Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Jumat, 04 Januari 2013

Akhir Sebuah Kejayaan Keluarga



Perayaan Hari Basar dan Tahun Baru disiapkan selama sebelas bulan,
            Seminggu pelaksanaan perayaan dan bertahun-tahun pemulihan ekonomi.

            Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, semua tamu telah berlalu, tinggal pak tua duduk terpaku di kursi kejayaan. Kebisuan malam melandanya, angin seakan malu-malu menghembus diwajahnya yang telah ditinggalkan tamu. Kusam memang jika duduk sendirian tanpa kawan. Kursi berserakan tak menentu, dihiasi sampah yang siap menunggu untuk disapu.

            Keesokan harinya, beberapa sanak keluarga ikut membantu membersihkan piring, mengangkat gelas, mengumpulkan sendok menuju dapur. Kemudian, sisa-sisa makanan menjadi padu di tempat sampah. Rumah yang megah berubah menjadi syahdu penuh hiasan sampah. Tiada lagi tamu yang duduk atau berdiri di situ. Kue-kue natal telah habis di dalam toples, minuman ringan maupun minuman berat menjadi bocor dari botolnya, pohon terang plastik perlahan-lahan mulai dibongkar, lampu hiasan seakan mati dikejar waktu, kembang api puluhan juta rupiah melaju terbang dibasahi hujan yang kering. Semuanya ini menandakan kemeriaan perayaan Hari Basar dan Tahun Baru telah menjadi kenangan di masa kejayaan.

            Seminggu yang lalu, rumah orang nomor satu ini sangat ramai dan dipadati tamu yang berpenampilan mewah. Tak ketinggalan, tuan rumah mengenakan baju model terbaru dengan harga roket. Tetangga, kenalan, teman kantor, sanak-saudara datang berkunjung sebagai bentuk silaturahmi. Pelbagai macam makanan tertera di atas meja beralaskan kain merah-hijau itu. Menu makanan sangat mengiurkan pengunjung. Para artis dadakan lokal mulai bermunculan diperayaan itu.  Tembang lagu terdengar di seluruh penjuru, berkat alunan dari sang pianis.

            Sambil mendengar alunan musik itu, para tamu berbondong-bondong menuju meja makan yang sarat kolestrol, diabetes, darah tinggi dan asam urat. Padat peminat sampai bersesakan di samping meja yang sarat pilihan menu. Kemudian mereka memilih-milih makanan dengan ragu, alasan pola makan yang sehat. Segera setelah itu, mereka melahap makanan dengan seru tanpa rem tangan. Kali ini, terdengar piring, sendok dan gelas beradu. Bercampur canda tawa para tamu dan si Pak Tua tersebut.

            Sebelas bulan yang lalu, Pak Tua sibuk mengumpul dan mengatur perayaan itu. Ia pun bekerja keras, uang tabungan dialih fungsi menjadi bisnis kecil-kecilan. Ia adalah seorang ayah yang diktaktor pada anak-anaknya. Apapun perintah dari sang ayah, maka anak harus tunduk dan menjalankan perintahnya dengan berat hati. Hari ini, ayah bekerja sebagai pegawai negeri dan juga pebisnis. Meskipun ia sering mementingkan diri sendiri, suka mabuk namun ia memegang andil dalam pendidikan anak-anaknya. Anak-anak ingin sekolah, maka ia bekerja keras untuk membiayai pendidikan mereka. Alhasil, semua anaknya berhasil dalam studi.

            Sementara sang istri sibuk mengatur menu, mengatur keuangan dan pakaian yang akan yang dipakai di Hari Besar itu. Mulai dari ayah sampai dengan anak-cucu, mengatur kecantikan rumah dan pesonan dandanan. Anak sulung ikut membantu secara finansial. Sedangkan anak yang bungsu ambil bagian menghubungi pianis, MC agar supaya perayaan berjalan dengan meriah. Tak ketinggalan, keaktifian sang cucu menjadi pusat perhatian keluarga ini.

            Sebenarnya, perayaan ini sudah menjadi kebiasaan keluarga Pak Tua setiap akhir tahun. Kala itu, ia memegang jabatan pemerintahan sehingga status sosialnya ikut meroket. Kekuasaan, jabatan, kedudukan, nama baik, mengiring harta kekayaan yang melimpah ruah. Selama dua puluh tahun, ia membeli tanah di pelbagai tempat, rumah, sapi, babi, mobil, investasi yang lumayan banyaknya. Pikirnya, semua harta benda ini cukup untuk generasi ke empat. Sementara sang istri sibuk karir ini dan itu. Mulai dari kesibukan di rumah sampai di depan publik. Dengan sendirinya nama baik keluarga Pak Tua ini menjadi terpandang, dihormati meskipun kebudayaan setempat tidak mengenal sistem Kerajaan.  

            Pak Tua pun menghitung waktu. Tahun ini adalah masa pensiun. Bisnis bangkrut. Namun ia memastikan perayaan Hari Basar dan Tahun Baru ini sama seperti beberapa tahun yang lalu. Ada pesta, ada kemeriaan kembang abi, ada pembagian donat (baca: doi Natal). Perlahan-lahan ia mulai menghitung ternaknya untuk di jual. Memastikan rumahnya masih berjumlah enam, dan semuanya di gadai. Tak lupa Pak Tua pun ikut menghitung jumlah hektar tanah yang akan dibeli oleh investor asing. Menaksir jumlah rupiah dari penjualan mobil yang tujuannya hanya satu. Yakni memenuhi kebutuhan hidup di perayaan itu. Perayaan sebagian orang Kristen menyebutnya “perayaan setahun sekali; sekali pemborosan.”     Gaya hidup konsumtif yang telah jauh dari kesederhanaan makna Hari Basar dan Tahun Baru.

            Tak terasa, hari demi hari berlalu begitu cepat. Pak Tua dan istrinya semakin kencang berburu. Berpacu keperluan di sela waktu yang singkat. Perayaan tahun ini haruslah meriah demi nama baik dan martabat keluarga. Dengan mengecek seluruh persiapan maka tibalah waktunya. Galau muncul di tengah malam sebelum ia memejamkan mata. Sambil menarik nafas panjang di sela himpitan ekonomi keluarga.

            Parayaan Hari Basar telah tiba. Pagi itu, semua keluarga Kristen bergegas ke gedung gereja. Ada yang menonjol dalam ibadah, Nah apakah itu? Banyak burung gereja muncul sehingga dibuatlah tenda, kursi tambahan yang begitu banyak. Ada yang memakai sepatu baru, penampilan baru, dan baju model terbaru. Namun ada yang lupa, Nah apa lagi itu? Ternyata keluarga Pak Tua lupa membawa persembahan syukur karena telah disibukkan dengan penampilan yang serba mewah dan persiapan makanan di rumah yang tak kalah megahnya.

            Tak lama kemudian, ibadah usai. Semua pulang ke rumah masing-masing. Pak Tua langsung mengecek persiapan perayaan Hari Basar telah disiapkan dengan begitu baik.  Ia menyambut perayaan ini dengan open house. Tak lama kemudian teman, tetangga, sanak saudara mulai datang. Ada yang membawa keluarga mereka, ada pula membawa kerabat masing-masing. Lama-kelamaan rumah ini dikerumuni banyak orang, halaman rumah menjadi alternatif tambahan. Otomatis, sewaan kursi plastik meningkat diluar dugaan. Hidangan makan malam hampir melewati target. Kembang api puluhan juta rupiah menghiasi langit yang mendung itu. Dari kejauhan, langit melotot melihat perbuatan aneh manusia itu.

            Selama satu hari itu, Pak Tua dan keluarganya bak selebritis top tahun itu. Tidak jemu-jemu para tamu memandang orang yang menjadi nomor satu. hmmmm, mendapat perhatian orang sebanyak ribuan. Makan-minum; nyanyian merdu-diskusi; sampai dengan keceriaan tawa turut mengiringi kegembiraan para tamu. Kegembiraan ini pun turun menyelimuti perayaan Tahun Baru. Semua orang memuji pesta perayaan Pak Tua ini yang melebih batas langit. Kerja keras dan pengorbanan harta benda Pak Tua terbayar dengan rasa pujian sampai di langit biru.

            Namun saat ini, Pak Tua sedang mengambil langkah seribu. Di balik rasa kebahagiaan dan haru pujian, Pak Tua mulai menyadari kemiskinannya. Dari masa kejayaan menuju pada masa kemelaratan. Ia mulai teringat akan ternak, tanah, dan mobilnya. Belum lagi, enam rumahnya yang telah di gadai. Ditambah sisa-sisa utang bank yang harus dibayar dan mungkin Pak Tua tak mampu membayarnya. Pak Tua sedang masuk dalam masa peralihan. Dari masa Pencerahan menuju masa kegelapan.

            Andai saja ia tidak mengadakan perayaan Hari Basar dan Tahun Baru semeriah itu. Cukup dilakukan dengan kesederhanaan setelah ibadah di gedung gereja. Mungkin ia bisa mengumpulkan modal untuk bangkit dalam bidang bisnis. Menyimpan uang untuk kesehatan di hari tuanya. Mensyukuri kehidupan yang tidak lagi di atas langit melainkan telah berputar di bawah bumi. Namun sayangnya karena gengsi, Pak Tua telah bernafsu. Perayaan itu dijadikan alasan untuk menjadikan dirinya orang nomor satu di daerah itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya.

            Di depan kaca rumah itu, Pak Tua duduk termangu. Ia mulai sadar bahwa nantinya ada orang yang akan menyita rumahnya. Akhirnya, ia terpaku bahwa dirinya bukanlah orang nomor satu di daerah itu. Dia hanyalah satu dari keluarga Kristen yang merayakan perayaan itu, dengan cara yang berbeda. Tiba-tiba saja, ia terbangun dari lamunannya. Dan ingin rasanya kembali seperti dulu lagi. Ya mengubah waktu, dan keputusan perayaan-nya yang salah kaprah.

Manado, 4 Januari 2012
23:15
                                                                                   Nency A Heydemans-Moningka

Tidak ada komentar: