Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Kamis, 12 Juli 2012

Bagian III : Tempat Pengirikan: Ancaman atau peluang?



            Mencari nafkah berkaitan dengan kesejahteraan keluarga. Masalah nafkah keluarga akan teratasi jika saya menikah lagi. Nah, jika saya menikah maka tidak ada lagi orang yang memandang sepele atau sebelah mata. Di bagian ketiga ini saya mau menceritakan bagaimana mama Naomi mendorong saya untuk berumah tangga bahkan ia turut berpartisipasi memilih pendamping hidupku. Siapakah laki-laki yang beruntung itu? Dialah Boas, laki-laki yang dikenal baik oleh mama Naomi. Sebenarnya sih yang beruntung bukan hanya Boas saja, melainkan saya bersama mama Naomi. Lihat saja kekayaan Boas yang berlimpah ruah, pribadi yang mengesankan, takut akan TUHAN, berbudi luhur, penuh perhatian dan bertutur kata lembut. Bagi banyak perempuan, lelaki seperti Boas merupakan kriteria idaman calon suami.

            Sebelum mama Naomi ingin menjodohkan saya dengan Boas, sang majikan tersebut. Sebenarnya sih, diam-diam saya mencari tahu pribadi Boas. Ia seorang duda. Ia pernah menikah sekali kemudian istrinya meninggal dunia karena sakit. Dan inilah kesempatan bagi Naomi memerintahkan saya untuk pergi ke tempat pengirikan milik Boas.
           
            Apakah ini skenario untuk memerintahkan saya menemui Boas di tempat itu? Mengingat, ini sudah larut malam dan tidak lazim jika seorang janda muda seperti saya pergi ke tempat pengirikan itu.  Saya diperintahkan untuk berdandan cantik, memakai wewangian dan ikut masuk di tempat tidur Boas. Menemaninya saat ia tidur pulas. Saya pun berbaring di bawa kaki Boas sesuai perintah sang mama Naomi.

            Sebenarnya dalam batin ini timbul kegelisahan sebagai perempuan asing. Kegelisahan di mana saya harus  keluar malam apalagi tempat pengirikan jauh dari keramaian kota. Bisa-bisa saya menjadi korban seksual dan atau kejahatan orang yang tidak dikenal. Sebuah perintah yang memberi rasa ketidak-nyamanan. Jujur, ini menjadi petualanganku yang beresiko tinggi. Keamanan dan kenyamanan sebagai perempuan di pertaruhkan demi sebuah skenario sang mertua.

            Ketika Boas tertidur lelap di dekat timbunan jelai tempat pengirikan, saya ikut menemaninya malam ini. Saya tidak keberatan tidur malam bersamanya karena saya benar-benar jatuh hati padanya. Dari semula saya menyimpan perasaan cinta yang makin hari, makin bergelora. Saya bahkan melakukan perintah sang mertua demi cinta dan mungkin saja, saya bisa mendapat keturunan darinya. Namun kejadian malam itu, menjadi kesempatan saya mendapat belas kasih dari sang kekasih. Kesempatan dibalas dengan kebaikan hatinya. Ya, saya merasa aman didekatnya, seakan mendapat perlindungan yang hangat.

            Saya menyebutnya sebagai penebus. Kok penebus? Pikir saya ia bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku dari kemiskinan sehingga kewajiban sosial untuk menikahi saya menjadi tanggungjawabnya. Dalam percakapan malam itu, saya bertindak sopan dengan suara merendah, namun bermartabat. Berharap belas kasihnya. Saya memperhatikan Boas belum menanggapi pernyataan saya tadi. Ia hanya memerintahkan saya tidur bersamanya dan pulang keesokan pagi, sebelum semua orang bangun pagi. Ini menjaga citra kami bersama sebagai orang terhormat. Dulu, Boas memberi jelai secara tak langsung lalu saya memunguti jelai tercecer dengan leluasa. Namun sekarang, Boas memberinya langsung. Disini ada peningkatan hubungan. Saya pulang tidak dengan tangan kosong, sehingga ini menjadi pertanda bahwa kedatanganku tidaklah sia-sia. Atau dengan kata lain, ada signal baik hubungan kami ke depan. 
           
 
Manado, 12 Juli 2012
14:40
Nency A Heydemans Maramis

Bagian II : Saya Bekerja di Ladang Boas



            Musim panen hasil pertanian tidak saya sia-siakan. Saya memohon izin mama Naomi untuk pergi memungut sisa tuaian jelai yang tercecer. Ini menjadi cara terhormat orang miskin (seperti saya) menyambung hidup. Menurut Taurat, yang termasuk kategori miskin adalah pendatang, anak yatim dan janda. Saya termasuk dalam kategori ini dan berhak untuk menikmati hasil ladang. Pemilik ladang tak boleh serakah saat panen. Cukup memetik hasil panen sekali, tidak memanennya lagi hingga bersih. Bulir-bulir jelai yang tertinggal atau tercecer  di ladang adalah hak orang miskin, dan kami tidak perlu meminta izin terlebih dahulu untuk memungutnya. Mengapa? Karena sisa bulir-bulir jelai adalah hak kami orang yang termarginalkan oleh budaya.

            Di musim raya ini, saya mempunyai semangat bekerja dalam rangka menyambung hidupku dan mama Naomi. Ya, saya bekerja di ladang Boas, saudara papa mertua dari kaum Elimelekh yang kaya raya itu. Ketika menapaki jalan yang berbatu-batu ini, saya memandang ladang yang luas, siap panen dan banyak pekerja sibuk memanen. Awalnya, saya tidak mengetahui kalau pemilik ladang ini adalah Boas. Yang hanya ada dalam pikiranku adalah bekerja, memohon belas kasih dari si pemilik lahan; ya memohon hak sang janda muda yang miskin ini.

            Saya memperhatikan ada pembagian kerja hasil panen. Ada penuai dan pengawas penuai semacam mandor. Ladang ini sangat luas. Namun kehadiran saya sebagai seorang perempuan asing di antara pekerja-pekerja perempuan pribumi sangat menarik perhatian sang pemilik ladang, Boas.

            Boas cukup lama memandang gerak tubuh dan kecantikan saya. Tak puas dengan pendangan matanya itu, tiba-tiba ia bertanya kepada sang mandor mengenai asal usul saya. Terdengar jelas sang mandor berkata bahwa perempuan miskin yang sedang memungut jelai dari pagi sampai sore ini adalah menantu Naomi yang bernama Rut. Mendengar pembicaraan mereka tentang diri saya, maka saya langsung bergeser sedikit lebih jauh sambil tetap terus bekerja.

            Tak terasa pekerjaan dihari pertama membawakan banyak hasil. Semangat yang berkobar dalam relung hati ini menunjukkan bahwa saya seorang janda muda perempuan asing mampu bekerja demi kelangsungan hidup ini; mampu bersaing mengumpulkan lebih banyak jelai dibandingkan dengan pekerja perempuan pribumi lainnya.

Sore ini, saya bisa membawa pulang seefa jelai banyaknya, cukup untuk makan sedikitnya setengah bulan ke depan bersama mama Naomi. Melihat hasil kerja perdana saya diberkati TUHAN maka mama Naomi memberikan nasehat bahwa saya harus bekerja di ladang Boas sepanjang panen raya ini. Dengan demikian, saya melakukan nasehat tersebut selama dua bulan ke depan, sampai hasil panen usai.

            Namun seiring waktu berlalu, makanan yang terkumpul cepat atau lambat akan habis. Dengan berakhirnya musim panen maka pekerjaan memungut jelai ikut berakhir juga. Hal ini menjadi masalah sekaligus ancaman dalam pekerjaan saya ke depan. Terasa berat hidup tanpa suami. Tak habis pergumulan dalam hidupku. Pergumulan jangka panjang mengenai kebutuhan hidup setiap hari bersama mama Naomi menghantui pikiranku. Dengan kata lain, mencari nafkah menjadi ‘kuk’ yang saya pikul di tengah keluarga ini.

 Di manakah saya harus bekerja jika hasil panen raya telah usai? Kesejahteraan saya adalah juga kesejahteraan mama Naomi. Untuk itu, bagaimana kisah mencari nafkah ke depan, akan saya utarakan di bagian berikutnya.



Manado, 10 Juli 2012
24:00
Nency A Heydemans Maramis

Bagian I : Kisah Rut dan Naomi


Ada pepatah yang mengatakan “tak dikenal, tak disayang” dan oleh karena itu saya akan memperkenalkan diri. Nama saya, Rut anak perempuan Moab yang lahir di zaman para hakim-hakim sekitar 13 SM. Ayah dan ibu saya tidak diceritakan di sini. Namun jika ditelusuri dari tempat asal saya berada menunjukkan bahwa saya adalah keturunan Lot dengan kedua putrinya, hubungan terlarang dalam goa menghasilkan bangsa Moab. Benar saya, perempuan Moab tidak mengenal TUHAN.

Pada zaman ini sistem patriarki menjadi produk yang mau tak mau silsilah saya tidak dituliskan. Meskipun demikian tidak membuat hatiku patah semangat di telan zaman. Kisah hidup saya dirajut dalam empat pasal dengan harapan bisa dibaca di segala zaman dan abad. Dengan harapan kedua, tulisan saya ini bisa masuk dalam kanonisasi alkitab sejajar dengan para penulis yang berjenis kelamin laki-laki, pikir optimisku. Ya, menjadi kontribusi bagi kaum perempuan dan laki-laki untuk menciptakan nuansa hidup setara sebagai makhluk ciptaan TUHAN; sekaligus juga perempuan mendapat andil dalam kisah perjalanan bangsa Israel memperoleh penebus umat manusia.

Adapun kisah yang menjadi pergumulan batin kala mengenal TUHAN yang disembah keluarga besar suamiku yang berasal dari Betlehem. Mari menelusuri kisah kasih saya bersama Naomi, sang mertua:

  Hampir semua daerah terjadi kelaparan besar-besaran. Dalam masyarakat agraris, kelaparan menjadi bencana bagi kehidupan ekonomi dan sosial. Namun di sinilah Moab sejahtera. Sebenarnya, Moab bukan nama ayah saya. Moab merupakan sebuah kota di dataran tinggi sebelah Timur Laut Mati dan sebelah Utara Arnon. Dari daerah perbukitan terlihat jelas tanah Moab yang subur dengan pelbagai tumbuh-tumbuhan hijau. Tanah ibu pertiwi saya menjanjikan kehidupan yang lebih baik sehingga tak mengherankan banyak pendatang di daerah ini.

Saya orang Moab yang menyembah Kamos. Kamos dikenal sebagai dewa kekejian. Kepercayaan saya ini menjadi ‘luntur’ ketika berkenalan dengan Mahlon. Siapakah dia? Mahlon yang saya kenal adalah orang yang baik hati dan suka bekerja di ladang. Perkenalan ini menuju pada tindak lanjut hubungan pernikahan beda agama. Nah, Bagaimana saya bisa mengenal Mahlon lebih lanjut termasuk keluarganya?

Mahlon bersama keluarga besarnya berasal dari Betlehem-Yehuda. Kelaparan menjadi bencana bagi kelurganya untuk mengungsi dan menetap di daerah Moab. Awalnya saya mengenal dia sebagai pendatang asing yang takut akan TUHAN. Maka mulailah muncul benih-benih cinta di antara kita berdua. Ayah dan ibunya bernama Elimelekh dan Naomi. Ia memiliki seorang adik lelaki yang bernama Kilyon. Kemudian Kilyon mendapat istri orang Moab yang bernama Orpa; begitu juga saya mendapatkan kakaknya, Mahlon.

Sebagai warga pendatang, seringkali suamiku dan keluarga dipandang sebagai warga kelas dua dengan hak-hak terbatas seperti hak kepemilikan tanah, pernikahan, hukum, partisipasi publik dan kewajiban berperang. Untuk kehidupan sehari-hari, mereka mengandalkan kebaikan hati penduduk setempat. Melalui kebaikan hati saya inilah maka saya prihati dengan nasib keluarga besar suamiku.

Tak menyangka TUHAN memberikan bencana dalam keluarga besar kami di negeri ini. Kematian papa mantu lalu diikuti Kilyon dan lebih menyakitkan hati, suamiku tersayang meninggalkanku selama-lamanya. Sejenak saya merenungkan, apakah TUHAN-nya sedang menguji iman keluarga kami yang sudah sepuluh tahun tinggal di Moab? Ataukah TUHAN sedang murka? Apakah kami tidak setia mengikuti ibadah kolektif meskipun di negeri asing? Inilah yang menjadi pergumulan keluarga yang menerpah saya, Naomi dan Orpa. Pergumulan keluarga menjadikan kami senasib-sepenanggungan terlebih Naomi yang sudah saya anggap seperti mama saya sendiri.

Saya sendiri tak kuasa melihat penderitaan mama Naomi. Lebih tak kuasa lagi ketika ia memerintahkan agar saya dan Orpa kembali ke rumah orang tua kami masing-masing. Saya sangat memahami pergumulan batin mama Naomi. Hidup sendirian, ditinggalkan suami dan kedua anak laki-laki yang tercinta. Di usia rentan, ia tak mau menjadi beban bagi kami, beban anak menantunya. Ia merasa pesimis dengan masa depan hidup yang tidak jelas. Dalam ketidakjelasan lalu ia memerintahkan saya dan Orpa yang telah berstatus janda muda, tanpa keturunan pergi meninggalkannya.

Bagi Orpa, inilah kesempatan besar untuk melanjutkan hidup, berketurunan dan kembali kerumah orang tuanya. Sebaliknya, saya tidak melakukan perintah mama Naomi. Mengapa demikian? Karena mama Naomi sudah seperti saya katakan di atas, adalah juga mama saya meskipun ia tidak melahirkanku namun ia adalah tanggungjawabku seutuhnya. Tanggungjawab ini terpatri kala saya memperoleh identitas baru melalui penyembahan kepada TUHAN orang Israel, kemudian saya sudah bertekad untuk ikut mama Naomi pulang kampung, mendampinginya hingga akhir hayat, dan dikubur di Betlehem.

Menyaksikan sikap keras kepala saya, mama Naomi tidak tahu harus berkata apa lagi. Terlihat ia terdiam. Terharu (?) atau, kurang senang? Yang jelas, ia ingin lepas dari Moab, gara-gara tinggal di Moab semua anggota keluarganya meninggal. Moab baginya adalah kematian. Kemalangan. Tempat naas. Negeri yang hanya menyisakan kegetiran. Oleh karena Moab, TUHAN menjadi lawan keluarga kami. Inilah hukuman TUHAN selama sepuluh tahun lamanya.

Mama Naomi kecewa kepada TUHAN dan juga kepada saya. Kok saya mash kena getahnya? Karena saya masih membuntutinya hingga tiba di Betlehem. Pernyataan mama Naomi bahwa dirinya pulang dengan kosong sebenarnya agak mengherankan. Coba anda lihat bahwa saya disampingnya pada saat itu. Akan tetapi, itulah mama Naomi yang masih dirundung sedih, terutama kedua putranya baru saja meninggal. Sangat jelas dua masalah besar menghayuti pikirannya. Pertama, tidak jelas siapa yang akan menjamin nafkahnya. Kedua, tidak ada yang mengabadikan nama keluarga di atas tanah warisan. Dari kedua masalah itu, komitmen saya tidak luntur dan makin tak diragukan kesetiaan saya kepadanya.

Saya memahami posisi perempuan pada saat ini di mana belum masuk hitungan dan belum dihargai. Apalagi posisi menantu tidak penting dalam masyarakat patriakhi. Mungkin mama Naomi masih trauma dengan Moab. Tiap kali memandangku, yang terbayang adalah wajah almarhum putra tercintanya. Kendati segala sesuatu masih terasa gelap, kepulanganku bersama mama Naomi di Betlehem menjadi langkah awal positif bagi masa depan bersama.

Seandainya saya tinggal di Moab, tak ada kisah dalam kitab Rut ini. Kepulangan kami berdua menambah coretan keturunan sejarah Israel. Meskipun nama kami tidak  masuk dalam silsilah sejarah Israel. Mengingat kisah silsilah Israel hanya ditarik dari garis kaum bapa. Hematnya, inilah kami, ibu- ibu Israel yang memberi keturunan melalui rahim, meskipun tidak dimuat (bahkan tidak masuk hitungan) dalam silsilah Israel namun dengan rahim kami maka lahirlah penebus umat manusia.

Kini, kota Betlehem menyambut dengan tangan terbuka. Lihat saja, kami tiba di sini bertepatan dengan panen jelai. Perayaan panen merupakan suasana gembira masyarakat saat memaknai kebaikan dan kemurahan TUHAN. Perayaan ini menjadi harapan baru bagi mama Naomi. Siklus menabur dan menuai menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Itulah makna universal TUHAN bagi umat-Nya. Ya, termasuk saya dan mama Naomi kala memulai hidup baru dalam kasih tangan TUHAN.





Manado, 4 Juli 2012
14:00
Nency A Heydemans Maramis