Mencari nafkah berkaitan dengan
kesejahteraan keluarga. Masalah nafkah keluarga akan teratasi jika saya menikah
lagi. Nah, jika saya menikah maka tidak ada lagi orang yang memandang sepele
atau sebelah mata. Di bagian ketiga ini saya mau menceritakan bagaimana mama
Naomi mendorong saya untuk berumah tangga bahkan ia turut berpartisipasi
memilih pendamping hidupku. Siapakah laki-laki yang beruntung itu? Dialah Boas,
laki-laki yang dikenal baik oleh mama Naomi. Sebenarnya sih yang beruntung
bukan hanya Boas saja, melainkan saya bersama mama Naomi. Lihat saja kekayaan
Boas yang berlimpah ruah, pribadi yang mengesankan, takut akan TUHAN, berbudi
luhur, penuh perhatian dan bertutur kata lembut. Bagi banyak perempuan, lelaki
seperti Boas merupakan kriteria idaman calon suami.
Sebelum mama Naomi ingin menjodohkan
saya dengan Boas, sang majikan tersebut. Sebenarnya sih, diam-diam saya mencari
tahu pribadi Boas. Ia seorang duda. Ia pernah menikah sekali kemudian istrinya
meninggal dunia karena sakit. Dan inilah kesempatan bagi Naomi memerintahkan
saya untuk pergi ke tempat pengirikan milik Boas.
Apakah ini skenario untuk
memerintahkan saya menemui Boas di tempat itu? Mengingat, ini sudah larut malam
dan tidak lazim jika seorang janda muda seperti saya pergi ke tempat pengirikan
itu. Saya diperintahkan untuk berdandan
cantik, memakai wewangian dan ikut masuk di tempat tidur Boas. Menemaninya saat
ia tidur pulas. Saya pun berbaring di bawa kaki Boas sesuai perintah sang mama
Naomi.
Sebenarnya dalam batin ini timbul
kegelisahan sebagai perempuan asing. Kegelisahan di mana saya harus keluar malam apalagi tempat pengirikan jauh
dari keramaian kota. Bisa-bisa saya menjadi korban seksual dan atau kejahatan
orang yang tidak dikenal. Sebuah perintah yang memberi rasa ketidak-nyamanan.
Jujur, ini menjadi petualanganku yang beresiko tinggi. Keamanan dan kenyamanan
sebagai perempuan di pertaruhkan demi sebuah skenario sang mertua.
Ketika Boas tertidur lelap di dekat
timbunan jelai tempat pengirikan, saya ikut menemaninya malam ini. Saya tidak
keberatan tidur malam bersamanya karena saya benar-benar jatuh hati padanya.
Dari semula saya menyimpan perasaan cinta yang makin hari, makin bergelora.
Saya bahkan melakukan perintah sang mertua demi cinta dan mungkin saja, saya
bisa mendapat keturunan darinya. Namun kejadian malam itu, menjadi kesempatan
saya mendapat belas kasih dari sang kekasih. Kesempatan dibalas dengan kebaikan
hatinya. Ya, saya merasa aman didekatnya, seakan mendapat perlindungan yang
hangat.
Saya menyebutnya sebagai penebus. Kok
penebus? Pikir saya ia bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku dari
kemiskinan sehingga kewajiban sosial untuk menikahi saya menjadi
tanggungjawabnya. Dalam percakapan malam itu, saya bertindak sopan dengan suara
merendah, namun bermartabat. Berharap belas kasihnya. Saya memperhatikan Boas
belum menanggapi pernyataan saya tadi. Ia hanya memerintahkan saya tidur
bersamanya dan pulang keesokan pagi, sebelum semua orang bangun pagi. Ini
menjaga citra kami bersama sebagai orang terhormat. Dulu, Boas memberi jelai
secara tak langsung lalu saya memunguti jelai tercecer dengan leluasa. Namun
sekarang, Boas memberinya langsung. Disini ada peningkatan hubungan. Saya
pulang tidak dengan tangan kosong, sehingga ini menjadi pertanda bahwa
kedatanganku tidaklah sia-sia. Atau dengan kata lain, ada signal baik hubungan
kami ke depan.
Manado, 12 Juli 2012
14:40
Nency
A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar