Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Rabu, 19 Desember 2012

Iman Perempuan Pendarahan: Pembebasan dan Transformasi Hidup




Dari ratusan perempuan di tanah Lumimuut-Toar ini, aku mendapat kesempatan dari PERUATI Minahasa mengikuti Workshop Membaca Alkitab dengan Mata Baru (MAdMB). Kesempatan mengikuti Workshop tidak aku sia-siakan. Toraja Utara, Tangmentoe menjadi nyonya rumah. Hari itu, tiga November aku menginjakan kaki di kota dingin yang kental budaya Toraja.  Dari dua puluh tujuh peserta PERUATI di bagian Timur, enam orang dari AWRC dan satu staf  PERUATI mengambil bagian dalam materi, diskusi dan sharing pergumulan bersama, yang memakan waktu enam hari lamanya. Kami mencoba mengungkapkan kebenaran, penderitaan, kekerasan, alienasi, bercermin dari pengalaman perempuan yang dimarginalkan (baik) di rumah, struktur gereja, adat dan agama. Sama seperti tiga puluh empat perempuan yang mengalami kontruksi self,  begitu pula dengan seorang perempuan yang mengalami pendarahan. Secara bersama-sama, kami mencoba mengungkapkan kebenaran  penderitaan hidup.


Mengapa kita perlu perjuangan? Bagaimana aku (bahkan kalian) bisa mengidentifikasi konstruksi self dalam gerak tari yang membebaskan? Apakah kita bisa menuju pada transformasi hidup? Untuk menjawab pelbagai pertanyaan yang sarat dengan refleksi teologis kritis, maka simak dulu kisah saya di bawah ini.


            Siapakah saya? Saya, seorang perempuan dewasa yang menderita pendarahan. Derita memang jika saya katakan bahwa  pendarahan memakan waktu dua belas tahun lamanya.  Pasti banyak orang tidak mengenal saya. Memang dalam cerita injil di atas segala Injil, nama saya tidak disebutkan. Bisa jadi, saya tidak diperhitungkan; kontribusi kebenaran eksistensi hidup saya diabaikan. Jangankan nama saya, keluarga saya pun tidak dituliskan dengan jelas. Eksistensi saya dalam cerita ini sangat minim. Tiba-tiba cerita saya masuk bersamaan dengan cerita Yairus dan anak perempuannya. Bagi penulis injil di atas segala Injil, saya adalah nobody. dan Yairus adalah top leader.  Akan tetapi bagi saya, aku adalah perempuan yang sedang mengalami kontruksi, ingin berubah dan mengalami pembebasan dari kehidupan yang dimarginalkan.
           
            Sebelum mengalami sakit pendarahan, hidup saya penuh kebahagiaan. Saya hidup dalam keluarga sederhana. Memiliki ayah, ibu, kakak, adik bahkan suami. Hidup bersama orang yang mencintai dan dicintai memang sangat membahagiakan. Awal menikah, suami sangat sayang dan penuh pengertian. Kemudian, ia berkomitmen untuk setia mendampingi saya sampai akhir hidup kami. Apa yang didapat dengan namanya kesetiaan (?), ternyata hanyalah khayalan yang memilukan hati. Memang benar, saya hidup dalam realitas pergaulan sosial.  Banyak teman perempuan, tetangga yang telah dianggap sebagai saudara sendiri. Kami sering jalan-jalan, ngumpul bareng dan hidup dalam persekutuan jemaat. Bisa dipikirkan, hidup itu seperti bunga mawar putih yang sedang mekar di atas tangkai hijau, siap dipanen.

Kebahagiaan menjadi gugur;  musim pun berganti. Sejak penyakit pendarahaan merampas kebahagiaanku, menggrogoti tubuh ini; tetesan demi tetesan mengalir, mengalir dan mengalir dari tubuhku yang lemah, tak berdaya. Pelbagai macam obat tradisional sampai pengobatan tabib sudah saya usahakan. Tabungan dari hasil keringat, habis sia-sia. Rumah, tanah, keledai, di jual demi kesembuhan sakit ini. Alhasil, penyakit ini tidak berhasil disembuhkan. Satu persatu, keluarga meninggalkan saya. Melihat kondisi tubuh saya makin tak berdaya, makin parah, sang suami tak sanggup membiayai pengobatan yang ‘mengiris dompet’. Elok parasku, indah tubuhku seakan berputar seratus delapan puluh derajat, menjadi keriput dan ke-kurus-an berbau.  Dan akhirnya tibalah ia meninggalkanku, seorang diri. Perih rasa ini. Ingin curhat (curahan hati) penderitaan dan pergumulan hidup bersama teman sebaya perempuan, tetapi tak ada yang mau mendekat . Keluarga, tetangga, sahabat perlahan-lahan meninggalkanku. Saya teralokasi. Semua dibatasi. Semua menjauhi. Semua meninggalkanku. Saya hanya bisa merasakan kisah pilu ini dari keterbatasan hati nurani yang telah hancur.

Tak ada yang peduli lagi, tak ada yang mau menolong lagi bahkan menoleh ke arah ku pun tak ada. Hanya diri ini yang memahami deritaku. Komunitas memandangku seperti orang gila, yang sering berbicara sendiri. Sebenarnya saya tidak gila. Hanya saja, komunitas memutuskan komunikasi bersamaku. Jika diingat, tidak ada satupun yang mau menerima penderitaan dan penyakitku. Benar sekali bahwa hidup sendiri digubuk tua, berbicara sendiri seperti orang gila, jauh dari keramaian kota seakan mengisahkan hidupku teralienasi di tanah sendiri, tanah Ibu Pertiwi.  

            Semua orang menjauhi hidup saya. Bagi masyarakat Yahudi, pendarahan dipandang najis, penyakit, kotor dan jika sudah menahun maka dianggap kena kutukan. Perspektif  ini membuat diriku terpojok menjadi subordinasi. Semakin terpojok menjadikan saya hidup dalam kegelapan-kemandirian. Setiap hari saya berjalan seorang diri. Tak memandang hujan dan ataupun panas. Mencari sesuap makanan dari belas kasihan orang lain. Pernah suatu hari saya tidak makan. Pendarahan ini kambuh lagi. Tak kuat menahan derita. Saya hanya bisa pasrah di atas bekas-bekas sisa kain sampah. Terkapah dan bangkit lagi dari tumpukan ‘penderitaan’ ini. Selain TUHAN, hanya diri saya yang tahu benar kesusahan setiap hari. Memang, berbicara kesusahan seakan air mata mengalir tak habis-habisnya. Sudah berapa banyak air yang mengalir dalam tubuhku ini (?). Saya tak tahu. Yang pasti, setiap air (mata dan ataupun darah) yang mengalir menunjukkan betapa menderitanya hidup saya, berjuang sebatang karah. Tanpa kasih sayang, tanpa kepedulian dan lebih parah lagi, tanpa kemananusiaan.

Eksistensi saya ‘hilang’ di depan publik. Nama baik tercoreng, apalah artinya sebuah nama jika zaman menelanku (?).  Ada kerinduan untuk bersekutu namun apa boleh buat, saya tidak diperbolehkan hadir dalam Sinagoge. Makin derita lagi, jika bertemu keluarga di tepi jalan. Dari kejauhan dua puluh meter, mereka mengeriaki saya untuk kembali ke gubuk tua itu, “jangan keluar, pulanglah!” ucap kasar mereka. Sungguh, saya teralienasi (baik) dalam keluarga maupun masyarakat. Dan terjatuh di bawah tumpukkan segitiga kecil kekerasan. Streotip yang menjerumuskanku masuk dalam lingkaran setan. Lingkaran kenajisan mereka, bukan saya!.  Saya tidak najis. “Saya hanya ingin bertahan hidup dengan pengharapan bahkan pembebasan baru”, pikir pemulihan semangat hidupku, sambil menahan tangis.

Kebisuan malam menenggelamkan mimpi buruk menahun. Mulut membisu, seakan tertutup rapat dibalik kain kusam kemerah-merahan. Dibalik kain robek itu, saya mencoba mengintip pembicaraan banyak orang tentang sosok Yesus. Siapakah Yesus? Dia adalah tabib di atas segala tabib; Anak Allah; Penyelamat dan Pembebas. Mendengar pembicaraan mereka yang tidak jauh dari kumuh gubuk saya itu, maka saya mengambil keputusan untuk bertemu dengan-Nya, siapa tahu Yesus mau menyembuhkanku; siapa tahu Yesus mau mendengarkan kelu-kesahku. “Aaah.., saya harus keluar dari gubuk ini”, Pikir optimisku.

Siang itu, terlihat banyak pemuka agama, masyarakat dan para muzafir menunggu kedatangan Yesus.  Ketika Yesus muncul dibalik perahu ditepi danau itu, maka banyak orang berbondong-bondong mengikuti dan mendekati-Nya.  Dari kejahuan, sang pemuka agama Yairus namanya, memohon sambil tersungkur agar Yesus pergi menyembuhkan anaknya yang semantara sakit di rumah. Terlihat Yesus mengikuti langkah kakinya.  Banyak orang mengikuti Yesus.  Ada banyak orang menjamah-Nya. Dan pada saat yang sama, saya datang dari arah belakang lalu menjamah jubah-Nya. Strategi ini dibuat agar supaya tidak ada orang yang mengetahui kehadiran saya. Kesempatan dalam sebuah kesempitan untuk bertemu dengan Yesus. 

Apa yang diketahui Yesus? Menurut cerita Injil Markus, Yesus merasa ada tenaga yang keluar dari tubuh-Nya.  Kemudian, Ia bersi keras ingin mengetahui siapa yang menyentuh jubah-Nya. Dari perasaan gunda gulana-Nya, ternyata ada sesuatu yang tidak beres di daerah ini. Ada seseorang yang ingin bangkit dari keterpurukan. Ia bertanya di depan banyak orang, “siapakah yang menjamah jubah-Ku?”. Murid-murid-Nya tak habis pikir akan pertanyaan Yesus di depan banyak orang yang telah menyentuh jubah-Nya. Ribut, berdesak-desakan berubah menjadi tegang seakan membisu. Semua saling berhadapan, aneh dan terasa binggung penuh pertanyaan.

Sejauh pertanyaan Yesus memunculkan kebisuan di tengah masyarakat, maka saya dapat merasakan bahwa pertanyaan itu ditujukkan pada diri saya. Mengetahui apa yang telah terjadi dalam tubuh saya ini, maka inilah penampilan pertama kali saya di depan publik.  Tertatih langkah ini, gemetar tubuh ini, pucat merias diwajah ini mengisyaratkan sayal-ah yang dicari Yesus.  Tiba-tiba kaki saya tersunggur di depan Yesus. Saya merasa bersalah. Sebagai perempuan yang menderita pendarahan, telah menyentuh jubah Yesus yang suci, orang Yahudi, yang dikagumi dan dianggap Guru itu. Namun saya tidak dimarah oleh Yesus. Mengapa demikian? Karena Yesus memberikan kesempatan bagi saya untuk berbicara di depan banyak orang akan kebenaran penderitaan yang saya alami kurang lebih dua belas tahun. Yesus mau mendengar pergumulan hidupku. Iya benar, Yesus berempati.
Adapun kalimat penguatan-Nya yang membuat saya menjadi manusia seutuhnya “Anakku, imanmu telah menyembuhkanmu.” Kalimat yang selalu saya ceritakan turun temurun kepada anak-cucu. Kalimat ini membuktikan bahwa saya diberikan hidup baru yang selama ini telah sirna. Yesus memberikan jalan agar saya bisa bergabung lagi dengan komunitas setempat. Pengakuan diri Yesus kepada saya menjadikan hidupku tidak lagi dikucilkan, tidak dimarginalkan. Iman saya dalam diri saya yang telah menumbukan rasa percaya diri untuk tampil mengungkapkan kebenaran penderitaan di depan Yesus.

Horee., saya telah menemukan jati diri yang telah lama di gilas waktu. Saya menjadi percaya diri. Saya menjadi perempuan yang bebas dari streotip dan kekerasan. Cukup sudah,  semua pemuka agama akan khotbahnya yang mengucilkan diriku; cukup sudah, semua orang yang membatasi ruang gerak hidupku; cukup sudah,  semua keluarga yang meninggalkan dan tidak menerima tubuhku yang rapuh. Sekarang ini, yaaaa, hari ini saya telah mengambil keputusan, komitmen menjadi perempuan yang merdeka. Merdeka dari putusnya rantai kebisuan yang selama ini menyiksaku. Yesus, menjadikan hidup saya lebih berarti. Yesus memberikan harapan, pembebasan dan transformasi bagi hidup saya.

Siapakah Yairus? Menurut struktur, ia adalah kepala Sinagoge. Lalu apa tugasnya? Selain berkhotbah, ia melakukan tugas panggilannya sebagai nabi, bersaksi, memberi teladan dan melayani. Apakah tugas pelayanannya berjalan dengan baik? Menurut sorot mataku, ia telah mengabaikan tugasnya. Ia tidak memperhatikan posisi dan kedudukan serta penderitaan saya. Hukum TUHAN dijadikan para pemuka agama sebagai peraturan yang tidak membebaskan dan tidak memberdayakan. Saya korbannya! Saya tidak diberi pendampingan pastoral. Saya diberikan label, sampah masyarakat yang perlu dikucilkan. Sangat ironi memang.

Tahukah kau bahwa Yairus sangat kecewa dengan perbuatan Yesus? bahkan ia mulai gelisa kalau nanti anaknya akan mati. Terlihat Yairus berdiri tanpa rasa percaya diri. Ia kuatir bahwa Yesus hanya menaruh perhatian kepada saya. Perbincangan saya bersama Yesus di depan publik memakan waktu satu jam. Kemudian, perjalanan kaki menuju rumahnya memakan waktu setengah jam. Sehingga benar firasat sebagai seorang ayah bahwa anaknya telah mati.

Ketika Yesus sampai di depan rumah, terlihat banyak orang menangis.  Ada yang histeris berteriak, ada yang histeris menangis, ada yang membawakan alunan lagu sambil terharu. Terasa ada yang meninggal dunia. Air mata terlanjur tumpah, basahi tanah menjadi darah, di payungi duka kelabu. Yairus terlihat galau karena anak perempuannya yang berumur dua belas tahun telah meninggal dunia. Yesus berkata “jangan takut, percaya saja….” Perkataan Yesus mencuat kala Yairus tidak percaya diri lagi. Hilanglah harapan kepala Sinagoge itu.

Kala redup harapan itu, Yesus memberikan penguatan bahwa anaknya tidak mati melainkan tidur. Semua orang menertawakan perkataan-Nya. Yesus memegang tangan anak itu dan berkata “talita kum” yang berarti hai anak, Aku berkata kepadamu , bangunlah!. Ternyata, posisi saya dan anak perempuan Yairus adalah sama. Sama dimana Yesus menyapa kami sebagai anak. Tak ada beda antara kaya dan miskin. Tak ada beda antara Yahudi dan non Yahudi. Tak ada beda antara putih dan hitam. Semuanya sama di hadapan Yesus. Inilah jalan keselamatan yang diberikan-Nya.

Apa yang terjadi dua belas tahun kemudian di antara saya, Yairus dan anak perempuan Yairus? Kami pernah bertemu di rumah kopi. Nuansa kebetulan itu mengantarkan kami menceritakan pengalaman yang telah membebaskan dan mengubah hidup kami. Cerita ini didengar seluruh pengunjung rumah kopi tersebut. Semua tertakjub. Kami saling menghidupkan cerita itu dan berbagi pengalaman. Cerita ini tersiar di mana-mana.

Tiba-tiba saya menjadi bintang selebritis. Eksistensi saya diakui masyarakat, keluarga dan agama. Saat ini, saya telah menjadi perempuan yang mandiri, berkarier dan memiliki keluarga kecil. Saya seakan menari di atas panggung kehidupan. Saya mengajak kita semua menari di panggung bulat besar ini, tanpa sandiwara. Menari, menari dan menari bersama menuju pada pembebasan yang memanusiakan manusia.


Saya menyadari bahwa seluruh kebenaran kisah yang menyakitkan, yang menjengkelkan tidak ditulis oleh penginjil Markus. Bagitu juga kisah Lokakarya Membaca Alkitab dengan Mata Baru (MAdMB) tidak bisa aku tulis semua. Hanya secuil dari pergumulan bersama diangkat dalam lokakarya ini. Hanya salah satu materi Lokakarya MAdMB yang bisa aku rajut di sini. Memang tidak di tulis dalam media massa, namun aku mencoba merakitnya dalam tulisan ini. Dipublikasikan di jejaring sosial, siapa tahu bisa dikenang, berguna, menginspirasi anak-cucu, dan pembaca.



(Cerita ini aku ramu kembali berdasarkan Markus 5:21-43)


Salam Basodara

Manado, 19 Desember 2012
Nency A Heydemans Moningka
15:44  

Tidak ada komentar: