akan hidup ini.
Kalau bukan TUHAN Allah yang memberikan orang tua yang
bijak dan baik, maka sia-sialah berkat dalam wale (rumah) ini.
Tiba-tiba ia berpikir sejenak, tatapan mendalam, sedikit tersenyum
sambil melanjutkan perkataan :
“Kalau bukan delapan belas tahun yang lalu, saya berdiri
di atas mimbar itu, maka sia-sialah rencana TUHAN di balik keajaiban pelayanan
sebagai ‘hamba TUHAN’ ini.
Kalimat penutup itu mengantarkannya menuju pada langkah
pasti, tepat di bawah mimbar gereja. Ooh ternyata, para majelis jemaat telah
menunggunya. Mendoakan Lia untuk selalu berani dan tegas menyampaikan
firman-Nya yang hidup itu.
Di sela kegelapan malam, Lia berjalan sendiri. Bayangan
hitam menjadi teman menelusuri lorong rumah dan pepohonan rindang itu. Bayang
hitam dipancarkan nurlaila (cahaya malam) membuat diri Lia terpengapa melalui
alunan hangatnya yang berkata “sobat, selama kamu masih hidup, maka Aku masih setia
berjalan bersamamu. Berdirilah teguh seperti mimbar itu, maka dengan hati teguh
Aku selalu menyertaimu.”
Akhirnya, ke-galau-an yang terpatri di hati dan akal budi
menuju pada rencana TUHAN Allah, rencana penuh anugerah dan damai sejahtera.
“Hai Lia, kamu tidak kembali lagi ke atas mimbar?” tanya Ine
yang berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba Lia terkejut dalam
lamunan refleksi panggilan hidupnya, ada yang memanggil maka dengan sontak langkah
kakinya pun berhenti.
“Hai Ine., aaah
kamu ini buat saya kaget saja. Begini, besok hari ada tugas yang harus saya
kerjakan salah satunya di mimbar meja belajar kamarku."
Tak puas dengan
pernyataan itu, Lia pun melanjutkan dengan kalimat “ooh yaa, agar makin jelas saja. Di malam
harinya, saya sering ngumpul dengan teman-teman sebaya sambil tukar pikiran
atau curhat-curhatan sebagai pemuda/i gereja. Menarik, bukan? Ayolah gabung dengan
kami, besok jam tujuh malam di rumah Harry dengan topik menarik.., hmmm, di tunggu yaaa. ”
“jadi, apa yang harus saya bawa besok?” tanya Ine.
“Sekedar mengingatkan saja, jangan kamu membawa mimbar
kolom. Artinya, kita tidak berdiri melainkan duduk santai,” cetus Lia tegas
namun lugas.
*
* * *
Catatan: Titik awal menulis cerpen
Manado, 11 Mei 2012
00:55
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar