CERPEN
Pada
suatu malam di dalam kamar yang remang-remang, keramaian seakan membisu, waktu
berjalan begitu lambat. Kesunyian membungkus badannya. Hampa seorang diri
menikmati nur laila, bintang, matahari yang menempel di tripleks kamarnya.
Cahaya menipu mata dari atas tempat tidur itu.
Dari depan pintu
kamar, terlihat sosok perempuan yang sedang merindukan kedamaian, kasih sayang
dan keadilan. Tidak jelas mengapa malam ini dia seakan membisu seribu bahasa,
tidak seperti biasanya.
Banyak
sahabat menyebutnya “perempuan apa adanya, pandai, suka menolong, baik hati,
rajin beribadah, rajin bekerja, cantik dan digemari kaum adam.” Bukan hanya itu
saja, ia perempuan muda kritis yang jarang ditemui di zaman ini.
Sejak
mengenalnya, aku pun terkesima dengan kontribusinya yang membebaskan dan
memerdekakan. Ternyata kecantikan luar memancarkan kecantikkan alaminya. Banyak
orang mengatakan, “siapa dulu keke Minahasa.”
Hujan
mulai membasahi tanah Nyiur Melambai ini. Perlahan-lahan aku menghampirinya.
Alunan sandalku membangunkan hayalannya. Tatapan mata yang kosong, rambut
panjang terurai acak menandakan ia sedang dirundung masalah. Keceriaannya
selama ini seakan sirna dimakan serigala.
“Mengapa
kamu datang ke sini?” tanyanya sambil menyalakan lampu kamar.
Dengan
perasaan cemas aku pun menjawab “aku dengar kamu tidak lagi melanjutkan sekolah
Meisjesschool di Tomohon. Mendengar berita dari teman-teman, aku pun datang ke
sini untuk melihat keadaanmu.” Aku memberi penjelasan akan maksud kedatanganku.
Aku duduk disampingnya, di atas kasur itu.
Sebagai sahabat
akrab, ia mulai curhat (curahan hati). “kamu sendiri mengetahui latar belakang
keluarga saya. Sejak umur enam tahun, saya sudah menjadi anak yatim piatu. Kemudian,
saya bersama kedua adik harus tinggal di sini, di rumah paman Esau Rotinsulu.
Dengan susah payah, saya mencoba bertahan hidup termasuk mengejar pendidikan.”
Tiba-tiba nada
suaranya makin rendah, seakan tidak mau didengar orang lain. Lanjut kisahnya “Namun
apa boleh buat, paman tidak mengizinkan saya melanjutkan sekolah,” terdengar jeritan
hatinya yang sementara terjepit.
Tak tertahankan,
air mata bercahaya kristal mulai membasahi pipinya. Sementara kelihatan tubuh
tegap yang sedang mekar, namun rapuhnya hati ini.
“Mengapa paman
tidak mengizinkan kamu melanjutkan studi?” tak dipungkiri hati dan pikiran saya
penuh tanda tanya.
Bak tanah
merindukan tetasan air hujan, begitu juga saya berempati dengan pergumulan
batinnya.
Malam ini tidak
seperti hari sebelumnya, Maria yang aku kenal seorang muda tegar, ceria dan
pandai seakan sirna oleh pernyataan pamannya. “minggu lalu, setelah sarapan, saya memiliki niat bulat
untuk mengapai cita-cita. Kemudian saya memberanikan diri mengutarakan niat
melanjutkan studi. Mendengar niat, semangat dan kemauan saya yang tinggi,
tiba-tiba paman hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata ney, ney, ney (artinya tidak, tidak,
tidak).”
Dengan hati
gunda-gulana, pikiran kusut saya menatap mata paman sambil berucap “Mengapa
saya tidak bisa melanjutkan studi? Mengapa anak-anak perempuan paman bisa
sekolah dan saya tidak bisa?.” Terdengar nada berwibawa yang berisi pertanyaan
kritis dari bibir manisnya itu.
Tak tahu
mengapa, saya langsung berlutut di kaki paman. Ya, memohon belas kasihannya.
Apa di kata, ia tetap mengeraskan hatinya.
Sambil
memegang kedua pundak saya, paman beralasan “Maria, oh…, Maria, sebenarnya
warisan orang tuamu tidak mencukupi biaya sekolah kamu dan adikmu sehingga
paman hanya memprioritaskan adikmu Andreas tuk melanjutkan studi di Tondano.”
Ucapan paman
penuh penghiburan tak berkeadilan. “Dengan begitu sesuai adat, anak perempuan
hanyalah mengurus rumah, memasak, menjahit, mencuci dan membuat kue. Setelah
kamu dewasa nanti, paman akan memperkenalkan dengan seorang laki-laki yang
pantas bagimu, berpendidikan dan bertanggung jawab.”
Kamu
tahu Nency, mendengar pelbagai alasan paman, terasa hati ini teriris silet
tajam. Hancur berkeping-keping, Betul sangat perih, dan sakit rasanya. Apakah
ini yang dinamakan nasib sebagai anak perempuan? Tanyanya putus asa.
Ia mencoba
menahan emosinya, namun air matanya tidak bisa disembunyikan. Mengalir seperti
deras hujan malam ini. Air mata membuktikan luapan kekecewaan tidak adil. Aku
hanya bisa mendengar jeritan hati sahabat baikku. Tangan kananku memegang
pundaknya, sembari memberi penguatan. Jelas, aku sangat berempati
Keinginan kuat
menempuh pendidikan, berhadapan dengan pelbagai ideologi, sahabat baru,
karakter dan pencarian jati diri menjadi pupus. Terlihat jelas kedua kelopak
mata coklatnya menjadi merah.
Satu api
ditambah dengan satu api memunculkan kobaran api besar yang ingin melawan, menentang
dan memberontak adat Minahasa yang salah kaprah itu. Bahkan alasan yang
mendiskriminasikan dan membatasi hak anak perempuan menempuh pendidikan.
“oh…, aku minta
maaf Maria. Bukan maksudku membuatmu menangis seperti ini. Nasibmu sangat
berbeda dengan diriku. Aku sebagai anak perempuan dalam keluarga mendapat hak
istimewa dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan kedua kakakku laki-laki,”
ucapku seakan merasa ada keadilan dalam keluargaku.
“Setelah
mendengar pergumulanmu malam ini, bila aku menjadi kamu maka aku takkan
menyerah begitu saja. Aku akan terus maju, berdoa kepada Opo Wailan, berjuang dan bekerja keras menore impian yang tertunda,”
ucapku penuh keyakinan.
Kobaran api
mulai redam di kedua matanya. Ia tampak terlihat serius mendengar kisahku dan
masih menatapku.
Aku lanjutkan
dengan kehidupan keluarga cemaraku. “ begini sobat, sebenarnya budaya Minahasa
tidak mengenal apakah ia anak laki-laki maupun anak perempuan diberikan hak
yang sama, termasuk hak memperoleh pendidikan. Namun sejak datangnya bangsa
Eropa di tanah Minahasa, maka hukum rimba patriakhi berlaku,” suaraku makin
meninggi.
Aku sedikit
senyum simpul melihat wajah Maria yang semakin bingung. “Jelas bahwa perempuan
selalu mendapat pendidikan minim; perempuan hanya bekerja di dapur. Nah,
setelah dewasa menunggu lamaran seorang laki-laki. Agama sipil turut membatasi
hak perempuan. Untung saja ayah dan ibuku tidak berpikir seperti itu. Maksud
‘untung’ di sini bahwa orang tuaku menanamkan paradigma baru yang lebih
membebaskan anak-anaknya memperoleh pendidikan,” cetusku mantap.
Ia terdiam
sejenak, lantas berkata “saya ingin mendapat kesempatan studi dan kesetaraan
studi seperti orang tuamu berikan. Saya teringat dengan kesetaraan yang
dikatakan dalam Alkitab. Hmmm,
kesetaraan sebagai gambar Allah menjadi harapanku di masa depan, seperti ada
tertulis:
“Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka (Kej. 1:27).
“Hal ini membuat
saya sadar bahwa kesetaraan dan keadilan belum terwujud. Keluarga belum bisa
berpikir merdeka, belum bisa membaca Alkitab dengan mata baru yang lebih
membebaskan. Masih terkontaminasi dengan budaya adopsi Barat. Meskipun kita
tahu bersama kalau Alkitab dibawa oleh bangsa Barat.” Sesekali dikibaskannya
rambut hitam lurus sepunggung yang dibiarkan tergerai dan dimainkan angin malam
seolah mengajaknya terbang keluar jendela kamar itu.
Maria menarik
nafas dalam-dalam, buang perlahan-lahan dan melanjutkan pendapatnya “Harapan
tinggallah harapan. Secercah harapan jauh di sana. Dan oleh sebab itu, saya akan
menanamkan tekad juang dalam diri sendiri. Sebuah tekad perjuangan yang
panjang.” Nabi Yeremia menulis:
“ia akan seperti pohon yang di tanam di tepi
air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batas ait, dan yang tidak mengalami
datangnya panas terik, yang daunnya tetap hujau, yang tidak kuatir dalam tahun
kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.”
“Inilah firman
TUHAN yang saya imani dan amini,” ujarnya mantap.
Ia berimajinasi.
Khotbahnya mampu menciptakan pergeseran mindset-ku.Tampak
jelas di depanku jiwa perempuan muda Minahasa Kristen yang penuh dengan rajutan
kasih sayang yang membebaskan. Tanpa sekat-sekat pemisah.
Ia mengakui
dengan kepolosannya bahwa “saya sadar kalau saat ini saya masih muda, belum
berpengalaman, tidak pandai berbicara di depan umum dan kerucu di antara
pembesar-pembesar. Namun setiap malam saya berdoa memohon hikmat dari TUHAN
dalam proses hidup ini.”
Bagaikan anak
burung manguni kecil yang hidup di hutan, terpisah dengan induk, dekat dengan
serigala buas yang sewaktu-waktu bisa memakan tubuhnya yang rapuh itu.
Aku merinding
mendengar hati kecilnya itu. Aku sama sekali tak berani menatapnya. Kobaran
semangatnya makin bergelora. “suatu ketika saya mau membuktikan bahwa perempuan
bisa memperoleh hak dan kedudukannya, baik di rumah maupun di publik,” ucapnya
sambil menggerakkan tangannya ke atas.
“Begitukah,
Maria? Sepertinya aku makin memahami perjuangan jalan pikiranmu yang terpendam
ini. Aku setuju dengan ideologimu,” ucapku singkat.
“Tetapi aku mau
tanya, darimana kamu bisa berpikir luas seperti itu?.” Jelas, aku makin
penasaran dengan ideologi yang diucapnya barusan.
“Ten Hove, pendeta asal Belanda yang datang di tanah Minahasa,
tepatnya di Maumbi. Minggu lalu saya tinggal di rumahnya. Ia berbicara tentang
banyak hal mengenai cara hidup orang Belanda termasuk kebebasan dan pendidikan.
Saya juga banyak mendengar pengalaman-pengalaman dari para tamu orang Belanda
yang datang di rumah paman. Seringkali saya juga berdiskusi dengan para tamu
itu,” Maria memberi penjelasan dengan penuh bangga.
Kamu tahu Nency,
tadi istri pendeta Ten Hove datang ke rumah dan mengajak saya tinggal di rumah
pastori. Bukan hanya itu saja, saya akan menjadi anak angkat. Waduh senangnya,”
serunya tak kalah semangat dariku.
Lanjut
penjelasannya. “meskipun saya senang, namun saya juga merasa sedih. Sedih karena tidak melanjutkan studi dan akan
meninggalkan paman, bibi, dan sepupu di rumah ini. Di sisi lain, saya akan
diperhadapkan dengan tantangan, harapan dan kesempatan baru yang TUHAN berikan
untuk saya lalui bersama keluarga pendeta Ten Hove.”
“Menurutmu, apa
saya perlu tinggal di rumah pendeta Ten Hove besok? Hmmm” tanya Maria yang dirundung galau hati.
Aku menjawab
datar. “terserah kamu, Maria. Ikut apa kata hati nuranimu.”
Aku tak mau
mengarahkan hidupnya. Sebaliknya ia sendiri yang harus menentukan jalan
hidupnya. Seperti aku dan Maria naik mobil yang sama; pada waktu yang bersamaan
namun arah jalan ditentukan masing-masing. Akhirnya, kemauan-ku serupa namun
tak sama dengan Maria.
Maria kelihatan
makin galau, kedua tangan berwarna putih sedang memegang bantal. Berkali-kali
tangan kanan putih itu mengelus-elus tangan kirinya. Ada gejolak batin menentukan nasib hidupnya
itu.
“besok saya akan
memberitahukan paman dan bibi kalau minggu depan saya akan tinggal di rumah
pendeta Ten Hove. Semoga mereka bisa mengizinkanku kali ini,” jawab Maria penuh
harapan.
Aku menarik
nafas panjang ketika mendengar pernyataan lanjutannya “keberadaan saya sebagai
anak sulung, anak yatim piatu dari almarhum Berhandus Maramis dan almarhuma
Sarah Rotinsulu, menjadikan hidupku lebih penuh perjuangan sambil menyerahkan
sepenuhnya pada TUHAN, Sang pemilik kehidupan.”
“Mungkin inilah
rencana terbaik TUHAN untuk hidupku. Kerikil-kerikil itulah yang akan semakin
mengasah kecakapan dalam berpikir dan bertindak.” Mendengar pernyataannya, saya
merasa dikemudian hari, ia anak yang diberkati TUHAN dan akan memperoleh
keberhasilan serta kebahagiaan hidup.
Dari luar kamar
terdengar suara perempuan memanggil “Maria…, Maria…, Maria.” Cepat-cepat Maria
keluar kamar sambil berseru “iya.” Ternyata yang memanggil Maria adalah sang
bibi. Dengan pakaian rumah seadanya ia bertemu bibi yang berada di dapur. Dapur
kecil terbuat dari bambu, dihiasi rotan khas Minahasa, tentunya. Dapur seperti
ini sudah langka di zaman metropolitan yang serba canggih, modern dan praktis.
“ayo bantu bibi,
ada tamu paman yang datang. Mereka kehujanan. Jadi, kamu buatkan kopi hangat
dan kue namu-namu. Jangan sampai
mereka lama menunggu,” kata bibi yang sibuk mengambil gelas, kemudian
diletakkan di atas meja dapur dan berlalu ke ruang tamu.
Melihat Maria
yang sedang sibuk, aku tergugah hati untuk membantu membuat kue namu-namu. “aku yakin kamu akan melewati
proses hidup ini,” cetusku penuh semangat.
Maria menole ke
arahku sambil berucap “terima kasih
sahabat, di masa pilihan hidup yang sulit ini, masih ada yang peduli dengan
kehidupanku.” Ketulusan hatinya terpancar di raut wajahnya.
“iya sama-sama,
aku lakukan ini karena kamu sudah seperti saudaraku sendiri. Betul kata banyak
orang, torang samua basodara dalam
TUHAN,” ucapku sambil mengatur kue yang sudah masak di atas piring. Tiba-tiba
ia memelukku, penuh tangis haru.
Tak terasa waktu
di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Dengan demikian, aku harus meninggalkan
Maria. Sesaat aku melihat matanya berkaca-kaca.
Sesuai instruksi
ibu, kakak sudah menjembut aku di depan rumah bapak Esau yang berjabat sebagai
kepala distrik Tonsea. Kami menyebutnya kepala distrik. Sekarang ini, kepala
distrik setara dengan kedudukan bupati.
Kakak menjembut
dengan kuda kesayanganku. Perlahan-lahan aku menaiki kuda putih dan kakak
menunggangi kuda hitam.
Entah kenapa,
aku sebenarnya enggan pergi. Seperti ada yang tertinggal di rumah itu. Apalagi hari
ini malam terakhir bersama Maria.
“Kapan kita akan
bertemu lagi?” tanyaku dengan nada lesu. Ia hanya membalas dengan senyum, penuh
tanda tanya. Lambaian tangannya melepas kepergianku. Ya, besok aku balik
Tomohon. Dan Maria? Entahlah….
* * * *
Manado, 18 September 2012
14:44
Sahabat karibmu, Nency Heydemans
Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar