Bagi
Tou Minahasa, marga sangat melekat dalam dirinya. Dengan adanya marga, ia mudah
dikenal (akte kelahiran, KTP), terkenal (semasa berkarya) sampai dikenang zaman
(nisan pusara). Marga selalu berpusat pada kaum Toar (keturunan Laki-laki).
Memperoleh keturunan anak laki-laki dari rahim ibu menjadikan ia terus berkibar
di atas udara. Tanpa disadari patrilinear telah menjadi ‘budaya’, yang sebenarnya bukanlah budaya
asli Minahasa.
Awalnya, Minahasa tidak mengenal marga. Marga adalah
produk bangsa Eropa. Lama- kelamaan, produk ini diterima oleh bangsa Minahasa. Disadari,
dilakukan dan mendapat legitimiasi agama maka marga pun di terima. “Bahasa Ibu”
menjadikan produk ini lebih kontekstual, lebih banyak peminat. Ditambah lagi
agama Kristen di dalam Kitab Sucinya jelas-jelas menceritakan silsilah (marga)
yang berpusat pada laki-laki (Misalnya silsilah Yesus yang tidak ada
hubungannya dengan Yusuf, ayahnya! Mengingat Yesus lahir bukan dari hubungan
intim antara Bunda Maria dan Yusuf, melainkan Maria mengandung dari pekerjaan
Roh Kudus. Nah tooh, mengapa
Penginjil Matius capek-capek menulis
silsilah Yesus yang tidak ada keterkaitan dengan ayahnya sendiri (?). Jelas,
budaya Yahudi yang dijunjung tinggi).
Minahasa, ooh Minahasa, sudah berapa abad lamanya engkau
mengalami pergeseran nilai melalui sikap egaliter-mu. Mengapa engkau tidak
eksis dengan kesetaraan marga? Kemudian, dimanakah sikap kritismu melihat
fenomena marga yang telah ‘membatu’? aku mohon, janganlah engkau membisu di
tengah derasnya air mengalir? Dimanakah semangatmu hai bangsa Minahasa, bisakah
kita lawan arus tanpa lelah secara bersama-sama?
Aku sadar, perjuangan kecilku tidaklah mudah. Kok bisa? Kurang
lebih dua tahun belakangan ini, aku mengalami pencerahan. Pencerahan yang di
dapat di bangku kuliah PPsMSA Salatiga. Aku adalah anak perempuan satu-satunya
di dalam keluarga yang kurang disenangi papa karena memakai marga mama disetiap
akhir tulisanku. Namun, disetiap ijasah, sertifikat, transkrip nilai sampai
dengan KTP menggaris bawahi bahwa aku adalah salah seorang anak dari keturunan
papa tanpa marga mama.
Gejolak hidup makin membara kala aku telah masuk dalam
bahtera rumah tangga. Gejolak perubahan status. Hampir dua bulan, saya telah
menjadi istri atau nama kerennya ‘mantan pacar’ dari sang suami. Paradigma
masyarakat dan gereja mulai berubah. Aku mulai diperhitungkan dan diakui. Tanpa
disadari, pengakuan eksistensi hidup kami diterima oleh lingkungan.
Masa pacaran adalah masa pengenalan. Memang benar,
pengenalan ini tidaklah disia-siakan. Aku mulai memaparkan ide pengenalan
persamaan hak marga. Kemudian, aku mencoba mendengar kilas balik pemikirannya
yang mendukung buah-buah ide ini. Mencapai kesepakatan bersama maka ia
melamarku menjadi tunangannya. Lanjut, aku mencoba memaparkan kembali budaya
salah kaprah, dan mencoba menkonstruksikan lagi budaya Minahasa yang lebih
setara, tanpa ada yang dirugikan.
Hasilnya, Aku adalah istri yang bernama lengkap Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka.
Status penamaan telah berubah. Seminggu setelah
pernikahan, aku memohon kepada pegawai gereja untuk menuliskan namaku sesuai
pemahaman dan konsensus
bersama suami. 11 November, aku memimpin ibadah di gedung gereja. Seperti
biasa, jadwal khadim tertera di warta jemaat, dan disebarkan. Apa yang terjadi
waktu itu? Sementara syamas kolom 6 membacakan warta jemaat, situasi langsung
ribut. Ada yang berbisik-bisik, ada yang bepikir binggung dan ada yang memahami
salah penulisan nama. Hanyalah dengan sebuah penamaan marga, keributan terjadi
di dalam gedung gereja. Pikirku, inilah kesempatan baik untuk menjelaskan
kepada umat, maksud penamaan tersebut!.
“Memang penamaan, Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka
adalah tulisan yang benar tertera di warta jemaat. Aku memohon kepada pegawai
gereja untuk dituliskan demikian. Adapun pelbagai alasan, mengapa aku memakai
nama itu? Pertama, jika ditujukan kepada diriku, maka aku disebut Ibu Nency Aprilia
Heydemans-Moningka. Namun penamaan keluarga
disebut Moningka-Heydemans. Inilah adalah buah hasil konsensus bersama
suami. Kedua, sebutan nama ini adalah unik (hanya beberapa istri yang
menyadari lalu memakainya) dan bahkan bertentangan dengan budaya salah kaprah
yang selama ini dipakai oleh para Lumimuut (para istri) di tanah Minahasa. Ketiga,
aku tidak menginginkan jikalau marga Heydemans dibelakang marga suami. Misalnya
dituliskan Ibu N. A. Moningka-Heydemans;
Dan lebih mengiriskan hati jika hanya di singkat. Misalnya ditulis Ibu N. A.
Moningka-H. Disini aku tegaskan bahwa marga Heydemans tidak mau dinomor duakan.
Aku melakukan ini hanya sedikit dari perjuangan gender di dalam keluarga dan
dilanjutkan dalam aras gereja.” Demikian seruanku di atas mimbar itu, sebelum nyanyian
penutup dan berkat.
Aku menyadari ada pro-kontra jemaat dari keputusan
penamaan marga. Keluargaku (khususnya papa) tidaklah kaget lagi dan marah
dengan penamaan margaku. Dari susah di terima, akhirnya mudah diterima karena so biasa (sudah biasa). Itulah
pengikisan perlahan-lahan budaya yang mulai aku bangun dari dalam keluargaku,
dengan harapan juang bisa masuk ke aras lingkungan sosial dan gereja. Menyadari
bahwa sikap kritis dan perjuangan ini tidaklah mudah. Hanya meyakinkan kepada
siapa saja, (baik) laki-laki maupun perempuan yang peduli akan kesetaraan, yang
ingin melakukan perubahan tanpa pilih kasih, bersama-sama membangun kehidupan
yang adil, bahagia dan penuh kasih.
Lalu bagaimana dengan penamaan yang bertuliskan Ibu N. A.
Heydemans (Nyonya Moningka) ? Aku rasa tidaklah tepat. Adapun alasanku: Pertama,
terjadi penggandaan gelar. Sudah dituliskan ibu yang menunjuk kepada diriku
sendiri, ditulis pula nyonya dari marga suami. Kayak dipisahkan dengan dua
gelar yang berbeda. Kedua, ada tuan berarti ada nyonya. Aku tidak mau menjadi
nyonya pembesar dari tuan Moningka yang disanjung tinggi oleh masyarakat atau
gereja. Cukup disebut lebih halus pemaknaannya, yakni ibu.
Jikalau menyebut Ibu
N. A. Heydemans (Nyonya Moningka) tidaklah tepat dengan penamaan gelar marga
tersebut, beda pemahaman dengan sejawat perempuan yang berkecimpung di
gereja. Bagi mereka, penggandaan gelar (Ibu dan Nyonya) menunjukkan budaya yang
gampang diterima jemaat. Tidak menimbulkan konflik. Kemudian, status nyonya
menunjukkan bahwa mereka menyayangi, mencintai suami mereka yang adalah kepala
keluarga.
Jika mereka mencintai, menyayangi suami dengan pemakaian
Nyonya (diikuti marga suami), lalu pertanyaan kritisku, bagaimana dengan
identitas marga suami? apakah mereka juga akan menyebutkan diri Tuan lalu
diikuti marga istri? Aku rasa tidak demikian. Berarti pemahaman tersebut
tidaklah logis! Itulah pernyataan pasrah, iko-iko
(ikut-ikut) arus tanpa pendirian. Pemahaman bahwa suami adalah kepala keluarga
menunjukkan ada hirarki di dalam keluarga, meskipun itu ada dituliskan dalam surat
suci Paulus. Sebaiknya, (baik) suami maupun istri adalah keluarga itu sendiri.
Tidak ada kepala, tidak ada kaki, tidak ada badan maupun tidak ada ekor.
Semuanya adalah sama, setara, pembagian tugas rumah secara bersama-sama.
Aku bahagia bisa mendapatkan suami yang berpikir feminis,
terbuka, bisa diajak diskusi sehingga menghasilkan konsensus, komitmen dan
melaksanakan pembagian tugas domestik bersama-sama. Keluarga besarku telah
menerima penamaan marga dalam identitas diriku (kecuali KTP). “Tinggal
bagaimana meyakinkan lingkungan sosial dan gereja setempat. Memang tugas rumah
yang cukup berat! Namun aku harus bergerak maju.” Pikir optimis realistis-ku.
Entah kapan terjadi tranformasi marga bagi kaum Lumimuut-Toar
di tanah Minahasa ini? ya entahlah, roda waktu yang akan menjawabnya. Seperti
biasa, bagian kedua rajutanku ini mau membuka cakrawala kritis, melanjutkan
hidup yang lebih setara, merdeka, bebas bertanggungjawab, bahkan adil yang
dimulai dari dalam keluarga kita masing-masing.
Dengan penuh pengharapan, ada sepenggal tulisan hati dan
tarian jiwa di hidup-ku maupun dihidup-mu,
yang terus berlanjut maju, mundur, dan ataupun berputar mengikuti irama
hidup yang saling menghidupkan.
Manado, 29 Desember 2012
17:00
Nency A Heydemans-Moningka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar