Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Mari Berdoa untuk Kemanusiaan

Rabu, 30 Mei 2012

Doyan Kuliner



            Restoran dengan pengunjung terbanyak terdapat di daerah Manado. Huui, yang benar aja? Begini, orang Manado selain kuat bekerja, ia juga doyan atau kuat makan. Lihat saja makanan di pelbagai restoran sepanjang jalur Boulevard, dari masakan tradisional Minahasa sampai ala produk Amerika dilahapnya. Lahapan lebih lezat lagi jika disodorkan saus (dabu-dabu atau cabe) ekstra pedis. Hmmm, makin memar bibir orang Manado ini.

            Belum lagi fasilitas di hampir setiap restoran menyiapkan layanan free wifi, sofa empuk, cahaya remang-remang, udara sejuk (ber-AC), seakan memanjakan para pengunjung dengan lifestyle modern.

            Restoran menjadi incaran banyak pengusaha. Mengapa? Karena keuntungan pendapatan sangat tinggi “berluncur” ke kantung pribadi sang pengusaha. Belum lagi, ada jam-jam khusus bonus makanan atau potongan diskon ditawarkan bagi para pengunjung kuliner yang setia.

            Setiap hari, apakah di waktu pagi dan atau malam orang bercerita sambil makan, duduk santai sambil minum, ngumpul bareng teman/saudara, meeting sekaligus arisan dan makan-minum, waah segala kegiatan bisa ditemui di tempat ini. Makin hari, semakin ramai restoran jargon para pengusaha, investor itu.

            Saya jadi penasaran, eemmm Bagaimana rasa makanannya? tergantung leher (gergantang) tiap orang. Sebenarnya, restoran Manado terkenal dengan menu khas rempah-rempahnya yang ma-nyus dengan porsi jumbo. Sesuai porsi, harga-pun ikut jumbo. Fakta dilapangan membuktikan, tidak ada restoran yang tidak ada pengunjung. Alias, setiap hari ramai dikunjungi pengunjung kuliner.

 Lalu, mutunya? Ini dia sobat, makanan instan seringkali membuat tubuh kita rentan terhadap pelbagai penyakin. Kok bisa? Lah pengawet makanan (formalin), bahan kimia ‘menari-nari’ di atas piring unik makanan itu. Ngeri, bukan?

            Bukan hanya itu, doyan kuliner membuat kebanyakan masyarakat Manado terkena penyakit modern atau lebih gaul disebut penyakit orang ‘kaya’. Seperti diabetes, darah tinggi, kolestrol dan kanker.

            Penyakit orang kaya? Emangnya, semua orang Manado kaya? Maksud kaya disini yakni, gaya konsumsinya yang serba waaa (baca: mewah). Meskipun hidup cukup, rumah sederhana, tapi gaya dan konsumsinya seperti orang kaya. Meskipun naik mikrolet (angkot) ke restoran tapi style dan pesanan menunya seperti orang kaya. Biar makan sekali di rumah, maar nyanda mo ba sombong ada BB dan tablet Samsung.

            Ternyata kekenyangan membuat orang menderita. Dalam kitab Ratapan 3:15 tertulis “Ia mengenyangkan aku dengan kepahitan dan memberi aku minum ipuh.” Kepahitan terjadi karena puteri Sion telah berpaling dari pada-Nya sehingga TUHAN murka. Dan oleh karena itu, kepahitan timbul di atas penderitaan yang mereka alami. Mereka makan, ah rasanya pahit. Mereka minum, ah mengandung racun yang berbahaya bagi tubuh. Itulah penderitaan sebagian orang yang tidak lagi memandang berkat TUHAN bagi tubuhnya, melainkan memandang makanan sebagai perut yang harus di isi, di isi dan di isi sampai sesak bernafas. Hematnya, kebanyakan makan bukan lagi menjadi berkat bagi tubuh, melainkan menjadi sarang penyakit dalam tubuh.

