Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Sabtu, 29 Desember 2012

Pentingkah Marga? (Bagian 2)



            Bagi Tou Minahasa, marga sangat melekat dalam dirinya. Dengan adanya marga, ia mudah dikenal (akte kelahiran, KTP), terkenal (semasa berkarya) sampai dikenang zaman (nisan pusara). Marga selalu berpusat pada kaum Toar (keturunan Laki-laki). Memperoleh keturunan anak laki-laki dari rahim ibu menjadikan ia terus berkibar di atas udara. Tanpa disadari patrilinear telah menjadi ‘budaya’, yang sebenarnya bukanlah budaya asli Minahasa.

Awalnya, Minahasa tidak mengenal marga. Marga adalah produk bangsa Eropa. Lama- kelamaan, produk ini diterima oleh bangsa Minahasa. Disadari, dilakukan dan mendapat legitimiasi agama maka marga pun di terima. “Bahasa Ibu” menjadikan produk ini lebih kontekstual, lebih banyak peminat. Ditambah lagi agama Kristen di dalam Kitab Sucinya jelas-jelas menceritakan silsilah (marga) yang berpusat pada laki-laki (Misalnya silsilah Yesus yang tidak ada hubungannya dengan Yusuf, ayahnya! Mengingat Yesus lahir bukan dari hubungan intim antara Bunda Maria dan Yusuf, melainkan Maria mengandung dari pekerjaan Roh Kudus. Nah tooh, mengapa Penginjil Matius capek-capek menulis silsilah Yesus yang tidak ada keterkaitan dengan ayahnya sendiri (?). Jelas, budaya Yahudi yang dijunjung tinggi).

Minahasa, ooh Minahasa, sudah berapa abad lamanya engkau mengalami pergeseran nilai melalui sikap egaliter-mu. Mengapa engkau tidak eksis dengan kesetaraan marga? Kemudian, dimanakah sikap kritismu melihat fenomena marga yang telah ‘membatu’? aku mohon, janganlah engkau membisu di tengah derasnya air mengalir? Dimanakah semangatmu hai bangsa Minahasa, bisakah kita lawan arus tanpa lelah secara bersama-sama?

Aku sadar, perjuangan kecilku tidaklah mudah. Kok bisa? Kurang lebih dua tahun belakangan ini, aku mengalami pencerahan. Pencerahan yang di dapat di bangku kuliah PPsMSA Salatiga. Aku adalah anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga yang kurang disenangi papa karena memakai marga mama disetiap akhir tulisanku. Namun, disetiap ijasah, sertifikat, transkrip nilai sampai dengan KTP menggaris bawahi bahwa aku adalah salah seorang anak dari keturunan papa tanpa marga mama.

Gejolak hidup makin membara kala aku telah masuk dalam bahtera rumah tangga. Gejolak perubahan status. Hampir dua bulan, saya telah menjadi istri atau nama kerennya ‘mantan pacar’ dari sang suami. Paradigma masyarakat dan gereja mulai berubah. Aku mulai diperhitungkan dan diakui. Tanpa disadari, pengakuan eksistensi hidup kami diterima oleh lingkungan.

Masa pacaran adalah masa pengenalan. Memang benar, pengenalan ini tidaklah disia-siakan. Aku mulai memaparkan ide pengenalan persamaan hak marga. Kemudian, aku mencoba mendengar kilas balik pemikirannya yang mendukung buah-buah ide ini. Mencapai kesepakatan bersama maka ia melamarku menjadi tunangannya. Lanjut, aku mencoba memaparkan kembali budaya salah kaprah, dan mencoba menkonstruksikan lagi budaya Minahasa yang lebih setara, tanpa ada yang dirugikan.

Hasilnya, Aku adalah istri yang bernama lengkap Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka.

Status penamaan telah berubah. Seminggu setelah pernikahan, aku memohon kepada pegawai gereja untuk menuliskan namaku sesuai pemahaman dan konsensus bersama suami. 11 November, aku memimpin ibadah di gedung gereja. Seperti biasa, jadwal khadim tertera di warta jemaat, dan disebarkan. Apa yang terjadi waktu itu? Sementara syamas kolom 6 membacakan warta jemaat, situasi langsung ribut. Ada yang berbisik-bisik, ada yang bepikir binggung dan ada yang memahami salah penulisan nama. Hanyalah dengan sebuah penamaan marga, keributan terjadi di dalam gedung gereja. Pikirku, inilah kesempatan baik untuk menjelaskan kepada umat, maksud penamaan tersebut!.

“Memang penamaan, Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka adalah tulisan yang benar tertera di warta jemaat. Aku memohon kepada pegawai gereja untuk dituliskan demikian. Adapun pelbagai alasan, mengapa aku memakai nama itu? Pertama, jika ditujukan kepada diriku, maka aku disebut Ibu Nency Aprilia Heydemans-Moningka. Namun penamaan keluarga disebut Moningka-Heydemans. Inilah adalah buah hasil konsensus bersama suami. Kedua, sebutan nama ini adalah unik (hanya beberapa istri yang menyadari lalu memakainya) dan bahkan bertentangan dengan budaya salah kaprah yang selama ini dipakai oleh para Lumimuut (para istri) di tanah Minahasa. Ketiga, aku tidak menginginkan jikalau marga Heydemans dibelakang marga suami. Misalnya dituliskan Ibu N. A.  Moningka-Heydemans; Dan lebih mengiriskan hati jika hanya di singkat. Misalnya ditulis Ibu N. A. Moningka-H. Disini aku tegaskan bahwa marga Heydemans tidak mau dinomor duakan. Aku melakukan ini hanya sedikit dari perjuangan gender di dalam keluarga dan dilanjutkan dalam aras gereja.” Demikian seruanku di atas mimbar itu, sebelum nyanyian penutup dan berkat.  

Aku menyadari ada pro-kontra jemaat dari keputusan penamaan marga. Keluargaku (khususnya papa) tidaklah kaget lagi dan marah dengan penamaan margaku. Dari susah di terima, akhirnya mudah diterima karena so biasa (sudah biasa). Itulah pengikisan perlahan-lahan budaya yang mulai aku bangun dari dalam keluargaku, dengan harapan juang bisa masuk ke aras lingkungan sosial dan gereja. Menyadari bahwa sikap kritis dan perjuangan ini tidaklah mudah. Hanya meyakinkan kepada siapa saja, (baik) laki-laki maupun perempuan yang peduli akan kesetaraan, yang ingin melakukan perubahan tanpa pilih kasih, bersama-sama membangun kehidupan yang adil, bahagia dan penuh kasih.

Lalu bagaimana dengan penamaan yang bertuliskan Ibu N. A. Heydemans (Nyonya Moningka) ? Aku rasa tidaklah tepat. Adapun alasanku: Pertama, terjadi penggandaan gelar. Sudah dituliskan ibu yang menunjuk kepada diriku sendiri, ditulis pula nyonya dari marga suami. Kayak dipisahkan dengan dua gelar yang berbeda. Kedua, ada tuan berarti ada nyonya. Aku tidak mau menjadi nyonya pembesar dari tuan Moningka yang disanjung tinggi oleh masyarakat atau gereja. Cukup disebut lebih halus pemaknaannya, yakni ibu.

Jikalau menyebut Ibu N. A. Heydemans (Nyonya Moningka) tidaklah tepat dengan penamaan gelar marga tersebut, beda pemahaman dengan sejawat perempuan yang berkecimpung di gereja. Bagi mereka, penggandaan gelar (Ibu dan Nyonya) menunjukkan budaya yang gampang diterima jemaat. Tidak menimbulkan konflik. Kemudian, status nyonya menunjukkan bahwa mereka menyayangi, mencintai suami mereka yang adalah kepala keluarga.

Jika mereka mencintai, menyayangi suami dengan pemakaian Nyonya (diikuti marga suami), lalu pertanyaan kritisku, bagaimana dengan identitas marga suami? apakah mereka juga akan menyebutkan diri Tuan lalu diikuti marga istri? Aku rasa tidak demikian. Berarti pemahaman tersebut tidaklah logis! Itulah pernyataan pasrah, iko-iko (ikut-ikut) arus tanpa pendirian. Pemahaman bahwa suami adalah kepala keluarga menunjukkan ada hirarki di dalam keluarga, meskipun itu ada dituliskan dalam surat suci Paulus. Sebaiknya, (baik) suami maupun istri adalah keluarga itu sendiri. Tidak ada kepala, tidak ada kaki, tidak ada badan maupun tidak ada ekor. Semuanya adalah sama, setara, pembagian tugas rumah secara bersama-sama.

Aku bahagia bisa mendapatkan suami yang berpikir feminis, terbuka, bisa diajak diskusi sehingga menghasilkan konsensus, komitmen dan melaksanakan pembagian tugas domestik bersama-sama. Keluarga besarku telah menerima penamaan marga dalam identitas diriku (kecuali KTP). “Tinggal bagaimana meyakinkan lingkungan sosial dan gereja setempat. Memang tugas rumah yang cukup berat! Namun aku harus bergerak maju.” Pikir optimis realistis-ku.

Entah kapan terjadi tranformasi marga bagi kaum Lumimuut-Toar di tanah Minahasa ini? ya entahlah, roda waktu yang akan menjawabnya. Seperti biasa, bagian kedua rajutanku ini mau membuka cakrawala kritis, melanjutkan hidup yang lebih setara, merdeka, bebas bertanggungjawab, bahkan adil yang dimulai dari dalam keluarga kita masing-masing.

Dengan penuh pengharapan, ada sepenggal tulisan hati dan tarian jiwa di hidup-ku maupun dihidup-mu,  yang terus berlanjut maju, mundur, dan ataupun berputar mengikuti irama hidup yang saling menghidupkan.


Manado, 29 Desember 2012
17:00
Nency A Heydemans-Moningka

Tidak ada komentar: