Perayaan Hari Basar dan Tahun Baru disiapkan selama sebelas
bulan,
Seminggu
pelaksanaan perayaan dan bertahun-tahun
pemulihan ekonomi.
Jam dinding
menunjukkan pukul sebelas malam, semua tamu telah berlalu, tinggal pak tua duduk
terpaku di kursi kejayaan. Kebisuan malam melandanya, angin seakan malu-malu
menghembus diwajahnya yang telah ditinggalkan tamu. Kusam memang jika duduk
sendirian tanpa kawan. Kursi berserakan tak menentu, dihiasi sampah yang siap
menunggu untuk disapu.
Keesokan
harinya, beberapa sanak keluarga ikut membantu membersihkan piring, mengangkat
gelas, mengumpulkan sendok menuju dapur. Kemudian, sisa-sisa makanan menjadi
padu di tempat sampah. Rumah yang megah berubah menjadi syahdu penuh hiasan
sampah. Tiada lagi tamu yang duduk atau berdiri di situ. Kue-kue natal telah
habis di dalam toples, minuman ringan maupun minuman berat menjadi bocor dari
botolnya, pohon terang plastik perlahan-lahan mulai dibongkar, lampu hiasan
seakan mati dikejar waktu, kembang api puluhan juta rupiah melaju terbang
dibasahi hujan yang kering. Semuanya ini menandakan kemeriaan perayaan Hari Basar dan Tahun Baru telah menjadi
kenangan di masa kejayaan.
Seminggu
yang lalu, rumah orang nomor satu ini sangat ramai dan dipadati tamu yang
berpenampilan mewah. Tak ketinggalan, tuan rumah mengenakan baju model terbaru
dengan harga roket. Tetangga, kenalan, teman kantor, sanak-saudara datang
berkunjung sebagai bentuk silaturahmi. Pelbagai macam makanan tertera di atas
meja beralaskan kain merah-hijau itu. Menu makanan sangat mengiurkan
pengunjung. Para artis dadakan lokal mulai bermunculan diperayaan itu. Tembang lagu terdengar di seluruh penjuru,
berkat alunan dari sang pianis.
Sambil
mendengar alunan musik itu, para tamu berbondong-bondong menuju meja makan yang
sarat kolestrol, diabetes, darah tinggi dan asam urat. Padat peminat sampai
bersesakan di samping meja yang sarat pilihan menu. Kemudian mereka memilih-milih
makanan dengan ragu, alasan pola makan yang sehat. Segera setelah itu, mereka melahap
makanan dengan seru tanpa rem tangan. Kali ini, terdengar piring, sendok dan
gelas beradu. Bercampur canda tawa para tamu dan si Pak Tua tersebut.
Sebelas
bulan yang lalu, Pak Tua sibuk mengumpul dan mengatur perayaan itu. Ia pun
bekerja keras, uang tabungan dialih fungsi menjadi bisnis kecil-kecilan. Ia
adalah seorang ayah yang diktaktor pada anak-anaknya. Apapun perintah dari sang
ayah, maka anak harus tunduk dan menjalankan perintahnya dengan berat hati.
Hari ini, ayah bekerja sebagai pegawai negeri dan juga pebisnis. Meskipun ia
sering mementingkan diri sendiri, suka mabuk namun ia memegang andil dalam
pendidikan anak-anaknya. Anak-anak ingin sekolah, maka ia bekerja keras untuk
membiayai pendidikan mereka. Alhasil, semua anaknya berhasil dalam studi.
Sementara
sang istri sibuk mengatur menu, mengatur keuangan dan pakaian yang akan yang
dipakai di Hari Besar itu. Mulai dari ayah sampai dengan anak-cucu, mengatur
kecantikan rumah dan pesonan dandanan. Anak sulung ikut membantu secara
finansial. Sedangkan anak yang bungsu ambil bagian menghubungi pianis, MC agar
supaya perayaan berjalan dengan meriah. Tak ketinggalan, keaktifian sang cucu
menjadi pusat perhatian keluarga ini.
Sebenarnya,
perayaan ini sudah menjadi kebiasaan keluarga Pak Tua setiap akhir tahun. Kala
itu, ia memegang jabatan pemerintahan sehingga status sosialnya ikut meroket.
Kekuasaan, jabatan, kedudukan, nama baik, mengiring harta kekayaan yang
melimpah ruah. Selama dua puluh tahun, ia membeli tanah di pelbagai tempat,
rumah, sapi, babi, mobil, investasi yang lumayan banyaknya. Pikirnya, semua
harta benda ini cukup untuk generasi ke empat. Sementara sang istri sibuk karir
ini dan itu. Mulai dari kesibukan di rumah sampai di depan publik. Dengan
sendirinya nama baik keluarga Pak Tua ini menjadi terpandang, dihormati
meskipun kebudayaan setempat tidak mengenal sistem Kerajaan.
Pak Tua
pun menghitung waktu. Tahun ini adalah masa pensiun. Bisnis bangkrut. Namun ia
memastikan perayaan Hari Basar dan
Tahun Baru ini sama seperti beberapa tahun yang lalu. Ada pesta, ada kemeriaan
kembang abi, ada pembagian donat (baca: doi
Natal). Perlahan-lahan ia mulai menghitung ternaknya untuk di jual. Memastikan
rumahnya masih berjumlah enam, dan semuanya di gadai. Tak lupa Pak Tua pun ikut
menghitung jumlah hektar tanah yang akan dibeli oleh investor asing. Menaksir
jumlah rupiah dari penjualan mobil yang tujuannya hanya satu. Yakni memenuhi
kebutuhan hidup di perayaan itu. Perayaan sebagian orang Kristen menyebutnya
“perayaan setahun sekali; sekali pemborosan.”
Gaya hidup konsumtif yang telah jauh dari kesederhanaan makna Hari Basar dan Tahun Baru.
Tak
terasa, hari demi hari berlalu begitu cepat. Pak Tua dan istrinya semakin
kencang berburu. Berpacu keperluan di sela waktu yang singkat. Perayaan tahun ini
haruslah meriah demi nama baik dan martabat keluarga. Dengan mengecek seluruh
persiapan maka tibalah waktunya. Galau muncul di tengah malam sebelum ia
memejamkan mata. Sambil menarik nafas panjang di sela himpitan ekonomi
keluarga.
Parayaan
Hari Basar telah tiba. Pagi itu,
semua keluarga Kristen bergegas ke gedung gereja. Ada yang menonjol dalam
ibadah, Nah apakah itu? Banyak burung gereja muncul sehingga dibuatlah tenda,
kursi tambahan yang begitu banyak. Ada yang memakai sepatu baru, penampilan baru,
dan baju model terbaru. Namun ada yang lupa, Nah apa lagi itu? Ternyata keluarga
Pak Tua lupa membawa persembahan syukur karena telah disibukkan dengan
penampilan yang serba mewah dan persiapan makanan di rumah yang tak kalah
megahnya.
Tak lama
kemudian, ibadah usai. Semua pulang ke rumah masing-masing. Pak Tua langsung
mengecek persiapan perayaan Hari Basar
telah disiapkan dengan begitu baik. Ia
menyambut perayaan ini dengan open house.
Tak lama kemudian teman, tetangga, sanak saudara mulai datang. Ada yang membawa
keluarga mereka, ada pula membawa kerabat masing-masing. Lama-kelamaan rumah
ini dikerumuni banyak orang, halaman rumah menjadi alternatif tambahan.
Otomatis, sewaan kursi plastik meningkat diluar dugaan. Hidangan makan malam
hampir melewati target. Kembang api puluhan juta rupiah menghiasi langit yang
mendung itu. Dari kejauhan, langit melotot melihat perbuatan aneh manusia itu.
Selama
satu hari itu, Pak Tua dan keluarganya bak selebritis top tahun itu. Tidak
jemu-jemu para tamu memandang orang yang menjadi nomor satu. hmmmm, mendapat perhatian orang sebanyak
ribuan. Makan-minum; nyanyian merdu-diskusi; sampai dengan keceriaan tawa turut
mengiringi kegembiraan para tamu. Kegembiraan ini pun turun menyelimuti
perayaan Tahun Baru. Semua orang memuji pesta perayaan Pak Tua ini yang melebih
batas langit. Kerja keras dan pengorbanan harta benda Pak Tua terbayar dengan
rasa pujian sampai di langit biru.
Namun
saat ini, Pak Tua sedang mengambil langkah seribu. Di balik rasa kebahagiaan
dan haru pujian, Pak Tua mulai menyadari kemiskinannya. Dari masa kejayaan
menuju pada masa kemelaratan. Ia mulai teringat akan ternak, tanah, dan mobilnya.
Belum lagi, enam rumahnya yang telah di gadai. Ditambah sisa-sisa utang bank
yang harus dibayar dan mungkin Pak Tua tak mampu membayarnya. Pak Tua sedang
masuk dalam masa peralihan. Dari masa Pencerahan menuju masa kegelapan.
Andai
saja ia tidak mengadakan perayaan Hari Basar dan Tahun Baru semeriah itu. Cukup
dilakukan dengan kesederhanaan setelah ibadah di gedung gereja. Mungkin ia bisa
mengumpulkan modal untuk bangkit dalam bidang bisnis. Menyimpan uang untuk
kesehatan di hari tuanya. Mensyukuri kehidupan yang tidak lagi di atas langit
melainkan telah berputar di bawah bumi. Namun sayangnya karena gengsi, Pak Tua
telah bernafsu. Perayaan itu dijadikan alasan untuk menjadikan dirinya orang
nomor satu di daerah itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya.
Di depan
kaca rumah itu, Pak Tua duduk termangu. Ia mulai sadar bahwa nantinya ada orang
yang akan menyita rumahnya. Akhirnya, ia terpaku bahwa dirinya bukanlah orang
nomor satu di daerah itu. Dia hanyalah satu dari keluarga Kristen yang
merayakan perayaan itu, dengan cara yang berbeda. Tiba-tiba saja, ia terbangun
dari lamunannya. Dan ingin rasanya kembali seperti dulu lagi. Ya mengubah
waktu, dan keputusan perayaan-nya yang salah kaprah.
Manado,
4 Januari 2012
23:15
Nency A Heydemans-Moningka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar