Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Selasa, 18 September 2012

Nasib Maria Y. C. Maramis: Seorang Perempuan Muda Minahasa


CERPEN


            Pada suatu malam di dalam kamar yang remang-remang, keramaian seakan membisu, waktu berjalan begitu lambat. Kesunyian membungkus badannya. Hampa seorang diri menikmati nur laila, bintang, matahari yang menempel di tripleks kamarnya. Cahaya menipu mata dari atas tempat tidur itu.
           
Dari depan pintu kamar, terlihat sosok perempuan yang sedang merindukan kedamaian, kasih sayang dan keadilan. Tidak jelas mengapa malam ini dia seakan membisu seribu bahasa, tidak seperti biasanya.

            Banyak sahabat menyebutnya “perempuan apa adanya, pandai, suka menolong, baik hati, rajin beribadah, rajin bekerja, cantik dan digemari kaum adam.” Bukan hanya itu saja, ia perempuan muda kritis yang jarang ditemui di zaman ini.

Sejak mengenalnya, aku pun terkesima dengan kontribusinya yang membebaskan dan memerdekakan. Ternyata kecantikan luar memancarkan kecantikkan alaminya. Banyak orang mengatakan, “siapa dulu keke Minahasa.”

            Hujan mulai membasahi tanah Nyiur Melambai ini. Perlahan-lahan aku menghampirinya. Alunan sandalku membangunkan hayalannya. Tatapan mata yang kosong, rambut panjang terurai acak menandakan ia sedang dirundung masalah. Keceriaannya selama ini seakan sirna dimakan serigala.

            “Mengapa kamu datang ke sini?” tanyanya sambil menyalakan lampu kamar.

            Dengan perasaan cemas aku pun menjawab “aku dengar kamu tidak lagi melanjutkan sekolah Meisjesschool di Tomohon. Mendengar berita dari teman-teman, aku pun datang ke sini untuk melihat keadaanmu.” Aku memberi penjelasan akan maksud kedatanganku. Aku duduk disampingnya, di atas kasur itu.

Sebagai sahabat akrab, ia mulai curhat (curahan hati). “kamu sendiri mengetahui latar belakang keluarga saya. Sejak umur enam tahun, saya sudah menjadi anak yatim piatu. Kemudian, saya bersama kedua adik harus tinggal di sini, di rumah paman Esau Rotinsulu. Dengan susah payah, saya mencoba bertahan hidup termasuk mengejar pendidikan.”

Tiba-tiba nada suaranya makin rendah, seakan tidak mau didengar orang lain. Lanjut kisahnya “Namun apa boleh buat, paman tidak mengizinkan saya melanjutkan sekolah,” terdengar jeritan hatinya yang sementara terjepit.

Tak tertahankan, air mata bercahaya kristal mulai membasahi pipinya. Sementara kelihatan tubuh tegap yang sedang mekar, namun rapuhnya hati ini.

“Mengapa paman tidak mengizinkan kamu melanjutkan studi?” tak dipungkiri hati dan pikiran saya penuh tanda tanya.

Bak tanah merindukan tetasan air hujan, begitu juga saya berempati dengan pergumulan batinnya.

Malam ini tidak seperti hari sebelumnya, Maria yang aku kenal seorang muda tegar, ceria dan pandai seakan sirna oleh pernyataan pamannya. “minggu lalu,  setelah sarapan, saya memiliki niat bulat untuk mengapai cita-cita. Kemudian saya memberanikan diri mengutarakan niat melanjutkan studi. Mendengar niat, semangat dan kemauan saya yang tinggi, tiba-tiba paman hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata ney, ney, ney (artinya tidak, tidak, tidak).”

Dengan hati gunda-gulana, pikiran kusut saya menatap mata paman sambil berucap “Mengapa saya tidak bisa melanjutkan studi? Mengapa anak-anak perempuan paman bisa sekolah dan saya tidak bisa?.” Terdengar nada berwibawa yang berisi pertanyaan kritis dari bibir manisnya itu.

Tak tahu mengapa, saya langsung berlutut di kaki paman. Ya, memohon belas kasihannya. Apa di kata, ia tetap mengeraskan hatinya.     

            Sambil memegang kedua pundak saya, paman beralasan “Maria, oh…, Maria, sebenarnya warisan orang tuamu tidak mencukupi biaya sekolah kamu dan adikmu sehingga paman hanya memprioritaskan adikmu Andreas tuk melanjutkan studi di Tondano.”

Ucapan paman penuh penghiburan tak berkeadilan. “Dengan begitu sesuai adat, anak perempuan hanyalah mengurus rumah, memasak, menjahit, mencuci dan membuat kue. Setelah kamu dewasa nanti, paman akan memperkenalkan dengan seorang laki-laki yang pantas bagimu, berpendidikan dan bertanggung jawab.”

            Kamu tahu Nency, mendengar pelbagai alasan paman, terasa hati ini teriris silet tajam. Hancur berkeping-keping, Betul sangat perih, dan sakit rasanya. Apakah ini yang dinamakan nasib sebagai anak perempuan? Tanyanya putus asa.

Ia mencoba menahan emosinya, namun air matanya tidak bisa disembunyikan. Mengalir seperti deras hujan malam ini. Air mata membuktikan luapan kekecewaan tidak adil. Aku hanya bisa mendengar jeritan hati sahabat baikku. Tangan kananku memegang pundaknya, sembari memberi penguatan. Jelas, aku sangat berempati

Keinginan kuat menempuh pendidikan, berhadapan dengan pelbagai ideologi, sahabat baru, karakter dan pencarian jati diri menjadi pupus. Terlihat jelas kedua kelopak mata coklatnya menjadi merah.

Satu api ditambah dengan satu api memunculkan kobaran api besar yang ingin melawan, menentang dan memberontak adat Minahasa yang salah kaprah itu. Bahkan alasan yang mendiskriminasikan dan membatasi hak anak perempuan menempuh pendidikan.

“oh…, aku minta maaf Maria. Bukan maksudku membuatmu menangis seperti ini. Nasibmu sangat berbeda dengan diriku. Aku sebagai anak perempuan dalam keluarga mendapat hak istimewa dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan kedua kakakku laki-laki,” ucapku seakan merasa ada keadilan dalam keluargaku.

“Setelah mendengar pergumulanmu malam ini, bila aku menjadi kamu maka aku takkan menyerah begitu saja. Aku akan terus maju, berdoa kepada Opo Wailan, berjuang dan bekerja keras menore impian yang tertunda,” ucapku penuh keyakinan.

Kobaran api mulai redam di kedua matanya. Ia tampak terlihat serius mendengar kisahku dan masih menatapku.

Aku lanjutkan dengan kehidupan keluarga cemaraku. “ begini sobat, sebenarnya budaya Minahasa tidak mengenal apakah ia anak laki-laki maupun anak perempuan diberikan hak yang sama, termasuk hak memperoleh pendidikan. Namun sejak datangnya bangsa Eropa di tanah Minahasa, maka hukum rimba patriakhi berlaku,” suaraku makin meninggi.  

Aku sedikit senyum simpul melihat wajah Maria yang semakin bingung. “Jelas bahwa perempuan selalu mendapat pendidikan minim; perempuan hanya bekerja di dapur. Nah, setelah dewasa menunggu lamaran seorang laki-laki. Agama sipil turut membatasi hak perempuan. Untung saja ayah dan ibuku tidak berpikir seperti itu. Maksud ‘untung’ di sini bahwa orang tuaku menanamkan paradigma baru yang lebih membebaskan anak-anaknya memperoleh pendidikan,” cetusku mantap.

Ia terdiam sejenak, lantas berkata “saya ingin mendapat kesempatan studi dan kesetaraan studi seperti orang tuamu berikan. Saya teringat dengan kesetaraan yang dikatakan dalam Alkitab. Hmmm, kesetaraan sebagai gambar Allah menjadi harapanku di masa depan, seperti ada tertulis:

Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27).

“Hal ini membuat saya sadar bahwa kesetaraan dan keadilan belum terwujud. Keluarga belum bisa berpikir merdeka, belum bisa membaca Alkitab dengan mata baru yang lebih membebaskan. Masih terkontaminasi dengan budaya adopsi Barat. Meskipun kita tahu bersama kalau Alkitab dibawa oleh bangsa Barat.” Sesekali dikibaskannya rambut hitam lurus sepunggung yang dibiarkan tergerai dan dimainkan angin malam seolah mengajaknya terbang keluar jendela kamar itu.

Maria menarik nafas dalam-dalam, buang perlahan-lahan dan melanjutkan pendapatnya “Harapan tinggallah harapan. Secercah harapan jauh di sana. Dan oleh sebab itu, saya akan menanamkan tekad juang dalam diri sendiri. Sebuah tekad perjuangan yang panjang.” Nabi Yeremia menulis:

ia akan seperti pohon yang di tanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batas ait, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hujau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.”

“Inilah firman TUHAN yang saya imani dan amini,” ujarnya mantap.

Ia berimajinasi. Khotbahnya mampu menciptakan pergeseran mindset-ku.Tampak jelas di depanku jiwa perempuan muda Minahasa Kristen yang penuh dengan rajutan kasih sayang yang membebaskan. Tanpa sekat-sekat pemisah.

Ia mengakui dengan kepolosannya bahwa “saya sadar kalau saat ini saya masih muda, belum berpengalaman, tidak pandai berbicara di depan umum dan kerucu di antara pembesar-pembesar. Namun setiap malam saya berdoa memohon hikmat dari TUHAN dalam proses hidup ini.”

Bagaikan anak burung manguni kecil yang hidup di hutan, terpisah dengan induk, dekat dengan serigala buas yang sewaktu-waktu bisa memakan tubuhnya yang rapuh itu.

Aku merinding mendengar hati kecilnya itu. Aku sama sekali tak berani menatapnya. Kobaran semangatnya makin bergelora. “suatu ketika saya mau membuktikan bahwa perempuan bisa memperoleh hak dan kedudukannya, baik di rumah maupun di publik,” ucapnya sambil menggerakkan tangannya ke atas.

“Begitukah, Maria? Sepertinya aku makin memahami perjuangan jalan pikiranmu yang terpendam ini. Aku setuju dengan ideologimu,” ucapku singkat.

“Tetapi aku mau tanya, darimana kamu bisa berpikir luas seperti itu?.” Jelas, aku makin penasaran dengan ideologi yang diucapnya barusan.


“Ten Hove, pendeta asal Belanda yang datang di tanah Minahasa, tepatnya di Maumbi. Minggu lalu saya tinggal di rumahnya. Ia berbicara tentang banyak hal mengenai cara hidup orang Belanda termasuk kebebasan dan pendidikan. Saya juga banyak mendengar pengalaman-pengalaman dari para tamu orang Belanda yang datang di rumah paman. Seringkali saya juga berdiskusi dengan para tamu itu,” Maria memberi penjelasan dengan penuh bangga.

Kamu tahu Nency, tadi istri pendeta Ten Hove datang ke rumah dan mengajak saya tinggal di rumah pastori. Bukan hanya itu saja, saya akan menjadi anak angkat. Waduh senangnya,” serunya tak kalah semangat dariku.

Lanjut penjelasannya. “meskipun saya senang, namun saya juga merasa sedih.  Sedih karena tidak melanjutkan studi dan akan meninggalkan paman, bibi, dan sepupu di rumah ini. Di sisi lain, saya akan diperhadapkan dengan tantangan, harapan dan kesempatan baru yang TUHAN berikan untuk saya lalui bersama keluarga pendeta Ten Hove.”

“Menurutmu, apa saya perlu tinggal di rumah pendeta Ten Hove besok? Hmmm” tanya Maria yang dirundung galau hati.

Aku menjawab datar. “terserah kamu, Maria. Ikut apa kata hati nuranimu.”

Aku tak mau mengarahkan hidupnya. Sebaliknya ia sendiri yang harus menentukan jalan hidupnya. Seperti aku dan Maria naik mobil yang sama; pada waktu yang bersamaan namun arah jalan ditentukan masing-masing. Akhirnya, kemauan-ku serupa namun tak sama dengan Maria.

Maria kelihatan makin galau, kedua tangan berwarna putih sedang memegang bantal. Berkali-kali tangan kanan putih itu mengelus-elus tangan kirinya. Ada gejolak batin menentukan nasib hidupnya itu.

“besok saya akan memberitahukan paman dan bibi kalau minggu depan saya akan tinggal di rumah pendeta Ten Hove. Semoga mereka bisa mengizinkanku kali ini,” jawab Maria penuh harapan.

Aku menarik nafas panjang ketika mendengar pernyataan lanjutannya “keberadaan saya sebagai anak sulung, anak yatim piatu dari almarhum Berhandus Maramis dan almarhuma Sarah Rotinsulu, menjadikan hidupku lebih penuh perjuangan sambil menyerahkan sepenuhnya pada TUHAN, Sang pemilik kehidupan.”

“Mungkin inilah rencana terbaik TUHAN untuk hidupku. Kerikil-kerikil itulah yang akan semakin mengasah kecakapan dalam berpikir dan bertindak.” Mendengar pernyataannya, saya merasa dikemudian hari, ia anak yang diberkati TUHAN dan akan memperoleh keberhasilan serta kebahagiaan hidup.

Dari luar kamar terdengar suara perempuan memanggil “Maria…, Maria…, Maria.” Cepat-cepat Maria keluar kamar sambil berseru “iya.” Ternyata yang memanggil Maria adalah sang bibi. Dengan pakaian rumah seadanya ia bertemu bibi yang berada di dapur. Dapur kecil terbuat dari bambu, dihiasi rotan khas Minahasa, tentunya. Dapur seperti ini sudah langka di zaman metropolitan yang serba canggih, modern dan praktis.

“ayo bantu bibi, ada tamu paman yang datang. Mereka kehujanan. Jadi, kamu buatkan kopi hangat dan kue namu-namu. Jangan sampai mereka lama menunggu,” kata bibi yang sibuk mengambil gelas, kemudian diletakkan di atas meja dapur dan berlalu ke ruang tamu.

Melihat Maria yang sedang sibuk, aku tergugah hati untuk membantu membuat kue namu-namu. “aku yakin kamu akan melewati proses hidup ini,” cetusku penuh semangat.

Maria menole ke arahku  sambil berucap “terima kasih sahabat, di masa pilihan hidup yang sulit ini, masih ada yang peduli dengan kehidupanku.” Ketulusan hatinya terpancar di raut wajahnya.

“iya sama-sama, aku lakukan ini karena kamu sudah seperti saudaraku sendiri. Betul kata banyak orang, torang samua basodara dalam TUHAN,” ucapku sambil mengatur kue yang sudah masak di atas piring. Tiba-tiba ia memelukku, penuh tangis haru.

Tak terasa waktu di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Dengan demikian, aku harus meninggalkan Maria. Sesaat aku melihat matanya berkaca-kaca.

Sesuai instruksi ibu, kakak sudah menjembut aku di depan rumah bapak Esau yang berjabat sebagai kepala distrik Tonsea. Kami menyebutnya kepala distrik. Sekarang ini, kepala distrik setara dengan kedudukan bupati.

Kakak menjembut dengan kuda kesayanganku. Perlahan-lahan aku menaiki kuda putih dan kakak menunggangi kuda hitam.


Entah kenapa, aku sebenarnya enggan pergi. Seperti ada yang tertinggal di rumah itu. Apalagi hari ini malam terakhir bersama Maria.

“Kapan kita akan bertemu lagi?” tanyaku dengan nada lesu. Ia hanya membalas dengan senyum, penuh tanda tanya. Lambaian tangannya melepas kepergianku. Ya, besok aku balik Tomohon. Dan Maria? Entahlah….

* * * *


Manado, 18 September 2012
14:44
Sahabat karibmu, Nency  Heydemans Maramis



           
           

Tidak ada komentar: