Langit cerah di pagi ini, matahari bersinar,
burung luri berkicau, ayam dan bebek ikut bernyanyi menandakan pagi
telah tiba. Tak seperti hari biasanya, pagi ini bangun lebih awal,
sebelum memulaikan aktivitas, aku mengikuti ibadah syukur hari
kebahagiaan mama dan papa ke-35 tahun. Ibadah ini dipimpin Pdt Ferdinan
Tumbol, S.Th melalui Pembacaan Alkitab Mazmur 112. “orang benar dan takut akan TUHAN akan diberkati. Berkat bukan hanya bagi orang Israel namun berlaku juga
bagi Keluarga besar Heydemans-Maramis. Diberkati dengan hadirnya
anak-anak, anak mantu dan cucu-cucu, kesehatan, materi, dan pekerjaan.” Garis besar Bpk Pdt Didi yang sedikit saya tangkap. Ibadah ini dihadiri para pelayan GMIM Jemaat Bukit Karmel Batukota khususnya kolom 9.
Selesai
ibadah syukur ini, aku dan ‘mantan pacar (baca: suami)” harus berangkat
kerja ke Tomohon. Adapun refleksi iman sang anak di tengah-tengah
Keluarga besar Heydemans-Maramis.
Dengarkanlah sang Khalik;
Lihatlah aku mulai ada kehidupan,
Aku benih kecil tak bernilai di tanam papa,
Keuletan mama menyiram hidupku.
Lalu, aku mulai bertumbuh dalam iman Kristen.
Perlahan-lahan mulai mengeluarkan batang, kemudian daun.
Aku berpijak di atas tanah yang subur dan berlimpah air.
Pertumbuhanku tidaklah mudah.
Banyak ‘angin genit’ yang mau merampas hidupku.
Belum lagi serangga yang mau membabat habis karya di tubuh.
Serangga bertopeng dengan hiasan dan penampilan palsu.
Tarian serangga mencabik-cabik apa yang selama ini aku rajut.
Untung saja, papa menanam iman Kristen yang kuat.
Aku kenal benar, papa itu.
Ia seorang yang prinsip, tegas, jujur dan beribawa
Serta suka berkhotbah meskipun dia bukanlah pendeta.
Tak heran, meskipun sudah pensiun namun masih di pakai TUHAN.
Puluhan tahun ditekuninya, ya pekerjaan di jalan raya,.
Kalau
ada orang bertanya kepadanya, “dimanakah bapak bekerja sesudah
pensiun?” tak segan-segan papa menjawab “masih kerja seperti dahulu, sapu-sapu jalan yang kotor.” Nah, kalau sudah begitu, mau bilang gimana? Hehehehee.
Khotbahnya bukan hanya kata-kata, melainkan dari perbuatan hidupnya.
Anak-anak dan cucu-cucu pun segan kepadannya.
Kalau berbicara mengenai “jalan”, mengenai “UKIT”, “pengalaman hidup”, maka
Panjang-lebar, tinggi-pendek akan diuraikannya dengan kebenaran dan prinsip.
Yang pasti, berdasarkan takut akan TUHAN dan tidak ada kompromi di jalan sesat.
Kalau situasi sudah dibakar api,
Mama mulai memberi kesejukan.
Ia akan menyiram dengan kasih sayang.
Suaranya di dengar dedaunan yang bergoyang.
Matanya memancarkan empati.
Ssssssst, sejenak ku termenung.
Aaah, aku mau hidup dan tumbuh di dalam-Nya.
Menghasilkan buah-buah yang baik
Sesuai ajaran penanam dan penyiram.
Meneladani hidup berumah tangganya.
Selamat Hari jadi ke-35 tahun, mama dan papa.
Pakatuan wo pakalowiren.
Salam sayang, Anakmu.
Tomohon, 3 Maret 2014
Pukul: 12: 44
Nency Heydemans Moningka
Mari Berdoa untuk Kemanusiaan
Senin, 17 Maret 2014
Selasa, 02 April 2013
Yudas Iskariot: Saya, Jangan Dipersalahkan
Saya Yudas, salah satu murid Yesus, anak Simon orang Kariot.
Ibu saya memberikan nama Yudas, yang berasal dari bahasa Ibrani “yuda”, yang artinya terpujilah Tuhan. Dengan harapan, suatu saat saya bisa dan selalu
memuji TUHAN dalam segala waktu. Beginilah waktu, seiring proses perjalanan
hidup, maka saya bertemu dengan nama-Nya, Yesus Kristus. Saya mengambil
keputusan untuk mengikuti jejak-Nya. Maka tibalah Ia memilih. Dari kesebelas
murid Yesus, saya dipanggil, dipilih menjadi murid-Nya yang keduabelas.
Meskipun saya menyadari bahwa murid-murid Yesus juga tak terbatas dari jumlahnya,
apakah para perempuan dan atau laki-laki. Memang benar nama saya disebut paling terakhir, akan tetapi
orang terakhir inilah yang sangat mempengaruhi kehidupan Yesus. Mengingat,
Injil di atas Segala Injil menyebut saya, sang penghianat (Mat.10:4).
Selama
perjalanan penginjilan bersama Rabi, saya mendapat amanat untuk memegang
jabatan sebagai bendahara (Yoh. 13:29). Sebenarnya, saya tidak mencalonkan diri
menjadi orang kepercayaan-Nya. Bakat menghitung apalagi urusan uang, saya
jagonya. Bisa dikata, saya murid terpandai dari yang lainnya. Kepandaian
mengatur uang, melihat harga dagang pasar, membangun jejaring sampai dengan
urusan belanja tiap hari diberikan tanggungjawab sepenuhnya. Awalnya, saya
tidak mengerti panggilan dan amanat besar ini dalam diri saya. Namun saya
mencoba menjalani panggilan rasul ini. Sehingga banyak orang menyebut diri saya
adalah tangan kanan sang Rabi, Yesus.
Saya
teringat proses kehidupan bersama Yesus dan teman-teman seperjuangan. Proses di
mana saya merasa bahagia namun ada banyak kesedihan yang dialami. Bahagia
karena memiliki sang Guru yang memperjuangkan keadilan, perdamaian, kesetaraan,
transformasi dan lebih jauh lagi, yakni
nilai-nilai kemanusiaan dilakukan, diteladankan-Nya. Saya kagum dengan
ide-ide inspirasi yang membebaskan dan memberdayakan bagi siapa saja yang
dijumpai-Nya. Di bawah hukum kasih-Nya, semua orang, semua Suku, Agama, Ras dan
Gender (SARAG) sama dihadapan-Nya; yang lebih dahulu mengasihi tanpa batas,
semacam tak terhingga cinta kasih-Nya. Makin saya tercengang lagi, mujisat
ilahi-Nya nyata (baik) bagi manusia maupun alam semesta. Semua seakan tunduk,
mengalami transformasi, pulih dari status sosial maupun pulih dari sakit
penyakit, bahkan dibangkitkan dari antara orang mati.
Dipelbagai tempat, saya dengan setia mengikuti
Yesus. Banyak orang menyebut Yesus: Tabib, Guru, Gembala, Mesias, Anak Manusia,
dll. Gelar-gelar ini diberikan ketika Ia berpikir, mengucap dan melakukan
sesuatu yang membuat pengikut-pengikut-Nya bertanya-tanya: siapakah Dia (?).
Saya
mengetahui latar belakang Yesus. Ia dilahirkan dari rahim Maria. Kemudian, Ia
anak Yusuf, si tukang kayu. Keluarga-Nya sederhana. Akan tetapi, dengan sifat
kesederhanaan dibawa kuasa Roh Kudus, Ia menjadi makin terkenal, makin digemari,
disayangi oleh siapa saja. Karena Ia adalah Anak Manusia. Hikmat, wibawa, kuasa
Roh Kudus selalu bersama-Nya. Berita pembebasan dan kabar baik di sampaikan-Nya
entah itu di pesisir pantai, di Bukit maupun di Bait Allah. Tentu perjuangan
dan berita kabar baik ini menjadikan diri-Nya sang pemberi Inspirator, sang
Transformator dan motivator yang selalu menghidupkan siapa saja yang percaya
kepada-Nya. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa eksistensi saya sebagai tangan
kanan sang Rabi, juga memberi nilai tambah. Orang-orang Kariot diseputaran
Yudea banyak mengenal dan mengikuti Yesus. Begitu juga, saya membangun jejaring
dengan orang-orang non Yahudi maupun para imam Yahudi. Wawasan dan jejaring
yang luas ikut andil dalam memberitakan kabar baik dari Sang Guru.
Ada suatu
peristiwa yang membuat saya merasa kurang hati. Begini kisah ceritanya. Enam
hari sebelum Paskah, Yesus datang ke
Betania di rumah Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati
(Yoh.12:1-8). Di rumah itu, ada suatu kejadian yang sangat aneh, tapi nyata.
Maria Magdalena meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu murni yang harganya
sangat mahal. Jelas, ketika saya melihat perbuatan tulus Maria ini, spontan
saya langsung menegur perbuatannya yang boros itu. Yesus membela Maria, karena perempuan
itu yang menandakan peringatan hari penguburan-Nya. Saya menegur Maria di depan
banyak orang, agar supaya ia tidak boros. Usul saya, minyak itu bisa di jual
dengan uang yang harganya sangat mahal, dan uang itu bisa di simpan di kas
penginjilan. Ya, jelas untuk keperluan setiap harinya. Sekali lagi, Injil di
atas segala Injil menuliskan bahwa saya ini seorang pencuri yang sering
mengambil uang kas penginjilan. Jujur saya mau katakan di sini bahwa: sifat
manusiawi melekat dalam tubuh yang fana ini. Memang benar, jika keperluan
setiap hari tidak cukup maka saya sering mengambil uang kas itu. Akan tetapi,
saya juga tahu diri untuk mengembalikan uang tersebut. Ini dikarenakan saya
Takut TUHAN dan uang kas itu telah di-buku-kan.
Singkat kata, berapa besar jumlah pengambilan uang itu; begitu pula
pengembalian ke kas penginjilan.
Kisah
perjalananku mencapai puncaknya. Saya mulai dibenci teman seperjuangan. Banyak
yang iri dengan posisi yang saya miliki. Saya mulai dikucilkan diantara mereka.
Akhirnya, saya mulai menjaga jarak. Hubungan yang renggang ini mengakibatkan
saya mulai bergaul dengan para imam Yahudi.
Para
agamawan sangat menerima kehadiranku. Saya mulai mendengar dan melihat
perbuatan yang sangat tidak baik dan picik itu. Bak udang di balik batu.
Eksistensi saya dimanfaatkan. Mereka sangat membenci Yesus yang membokar abis
dagangan di Bait Allah; Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari sabat di Bait
Allah bahkan menyebut dirinya, Mesias Anak Allah. Kami membuat diskusi untuk
menangkap Yesus. Gonjang ganjing terdengar di mana-mana. Ruangan menjadi ribut.
Uang menjadi alat penetral suasana untuk menangkap Yesus. itulah tugas baru
yang disampaikan para agamawan bagiku. Pikir singkatku, hanya menangkap Yesus
dan pasti suatu saat Ia akan dilepaskan dengan pelbagai sangsi yang akan
diterimanya.
Saya mulai
mencari strategi untuk menangkapnya, sesudah Perjamuan Malam itu. Hari ‘baik’
itu tiba. Di taman Getsemani, Yesus bersama murid-murid-Nya berkumpul. Saya mengambil bagian bersama imam-imam
kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah serta tua-tua untuk menangkap
Yesus. Sesuai kebiasaan waktu itu, di kalangan orang Yahudi, seorang rabi
dihormati dengan cara memeluk lehernya dan mencium dahinya. Memang saya
menghormati-Nya, dan itulah yang dilakukan. Tiba-tiba suasana menjadi tegang,
ada penyerangan dilakukan Petrus. Telinga imam besar terputus. Namun dengan
kasih Yesus, Ia mengembalikan dan menyembuhkan telinganya. Terlihat Yesus
menyerahkan diri secara sadar dan sukarela ke dalam tangan kami.
Melihat
kasih Yesus yang besar kepada kami, maka menyesallah saya (Mat.27:3).
Penyesalan mendalam ketika melihat Yesus, sang Rabi diadili di Mahkamah Agama
dengan pelbagai saksi dusta (Mat.26:57-68). Ia di olok-olokan, diludahi,
dipukuli, dirobeki baju-Nya sampai dipakaikan mahkota duri. Bukan hanya itu
saja, Yesus di jatuhi hukuman mati di depan wali negeri. Pemerintah mencampuri
urusan agama karena desakan para agamawan. Konsensus bersama dilanggar. Bukan
hukuman mati yang harus ditimpahkan kepada-Nya. Sekali lagi, bukan hukuman
mati. Hasil konsensus hanyalah sangsi ringan yang harus menimpah Yesus. Melihat
tidak ada yang beres, tidak ada yang benar di hadapan para agamawan, maka saya
sangatlah menyesal. Lanjut, penyesalan sangsi sosial diterima. Banyak yang
mencaci maki, mengucilkan bahkan mengutuk diri saya. Semua berubah seratus
delapan puluh derajat. Tidak ada kedamaian di hati ini; galau pikiran ini dan
tidak leluasa untuk beradaptasi. Depresi, terasa berat tertekan. Inikah kutukan
bagi diriku?
Menjalani
penyesalan setiap hari sangat menyiksa. Uang tiga puluh perak, saya kembalikan
kepada mereka. Saya tidak mempergunakan uang itu. Kemudian uang itu dipakai para
imam untuk membeli tanah tukang periuk untuk dijadikan tempat penguburan orang
asing sehingga tanah itu disebut tanah darah. Uang darah mengantarkan saya pada
akhir hidup yang sangat tragis. Ya, saya menggantungkan diri di atas pohon
(Mat.27:5). Sebelum mengakhiri hidup ini, saya memohon kiranya Yesus, sang Rabi
yang mengasihi semua orang (termasuk saya) dan mengampuni dosa-dosaku ini,
memaafkan serta menyelamatkan hidup saya di kehidupan sekarang maupun selanjutnya.
Diingatkan bagi para pembaca bahwa saya, jangan dipersalahkan! Dengan demikian,
genaplah firman TUHAN yang disampaikan para nabi dan dikemudian hari
dinarasikan para penginjil untuk misi Allah di muka bumi ini. Misi Yesus
Kristus akan pembebasan, kesetaraan, keadilan, perdamaian, transformasi dan
penyelamatan manusia (termasuk juga hewan dan tumbuh-tumbuhan).
Manado, 2 April 2013
Nency A Heydemans Moningka
PASKAH YANG MENGHIDUPKAN
Waktu pukul lima pagi,
Langit di sebelah Timur,
sedikit demi sedikit mulai terang.
Matahari terbit menandakan
kesempatan hidup baru,
Kebangkitan Yesus Kristus
menjadi tanda hidup baru; itulah PASKAH!
PASKAH memperdengarkan berita:
Hidup itu pemberian dan penugasan.
Yesus Kristus menugaskan kita untuk menghidupi hidup.
Bukan asal hidup, melainkan hidup dengan semangat dan
bermutu.
PASKAH diimani bahwa Yesus
Kristus hidup dan bangkit.
Karena Ia hidup, maka Ia
mengubah hidupku;
Mewartakan amanat Injil
Kerajaan Allah
Di bumi, di tanah tempat kita
berpijak.
Hidup di dalam Yesus Kristus sarat ujian,
Ia menjadi motivator, inspirator dan bahkan lebih dahsyat
lagi,
Jurus’lamat dunia.
Aku bahagia bisa hidup bersama-Nya.
Luka bisa ku bawa berlari-lari,
Hingga hilang pedih perih ini.
Namun aku akan lebih tidak
peduli lagi,
Karena aku mau hidup di dalam
Yesus Kristus, 1000 tahun lagi.
Manado, 31 Maret 2013
05:00
Senin, 04 Februari 2013
Kekuasaan Allah: Pemimpin yang Memberi Teladan
I Samuel 16:1-13 dan I Petrus 2:11-17
Syaloom,
malam bae bagi kita sekalian. Tema yang
akan kita renungkan di sepanjang bulan Februari ini adalah kekuasaan Allah. Kita
tahu bersama, khususnya umat Kristen di Indonesia sedang berada di tengah
proses perubahan yang cepat dan luar biasa. Bagaikan banjir di Jakarta dua minggu lalu yang tiba-tiba datang tanpa di
undang dan tak dapat dicegah. Bagaikan tanah longsor yang terjadi di tanah
Minahasa seminggu yang lalu, yang tidak dapat dihindari kemacetannya. Kita
dibuat terkesimah, panik akan kedahsyatan kuasa Allah dalam alam ini yang
menerpah umat manusia.
Perubahan luar biasa itu, menerjang
kita dari beberapa aras, pada aras modial atau sedunia, kita sedang dilanda
dengan gelombang besar yang disebut dengan globalisasi. Pada aras nasional,
kita sedang menyaksikan perubahan kekuasaaan parta politik yang terjadi di
negara kita. Dan juga pada aras gereja, di akhir tahun ini, GMIM akan
diperhadapkan dengan pemilihan pelayanan khusus (pelsus) dan kompelka BIPRA.
Sehinga apa yang terjadi di tengah-tengah perubahan yang cepat ini (?). Ada
beberapa orang yang mulai bangun dari imajinasinya dan bertanya, dalam situasi
yang telah berubah ini, bagaimana seharusnya kita menghadirkan kekuasaan Allah,
menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah keluarga, gereja dan negara yang
telah, sedang dan akan terus berubah ini? dapatkan digambarkan seperti apakah
itu? Lalu, tokoh Alkitab manakah yang pantas dijadikan teladan, acuan hidup
kita?
Saudara/i yang dikasihi dan
mengasihi Yesus Kristus, di antara banyak tokoh yang terdapat di dalam Alkitab,
hanya dua tokoh yang akan kita bahas di sini berkaitan pembacaan Alkitab kita
pada saat ini.
Tokoh pertama, Daud. Daud adalah
anak kedelapan dari delapan bersaudara alias anak bungsu dari keturunan Isai,
ia paling krucu dan bekerja sebagai penggembala kambing domba di daerah
Betlehem. Akan tetapi TUHAN Allah mengutus Samuel pergi ke Betlehem untuk
mencari pengganti raja Saul; mencari seorang anak TUHAN dari keturunan Isai
yang dipilih, diurapi menjadi raja atas Israel (ay. 1-3).
Hal menarik dari kisah pemilihan
TUHAN Allah atas Daud ini adalah bahwa terpilihnya Daud menjadi raja atas
Israel bukan karena koneksi atau relasi. Bukan juga karena kepandaiannya
menyusun strategi dalam pemilihan raja, tidak kampanye, tidak berkompromi dan
tidak mengambil hati rakyatnya. Sebaliknya ia dipilih dan diurapi TUHAN Allah
semata-mata adalah karena hati nuraninya yang bersih dan takut akan TUHAN.
Dalam ay. 7 C berfirmanlah TUHAN Allah kepada Samuel “…. Manusia melihat apa
yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Ini berarti, TUHAN Allah
memilih pemimpin baru bukan di lihat dari fisik tubuhnya, bukan karena Daud banya doi, bukan banyak jabatan dari
keturunan raja. Sekali lagi tidak demikian! Ia melihat hati nurani, pemberian
diri pemimpin untuk menjadi saluran berkat bagi keluarga, umat dan negara.
Itulah Daud, raja Israel yang diurapi untuk maksud-Nya dalam pemerintahan
Kerajaan Allah di bumi. Raja yang memberi berkat, bukan mencari berkat!
Kemudian, melalui keturunan Daud inilah akan muncul Raja di atas segala raja,
yakni Yesus.
Tokoh kedua di sini adalah hamba
TUHAN. Atau dalam bahasa Ibraninya disebut ebed
yahweh. Mengapa tokoh ini dijadikan
acuan? Marilah kita melihat kembali yang tertulis dalam I Petrus 2:16 yang
berkata : “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang
menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka,
tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” Ini bererti sandaran, landasan, dan
sumber keabsahan dari eksistensi kita adalah karena TUHAN yang menetapkan,
memilih, mengurapi dan mengutus saudara/i dan saya menjadi hamba-Nya.
Di tahun 2013 ini, jika Yesus
Kristus mau pakai torang samua
menjadi hamba-Nya, ini berarti bukan karena kehebatan, kecerdikan dan
kecerdasan kita saja, melainkan karena Ia mau mengatakan “inilah hamba-Ku,
orang pilihan-Ku.” Kita bisa tidak terlihat, kecil, minoritas, lemah dan tak
berdaya karena sistem yang tidak membebaskan dan tidak memerdekakan. Namun
kalau TUHAN berkenan, kalau Ia pakai torang
samua menjadi alat berita Injil keselamatan-Nya bagi dunia ini maka kita
dikuasai Roh Kudus.
Kita, hamba-Nya memang hanyalah
bejana tanah liat yang muda rentan, lemah dan pecah. Bahkan kia hanyalah
musafir yang sedang menggembara. Akan tetapi, bila TUHAN Yesus berkenan memilih
anak di tengah keluarga, suami, istri, orang tua untuk menjadi pemimpin dan
saksi-Nya bagi gereja dan negara, maka kekuatan Roh Kudus akan melimpah ruah di
hidup saudara/i dan saya. Sehingga haruslah siap!
Adapun ungkapan bijak dari seorang
ayah yang berkata “biar dorang tutup satu
lobang di tampa ini, pada hari ini, maar percayalah di dalam Yesus Kristus
bahwa akan muncul banya lobang di tampa laeng, di kamudian hari.” Artinya,
hari ini, di tanah Minahasa ini di mana usaha, bisnis, pekerjaan, pelayanan dan
sikap baik kita tidaklah ada artinya bagi kebanyakan orang, namun kelak,
percayalah di dalam Yesus Kristus bahwa kita di kemudian hari, di tempat lain
akan memberi arti, makna dan kontribusi yang besar bagi banyak orang, di mana
TUHAN telah mengutus, merencanakan masa depan yang terbaik bagi kehidupan kita
dan keluarga kita.
Mungkin ladang TUHAN juga tidak
hanya terbatas di tanah Minahasa ini. lebih mulia lagi kalau identitas
primodial Minahasa (misalnya) di bawa ke tanah rantau sebagai musafir, sebagai
saksi-Nya di setiap pekerjaan yang kita tekuni, yang telah Ia anugerahkan
kepada kita melalui sikap mengasihi orang lain, yang bukan hanya terbatas pada
orang Kristen saja, melainkan mengasihi mereka yang beragama lain maupun yang
tidak beragama. Karena pada mulanya, TUHAN itu mengasihi dan baik kepada semua
orang.
Lalu, untuk apa Yesus Kristus
memberi Roh Kudus ke atas hamba-hamba-Nya? agar supaya setiap orang percaya
menjadi pemimpin (baik di gereja maupun di dalam negara ini) tidak menjadi
orang yang lupa diri. Tidak seperti kacang yang lupa dengan kulitnya. Namun
karunia Roh Kudus ini mengantarkan setiap kita di dalam hukum kasih Allah.
Artinya, melakukan kasih, keadilan, kebenaran dan kerendahan hati. Belajar kerendahan
hati ini berarti hamba Allah, menjadi pemimpin Kristen, maka ia haruslah
seperti Daud, yang taat, setia bakan takut akan TUHAN. Dan ibarat juga padi
yang makin hari, makin ber-isi dan makin merunduk. Kerendahan hati inilah
mengajarkan perlu adanya rekonsiliasi, misi perdamaian di tubuh UKIT GMIM.
Semoga ada jalan keluar untuk masa depan bersama.
Ya, walaupun seperti kita tahu bersama
bahwa menjadi pemimpin, hamba Allah itu ada konsekuensinya. Di mana harus
menderita. Kalau orang Kristen di tanah Minahasa ini mau menjadi gereja yang misioner
yang siap ke surga, menjadi hamba-Nya yang memberi berkat, maka ia tidak boleh
takut menderita. Sehingga, makin ia dibabat maka ia haruslah makin merambat.
Yang paling penting, bukan menderita sekedar menderita atau so asal torang mandarita. Bukan juga
menderita karena terpaksa “apa boleh buat, haruslah menderita, tidak demikian!
Terdapat benang merah dari PL ke PB,
akan tetapi di tengah benang tersebut ada kisah historis karya Yesus Kristus.
Ia merangkul seluruh penderitaan. Rela dan ikhlas menderita, menjadikan
diri-Nya sebagai korban atas kebijakan pemerintahan Romawi pada waktu itu;
menjadi korban, mati di kayu salib demi karya keselamatan dan pembebasan bagi
dunia ini, terutama bagi umat manusia.
Dan oleh sebab itu, di tahun 2013 di
minggu pertama bulan Februari ini, muncul pertanyaan untuk kita refleksikan
bersama firman TUHAN ini melalui pertanyaan “apakah kita sudah menjadi
pemimpin, hamba Allah yang memberikan teladan yang baik bagi keluarga, gereja
dan negara kita? Mengapa demikian?
Semoga, Yesus Kristus menolong
saudara/i dan saya di setiap usaha dan karya. IMANUEL. Amin.
Manado, 3 Februari 2013
18:00
Nency A Heydemans Moningka
Khotbah di GMIM Bukit Karmel
Batukota
Jumat, 04 Januari 2013
Akhir Sebuah Kejayaan Keluarga
Perayaan Hari Basar dan Tahun Baru disiapkan selama sebelas
bulan,
Seminggu
pelaksanaan perayaan dan bertahun-tahun
pemulihan ekonomi.
Jam dinding
menunjukkan pukul sebelas malam, semua tamu telah berlalu, tinggal pak tua duduk
terpaku di kursi kejayaan. Kebisuan malam melandanya, angin seakan malu-malu
menghembus diwajahnya yang telah ditinggalkan tamu. Kusam memang jika duduk
sendirian tanpa kawan. Kursi berserakan tak menentu, dihiasi sampah yang siap
menunggu untuk disapu.
Keesokan
harinya, beberapa sanak keluarga ikut membantu membersihkan piring, mengangkat
gelas, mengumpulkan sendok menuju dapur. Kemudian, sisa-sisa makanan menjadi
padu di tempat sampah. Rumah yang megah berubah menjadi syahdu penuh hiasan
sampah. Tiada lagi tamu yang duduk atau berdiri di situ. Kue-kue natal telah
habis di dalam toples, minuman ringan maupun minuman berat menjadi bocor dari
botolnya, pohon terang plastik perlahan-lahan mulai dibongkar, lampu hiasan
seakan mati dikejar waktu, kembang api puluhan juta rupiah melaju terbang
dibasahi hujan yang kering. Semuanya ini menandakan kemeriaan perayaan Hari Basar dan Tahun Baru telah menjadi
kenangan di masa kejayaan.
Seminggu
yang lalu, rumah orang nomor satu ini sangat ramai dan dipadati tamu yang
berpenampilan mewah. Tak ketinggalan, tuan rumah mengenakan baju model terbaru
dengan harga roket. Tetangga, kenalan, teman kantor, sanak-saudara datang
berkunjung sebagai bentuk silaturahmi. Pelbagai macam makanan tertera di atas
meja beralaskan kain merah-hijau itu. Menu makanan sangat mengiurkan
pengunjung. Para artis dadakan lokal mulai bermunculan diperayaan itu. Tembang lagu terdengar di seluruh penjuru,
berkat alunan dari sang pianis.
Sambil
mendengar alunan musik itu, para tamu berbondong-bondong menuju meja makan yang
sarat kolestrol, diabetes, darah tinggi dan asam urat. Padat peminat sampai
bersesakan di samping meja yang sarat pilihan menu. Kemudian mereka memilih-milih
makanan dengan ragu, alasan pola makan yang sehat. Segera setelah itu, mereka melahap
makanan dengan seru tanpa rem tangan. Kali ini, terdengar piring, sendok dan
gelas beradu. Bercampur canda tawa para tamu dan si Pak Tua tersebut.
Sebelas
bulan yang lalu, Pak Tua sibuk mengumpul dan mengatur perayaan itu. Ia pun
bekerja keras, uang tabungan dialih fungsi menjadi bisnis kecil-kecilan. Ia
adalah seorang ayah yang diktaktor pada anak-anaknya. Apapun perintah dari sang
ayah, maka anak harus tunduk dan menjalankan perintahnya dengan berat hati.
Hari ini, ayah bekerja sebagai pegawai negeri dan juga pebisnis. Meskipun ia
sering mementingkan diri sendiri, suka mabuk namun ia memegang andil dalam
pendidikan anak-anaknya. Anak-anak ingin sekolah, maka ia bekerja keras untuk
membiayai pendidikan mereka. Alhasil, semua anaknya berhasil dalam studi.
Sementara
sang istri sibuk mengatur menu, mengatur keuangan dan pakaian yang akan yang
dipakai di Hari Besar itu. Mulai dari ayah sampai dengan anak-cucu, mengatur
kecantikan rumah dan pesonan dandanan. Anak sulung ikut membantu secara
finansial. Sedangkan anak yang bungsu ambil bagian menghubungi pianis, MC agar
supaya perayaan berjalan dengan meriah. Tak ketinggalan, keaktifian sang cucu
menjadi pusat perhatian keluarga ini.
Sebenarnya,
perayaan ini sudah menjadi kebiasaan keluarga Pak Tua setiap akhir tahun. Kala
itu, ia memegang jabatan pemerintahan sehingga status sosialnya ikut meroket.
Kekuasaan, jabatan, kedudukan, nama baik, mengiring harta kekayaan yang
melimpah ruah. Selama dua puluh tahun, ia membeli tanah di pelbagai tempat,
rumah, sapi, babi, mobil, investasi yang lumayan banyaknya. Pikirnya, semua
harta benda ini cukup untuk generasi ke empat. Sementara sang istri sibuk karir
ini dan itu. Mulai dari kesibukan di rumah sampai di depan publik. Dengan
sendirinya nama baik keluarga Pak Tua ini menjadi terpandang, dihormati
meskipun kebudayaan setempat tidak mengenal sistem Kerajaan.
Pak Tua
pun menghitung waktu. Tahun ini adalah masa pensiun. Bisnis bangkrut. Namun ia
memastikan perayaan Hari Basar dan
Tahun Baru ini sama seperti beberapa tahun yang lalu. Ada pesta, ada kemeriaan
kembang abi, ada pembagian donat (baca: doi
Natal). Perlahan-lahan ia mulai menghitung ternaknya untuk di jual. Memastikan
rumahnya masih berjumlah enam, dan semuanya di gadai. Tak lupa Pak Tua pun ikut
menghitung jumlah hektar tanah yang akan dibeli oleh investor asing. Menaksir
jumlah rupiah dari penjualan mobil yang tujuannya hanya satu. Yakni memenuhi
kebutuhan hidup di perayaan itu. Perayaan sebagian orang Kristen menyebutnya
“perayaan setahun sekali; sekali pemborosan.”
Gaya hidup konsumtif yang telah jauh dari kesederhanaan makna Hari Basar dan Tahun Baru.