            Doyan kuliner, bisa saja asalkan punya rem (baca: pembatasan) makanan. Bisa, sebulan sekali; bisa juga refreshing bersama keluarga/teman; dan bisa-bisa kantong bocor jika setiap harinya nongol di restoran., hehehehe

            Dan oleh karena itu, sulit merubah kebiasaan “klo ada tada, kong kalo nyanda haga” artinya kalau tersedia makanan maka makan, kemudian kalau tidak ada makanan ikut mata. Tergantung sih. Nah ini dia tergantungnya, di mana? Tergantung di kantung (popoji), atau gratisnya, porsi jumbo, kelezatan dan pedes tentunya.

            Tunggu dulu, apakah anda merasa lapar setelah membaca tulisan ini? apakah tidak berminat ke restoran? Lalu, kira-kira menu apa yang akan anda pesan?

Hhmmm., mimpi kali yeee, ini sudah tengah malam. Restorannya telah tutup!
Kan ada hari esok?
Iya sih, tapi maaf  ya.., saya tidak tertarik.
Kok bisa (?) emangnya lagi epes? Atau lagi sariawan?
Bukan begitu, saya lagi ngumpul duit, siapa tahu dikit-dikit jadi bukit !?!?!?
Hahaha., kamu kala satu point.

 Dengan perlahan-lahan namun serius ia melanjutkan point tersebut “Begini Nency, lihatlah bukit di sana telah saya beli. Kemudian bekerjasama dengan investor untuk diratakan menjadi dataran rendah. Rencananya sih akan di buat restoran terbesar di SULUT,” cetus orang yang terkenan siraman “kopi” ini.

Kayaknya miscommunication. Maksud saya, ngumpul duit dikit-dikit akan menjadi bukit (baca: banyak). Kok  pembicaraannya jadi ngaur. Loh kok bukit di ratakan demi membangun restoran !?!?!?!?




Manado, 29 Mei 2012
02:10
Nency A Heydemans Maramis
           
           

           
           

Minggu, 27 Mei 2012

TEOLOGI RAHIM DALAM PERSPEKTIF MAZMUR 145:9


TEOLOGI RAHIM DALAM PERSPEKTIF MAZMUR 145:9
Nency A. Heydemans, S.Teol., M.Si *

Pengantar
            Teks kajian kita dalam Mazmur 145:9 terdiri atas dua frasa. Frasa pertama berisi pengakuan pemazmur bahwa TUHAN itu baik kepada semua orang. Frasa kedua mengungkapkan pengakuan pemazmur bahwa TUHAN penuh Rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya. Sekalipun teks kajian ini adalah sebuah himne yang mengekspresikan pengakuan individu pemazmur, tetapi sebagaimana mazmur-mazmur lain, pengakuan individu pemazmur dapat dipandang sebagai pengakuan umat secara menyeluruh. Oleh karena itu dalam rangka ibadah Lansia Manado Barat Daya sekaligus materi PA, teks ini kita kaji bersama untuk menemukan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk membangun sikap hidup bersama merespon persoalan kerusakan lingkungan alam yang melibatkan manusia dan isi dunia.

Marrianne Katoppo menjadi pelopor dari istilah teologi rahim. Ia lahir di Tomohon, 9 Juni 1943 dan meninggal di Bogor, 12 Oktober 2007. Novelnya yang berjudul Raumanan dan buku yang berjudul Compassionate and Free berisi refleksi teologis akan kepekaan ratapan perempuan dan harapannya untuk menjadi pribadi yang merdeka, bebas dan berpikir ktiris serta menjalankan kasih Allah kepada sesama.


TUHAN itu baik kepada semua orang
            Dalam frasa pertama ini, yang mendapat perhatian pemazmur adalah sikap TUHAN terhadap manusia. Pemazmur mengakui bahwa di hadapan TUHAN, semua manusia sama; tidak ada kelompok ‘anak emas’. Sifat baik yang dikenakan pemazmur kepada Tuhan dalam menggambarkan relasi antara TUHAN dengan manusia. Relasi yang dibangun oleh TUHAN dengan manusia tidak didasarkan atas klasifikasi tertentu, apalagi diskriminasi berdasarkan bangsa, suku, agama dan gender. Konsep ini menunjukkan pandangan pemazmur bahwa TUHAN tidak mengenal batas-batas antar manusia yang dibuat oleh manusia sendiri.

            Sifat baik membuat tangan TUHAN terbuka untuk merangkul semua manusia. Tidak ada keterpisahan dalam rangkulan tangan TUHAN. Sebaliknya, rangkulan-Nya membuat manusia terhubung satu dengan yang lain seperti persoalan hidup, harapan hidup dan karya-karya hidupnya. Oleh sebab itu, tangan TUHAN tetap terbuka menerima dan merangkul manusia. inilah hakikat kebaikan TUHAN.

            Meskipun demikian, rangkulan TUHAN yang mempertemukan manusia tidak menyebabkan manusia kehilangan pelbagai perbedaan yang mereka miliki. Tangan TUHAN merangkul semua bangsa. Ia juga merangkul laki-laki dan perempuan dari anak, remaja, pemuda dan orang tua. Dalam setting rangkulan TUHAN inilah, perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dipertentangkan dan dianggap sebagai ancaman sehingga dijadikan alasan untuk pemisahan dan diskriminasi dalam hidup manusia. pelbagai perbedaan menolong manusia untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang menghargai perbedaan dan talenta atau karunia-karunia yang berbeda. Pelpagai perbedaan ini juga membuat manusia menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Kesadaran ini menjadi pegangan untuk membangun hidup bersama, dan bertindak bersama sebagai umat TUHAN.

Dalam kerangka iman, setiap orang perlu mengambil bagian dalam realitas bahwa TUHAN itu baik kepada semua orang. Di sinilah aspek kemanusiaan manusia yang dijunjung tinggi seperti yang di firman-kan pemazmur kepada umat/gereja.


TUHAN penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya

            Pada frasa kedua ini, pemazmur menggambarkan sifat TUHAN dalam relasi dengan segala ciptaan-Nya. Relasi TUHAN sebagai Pencipta dan ciptaan-Nya mendapat perhatian dari pemazmur. Yang menarik dari frasa ini adalah ketika menggambarkan relasi TUHAN, Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, pemazmur menggunakan kata benda Ibrani rechem yang artinya rahim (womb). Kemudian, rahim menurut kata sifat berasal dari akar kata Ibrani rakhum artinya pengasih dan penyayang; rakhama yakni penuh rahmat; raham artinya kasih sayang; dan hanen yang berarti kemurahan hati. Dengan demikian, rechem dipahami pemazmur sebagai hubungan TUHAN dengan ciptaan-Nya sama seperti hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya. Dengan demikian, jelas bahwa pemazmur hendak menekankan sifat dan hakikat Tuhan sebagai asal dan sumber kehidupan. Hati TUHAN Allah berasal dan bersumber dalam kehidupan bak hati seorang ibu: menciptakan isi bumi (baca: melahirkan), menjaga, memelihara, merawat, menutrisi dan memberi kehidupan kepada anak-anaknya.

            Menariknya, ketika menterjemahkan kata rechem, LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) menggunakan kata rahmat, di mana memiliki kedekatan dengan kata rechem. LAI menggunakan kata rahmat untuk memudahkan para pembaca memahami makna kata itu dalam frasa ini.

