Di pintu
gerbang Betlehem terjadi transaksi penebusan namun saya tidak hadir di situ.
Boas mewakili keluarga saya Elimelekh menggelar transaksi penebusan dalam
persidangan masyarakat agraris kuno. Sebagai seorang perempuan saya dan Naomi
tidak hadir di situ dan sepantasnya kami tidak hadir karena saya dan Naomi
menjadi objek hangat yang dibicarakan dalam persidangan itu.
Dalam
persidangan itu diikuti Boas, penebus yang tak bernama dan sepuluh tua-tua kota yang mewakili semua
kepala keluarga dan pemilik tanah keluarga. Lalu apa yang menjadi pokok
persoalanan persidangan kala itu? Siapakah yang akan menebus, lalu siapa yang
akan ditebus? Pokok persoalannya: menolong dua janda miskin (saya dan ibu
mertua) terkait ladang Elimelekh. Proses penebusan itu berjalan secara rumit
dan berbelit-belit. Rumitnya, di mana? Boas mengatakan bahwa Naomi mau menjual
ladang Elimelek. Namun sebenarnya ibu mertuaku (Naomi) tidak pernah
merencanakan menjual ladangnya. Proses transaksi itu semata-mata strategi dan
inisiatif Boas menggunakan kekuasaannya, kekayaannya agar supaya ibu mertuaku
akan setuju.
Bagaimana
Boas menggunakan strategi berikutnya? Strategi kedua, Boas menggunakan hak
tebus. Mula-mula penebus mau membeli ladang sang mertua, namun Boas menambahkan
kewajiban untuk menikahi saya dan anak yang lahir menjadi ahli waris ladang
Elimelekh. Akan tetapi penebus itu menolak tuntutan Boas. Ia menolak karena
saya adalah perempuan asing yang akan mewariskan keturunan campur, sehingga hak
warisan tidak sepenuhnya dipelihara dan dikelola dengan baik. Masalah inilah
yang sang penebus takuti dikemudian hari. Penolakan sang penebus akan hak tebus
menjadi kesempatan Boas memiliki hak tanah mertua Elimelekh bersama saya.
Saya berpikir
agak aneh, awalnya saya mendengar penebusan ladang Elimelekh, lalu dikaitkan
dengan ingin meminang atau menikahi saya. Memang skenario Boas yang ingin
memiliki kepemilikan tanah mertua bersama diri saya seutuhnya.
Dari
pembicaraan itu, mau tak mau saya menerima lamaran Boas. Ia menjadi milik saya.
Sebaliknya saya dan kepemilikan tanah Elimelekh adalah tanggungjawab dan milik
Boas. Tindakan berani Boas, akhirnya saya terima dengan penuh cinta kasih.
Ya, sepuluh
tahun saya menikah dengan Mahlon tetapi tidak membuahkan anak. Pernikahan kedua
saya memasuki dua bulan bersama Boas, dikarunia benih dari TUHAN. Pernikahan
bersama Boas menjadikan saya IBU dari segala keturunan; IBU dari bangsa-bangsa.
Dari pernikahan ini, lahirlah Obed yang kemudian dijanjikan TUHAN menjadi
pembawa selamat bagi bangsa-bangsa.
Anakku Obed
menjadi ahli waris keluarga Elimelek. Sistem patriakhi sangat menguntungkan
bagi anakku tersayang. Obed menjadi cucu laki-laki yang disayangi Omanya,
Naomi. Menurut Targum, Obed artinya dia yang melayani. Saya bersyukur kepada
TUHAN bahwa dari dalam rahim saya, lahirlah Obed, lalu Isai, kemudian Daud;
ceceku Daud disebut sebagai pahlawan nasional dan raja Israel yang populer itu.
Dari rasa
bangga, saya juga menyimpan rasa iri hati. Mengapa demikian? Sebab silsilah
saya tidak ditulis. Hanya berdasarkan keturunan laki-laki maka segala sesuatu
diperhitungkan!. Sedih, perih hati ini. Meskipun dimata manusia (baca:
laki-laki), saya tidak masuk hitungan namun dimata TUHAN saya dipilih oleh-Nya.
Saya
percaya, cinta kasih TUHAN itu universal. TUHAN panggil saya sebagai saksi
perempuan asing yang masuk di tanah Betlehem. TUHAN memberkati saya sebagai
istri dari orang yang kaya raya Elimelekh, istri Boas. TUHAN memilih rahim saya
sebagai penerus karya penyelamatan-Nya. TUHAN menetapkan saya sebagai IBU dari
bangsa-bangsa yang percaya dan, yang melakukan kehendak-Nya. Siapapun dia,
apapun jenis kelaminnya, tidak memandang suku, bahkan pembagian kelas-pun
dibebaskan oleh-Nya.
Manado, 26 Agustus 2012
23:55
Nency Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar