Dari ratusan perempuan di tanah
Lumimuut-Toar ini, aku mendapat kesempatan dari PERUATI Minahasa mengikuti Workshop
Membaca Alkitab dengan Mata Baru (MAdMB). Kesempatan mengikuti Workshop
tidak aku sia-siakan. Toraja Utara, Tangmentoe menjadi nyonya rumah. Hari itu,
tiga November aku menginjakan kaki di kota dingin yang kental budaya
Toraja. Dari dua puluh tujuh peserta
PERUATI di bagian Timur, enam orang dari AWRC dan satu staf PERUATI mengambil bagian dalam materi, diskusi
dan sharing pergumulan bersama, yang
memakan waktu enam hari lamanya. Kami mencoba mengungkapkan kebenaran,
penderitaan, kekerasan, alienasi, bercermin dari pengalaman perempuan yang
dimarginalkan (baik) di rumah, struktur gereja, adat dan agama. Sama seperti tiga
puluh empat perempuan yang mengalami kontruksi self, begitu pula dengan
seorang perempuan yang mengalami pendarahan. Secara bersama-sama, kami mencoba
mengungkapkan kebenaran penderitaan
hidup.
Mengapa kita perlu perjuangan?
Bagaimana aku (bahkan kalian) bisa mengidentifikasi konstruksi self dalam gerak tari yang membebaskan? Apakah
kita bisa menuju pada transformasi hidup? Untuk menjawab pelbagai pertanyaan
yang sarat dengan refleksi teologis kritis, maka simak dulu kisah saya di bawah
ini.
Siapakah
saya? Saya, seorang perempuan dewasa yang menderita pendarahan. Derita memang
jika saya katakan bahwa pendarahan memakan
waktu dua belas tahun lamanya. Pasti
banyak orang tidak mengenal saya. Memang dalam cerita injil di atas segala
Injil, nama saya tidak disebutkan. Bisa jadi, saya tidak diperhitungkan;
kontribusi kebenaran eksistensi hidup saya diabaikan. Jangankan nama saya,
keluarga saya pun tidak dituliskan dengan jelas. Eksistensi saya dalam cerita
ini sangat minim. Tiba-tiba cerita saya masuk bersamaan dengan cerita Yairus
dan anak perempuannya. Bagi penulis injil di atas segala Injil, saya adalah nobody. dan Yairus adalah top leader. Akan tetapi bagi saya, aku adalah perempuan
yang sedang mengalami kontruksi, ingin berubah dan mengalami pembebasan dari
kehidupan yang dimarginalkan.
Sebelum
mengalami sakit pendarahan, hidup saya penuh kebahagiaan. Saya hidup dalam
keluarga sederhana. Memiliki ayah, ibu, kakak, adik bahkan suami. Hidup bersama
orang yang mencintai dan dicintai memang sangat membahagiakan. Awal menikah,
suami sangat sayang dan penuh pengertian. Kemudian, ia berkomitmen untuk setia
mendampingi saya sampai akhir hidup kami. Apa yang didapat dengan namanya
kesetiaan (?), ternyata hanyalah khayalan yang memilukan hati. Memang benar,
saya hidup dalam realitas pergaulan sosial.
Banyak teman perempuan, tetangga yang telah dianggap sebagai saudara
sendiri. Kami sering jalan-jalan, ngumpul
bareng dan hidup dalam persekutuan jemaat. Bisa dipikirkan, hidup itu
seperti bunga mawar putih yang sedang mekar di atas tangkai hijau, siap
dipanen.
Kebahagiaan menjadi gugur; musim pun berganti. Sejak penyakit pendarahaan
merampas kebahagiaanku, menggrogoti tubuh ini; tetesan demi tetesan mengalir,
mengalir dan mengalir dari tubuhku yang lemah, tak berdaya. Pelbagai macam obat
tradisional sampai pengobatan tabib sudah saya usahakan. Tabungan dari hasil
keringat, habis sia-sia. Rumah, tanah, keledai, di jual demi kesembuhan sakit
ini. Alhasil, penyakit ini tidak berhasil disembuhkan. Satu persatu, keluarga
meninggalkan saya. Melihat kondisi tubuh saya makin tak berdaya, makin parah, sang
suami tak sanggup membiayai pengobatan yang ‘mengiris dompet’. Elok parasku, indah
tubuhku seakan berputar seratus delapan puluh derajat, menjadi keriput dan
ke-kurus-an berbau. Dan akhirnya tibalah
ia meninggalkanku, seorang diri. Perih rasa ini. Ingin curhat (curahan hati)
penderitaan dan pergumulan hidup bersama teman sebaya perempuan, tetapi tak ada
yang mau mendekat . Keluarga, tetangga, sahabat perlahan-lahan meninggalkanku.
Saya teralokasi. Semua dibatasi. Semua menjauhi. Semua meninggalkanku. Saya
hanya bisa merasakan kisah pilu ini dari keterbatasan hati nurani yang telah
hancur.
Tak ada yang peduli lagi, tak
ada yang mau menolong lagi bahkan menoleh ke arah ku pun tak ada. Hanya diri
ini yang memahami deritaku. Komunitas memandangku seperti orang gila, yang
sering berbicara sendiri. Sebenarnya saya tidak gila. Hanya saja, komunitas
memutuskan komunikasi bersamaku. Jika diingat, tidak ada satupun yang mau
menerima penderitaan dan penyakitku. Benar sekali bahwa hidup sendiri digubuk
tua, berbicara sendiri seperti orang gila, jauh dari keramaian kota seakan
mengisahkan hidupku teralienasi di tanah sendiri, tanah Ibu Pertiwi.
Semua
orang menjauhi hidup saya. Bagi masyarakat Yahudi, pendarahan dipandang najis, penyakit,
kotor dan jika sudah menahun maka dianggap kena kutukan. Perspektif ini membuat diriku terpojok menjadi
subordinasi. Semakin terpojok menjadikan saya hidup dalam
kegelapan-kemandirian. Setiap hari saya berjalan seorang diri. Tak memandang
hujan dan ataupun panas. Mencari sesuap makanan dari belas kasihan orang lain.
Pernah suatu hari saya tidak makan. Pendarahan ini kambuh lagi. Tak kuat
menahan derita. Saya hanya bisa pasrah di atas bekas-bekas sisa kain sampah.
Terkapah dan bangkit lagi dari tumpukan ‘penderitaan’ ini. Selain TUHAN, hanya
diri saya yang tahu benar kesusahan setiap hari. Memang, berbicara kesusahan seakan
air mata mengalir tak habis-habisnya. Sudah berapa banyak air yang mengalir
dalam tubuhku ini (?). Saya tak tahu. Yang pasti, setiap air (mata dan ataupun
darah) yang mengalir menunjukkan betapa menderitanya hidup saya, berjuang
sebatang karah. Tanpa kasih sayang, tanpa kepedulian dan lebih parah lagi,
tanpa kemananusiaan.
Eksistensi saya ‘hilang’ di
depan publik. Nama baik tercoreng, apalah artinya sebuah nama jika zaman
menelanku (?). Ada kerinduan untuk
bersekutu namun apa boleh buat, saya tidak diperbolehkan hadir dalam Sinagoge.
Makin derita lagi, jika bertemu keluarga di tepi jalan. Dari kejauhan dua puluh
meter, mereka mengeriaki saya untuk kembali ke gubuk tua itu, “jangan keluar,
pulanglah!” ucap kasar mereka. Sungguh, saya teralienasi (baik) dalam keluarga
maupun masyarakat. Dan terjatuh di bawah tumpukkan segitiga kecil kekerasan. Streotip
yang menjerumuskanku masuk dalam lingkaran setan. Lingkaran kenajisan mereka,
bukan saya!. Saya tidak najis. “Saya
hanya ingin bertahan hidup dengan pengharapan bahkan pembebasan baru”, pikir
pemulihan semangat hidupku, sambil menahan tangis.
Kebisuan malam menenggelamkan
mimpi buruk menahun. Mulut membisu, seakan tertutup rapat dibalik kain kusam
kemerah-merahan. Dibalik kain robek itu, saya mencoba mengintip pembicaraan
banyak orang tentang sosok Yesus. Siapakah Yesus? Dia adalah tabib di atas
segala tabib; Anak Allah; Penyelamat dan Pembebas. Mendengar pembicaraan mereka
yang tidak jauh dari kumuh gubuk saya itu, maka saya mengambil keputusan untuk
bertemu dengan-Nya, siapa tahu Yesus mau menyembuhkanku; siapa tahu Yesus mau
mendengarkan kelu-kesahku. “Aaah.., saya harus keluar dari gubuk ini”, Pikir
optimisku.
Siang itu, terlihat banyak
pemuka agama, masyarakat dan para muzafir menunggu kedatangan Yesus. Ketika Yesus muncul dibalik perahu ditepi
danau itu, maka banyak orang berbondong-bondong mengikuti dan
mendekati-Nya. Dari kejahuan, sang
pemuka agama Yairus namanya, memohon sambil tersungkur agar Yesus pergi
menyembuhkan anaknya yang semantara sakit di rumah. Terlihat Yesus mengikuti
langkah kakinya. Banyak orang mengikuti
Yesus. Ada banyak orang menjamah-Nya.
Dan pada saat yang sama, saya datang dari arah belakang lalu menjamah
jubah-Nya. Strategi ini dibuat agar supaya tidak ada orang yang mengetahui
kehadiran saya. Kesempatan dalam sebuah kesempitan untuk bertemu dengan
Yesus.
Apa yang diketahui Yesus? Menurut
cerita Injil Markus, Yesus merasa ada tenaga yang keluar dari tubuh-Nya. Kemudian, Ia bersi keras ingin mengetahui
siapa yang menyentuh jubah-Nya. Dari perasaan gunda gulana-Nya, ternyata ada
sesuatu yang tidak beres di daerah ini. Ada seseorang yang ingin bangkit dari
keterpurukan. Ia bertanya di depan banyak orang, “siapakah yang menjamah
jubah-Ku?”. Murid-murid-Nya tak habis pikir akan pertanyaan Yesus di depan
banyak orang yang telah menyentuh jubah-Nya. Ribut, berdesak-desakan berubah
menjadi tegang seakan membisu. Semua saling berhadapan, aneh dan terasa
binggung penuh pertanyaan.
Sejauh pertanyaan Yesus
memunculkan kebisuan di tengah masyarakat, maka saya dapat merasakan bahwa
pertanyaan itu ditujukkan pada diri saya. Mengetahui apa yang telah terjadi
dalam tubuh saya ini, maka inilah penampilan pertama kali saya di depan
publik. Tertatih langkah ini, gemetar
tubuh ini, pucat merias diwajah ini mengisyaratkan sayal-ah yang dicari
Yesus. Tiba-tiba kaki saya tersunggur di
depan Yesus. Saya merasa bersalah. Sebagai perempuan yang menderita pendarahan,
telah menyentuh jubah Yesus yang suci, orang Yahudi, yang dikagumi dan dianggap
Guru itu. Namun saya tidak dimarah oleh Yesus. Mengapa demikian? Karena Yesus
memberikan kesempatan bagi saya untuk berbicara di depan banyak orang akan
kebenaran penderitaan yang saya alami kurang lebih dua belas tahun. Yesus mau
mendengar pergumulan hidupku. Iya benar, Yesus berempati.
Adapun kalimat penguatan-Nya
yang membuat saya menjadi manusia seutuhnya “Anakku, imanmu telah
menyembuhkanmu.” Kalimat yang selalu saya ceritakan turun temurun kepada
anak-cucu. Kalimat ini membuktikan bahwa saya diberikan hidup baru yang selama
ini telah sirna. Yesus memberikan jalan agar saya bisa bergabung lagi dengan
komunitas setempat. Pengakuan diri Yesus kepada saya menjadikan hidupku tidak
lagi dikucilkan, tidak dimarginalkan. Iman saya dalam diri saya yang telah
menumbukan rasa percaya diri untuk tampil mengungkapkan kebenaran penderitaan
di depan Yesus.
Horee., saya telah menemukan
jati diri yang telah lama di gilas waktu. Saya menjadi percaya diri. Saya
menjadi perempuan yang bebas dari streotip dan kekerasan. Cukup sudah, semua pemuka agama akan khotbahnya yang
mengucilkan diriku; cukup sudah, semua orang yang membatasi ruang gerak
hidupku; cukup sudah, semua keluarga
yang meninggalkan dan tidak menerima tubuhku yang rapuh. Sekarang ini, yaaaa,
hari ini saya telah mengambil keputusan, komitmen menjadi perempuan yang
merdeka. Merdeka dari putusnya rantai kebisuan yang selama ini menyiksaku.
Yesus, menjadikan hidup saya lebih berarti. Yesus memberikan harapan,
pembebasan dan transformasi bagi hidup saya.
