Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Kamis, 09 Agustus 2012

Pendidikan = Warisan (budel)



Lukas 12:13-21
Syaloom, Selamat memasuki awal minggu pertama di bulan Agustus ini. Tema perenungan di minggu yang berjalan ini, yang disodorkan Sinode GMIM yakni “Bijak mengelola kekayaan.” Sehingga muncul pertanyaan refleksi teologis dalam perenungan kita, Apa yang dimaksud dengan kekayaan? Mengapa kita harus bijak mengelola kekayaan? dan, manakah yang lebih penting, kaya harta atau kaya hati?

            Kekayaan atau warisan, dan atau dalam bahasa makatanah Minahasa menyebutnya juga budel merupakan berkat dan anugerah yang TUHAN Yesus so kase voor torang samua. Namun tidak berarti warisanlah yang mengatur hidup manusia. Kekayaan atau warisan/budel seringkali kita identikan dengan harta manusia. Baik berupa harta yang bergerak seperti mobil, motor, sapi. Harta yang tidak bergerak misalnya uang, tanah, kobong, rumah. Maupun harta yang dikejar orang yaitu jabatan, kekuasaan, kebahagiaan dan pendidikan.

Lalu, apa pandangan alkitab mengenai warisan atau kekayaan itu? Dalam PL bahasa Ibrani menyebutnya nahal, artinya miliki pusaka. Kemudian, dalam PB bahasa Yunani menyebutnya kleronomos yang artinya berhak menerima, mendapat bagian, dan memperoleh. Di sini Lukas sang penulis kisah “orang kaya yang bodoh” mau mengatakan bahwa TUHAN Yesus tidak suka dengan orang yang tamak atau serakah demi kepentingan diri sendiri. Sehingga Yesus menasehatkan agar mereka waspada terhadap ketamakan (ayat. 14-15). TUHAN Yesus mengingatkan kepada murid-murid-Nya bahwa warisan tidak untuk diri sendiri, tidak untuk hidup berfoya-foya, dan boros seperti perumpamaan dalam ketamakan orang kaya itu. kehadiran TUHAN Yesus dalam cerita ini sebagai penyelamat, pembebas dari ikatan kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin, dan penolong dari kekuasaan kelas antara tuan tanah yang kaya raya berpartisipasi menolong orang kelas bawah, orang asing dan Yunani yang tidak diperhitungkan.

Dalam perumpamaan TUHAN Yesus, tuan tanah yang kaya raya hanya berorientasi pada diri sendiri. Pada mulanya ia bertanya dari hati, lalu ia bertanya dari jiwa dan ditindak lanjut dalam perbuatan untuk menyenangkan diri sendiri; di mana kekayaan untuk kesenangan pribadi (ayat. 17-19) adalah tindakan yang bodoh. Ia ingin memeluk bumi dengan hanya menggunakan tangannya sendiri. Ia tidak mau tahu bahwa bumi ini terdiri dari banyak tangan. Dari warna kulit dan ukuran tangan yang berbeda, sampai dengan ketulusan tangan memberi dari kekurangannya. Benar, ia lupa diri dengan kekayaan yang TUHAN beri. Lupa bahwa ia hidup sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan menghidupkan.  Dari sikap yang individualistik ini maka TUHAN Yesus dengan tegas menyatakan bahwa orang yang mengumulkan harta untuk kepentingan pribadi maka ia tidak kaya di hadapan TUHAN (ayat 21). Dengan kata lain, orang kaya yang bodoh ini telah gagal memperoleh kekayaan abadi di Sorga.

Kehidupan dan kekayaan yang dimiliki manusia bukanlah milik pribadi, melainkan sesuatu yang dianugerahkan TUHAN oleh manusia sebagai pinjaman yang harus dipertanggungjawabkan penggunannya baik kepada sesama manusia maupun terlebih di pertanggungjawabkan di hadapan TUHAN.

Lalu, bagaimana makna harta atau warisan atau budel dalam kehidupan keluarga Minahasa Kristen? Budel menjadi ‘bahan bakar’ yang tidak habis dibicarakan dan menarik perhatian siapa saja. Bahan bakar bisa meledak tak kala seseorang tidak mendapat warisan/budel dari peninggalan orang tua.

Budel dalam pengertian masa lalu Tou Minahasa merupakan tanda kepemilikan bersama keluarga besar yang harus dijaga, dipelihara dan dihormati. Budel turun-temurun dari leluhur membuktikan bahwa kita generasi penerus yang diberi mandat untuk memelihara dan menjaga kepunyaan bersama. Dengan kata lain, budel adalah harta kekayaan dari para leluhur dan atau orang tua kita, dan bukan milik harta benda kita.

Jika harta diwariskan kepada anak-cucunya, puji TUHAN. Kalaupun tidak diwariskan kepada anak-cucu, kita patut mensyukurinya. Mensyukuri bahwa TUHAN Yesus masih memberikan kesehatan dan kekuatan untuk melangsungkan kehidupan yang diberikan-Nya sebagai anugerah kepada setiap orang percaya. Tangan dan kaki masih bisa bekerja tanpa mengharapkan budel warisan. Ingat, Ora et labora (berdoa dan bekerja). Setiap gereja (saudara/i dan saya), memiliki karunia, pekerjaan dan skill yang berbeda. Kita bekerja di ladang TUHAN, di bumi ini dengan kepelbagaian yang ada. Ketika kita bekerja dengan bijak, jujur dan baik maka kita sedang beribadah; kita sedang menghadirkan syaloom atau damai sejahtera; Kita sedang mendatangkan Kerajaan Allah di muka bumi ini. Hematnya, kerja (baca: pekerjaan) adalah ibadah kepada-Nya. 

Budel dalam konteks kekinian mengalami pergeseran makna. Makna budel menjadi salah kaprah dan tak canggung anak-cucu saling baku cucu (membunuh). Inilah penjara kakak-beradik satu keturunan. Penjara akan kebencian, amarah, dan cucuran kata yang tidak patut dicontohi. Akhirnya, menambah daftar musuh (kebencian) yang tak lain satu darah, satu daging dan satu keturunan. ‘kakak saki pikiran, maka ade-ade saki pikiran deng saki hati krn pembagian budel tidak merata.’

Saudara/i yang dikasihi dan mengasihi TUHAN Yesus, kita perlu merubah paradigma budel yang lebih baku-baku sayang deng baku-baku kase inga. Bagaimana itu? Melalui pendidikan setiap anak dan generasinya perlu disadarkan akan pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang lebih memberdayakan dan memberikan kontribusi bagi keluarga. Ilmu pengetahuan tidak bisa dicuri, tidak bisa digugat oleh pengadilan, tidak bisa menjadi batu sandungan sanak-saudaranya. Ilmu pengetahuan menjadikan setiap anak lebih berpikir bebas, bebas mencari pekerjaan sesuai minatnya, bebas menentukan pilihan akan arah hidupnya. Melalui pendidikan, TUHAN mengingatkan “takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.” Sehingga pendidikan yang terdapat di sekolah maupun pendidikan kristiani haruslah bertumbuh bersama-sama.

Bagi orang tua yang berpikir merdeka dan bebas, budel adalah pendidikan bagi anak-anaknya, baik anak perempuan maupun anak laki-laki di bekali pendidikan tanpa dibeda-bedakan jenis kelamin. Budel kobong, rumah, tanah, sapi, oto boleh kakak-ade bakalae akang sampe di pengadilan maar budel pendidikan tidak bisa diganggu gugat oleh siapa saja.” Sehingga pendidikan adalah harta/budel yang orang tua so kase tinggal, menjadi devoma atau bekal voor masa depan anak-anak. Pendidikan Kristen dalam keluarga inilah yang dikehendaki TUHAN Yesus.

Ada seorang ayah berkata “biar itu oto di rumah nyanda pernah dapa ganti maar anak-anak boleh klaar skolah sampe minimal Perguruan Tinggi. Kalo ayah cuma ba pikir voor kesenangan diri sendiri deng  lifestyle  (gaya hidup) keluarga, so dua oto baru di rumah, maar anak-anak nyanda skolah. Deng ato, kalo anak-anak skolah pasti nyanda ta trus krn doi voor skolah so kase beli akang oto-oto baru. So itu, anak-anak inilah yang menjadi mesin oto yang hidup dalam studi dan karya pekerjaaan sambil membawa nama baik keluarga.”

Dalam pernyataan sang ayah ini, budel dalam kehidupan keluarga Kristen Minahasa benar-benar menjadi milik bersama yang saling menghidupkan. Mengapa demikian? Karena keluarga adalah basis pendidikan yang pertama dan utama; menjadi garam dan terang dunia; menjadi teladan dan panutan hidup. Melalui cara hidup yang bagaimana? Melalui sikap kasih dan sikap si tou timou tumou tou (manusia hidup untuk memanusiakan manusia). Dengan tidak bersikap si tou timou tumongko tou (manusia hidup untuk mematikan manusia alias baku cungkel, iri hati, individualistik, tamak/serakah). TUHAN Yesus dan para leluhur Minahasa telah meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan menjadi Manusia Sejati. Nah, dengan begitu sikap kasih menjadikan panggilan hidup saudara/i dan saya untuk saling menghidupkan. Manakah yang lebih penting? Kaya harta atau kaya hati? Kedua-duanya penting, namun yang lebih penting bagaimana kita bijak mengelola kekayaan hati nurani untuk berbagi berkat bagi sesama manusia. Lebih baik banyak memberi daripada banyak menerima. Ketika kita banyak memberi, maka berkat TUHAN Yesus selalu menyertai, memberkati segala apa yang kita lakukan.

Apakah yang akan kita bawa setelah hidup di bumi ini? Tidak ada. Tubuh akan berpisah dengan jiwa. Tubuh akan diam dalam ukuran 3 x 1; memakai jas / kebaya dan terlebih menyedihkan lagi, mobil di rumah (Kijang, Kuda, Zebra) tidak mengantarkan kita sampai di tempat peristirahatan terakhir. Lalu, mobil yang bagaimana itu? Ya, mobil ambulans yang jauh lebih murah dari mobil yang ada di rumah.  Sungguh, TUHAN Yesus berkata “jiwa akan meninggalkan tubuh maka perbuatan kita di bumi akan dipertanggungjawabkan di hadapan TUHAN Allah.” Nah, Kita hanya meninggalkan kontribusi pemikiran dan sikap perbuatan baik yang akan  di kenang oleh genarasi mendatang, di kenang oleh keluarga kita, sahabat karib dan jemaat. Dengan begitu, sudahkah kekayaan atau budel lebih memerdekakan sebagai satu keluarga Kristen yang menyebarkan kasih? AMIN.




Khotbah Ibadah Subuh di GMIM Bukit Karmel Batu Kota, Manado
Manado, 5 Agustus 2012
05:30
Nency A Heydemans Maramis