Lukas 12:13-21
Syaloom,
Selamat memasuki awal minggu pertama di bulan Agustus ini. Tema perenungan di
minggu yang berjalan ini, yang disodorkan Sinode GMIM yakni “Bijak mengelola
kekayaan.” Sehingga muncul pertanyaan refleksi teologis dalam perenungan kita,
Apa yang dimaksud dengan kekayaan? Mengapa kita harus bijak mengelola kekayaan?
dan, manakah yang lebih penting, kaya harta atau kaya hati?
Kekayaan atau warisan, dan
atau dalam bahasa makatanah Minahasa menyebutnya juga budel merupakan berkat
dan anugerah yang TUHAN Yesus so kase
voor torang samua. Namun tidak
berarti warisanlah yang mengatur hidup manusia. Kekayaan atau warisan/budel
seringkali kita identikan dengan harta manusia. Baik berupa harta yang bergerak
seperti mobil, motor, sapi. Harta yang tidak bergerak misalnya uang, tanah,
kobong, rumah. Maupun harta yang dikejar orang yaitu jabatan, kekuasaan,
kebahagiaan dan pendidikan.
Lalu, apa pandangan alkitab mengenai warisan atau
kekayaan itu? Dalam PL bahasa Ibrani menyebutnya nahal, artinya miliki pusaka. Kemudian, dalam PB bahasa Yunani
menyebutnya kleronomos yang artinya
berhak menerima, mendapat bagian, dan memperoleh. Di sini Lukas sang penulis
kisah “orang kaya yang bodoh” mau mengatakan bahwa TUHAN Yesus tidak suka
dengan orang yang tamak atau serakah demi kepentingan diri sendiri. Sehingga
Yesus menasehatkan agar mereka waspada terhadap ketamakan (ayat. 14-15). TUHAN
Yesus mengingatkan kepada murid-murid-Nya bahwa warisan tidak untuk diri sendiri,
tidak untuk hidup berfoya-foya, dan boros seperti perumpamaan dalam ketamakan
orang kaya itu. kehadiran TUHAN Yesus dalam cerita ini sebagai penyelamat,
pembebas dari ikatan kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin, dan
penolong dari kekuasaan kelas antara tuan tanah yang kaya raya berpartisipasi
menolong orang kelas bawah, orang asing dan Yunani yang tidak diperhitungkan.
Dalam perumpamaan TUHAN Yesus, tuan tanah yang kaya raya
hanya berorientasi pada diri sendiri. Pada mulanya ia bertanya dari hati, lalu
ia bertanya dari jiwa dan ditindak lanjut dalam perbuatan untuk menyenangkan
diri sendiri; di mana kekayaan untuk kesenangan pribadi (ayat. 17-19) adalah
tindakan yang bodoh. Ia ingin memeluk bumi dengan hanya menggunakan tangannya
sendiri. Ia tidak mau tahu bahwa bumi ini terdiri dari banyak tangan. Dari
warna kulit dan ukuran tangan yang berbeda, sampai dengan ketulusan tangan
memberi dari kekurangannya. Benar, ia lupa diri dengan kekayaan yang TUHAN
beri. Lupa bahwa ia hidup sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan
menghidupkan. Dari sikap yang
individualistik ini maka TUHAN Yesus dengan tegas menyatakan bahwa orang yang
mengumulkan harta untuk kepentingan pribadi maka ia tidak kaya di hadapan TUHAN
(ayat 21). Dengan kata lain, orang kaya yang bodoh ini telah gagal memperoleh
kekayaan abadi di Sorga.
Kehidupan dan kekayaan yang dimiliki manusia bukanlah
milik pribadi, melainkan sesuatu yang dianugerahkan TUHAN oleh manusia sebagai
pinjaman yang harus dipertanggungjawabkan penggunannya baik kepada sesama
manusia maupun terlebih di pertanggungjawabkan di hadapan TUHAN.
Lalu, bagaimana makna harta atau warisan atau budel dalam
kehidupan keluarga Minahasa Kristen? Budel
menjadi ‘bahan bakar’ yang tidak habis dibicarakan dan menarik perhatian siapa
saja. Bahan bakar bisa meledak tak kala seseorang tidak mendapat warisan/budel dari peninggalan orang tua.
Budel
dalam pengertian masa lalu Tou Minahasa merupakan tanda kepemilikan bersama
keluarga besar yang harus dijaga, dipelihara dan dihormati. Budel turun-temurun dari leluhur
membuktikan bahwa kita generasi penerus yang diberi mandat untuk memelihara dan
menjaga kepunyaan bersama. Dengan kata lain, budel adalah harta kekayaan dari para leluhur dan atau orang tua
kita, dan bukan milik harta benda kita.
Jika harta diwariskan kepada anak-cucunya, puji TUHAN.
Kalaupun tidak diwariskan kepada anak-cucu, kita patut mensyukurinya.
Mensyukuri bahwa TUHAN Yesus masih memberikan kesehatan dan kekuatan untuk
melangsungkan kehidupan yang diberikan-Nya sebagai anugerah kepada setiap orang
percaya. Tangan dan kaki masih bisa bekerja tanpa mengharapkan budel warisan. Ingat, Ora
et labora (berdoa dan bekerja). Setiap gereja (saudara/i dan saya),
memiliki karunia, pekerjaan dan skill
yang berbeda. Kita bekerja di ladang TUHAN, di bumi ini dengan kepelbagaian
yang ada. Ketika kita bekerja dengan bijak, jujur dan baik maka kita sedang
beribadah; kita sedang menghadirkan syaloom
atau damai sejahtera; Kita sedang mendatangkan Kerajaan Allah di muka bumi ini.
Hematnya, kerja (baca: pekerjaan) adalah ibadah kepada-Nya.
Budel
dalam konteks kekinian mengalami pergeseran makna. Makna budel menjadi salah kaprah dan tak canggung anak-cucu saling baku cucu (membunuh). Inilah penjara
kakak-beradik satu keturunan. Penjara akan kebencian, amarah, dan cucuran kata
yang tidak patut dicontohi. Akhirnya, menambah daftar musuh (kebencian) yang
tak lain satu darah, satu daging dan satu keturunan. ‘kakak saki pikiran, maka ade-ade saki pikiran deng saki hati krn
pembagian budel tidak merata.’
Saudara/i yang dikasihi dan mengasihi TUHAN Yesus, kita
perlu merubah paradigma budel yang
lebih baku-baku sayang deng baku-baku
kase inga. Bagaimana itu? Melalui
pendidikan setiap anak dan generasinya perlu disadarkan akan pendidikan yang
membebaskan, pendidikan yang lebih memberdayakan dan memberikan kontribusi bagi
keluarga. Ilmu pengetahuan tidak bisa dicuri, tidak bisa digugat oleh pengadilan,
tidak bisa menjadi batu sandungan sanak-saudaranya. Ilmu pengetahuan menjadikan
setiap anak lebih berpikir bebas, bebas mencari pekerjaan sesuai minatnya,
bebas menentukan pilihan akan arah hidupnya. Melalui pendidikan, TUHAN
mengingatkan “takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.” Sehingga
pendidikan yang terdapat di sekolah maupun pendidikan kristiani haruslah
bertumbuh bersama-sama.
Bagi orang tua yang berpikir merdeka dan bebas, “budel
adalah pendidikan bagi anak-anaknya, baik anak perempuan maupun anak laki-laki
di bekali pendidikan tanpa dibeda-bedakan jenis kelamin. Budel kobong, rumah, tanah, sapi, oto boleh
kakak-ade bakalae akang sampe di pengadilan maar budel pendidikan tidak bisa
diganggu gugat oleh siapa saja.” Sehingga pendidikan adalah harta/budel yang orang tua so kase tinggal, menjadi devoma atau bekal voor masa depan anak-anak. Pendidikan
Kristen dalam keluarga inilah yang dikehendaki TUHAN Yesus.
Ada seorang ayah berkata “biar itu oto di rumah nyanda
pernah dapa ganti maar anak-anak boleh klaar skolah sampe minimal Perguruan
Tinggi. Kalo ayah cuma ba pikir voor kesenangan diri sendiri deng lifestyle
(gaya hidup) keluarga, so dua oto baru di rumah, maar anak-anak nyanda
skolah. Deng ato, kalo anak-anak skolah pasti nyanda ta trus krn doi voor
skolah so kase beli akang oto-oto baru. So itu, anak-anak inilah yang menjadi
mesin oto yang hidup dalam studi dan karya pekerjaaan sambil membawa nama baik
keluarga.”
Dalam pernyataan sang ayah ini, budel dalam kehidupan keluarga Kristen Minahasa benar-benar menjadi
milik bersama yang saling menghidupkan. Mengapa demikian? Karena keluarga
adalah basis pendidikan yang pertama dan utama; menjadi garam dan terang dunia;
menjadi teladan dan panutan hidup. Melalui cara hidup yang bagaimana? Melalui
sikap kasih dan sikap si tou timou tumou
tou (manusia hidup untuk memanusiakan manusia). Dengan tidak bersikap si tou timou tumongko tou (manusia hidup
untuk mematikan manusia alias baku
cungkel, iri hati, individualistik, tamak/serakah). TUHAN Yesus dan para
leluhur Minahasa telah meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan menjadi Manusia
Sejati. Nah, dengan begitu sikap kasih menjadikan panggilan hidup saudara/i dan
saya untuk saling menghidupkan. Manakah yang lebih penting? Kaya harta atau
kaya hati? Kedua-duanya penting, namun yang lebih penting bagaimana kita bijak
mengelola kekayaan hati nurani untuk berbagi berkat bagi sesama manusia. Lebih
baik banyak memberi daripada banyak menerima. Ketika kita banyak memberi, maka
berkat TUHAN Yesus selalu menyertai, memberkati segala apa yang kita lakukan.
Apakah yang akan kita bawa setelah hidup di bumi ini? Tidak
ada. Tubuh akan berpisah dengan jiwa. Tubuh akan diam dalam ukuran 3 x 1; memakai
jas / kebaya dan terlebih menyedihkan lagi, mobil di rumah (Kijang, Kuda,
Zebra) tidak mengantarkan kita sampai di tempat peristirahatan terakhir. Lalu,
mobil yang bagaimana itu? Ya, mobil ambulans yang jauh lebih murah dari mobil
yang ada di rumah. Sungguh, TUHAN Yesus
berkata “jiwa akan meninggalkan tubuh maka perbuatan kita di bumi akan
dipertanggungjawabkan di hadapan TUHAN Allah.” Nah, Kita hanya meninggalkan
kontribusi pemikiran dan sikap perbuatan baik yang akan di kenang oleh genarasi mendatang, di kenang
oleh keluarga kita, sahabat karib dan jemaat. Dengan begitu, sudahkah kekayaan
atau budel lebih memerdekakan sebagai
satu keluarga Kristen yang menyebarkan kasih? AMIN.
Khotbah
Ibadah Subuh di GMIM Bukit Karmel Batu Kota, Manado
Manado, 5
Agustus 2012
05:30
Nency A
Heydemans Maramis