Siapakah Yairus? Menurut
struktur, ia adalah kepala Sinagoge. Lalu apa tugasnya? Selain berkhotbah, ia
melakukan tugas panggilannya sebagai nabi, bersaksi, memberi teladan dan
melayani. Apakah tugas pelayanannya berjalan dengan baik? Menurut sorot mataku,
ia telah mengabaikan tugasnya. Ia tidak memperhatikan posisi dan kedudukan
serta penderitaan saya. Hukum TUHAN dijadikan para pemuka agama sebagai peraturan
yang tidak membebaskan dan tidak memberdayakan. Saya korbannya! Saya tidak
diberi pendampingan pastoral. Saya diberikan label, sampah masyarakat yang
perlu dikucilkan. Sangat ironi memang.
Tahukah kau bahwa Yairus sangat
kecewa dengan perbuatan Yesus? bahkan ia mulai gelisa kalau nanti anaknya akan
mati. Terlihat Yairus berdiri tanpa rasa percaya diri. Ia kuatir bahwa Yesus
hanya menaruh perhatian kepada saya. Perbincangan saya bersama Yesus di depan
publik memakan waktu satu jam. Kemudian, perjalanan kaki menuju rumahnya
memakan waktu setengah jam. Sehingga benar firasat sebagai seorang ayah bahwa
anaknya telah mati.
Ketika Yesus sampai di depan
rumah, terlihat banyak orang menangis.
Ada yang histeris berteriak, ada yang histeris menangis, ada yang
membawakan alunan lagu sambil terharu. Terasa ada yang meninggal dunia. Air
mata terlanjur tumpah, basahi tanah menjadi darah, di payungi duka kelabu.
Yairus terlihat galau karena anak perempuannya yang berumur dua belas tahun
telah meninggal dunia. Yesus berkata “jangan takut, percaya saja….” Perkataan
Yesus mencuat kala Yairus tidak percaya diri lagi. Hilanglah harapan kepala
Sinagoge itu.
Kala redup harapan itu, Yesus
memberikan penguatan bahwa anaknya tidak mati melainkan tidur. Semua orang
menertawakan perkataan-Nya. Yesus memegang tangan anak itu dan berkata “talita
kum” yang berarti hai anak, Aku berkata kepadamu , bangunlah!. Ternyata, posisi
saya dan anak perempuan Yairus adalah sama. Sama dimana Yesus menyapa kami
sebagai anak. Tak ada beda antara kaya dan miskin. Tak ada beda antara Yahudi
dan non Yahudi. Tak ada beda antara putih dan hitam. Semuanya sama di hadapan
Yesus. Inilah jalan keselamatan yang diberikan-Nya.
Apa yang terjadi dua belas
tahun kemudian di antara saya, Yairus dan anak perempuan Yairus? Kami pernah
bertemu di rumah kopi. Nuansa kebetulan itu mengantarkan kami menceritakan
pengalaman yang telah membebaskan dan mengubah hidup kami. Cerita ini didengar
seluruh pengunjung rumah kopi tersebut. Semua tertakjub. Kami saling
menghidupkan cerita itu dan berbagi pengalaman. Cerita ini tersiar di
mana-mana.
Tiba-tiba saya menjadi bintang selebritis.
Eksistensi saya diakui masyarakat, keluarga dan agama. Saat ini, saya telah
menjadi perempuan yang mandiri, berkarier dan memiliki keluarga kecil. Saya seakan
menari di atas panggung kehidupan. Saya mengajak kita semua menari di panggung
bulat besar ini, tanpa sandiwara. Menari, menari dan menari bersama menuju pada
pembebasan yang memanusiakan manusia.
Saya menyadari bahwa seluruh
kebenaran kisah yang menyakitkan, yang menjengkelkan tidak ditulis oleh
penginjil Markus. Bagitu juga kisah Lokakarya Membaca Alkitab dengan Mata Baru
(MAdMB) tidak bisa aku tulis semua. Hanya secuil dari pergumulan bersama
diangkat dalam lokakarya ini. Hanya salah satu materi Lokakarya MAdMB yang bisa
aku rajut di sini. Memang tidak di tulis dalam media massa, namun aku mencoba
merakitnya dalam tulisan ini. Dipublikasikan di jejaring sosial, siapa tahu
bisa dikenang, berguna, menginspirasi anak-cucu, dan pembaca.
(Cerita ini aku
ramu kembali berdasarkan Markus 5:21-43)
Salam Basodara
Manado, 19 Desember 2012
Nency A Heydemans Moningka
15:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar