Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Rabu, 27 Juni 2012

Yunus Punya Cerita



            Saya Yunus, nabi kecil dari Gat-Hefer. Nama lengkap saya, Yunus bin Amitai. Saya dipanggil TUHAN untuk menyampaikan firman di kota Niniwe. Banyak orang menyebut kota ini sebagai kota metropolitan, kota besar yang penuh dengan hiruk-pikuk keramaian dan kejahatan manusia. Oleh karena perbuatan jahat maka mereka berdosa dihadapan TUHAN.

            Sebenarnya, pemanggilan firman TUHAN kepada diri saya membuat hati ini galau. Galau di satu sisi, TUHAN adalah pengasih dan penyayangi bagi umat manusia. Di sisi lain, saya menjadi binggung dengan hukuman TUHAN akan ciptaan-Nya, mengingat TUHAN itu pengasihi. Kok, Dia ingin membunuh sendiri ciptaan-Nya? Ditambah lagi saya takut berhadapan dengan para pembesar di kota Niniwe. Maka tibalah saya menyusun strategi untuk melarikan diri ke Tarsis. Ya, melarikan diri jauh dari TUHAN, jauh dari firman-Nya, pikir kecilku.

            Dengan langkah tertati-tati saya menuju ke Yafo. Awalnya hati ini galau, eeeh akhirnya apa yang terlihat menyenangkan diri sendiri, keinginan daging, keinginan untuk melarikan diri sudah di depan mata. Benar sekali, sebuah kapal besar sedang parkir di dermaga, terlihat jelas para penumpang menaiki tangga kapal dengan muatan perlengkapan masing-masing.

            Saya pun menoleh ke kanan, ke kiri dan ke belakang ternyata TUHAN tidak kelihatan. Dengan langkah seribu saya berlari ke depan menuju kapal itu. Berlari jauh dari hadapan TUHAN dengan menggenggam sebuah tiket penumpang kapal. Ya ampun, nama kapal itu saya sudah lupa. Maklum tiketnya ketinggalan di kapan.
           
“Kok bisa ketinggalan?”
“Begini, ada sebuah kisah yang tak pernah dilupakan. Karena itu, jangankan tiket kapal yang ketinggalan, saya pun ditinggalkan kapal beserta para penumpang tersebut.” Ternyata saya ditegur oleh TUHAN kala pelarian itu.
“waah, ironis benar kamu?”
“Memang benar, sangat ironis hidup saya ini.”

Saudara/i coba anda imajinasikan betapa malang cerita hidup saya ini. Pertama, saya berpaling dari pemanggilan TUHAN, saya tidak mau disuruh atau diperintah. “kan masih banyak nabi di pelbagai kota, kok mengapa harus saya? Resiko kematian akan pemanggilan-Mu sangat besar, ya TUHAN,” kata hati saya. Nah sekarang, sudah aman di atas kapal, jadi jangan ada yang ganggu tidur nyenyak saya.

Kedua, saya tidak tahu bahwa telah terjadi badai besar, angin ribut menguncang kapal sehingga kapal itu hampir hancur. Saya tidak mendengar jeritan awak kapal yang sedang ketakutan; para penumpang yang sedang berteriak histeris kepada allah-nya. Bukan hanya tekanan psikologis yang dialami mereka, melainkan ada juga ide secuil dengan membuang barang-barang agar supaya muatan kapal menjadi lebih ringan.

“Loh, kamu bisa mengetahui situasi kapal yang sedang oleng di tengah laut?”
“bagaimana saya tidak tahu jalan cerita di atas, kan saya sedang tidur nyenyak di ruang kapal paling bawa, tiba-tiba saya dibangunin nakhoda kapal. Kemudian ia menceritakan situasi kapal pada saat itu dan ia menyuruh berseru kepada Allah-ku.”

Aduh, terasa pusing kepala ini, mata masih lima watt belum lagi rasa ngantuk, sangat. Bergabung dengan para penumpang lainnya, “mereka sedang apa ya?” tanyaku kepada seorang penumpang. “kita lagi membuang undi, barang siapa kena undian maka ia harus berkata jujur dari  mana malapetaka ini datang,” jawabnya. Sementara mereka membagikan undian, tak satu pun yang kena undian. Tiba-tiba undian itu menakuti mata saya. Benar, apa yang terjadi pada saat undian mengarah pada diri saya. Kali ini saya tidak beruntung, karena mendapat undian sial itu. Tersentak, kaget dan seakan tak percaya saya kena undian itu.

Ketakutan mengampiri saya kala semua mata langsung melihat bahkan ingin mengetahui rencana pelarian ini. Saya tak bisa menyembunyikannya lagi. Memang benar bahwa saya orang Ibrani yang takut akan TUHAN Allah yang empunya langit, yang menjadikan lautan dan daratan.

Ketika semua orang mendengar pengakuan saya, maka takutlah mereka. Angin, gelombang laut makin bergelora sehingga saya memutuskan untuk dilemparkan ke dalam laut dengan harapan laut berhenti mengamuk. Ya, prediksi itu benar terjadi, sesuai dengan kehendak TUHAN, laut menjadi tenang, saya ditinggalkan di bawa arus laut bahkan dimakan seekor ikan besar. Sangat ironis memang, saya berada dalam perut ikan selama tiga hari, tiga malam. Untung saja tubuh saya ini tidak menjadi bagian-bagian kecil dalam perut ikan. Jika dipikirkan, apakah ikan besar itu diperintahkan TUHAN untuk menyelamatkan saya? Atau bukan perintah melainkan menjadi pelajaran untuk insaf kepada-Nya?

Di suatu hari dalam kesesakan perut ikan, saya panjatkan doa kepada TUHAN. Memang terasa susah tapi ucapan syukur keluar dari bibir init tidak lain, TUHAN selalu bersamaku. Diakhir doa itu, saya mengutarakan nazar sambil berseru “ keselamatan hanya dari TUHAN sajalah. Jangankan manusia, ikan besar pun dengar-dengaran akan firman TUHAN. Alhasil saya dilemparkan disebuah pulau asing tanpa penduduk. Keluar dari perut ikan yang becek, penuh anyer dan bau tak sedap.

Sejak malam terdampar, tubuh menjadi lemah tak berdaya. Di pagi itu, kalah fajar menyingsing saya terbangun dari mimpi malam. Fajar TUHAN memanggilku untuk kedua kalinya pergi ke Niniwe. Tiga hari lamanya menempuh perjalanan dari padang gurun, lembah dan desa. Karena nazar, maka dengan demikian saya harus berjalan kaki menuju kota metropolitan.

Dengan gagah berani saya memasuki kota yang penuh dengan kejahatan itu. Keberanian saya terpancar saat mengelilingi kota sambil berseru “empat puluh hari lagi, kota Niniwe akan menadapat malapetaka dari Allah karena kejahatanmu.” Ternyata seruan saya didengar dan dipercayai mereka. Bukan hanya percaya saja melainkan mereka melakukan puasa sambil menggunakan kain kabung. Mereka yang dimaksudkannya di sini adalah raja, para pembesar kota, rakyat, ternak, lembu sapi dan kambing serta domba. Akibat pertobatan mereka, tiba-tiba saja TUHAN Allah menyesali perbuatan-Nya sehingga pemusnahan seisi kota tidak terjadi.

Empat puluh hari kemudian malapetaka tidak terjadi sesuai dengan apa yang difirmankan-Nya kepadaku. Jujur dengan perasaan marah, kesal, kecewa sampai stress di kala memandang firman TUHAN tidak menepati janji-Nya. Di sisi lain dalam pandangan sesama manusia, mau diletakkan di mana muka saya? Benar, saya sedang malu kepada masyarakat Niniwe. Malu karena firman TUHAN tidak terjadi karena TUHAN itu pengasih dan penyayang bagi mereka yang telah bertobat. TUHAN adalah TUHAN di atas segala bangsa (universalistis) yang dalam kehendak bebas-Nya menerima orang dengan apa adanya.

Saya jadi pesimis akan hidup ini. Nah, lebih baik saya mati saja daripada hidup. Tak ada gunanya lagi suara profetik ini. Tak ada yang mempercayai saya. Kesal, kesal dan saat kesal itulah saya menulis cerita ini. lebih baik saya mengungsi ke daerah Timur lalu mendirikan pondok untuk berteduh.

Saat berteduh, dikeheningan malam saya melihat ada sebatang pohon jarak sedang bertumbuh. Mulanya, saya merasa terhibur karena ada teman (baca: pohon jarak) untuk bisa dijadikan tempat curahan hati (curhat). Tetapi apa yang terjadi dengan pohon jarak itu? Tiba-tiba ia menjadi kerontang meradang, bahkan layu dimakan ulat. Akhirnya, ia pun menjadi kering lalu meninggalkan saya. Tak bisa menerima perlakuan TUHAN Allah kepadanya, pikiran saya pun langsung frustasi. Di siang terik panas menyengat, saya berharap mati saja, mati dibakar sinar matahari. Sementara memikirkan kematianku, di sebelah kanan terdengar TUHAN berfirman “layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?”. Dengan perasaan jengkel saya menjawab: “selayaknyalah saya marah sampai mati.”

Memang pohon jarak seudah saya anggap teman baik meskipun hanya semalaman perjumpaan kami, tapi apa yang terjadi, ia pergi meninggalkanku tanpa alasan. Tak menerima pelbagai ocehan Yunus, maka TUHAN Allah memberikan alasan panjang-lebar. Memang Aku menyayangi seisi kota Niniwe yang adalah ciptaan-Ku sendiri; ciptaan yang telah menyesali dosa umat manusia.

Ketika mendengar Penyataan-Nya, saya seakan menjadi kecil dan tak berharga di mata TUHAN. Saya tidak lagi menuliskan perjalanan hidup ini. Biarlah menjadi sejarah; puing-puing kehancuran batin yang menyedihkan. Tepat sekali, saya berhenti (apakah berhenti menulis dan atau berhenti hidup) sampai di sini
.

(Cerita ini saya rekonstruksikan dari kisah Yunus)


Manado, 27 Juni 2012
16:20
Nency A Heydemans Maramis




           

Kamis, 21 Juni 2012

Konseling atau Korsleting (?)



            Saya teringat waktu kuliah di Fakultas Teologi UKIT sekitar semester lima saya mengambil mata kuliah teologi pastoral, dan psikologi perkembangan dan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan konseling pastoral.

Pada saat itu, Fakultas teologi terbagi atas empat jurusan yakni biblika, agama dan masyarakat, pastoral dan musik gereja. Untuk memenuhi rumpun sks minor maka saya mengambil bidang pastoral, sedangkan rumpun mayor saya adalah agama dan masyarakat.

Banyak teori yang di dapat di bangku kuliah, bahkan sampai terjun di jemaat dengan nama mata kuliah praktek pastoral. Ilmu yang di dapat masih ‘panas’ di dalam otak dan bagaimana mengkomunikasikan kepada jemaat yang sedang bergumul dengan masalah keluarga. Pendekatan konselor kepada konseli jemaat sangat dibutuhkan saat genting. Ya, semacam curahan hati (curhat) pergumulan keluarganya.

Di sinilah teori berlabur dengan praktek di ladang TUHAN sama dengan studi kasus. Bagaimana sikap sang konselor yang bijak membuat strategi dari pelbagai masalah?

Nah, sampai saat tulisan ini ditulis yang menjadi masalah bukan hanya pada jemaatnya tetapi juga masalah pada konselor Kristen. Jujur, sebut saja pada diri saya sendiri. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu mata kuliah berkaitan dengan konseling pastoral tetapi semuanya seperti ‘angin lalu’ saja.

Apa sih maksudmu?

Begini sahabat, berhubung saya pelayanan di jemaat, kemudian kurang membaca buku mengenai konseling keluarga Kristen maka dengan demikian minum-lah pengetahuan dan praktek lapangan akan studi kasus di jemaat. Jujur, saya perlu merubah paradigma bahwa sebenarnya konseling Kristen saat-lah penting bagi pelayanan di jemaat.

Kok perlu merubah? Apapun yang akan terjadi, saya harus merubah diri sendiri. Merubah ke hal positif, misalnya membaca kembali buku-buku mengenai konseling, pastoral, psikologi dan sejenisnya.

Hal ini berfungsi untuk praktek di lapangan. Mengingat, saya selalu berhadapan dengan pergumulan keluarga jemaat. Setiap selesai ibadah, ada beberapa orang datang mendekat kepada saya sambil curhat. Seringkali saya kebingungan, tidak tahu mau ngomong bagaimana, dan takut salah menanggapi balik akan pergumulannya. Belum lagi, setiba saya di rumah, pastinya susah tidur sambil pikir-pikir sendiri sampai bisa sedikit ‘stres’ gitu. Waah kalau sudah begitu pasti solusinya saya tutup dengan doa pribadi.

 Dengan kata lain, sampai saat ini saya hanya kuat mendengar kelu-kesa jemaat, terkurung dalam bayangan hitam nan gelisa sampai terasa sesak di jantung hati ini. Ya terlalu berempati.

Begitu pentingkah konseling pastoral Kristen bagi anggota warga GMIM? Pikir kecil saya saat mengikuti seminar keluarga dengan tema “Keluarga Bahagia Selamanya dalam Kristus” oleh Bpk Jonathan Parapak (Rektor Universitas Pelita Harapan) di GMIM Bukit Karmel Batukota. Seminar ini dilaksanakan dalam rangka HUT ke-181 PI dan Pendidikan Kristen GMIM.

Alhasil, begitu penting dan sangatlah penting guna bekal bagi para pelayan khusus. Menimbang banyak studi kasus di jemaat yang terjadi seperti pembunuhan, perceraian dalam keluarga, mencari pasangan lain (WIL atau PIL), HIV dan AIDS, kekerasan, dan masalah keluarga lainnya.

Melakukan pendekatan konseling pastoral seperti sang gembala sedang mencari dombanya yang hilang. Injil Lukas 15:4-7 menuliskan “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor diantaranya, tidak meninggalkan yang sembilang puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalai ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: bersukaciltah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: demikian juga aka nada sukacita di Sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilah puluh Sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Mendampingi orang yang sedang sedih, mengalami pergumulan, tindakan yang merugikan, memang sangatlah sulit. Saya awalnya mengira bahwa melakukan pendampingan pastoral adalah mudah. Cukup baca buku dan praktek, ya sudah selesai studi kasus tersebut. Akibat kurang peka terhadap jemaat yang ‘hilang’ ini maka jemaat merasa kurang dipedulikan. Padahal jemaat membutuhkan hubungan dan pendampingan dari gembala (baca: pelayan khusus).

Pendampingan ini terjadi dengan sendirinya, berproses, tidak tergesa-gesa seakan di buat-buat. Sangat dibutuhkan bukan hanya komunikasi verbal melainkan non verbal juga (sentuhan, belaian, senyuman, raut wajah yang menunjukkan seribu bahasa tanpa perkataan). Ketabahan mencari jalan keluar sang ‘domba’, mencari sampai menemukan, ikut berempati dengan luka batinnya sangat membahagiakan sang gembala.

Sangat memilukan hati ketika ada orang berucap “sekarang ini para pendeta bukang cuma cari domba maar so cari oto kijang, oto kuda.” Apakah pernyataan ini benar? Hmmmmm

Dalam melakukan pendampingan konseling pastoral bukan untuk menghakimi, menuduh bahkan mencari tahu siapa yang salah dan benar. Yang pasti kita tidak menasehati dan mengkhotbahinya. Tidak mendominasi pembicaraan sehingga jemaat tidak tahu mana yang akan di dengarnya. Bisa-bisa pikiran jemaat korsleting karena komunikasi tidak jalan dengan baik. Waah, apakah ini konseling atau korsleting?


Selamat Melayani Umat

Manado, 21 Juni 2012
22:00
Nency A Heydemans Maramis









DIABETES


            Penyakit modern yang banyak berkeliaran bagi kalangan masyarakat adalah diabetes. Kok berkeliaran? Seperti semut yang banyak ditemui di setiap makanan (entah kue dan ataupun bahan pangan lainnya) maka seperti itulah banyak orang mengkonsumsi makanan yang kadar gulanya berlebihan. Sehingga tak mengherankan diabetes ini disingkat dengan DIA siBuk sEkali sanTap kuE Sedap.

            Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 1998 tentang jumlah penderita Diabetes Mellitus (DM) di dunia, Indonesia menduduki ranking ke-6 setelah India, Cina, Rusia, Jepang dan Brasil. Jumlah penderita DM dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 1995 jumlahnya telah tercatat sebanyak 5 juta orang. Kemudian pada tahun 2010 Indonesia termasuk peringkat kedua terbesar di dunia setelah India. Diperkirakan tahun 2025 akan meningkat empat kali lebih banyak presentasi penderita DM.

            Kebanyakan penderita ini tergolong dalam usia produktif (45-60 tahun). Di Indonesia, populasi penderita yang paling banyak ada di Manado (6,1 %). Melihat angka populasi yang tinggi di kota Nyur Melambai dan terlebih mama saya mengidap penyakit ini, dengan demikian saya terdorong untuk menuliskan sepenggal cerita penyakit yang membuat badan mama menjadi kurus. Sangat ironis, bukan?

            Rumah makan bak jamur di musim hujan, tak pernah sepi dari pengunjung. Terlebih kota Manado terkenal dengan bumbunya yang sedap di santap,  maka tak mengherankan jika penderita DM banyak di Manado. Orang Manado dikenal sebagai pemakan makanan enak namun sedikit warga yang rajin olahraga secara teratur. Sehingga ada istilah yang berkata “Makan enak, Yes! Olahraga, no.”

            Mama bekerja sebagai ibu rumah tangga. Saya sangat bangga dengan skill yang diperolehnya. Mama pandai memasak masakan khas Minahasa, kue (kukis) Minahasa sampai mengelola kebersihan dalam rumah. Seringkali saya iri dalam pandangan positif kepadanya. Mengapa iri? Aaah saya jadi malu, begini sahabat, sebenarnya saya belum bisa meneladani skill mama dengan baik.

            Teringat jelas, nuansa pertama di setiap ibadah (apakah kolom, UPK, HUT) pasti mama sibuk membuat kue yang lezat rasanya, belum lagi sibuk memasak masakan dari subuh sampai sore tanpa lelah. Maklum mama lagi di kejar ibadah syukuran keluarga sehingga tak terasa malam pun telah tiba. Nuansa kedua saat liburan, kejenuhan menghampiri kami sehingga solusi yang baik yakni membuat kue kala mengisi waktu liburan keluarga. Kemudian tibalah setiap sorenya kami menyantap kue balapis dan ataupun keik khas mama, ditemani secangkir kopi di depan teras rumah ini. Semua ini hanyalah kenangan manis yang takkan pernah saya lupakan.

            Sudah hampir enam tahun mama mengidap penyakit DM. Namun tahun ini penyakit DM makin parah dibandingkan lima tahun sebelumnya. Awalnya mama hanya mengkonsumsi buah-buah tradisional, kemudian mengkonsumsi obat-obatan Cina. Bukan kesembuhan yang di dapat melainkan banyak minum, banyak kencing dan selera makan meningkat meskipun berat badan turun drastis. Melihat kondisi fisik yang tidak lagi normal maka kami (keluarga) berinisiatif membawa mama ke dokter spesialis diabetes Prof. DR. Dr. Karel Pandelaki, SpPD-KEMD yang berlokasi praktek di apotek Kartens, Manado.

            Beberapa kali pemeriksaan dokter, kemudian lab klinik Kanaka lalu kembali memeriksakan diri pada dokter maka hasilnya parah seperti diabetes glokosa tidak puasa 506 mg/dL; diabetes glukosa puasa 222 mg/dL; HbA1c 16. O %. Menurut dokter, mama memecahkan rekor selama dokter menggeluti penyakit diabetes ini. Saya langsung terkejut sambil murung mendengar hal tersebut.

            Belum lagi lemak 231 mg/dL; Ratio cholesterol Total /HDL (kolestrol baik) 6.6 ; Kolestrol LDL (kolestrol buruk) 178 mg/dL. Lanjut dengan ginjal: kreatinin 1.06 mg/dL ; asam urat 5.90 mg/dL. Kemudian kimia urine: leukosit 500 / mL ; glukosa 1000 mg/dL yang terakhir hasil mikroskopik: leukosit > 100 ; bakteri +++ itulah berbagai hasil lab yang membuat saya merasa syok mendengar dan melihatnya. Sedangkan saya syok apalagi mama yaa? Hmmm

            Jika melihat hasil lab mama di atas, saya seakan berimajinasi mengenai hasil raport siswa yang berisi nilai merah dari sang guru. Nilai resah yang membuat siswa ini kuatir bahwa dia tidak lulus bahkan tidak naik kelas. Karena keresahan ini, saya mencari tahu penyakit DM lebih mendalam lagi, baik dari internet maupun buku-buku kesehatan. Pencarian pengetahuan penyakit DM tidak membuat saya beralih profesi menjadi dokter spesialis diabetes, sekali lagi tidak.! Melainkan bagaimana saya bisa mengingatkan pola asuhan konsumsi mama dengan baik dan benar. Bahkan terlebih di satu sisi bisa menjaga pola makan saya sendiri. Di sisi lain, mengingat penyakit DM ini bisa menjadi penyakit turunan. Waaah kayaknya harus waspada sejak dini.

            Kurang waspada mama akan mulut mengunya makanan, akan menahan nafsu makan yang berlebihan maka mama mengalami kerusakan sebagian besar sel-sel beta dari pulau-pulau langerhans pada pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin, sehingga terjadi kekurangan insulin. Dengan demikian, berdasarkan anjuran dokter, mama sekarang ini bergantung pada insulin suntik, dan beberapa obat lainnya.

            Berbicara obat tidaklah murah harganya. Seringkali  mengiris dompet papa sampai juta-an harganya sekali berobat. Untung saja ada kakak Tommy dan kakak Lydia yang membantu secara finansial. Ya kalau saya untuk saat ini hanya bisa mendoakan sambil menemani pengobatan mama dari sana dan atau ke sini. Meskipun kami (anak-anak) menyadari bahwa tidak bisa membalas cinta-kasih sayang mama yang ikhlas diganti dengan finansial. Ya, cinta-kasih sayang berbeda hakikatnya dengan finansial materi. Dengan begitu, hanya belas kasih, perhatian dan kepedulian yang bisa diberikan kepada sang mama yang melahirkan kami.

            Berhubung obat mahal, dokter K. Pandelaki menyarankan untuk mengurus askes lalu mencari dokter pribadi (atau pergi ke dokter askes di puskesmas terdekat) sehingga dokter tersebut bisa mengeluarkan askes kronis. Langsung saya memohon bantuan kepada sahabat baik, dokter Adi Tucunan untuk konsultasi penyakit DM ini. Untung saja konsultasi dan info rujukan dokter askes diberikannya secara gratis.

Kemudian, Saya, papa dan mama kemarin siang pergi mengurus askes yang sudah belas tahun tidak pernah diurus. Pasien sakit parah, nanti teringat asuransi kesehatan pemerintah itu. “Begitulah kebanyak orang mengurus akses karena kesehatan tubuh yang sudah parah”, cetus petugas loket askes itu.

            Seperti ada yang tertulis dalam I Korintus 6:19 “atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?”. Di sini Paulus telah mengingatkan kepada jemaat di Korintus bahwa tubuh mereka adalah bait Allah yang diam bersama-sama Roh Kudus. Dengan kata lain, Tubuh untuk TUHAN dan TUHAN untuk tubuh yang adalah anggota Kristus. Dan oleh sebab itu, muliakanlah TUHAN dengan tubuhmu.

            Mengapa kita merusaki tubuh sendiri dengan mengkonsumsi makanan yang berlebihan? Bukankah makanan untuk perut dan atau perut untuk makanan? Dengan kata lain, apakah hidup ini untuk makan atau makan untuk hidup?

            Saya teringat saat pernikahan Oldri Pantas di restoran Jumbo Manado. Saat resepsi itu, kelihatan di depan meja mama sedang santap makanan berkolestrol tinggi, puding, buah segar, dan beberapa kue. Sambil mata melotot saya berkata dalam bahasa tubuh. Bukan hanya mama saja yang melihat, mengerti bahasa tubuh saya, melainkan ada juga tante Ema dan tante Susye yang memperhatikan tatapan itu. Mama langsung menjawab dengan suara datar “yang penting pulang dari pesta ada obat Cina di rumah, kong guna apa fungsi obat-obat itu.”

            Di lain kesempatan, mama sedang menyantap beberapa kue lesat. Saya langsung menghampiri dan berkata “so boleh jo mam itu kukis karena kukis beking diabetes mo nae.” Mama langsung menanggapi “biar jo mama makang banya karena somo mati kwa ini, kalo so mati so nyanda mo makang sadap.” Aduuuh, bagaimana saya harus menegur mama yang banyak kali makan makanan enak? Sering saya menjadi pusing sendiri.

            Nah, anjuran saya tidak dipedulikannya. Beruntung anjuran dokter masih mama dengar. Di sinilah saya tidak menyerah begitu saja. Saya membaca referensi buku diabetes dari pelbagai pengarang untuk memberikan masukan kepada mama, bagaimana pola makan yang sehat bagi penderita DM? syukur kepada TUHAN, mama akhirnya mulai mendengarkan beberapa saran saya.

            Persoalan gejolak sakit mama bukan hanya mengangkut hal-hal fisik dan materi seperti mengantar ke dokter dan mencukupi kebutuhan makanan yang sehat bagi tubuhnya, melainkan juga dalam hal-hal non-fisik dan non-materi, misalnya memahami kejiwaan dan menampung keluhan sakit mama.

Akhir kata, kalau dapat masalah kesehatan salah satu anggota keluarga, tu bagini torang jang bodok-bodok biar bukang ahli di bidang kesehatan maar sadiki-banya tahu sebab-akibat-solusi dari panyaki itu. Kong ikut berempati deng kerluarga yang so saki. Noh kalo bagitu, jang kase rusak itu tubuh yang TUHAN so kase pa torang!

Inga, jaga bae-bae itu bait Allah pa torang pe tubuh.


Manado, 21 Juni 2012
18:00
Nency A Heydemans Maramis