Tak
terasa, hari demi hari berlalu begitu cepat. Pak Tua dan istrinya semakin
kencang berburu. Berpacu keperluan di sela waktu yang singkat. Perayaan tahun ini
haruslah meriah demi nama baik dan martabat keluarga. Dengan mengecek seluruh
persiapan maka tibalah waktunya. Galau muncul di tengah malam sebelum ia
memejamkan mata. Sambil menarik nafas panjang di sela himpitan ekonomi
keluarga.
Parayaan
Hari Basar telah tiba. Pagi itu,
semua keluarga Kristen bergegas ke gedung gereja. Ada yang menonjol dalam
ibadah, Nah apakah itu? Banyak burung gereja muncul sehingga dibuatlah tenda,
kursi tambahan yang begitu banyak. Ada yang memakai sepatu baru, penampilan baru,
dan baju model terbaru. Namun ada yang lupa, Nah apa lagi itu? Ternyata keluarga
Pak Tua lupa membawa persembahan syukur karena telah disibukkan dengan
penampilan yang serba mewah dan persiapan makanan di rumah yang tak kalah
megahnya.
Tak lama
kemudian, ibadah usai. Semua pulang ke rumah masing-masing. Pak Tua langsung
mengecek persiapan perayaan Hari Basar
telah disiapkan dengan begitu baik. Ia
menyambut perayaan ini dengan open house.
Tak lama kemudian teman, tetangga, sanak saudara mulai datang. Ada yang membawa
keluarga mereka, ada pula membawa kerabat masing-masing. Lama-kelamaan rumah
ini dikerumuni banyak orang, halaman rumah menjadi alternatif tambahan.
Otomatis, sewaan kursi plastik meningkat diluar dugaan. Hidangan makan malam
hampir melewati target. Kembang api puluhan juta rupiah menghiasi langit yang
mendung itu. Dari kejauhan, langit melotot melihat perbuatan aneh manusia itu.
Selama
satu hari itu, Pak Tua dan keluarganya bak selebritis top tahun itu. Tidak
jemu-jemu para tamu memandang orang yang menjadi nomor satu. hmmmm, mendapat perhatian orang sebanyak
ribuan. Makan-minum; nyanyian merdu-diskusi; sampai dengan keceriaan tawa turut
mengiringi kegembiraan para tamu. Kegembiraan ini pun turun menyelimuti
perayaan Tahun Baru. Semua orang memuji pesta perayaan Pak Tua ini yang melebih
batas langit. Kerja keras dan pengorbanan harta benda Pak Tua terbayar dengan
rasa pujian sampai di langit biru.
Namun
saat ini, Pak Tua sedang mengambil langkah seribu. Di balik rasa kebahagiaan
dan haru pujian, Pak Tua mulai menyadari kemiskinannya. Dari masa kejayaan
menuju pada masa kemelaratan. Ia mulai teringat akan ternak, tanah, dan mobilnya.
Belum lagi, enam rumahnya yang telah di gadai. Ditambah sisa-sisa utang bank
yang harus dibayar dan mungkin Pak Tua tak mampu membayarnya. Pak Tua sedang
masuk dalam masa peralihan. Dari masa Pencerahan menuju masa kegelapan.
Andai
saja ia tidak mengadakan perayaan Hari Basar dan Tahun Baru semeriah itu. Cukup
dilakukan dengan kesederhanaan setelah ibadah di gedung gereja. Mungkin ia bisa
mengumpulkan modal untuk bangkit dalam bidang bisnis. Menyimpan uang untuk
kesehatan di hari tuanya. Mensyukuri kehidupan yang tidak lagi di atas langit
melainkan telah berputar di bawah bumi. Namun sayangnya karena gengsi, Pak Tua
telah bernafsu. Perayaan itu dijadikan alasan untuk menjadikan dirinya orang
nomor satu di daerah itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya.
Di depan
kaca rumah itu, Pak Tua duduk termangu. Ia mulai sadar bahwa nantinya ada orang
yang akan menyita rumahnya. Akhirnya, ia terpaku bahwa dirinya bukanlah orang
nomor satu di daerah itu. Dia hanyalah satu dari keluarga Kristen yang
merayakan perayaan itu, dengan cara yang berbeda. Tiba-tiba saja, ia terbangun
dari lamunannya. Dan ingin rasanya kembali seperti dulu lagi. Ya mengubah
waktu, dan keputusan perayaan-nya yang salah kaprah.
Manado,
4 Januari 2012
23:15
Nency A Heydemans-Moningka
Langganan:
Postingan (Atom)