Ada pepatah yang mengatakan “tak dikenal, tak disayang”
dan oleh karena itu saya akan memperkenalkan diri. Nama saya, Rut anak
perempuan Moab yang lahir di zaman para hakim-hakim sekitar 13 SM. Ayah dan ibu
saya tidak diceritakan di sini. Namun jika ditelusuri dari tempat asal saya
berada menunjukkan bahwa saya adalah keturunan Lot dengan kedua putrinya,
hubungan terlarang dalam goa menghasilkan bangsa Moab. Benar saya, perempuan
Moab tidak mengenal TUHAN.
Pada zaman ini sistem patriarki menjadi produk yang mau
tak mau silsilah saya tidak dituliskan. Meskipun demikian tidak membuat hatiku
patah semangat di telan zaman. Kisah hidup saya dirajut dalam empat pasal
dengan harapan bisa dibaca di segala zaman dan abad. Dengan harapan kedua,
tulisan saya ini bisa masuk dalam kanonisasi alkitab sejajar dengan para
penulis yang berjenis kelamin laki-laki, pikir optimisku. Ya, menjadi kontribusi
bagi kaum perempuan dan laki-laki untuk menciptakan nuansa hidup setara sebagai
makhluk ciptaan TUHAN; sekaligus juga perempuan mendapat andil dalam kisah
perjalanan bangsa Israel memperoleh penebus umat manusia.
Adapun kisah yang menjadi pergumulan batin kala mengenal
TUHAN yang disembah keluarga besar suamiku yang berasal dari Betlehem. Mari
menelusuri kisah kasih saya bersama Naomi, sang mertua:
Hampir semua
daerah terjadi kelaparan besar-besaran. Dalam masyarakat agraris, kelaparan
menjadi bencana bagi kehidupan ekonomi dan sosial. Namun di sinilah Moab sejahtera.
Sebenarnya, Moab bukan nama ayah saya. Moab merupakan sebuah kota di dataran
tinggi sebelah Timur Laut Mati dan sebelah Utara Arnon. Dari daerah perbukitan
terlihat jelas tanah Moab yang subur dengan pelbagai tumbuh-tumbuhan hijau. Tanah
ibu pertiwi saya menjanjikan kehidupan yang lebih baik sehingga tak
mengherankan banyak pendatang di daerah ini.
Saya orang Moab yang menyembah Kamos. Kamos dikenal
sebagai dewa kekejian. Kepercayaan saya ini menjadi ‘luntur’ ketika berkenalan
dengan Mahlon. Siapakah dia? Mahlon yang saya kenal adalah orang yang baik hati
dan suka bekerja di ladang. Perkenalan ini menuju pada tindak lanjut hubungan
pernikahan beda agama. Nah, Bagaimana saya bisa mengenal Mahlon lebih lanjut
termasuk keluarganya?
Mahlon bersama keluarga besarnya berasal dari
Betlehem-Yehuda. Kelaparan menjadi bencana bagi kelurganya untuk mengungsi dan
menetap di daerah Moab. Awalnya saya mengenal dia sebagai pendatang asing yang
takut akan TUHAN. Maka mulailah muncul benih-benih cinta di antara kita berdua.
Ayah dan ibunya bernama Elimelekh dan Naomi. Ia memiliki seorang adik lelaki
yang bernama Kilyon. Kemudian Kilyon mendapat istri orang Moab yang bernama
Orpa; begitu juga saya mendapatkan kakaknya, Mahlon.
Sebagai warga pendatang, seringkali suamiku dan keluarga
dipandang sebagai warga kelas dua dengan hak-hak terbatas seperti hak
kepemilikan tanah, pernikahan, hukum, partisipasi publik dan kewajiban
berperang. Untuk kehidupan sehari-hari, mereka mengandalkan kebaikan hati
penduduk setempat. Melalui kebaikan hati saya inilah maka saya prihati dengan
nasib keluarga besar suamiku.
Tak menyangka TUHAN memberikan bencana dalam keluarga
besar kami di negeri ini. Kematian papa mantu lalu diikuti Kilyon dan lebih
menyakitkan hati, suamiku tersayang meninggalkanku selama-lamanya. Sejenak saya
merenungkan, apakah TUHAN-nya sedang menguji iman keluarga kami yang sudah
sepuluh tahun tinggal di Moab? Ataukah TUHAN sedang murka? Apakah kami tidak
setia mengikuti ibadah kolektif meskipun di negeri asing? Inilah yang menjadi
pergumulan keluarga yang menerpah saya, Naomi dan Orpa. Pergumulan keluarga
menjadikan kami senasib-sepenanggungan terlebih Naomi yang sudah saya anggap
seperti mama saya sendiri.
