Musim panen hasil
pertanian tidak saya sia-siakan. Saya memohon izin mama Naomi untuk pergi
memungut sisa tuaian jelai yang tercecer. Ini menjadi cara terhormat orang
miskin (seperti saya) menyambung hidup. Menurut Taurat, yang termasuk kategori
miskin adalah pendatang, anak yatim dan janda. Saya termasuk dalam kategori ini
dan berhak untuk menikmati hasil ladang. Pemilik ladang tak boleh serakah saat
panen. Cukup memetik hasil panen sekali, tidak memanennya lagi hingga bersih.
Bulir-bulir jelai yang tertinggal atau tercecer
di ladang adalah hak orang miskin, dan kami tidak perlu meminta izin
terlebih dahulu untuk memungutnya. Mengapa? Karena sisa bulir-bulir jelai
adalah hak kami orang yang termarginalkan oleh budaya.
Di musim raya ini, saya
mempunyai semangat bekerja dalam rangka menyambung hidupku dan mama Naomi. Ya,
saya bekerja di ladang Boas, saudara papa mertua dari kaum Elimelekh yang kaya
raya itu. Ketika menapaki jalan yang berbatu-batu ini, saya memandang ladang
yang luas, siap panen dan banyak pekerja sibuk memanen. Awalnya, saya tidak
mengetahui kalau pemilik ladang ini adalah Boas. Yang hanya ada dalam pikiranku
adalah bekerja, memohon belas kasih dari si pemilik lahan; ya memohon hak sang
janda muda yang miskin ini.
Saya memperhatikan ada
pembagian kerja hasil panen. Ada penuai dan pengawas penuai semacam mandor.
Ladang ini sangat luas. Namun kehadiran saya sebagai seorang perempuan asing di
antara pekerja-pekerja perempuan pribumi sangat menarik perhatian sang pemilik
ladang, Boas.
Boas cukup lama memandang
gerak tubuh dan kecantikan saya. Tak puas dengan pendangan matanya itu, tiba-tiba
ia bertanya kepada sang mandor mengenai asal usul saya. Terdengar jelas sang
mandor berkata bahwa perempuan miskin yang sedang memungut jelai dari pagi
sampai sore ini adalah menantu Naomi yang bernama Rut. Mendengar pembicaraan
mereka tentang diri saya, maka saya langsung bergeser sedikit lebih jauh sambil
tetap terus bekerja.
Tak terasa pekerjaan
dihari pertama membawakan banyak hasil. Semangat yang berkobar dalam relung
hati ini menunjukkan bahwa saya seorang janda muda perempuan asing mampu
bekerja demi kelangsungan hidup ini; mampu bersaing mengumpulkan lebih banyak jelai
dibandingkan dengan pekerja perempuan pribumi lainnya.
Sore ini, saya bisa membawa pulang seefa jelai banyaknya,
cukup untuk makan sedikitnya setengah bulan ke depan bersama mama Naomi. Melihat
hasil kerja perdana saya diberkati TUHAN maka mama Naomi memberikan nasehat
bahwa saya harus bekerja di ladang Boas sepanjang panen raya ini. Dengan
demikian, saya melakukan nasehat tersebut selama dua bulan ke depan, sampai
hasil panen usai.
Namun seiring waktu berlalu, makanan
yang terkumpul cepat atau lambat akan habis. Dengan berakhirnya musim panen
maka pekerjaan memungut jelai ikut berakhir juga. Hal ini menjadi masalah
sekaligus ancaman dalam pekerjaan saya ke depan. Terasa berat hidup tanpa
suami. Tak habis pergumulan dalam hidupku. Pergumulan jangka panjang mengenai
kebutuhan hidup setiap hari bersama mama Naomi menghantui pikiranku. Dengan
kata lain, mencari nafkah menjadi ‘kuk’ yang saya pikul di tengah keluarga ini.
Di manakah saya harus bekerja jika
hasil panen raya telah usai? Kesejahteraan saya adalah juga kesejahteraan mama
Naomi. Untuk itu, bagaimana kisah mencari nafkah ke depan, akan saya utarakan
di bagian berikutnya.
Manado, 10 Juli 2012
24:00
Nency A Heydemans Maramis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar