I Samuel 16:1-13 dan I Petrus 2:11-17
Syaloom,
malam bae bagi kita sekalian. Tema yang
akan kita renungkan di sepanjang bulan Februari ini adalah kekuasaan Allah. Kita
tahu bersama, khususnya umat Kristen di Indonesia sedang berada di tengah
proses perubahan yang cepat dan luar biasa. Bagaikan banjir di Jakarta dua minggu lalu yang tiba-tiba datang tanpa di
undang dan tak dapat dicegah. Bagaikan tanah longsor yang terjadi di tanah
Minahasa seminggu yang lalu, yang tidak dapat dihindari kemacetannya. Kita
dibuat terkesimah, panik akan kedahsyatan kuasa Allah dalam alam ini yang
menerpah umat manusia.
Perubahan luar biasa itu, menerjang
kita dari beberapa aras, pada aras modial atau sedunia, kita sedang dilanda
dengan gelombang besar yang disebut dengan globalisasi. Pada aras nasional,
kita sedang menyaksikan perubahan kekuasaaan parta politik yang terjadi di
negara kita. Dan juga pada aras gereja, di akhir tahun ini, GMIM akan
diperhadapkan dengan pemilihan pelayanan khusus (pelsus) dan kompelka BIPRA.
Sehinga apa yang terjadi di tengah-tengah perubahan yang cepat ini (?). Ada
beberapa orang yang mulai bangun dari imajinasinya dan bertanya, dalam situasi
yang telah berubah ini, bagaimana seharusnya kita menghadirkan kekuasaan Allah,
menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah keluarga, gereja dan negara yang
telah, sedang dan akan terus berubah ini? dapatkan digambarkan seperti apakah
itu? Lalu, tokoh Alkitab manakah yang pantas dijadikan teladan, acuan hidup
kita?
Saudara/i yang dikasihi dan
mengasihi Yesus Kristus, di antara banyak tokoh yang terdapat di dalam Alkitab,
hanya dua tokoh yang akan kita bahas di sini berkaitan pembacaan Alkitab kita
pada saat ini.
Tokoh pertama, Daud. Daud adalah
anak kedelapan dari delapan bersaudara alias anak bungsu dari keturunan Isai,
ia paling krucu dan bekerja sebagai penggembala kambing domba di daerah
Betlehem. Akan tetapi TUHAN Allah mengutus Samuel pergi ke Betlehem untuk
mencari pengganti raja Saul; mencari seorang anak TUHAN dari keturunan Isai
yang dipilih, diurapi menjadi raja atas Israel (ay. 1-3).
Hal menarik dari kisah pemilihan
TUHAN Allah atas Daud ini adalah bahwa terpilihnya Daud menjadi raja atas
Israel bukan karena koneksi atau relasi. Bukan juga karena kepandaiannya
menyusun strategi dalam pemilihan raja, tidak kampanye, tidak berkompromi dan
tidak mengambil hati rakyatnya. Sebaliknya ia dipilih dan diurapi TUHAN Allah
semata-mata adalah karena hati nuraninya yang bersih dan takut akan TUHAN.
Dalam ay. 7 C berfirmanlah TUHAN Allah kepada Samuel “…. Manusia melihat apa
yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Ini berarti, TUHAN Allah
memilih pemimpin baru bukan di lihat dari fisik tubuhnya, bukan karena Daud banya doi, bukan banyak jabatan dari
keturunan raja. Sekali lagi tidak demikian! Ia melihat hati nurani, pemberian
diri pemimpin untuk menjadi saluran berkat bagi keluarga, umat dan negara.
Itulah Daud, raja Israel yang diurapi untuk maksud-Nya dalam pemerintahan
Kerajaan Allah di bumi. Raja yang memberi berkat, bukan mencari berkat!
Kemudian, melalui keturunan Daud inilah akan muncul Raja di atas segala raja,
yakni Yesus.
Tokoh kedua di sini adalah hamba
TUHAN. Atau dalam bahasa Ibraninya disebut ebed
yahweh. Mengapa tokoh ini dijadikan
acuan? Marilah kita melihat kembali yang tertulis dalam I Petrus 2:16 yang
berkata : “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang
menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka,
tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” Ini bererti sandaran, landasan, dan
sumber keabsahan dari eksistensi kita adalah karena TUHAN yang menetapkan,
memilih, mengurapi dan mengutus saudara/i dan saya menjadi hamba-Nya.
Di tahun 2013 ini, jika Yesus
Kristus mau pakai torang samua
menjadi hamba-Nya, ini berarti bukan karena kehebatan, kecerdikan dan
kecerdasan kita saja, melainkan karena Ia mau mengatakan “inilah hamba-Ku,
orang pilihan-Ku.” Kita bisa tidak terlihat, kecil, minoritas, lemah dan tak
berdaya karena sistem yang tidak membebaskan dan tidak memerdekakan. Namun
kalau TUHAN berkenan, kalau Ia pakai torang
samua menjadi alat berita Injil keselamatan-Nya bagi dunia ini maka kita
dikuasai Roh Kudus.
Kita, hamba-Nya memang hanyalah
bejana tanah liat yang muda rentan, lemah dan pecah. Bahkan kia hanyalah
musafir yang sedang menggembara. Akan tetapi, bila TUHAN Yesus berkenan memilih
anak di tengah keluarga, suami, istri, orang tua untuk menjadi pemimpin dan
saksi-Nya bagi gereja dan negara, maka kekuatan Roh Kudus akan melimpah ruah di
hidup saudara/i dan saya. Sehingga haruslah siap!
Adapun ungkapan bijak dari seorang
ayah yang berkata “biar dorang tutup satu
lobang di tampa ini, pada hari ini, maar percayalah di dalam Yesus Kristus
bahwa akan muncul banya lobang di tampa laeng, di kamudian hari.” Artinya,
hari ini, di tanah Minahasa ini di mana usaha, bisnis, pekerjaan, pelayanan dan
sikap baik kita tidaklah ada artinya bagi kebanyakan orang, namun kelak,
percayalah di dalam Yesus Kristus bahwa kita di kemudian hari, di tempat lain
akan memberi arti, makna dan kontribusi yang besar bagi banyak orang, di mana
TUHAN telah mengutus, merencanakan masa depan yang terbaik bagi kehidupan kita
dan keluarga kita.
Mungkin ladang TUHAN juga tidak
hanya terbatas di tanah Minahasa ini. lebih mulia lagi kalau identitas
primodial Minahasa (misalnya) di bawa ke tanah rantau sebagai musafir, sebagai
saksi-Nya di setiap pekerjaan yang kita tekuni, yang telah Ia anugerahkan
kepada kita melalui sikap mengasihi orang lain, yang bukan hanya terbatas pada
orang Kristen saja, melainkan mengasihi mereka yang beragama lain maupun yang
tidak beragama. Karena pada mulanya, TUHAN itu mengasihi dan baik kepada semua
orang.
Lalu, untuk apa Yesus Kristus
memberi Roh Kudus ke atas hamba-hamba-Nya? agar supaya setiap orang percaya
menjadi pemimpin (baik di gereja maupun di dalam negara ini) tidak menjadi
orang yang lupa diri. Tidak seperti kacang yang lupa dengan kulitnya. Namun
karunia Roh Kudus ini mengantarkan setiap kita di dalam hukum kasih Allah.
Artinya, melakukan kasih, keadilan, kebenaran dan kerendahan hati. Belajar kerendahan
hati ini berarti hamba Allah, menjadi pemimpin Kristen, maka ia haruslah
seperti Daud, yang taat, setia bakan takut akan TUHAN. Dan ibarat juga padi
yang makin hari, makin ber-isi dan makin merunduk. Kerendahan hati inilah
mengajarkan perlu adanya rekonsiliasi, misi perdamaian di tubuh UKIT GMIM.
Semoga ada jalan keluar untuk masa depan bersama.
Ya, walaupun seperti kita tahu bersama
bahwa menjadi pemimpin, hamba Allah itu ada konsekuensinya. Di mana harus
menderita. Kalau orang Kristen di tanah Minahasa ini mau menjadi gereja yang misioner
yang siap ke surga, menjadi hamba-Nya yang memberi berkat, maka ia tidak boleh
takut menderita. Sehingga, makin ia dibabat maka ia haruslah makin merambat.
Yang paling penting, bukan menderita sekedar menderita atau so asal torang mandarita. Bukan juga
menderita karena terpaksa “apa boleh buat, haruslah menderita, tidak demikian!
Terdapat benang merah dari PL ke PB,
akan tetapi di tengah benang tersebut ada kisah historis karya Yesus Kristus.
Ia merangkul seluruh penderitaan. Rela dan ikhlas menderita, menjadikan
diri-Nya sebagai korban atas kebijakan pemerintahan Romawi pada waktu itu;
menjadi korban, mati di kayu salib demi karya keselamatan dan pembebasan bagi
dunia ini, terutama bagi umat manusia.
Dan oleh sebab itu, di tahun 2013 di
minggu pertama bulan Februari ini, muncul pertanyaan untuk kita refleksikan
bersama firman TUHAN ini melalui pertanyaan “apakah kita sudah menjadi
pemimpin, hamba Allah yang memberikan teladan yang baik bagi keluarga, gereja
dan negara kita? Mengapa demikian?
Semoga, Yesus Kristus menolong
saudara/i dan saya di setiap usaha dan karya. IMANUEL. Amin.
Manado, 3 Februari 2013
18:00
Nency A Heydemans Moningka
Khotbah di GMIM Bukit Karmel
Batukota