Saya sendiri tak kuasa melihat penderitaan mama Naomi.
Lebih tak kuasa lagi ketika ia memerintahkan agar saya dan Orpa kembali ke
rumah orang tua kami masing-masing. Saya sangat memahami pergumulan batin mama
Naomi. Hidup sendirian, ditinggalkan suami dan kedua anak laki-laki yang
tercinta. Di usia rentan, ia tak mau menjadi beban bagi kami, beban anak
menantunya. Ia merasa pesimis dengan masa depan hidup yang tidak jelas. Dalam
ketidakjelasan lalu ia memerintahkan saya dan Orpa yang telah berstatus janda
muda, tanpa keturunan pergi meninggalkannya.
Bagi Orpa, inilah kesempatan besar untuk melanjutkan
hidup, berketurunan dan kembali kerumah orang tuanya. Sebaliknya, saya tidak melakukan
perintah mama Naomi. Mengapa demikian? Karena mama Naomi sudah seperti saya
katakan di atas, adalah juga mama saya meskipun ia tidak melahirkanku namun ia
adalah tanggungjawabku seutuhnya. Tanggungjawab ini terpatri kala saya
memperoleh identitas baru melalui penyembahan kepada TUHAN orang Israel,
kemudian saya sudah bertekad untuk ikut mama Naomi pulang kampung,
mendampinginya hingga akhir hayat, dan dikubur di Betlehem.
Menyaksikan sikap keras kepala saya, mama Naomi tidak
tahu harus berkata apa lagi. Terlihat ia terdiam. Terharu (?) atau, kurang
senang? Yang jelas, ia ingin lepas dari Moab, gara-gara tinggal di Moab semua
anggota keluarganya meninggal. Moab baginya adalah kematian. Kemalangan. Tempat
naas. Negeri yang hanya menyisakan kegetiran. Oleh karena Moab, TUHAN menjadi
lawan keluarga kami. Inilah hukuman TUHAN selama sepuluh tahun lamanya.
Mama Naomi kecewa kepada TUHAN dan juga kepada saya. Kok
saya mash kena getahnya? Karena saya masih membuntutinya hingga tiba di
Betlehem. Pernyataan mama Naomi bahwa dirinya pulang dengan kosong sebenarnya
agak mengherankan. Coba anda lihat bahwa saya disampingnya pada saat itu. Akan
tetapi, itulah mama Naomi yang masih dirundung sedih, terutama kedua putranya
baru saja meninggal. Sangat jelas dua masalah besar menghayuti pikirannya.
Pertama, tidak jelas siapa yang akan menjamin nafkahnya. Kedua, tidak ada yang
mengabadikan nama keluarga di atas tanah warisan. Dari kedua masalah itu,
komitmen saya tidak luntur dan makin tak diragukan kesetiaan saya kepadanya.
Saya memahami posisi perempuan pada saat ini di mana
belum masuk hitungan dan belum dihargai. Apalagi posisi menantu tidak penting
dalam masyarakat patriakhi. Mungkin mama Naomi masih trauma dengan Moab. Tiap
kali memandangku, yang terbayang adalah wajah almarhum putra tercintanya. Kendati
segala sesuatu masih terasa gelap, kepulanganku bersama mama Naomi di Betlehem
menjadi langkah awal positif bagi masa depan bersama.
Seandainya saya tinggal di Moab, tak ada kisah dalam
kitab Rut ini. Kepulangan kami berdua menambah coretan keturunan sejarah
Israel. Meskipun nama kami tidak masuk
dalam silsilah sejarah Israel. Mengingat kisah silsilah Israel hanya ditarik
dari garis kaum bapa. Hematnya, inilah kami, ibu- ibu Israel yang memberi
keturunan melalui rahim, meskipun tidak dimuat (bahkan tidak masuk hitungan)
dalam silsilah Israel namun dengan rahim kami maka lahirlah penebus umat
manusia.
Kini, kota Betlehem menyambut dengan tangan terbuka.
Lihat saja, kami tiba di sini bertepatan dengan panen jelai. Perayaan panen
merupakan suasana gembira masyarakat saat memaknai kebaikan dan kemurahan
TUHAN. Perayaan ini menjadi harapan baru bagi mama Naomi. Siklus menabur dan
menuai menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Itulah makna universal
TUHAN bagi umat-Nya. Ya, termasuk saya dan mama Naomi kala memulai hidup baru
dalam kasih tangan TUHAN.
Manado, 4 Juli 2012
14:00
Nency A Heydemans Maramis