            Nampaknya pemazmur memahami secara baik kharakter seorang ibu. Seorang ibu memiliki hati yang menghidupkan. Seorang ibu tidak pernah menginginkan kehancuran hidup anak-anaknya. Seorang ibu rela melakukan apa saja demi membahagiakan anak-anaknya, sekalipun untuk itu ia harus menderita. Oleh karena itu, pemazmur menggambarkan relasi TUHAN dengan segala ciptaanNya dalam perspektif seorang ibu; perspektif ibu yang memiliki keterkaitan dengan sifat menopang kehidupan. Sifat menjaga kehidupan dari anak-anaknya namak dalam kenyataan kasih yang tulus seorang ibu. Berdasarkan perspektif ini, eksploitasi, penghancuran, penindasan dan pembinasaan ciptaan TUHAN merupakan hal yang bertentangan dengan maksud penciptaan itu. Segala yang diciptakan TUHAN adalah baik adanya, saling berelasi, dan teratur untuk saling menopang kehidupan.

            Pengakuan di atas yang berangkat dari pengalaman pemazmur menjadi inspirasi bagi pembaca untuk menjaga, memelihara dan memberi kehidupan kepada segala ciptaan TUHAN dengan melakukan perbaikan, pemulihan dan kepedulian dari kerusakan-kerusakan alam yang terjadi di sekitar kita. Pengakuan ini harus sejalan dengan perbuatan untuk menjaga keberlangsungan bumi pertiwi demi kehidupan masa kini dan masa depan.

            Kita ingat bahwa, manusia diciptakan TUHAN pada hari keenam. Mengapa demikian? Karena jika manusia diciptakan pada hari pertama maka apa yang akan dia makan, minum, tidak ada penerang, tidak ada udara, tidak ada tanah, tidak ada tumbuh-tumbuhan dan tidak ada binatang. Maka musnah-lah manusia. Oleh karena itu, manusia diciptakan sesudah makhluk hidup hadir di muka bumi ini. Artinya, manusia hidup di bumi bergantung pada makhluk hidup. Tanpa mereka, maka musnahlah manusia. Jika rantai makanan berupa lingkaran spiral terputus, maka rusaklah alam semesta ini. Dengan kerusakan alam yang sementara kita lakukan, kita rasakan, menjadikan kita berkontribusi untuk merusaki rahim bumi. Rahim di mana kita akan kembali ke tanah liat. 

Pengakuan pemazmur juga menggambarkan bahwa fungsi reproduksi rahim perempuan diikuti fungsi biologisnya disebut kodrat. Perbedaan perempuan dan laki-laki adalah perbedaan kodrati. Kodrat dari bahasa Arab “qudra” berarti yang terberi. Kodrat adalah pemberian Tuhan, bukan buatan atau hasil dari suatu pembiasaan atau pelatihan bukan rekayasa prilaku, bukan konstruksi sosial atau citra baku buatan manusia, ya… bukan budaya manusia.

Perempuan mengandung dengan susah payah dan rasa sakit saat melahirkan bukan lagi menjadi hukuman atau akibat dosa tetapi suatu berkat yang dijadikan-Nya. Berkat bagi seluruh dunia, bagi semua orang, semua kaum, semua bangsa. Berkat rahim di satu sisi, kehidupan dunia terus berlanjut. Manusia yang lahir dan hidup, terus melahirkan kehidupan, bukan hanya bagi manusia tetapi bagi semua ciptaan (bnd. : Tuhan Yesus lahir dari seorang rahim, bunda Maria). Dapat kita bandingkan dengan filosofi khas Minahasa yang memiliki makna mendalam, Dr Sam Ratulangi “Si Tou Timou Tumou Tou” (Manusia Hidup untuk Memanusiakan Manusia).

Berkat rahim di sisi lain, kehidupan akan tuntutan kebutuhan dunia terus bertambah. Dari bertambah banyak dan penuhilah bumi menunjukkan pertumbuhan penduduk makin padat. Tuntutan sandang, papan dan pangan meningkat. Dan oleh karena itu, gereja yang bukan hanya sebagai lembaga keagamaan tetapi juga orangnya (baca: termasuk kelompok fungsional lansia) harus terus memancarkan garam dan terang dunia. Kemudian, memancarkan kesejukan di tengah keluarga melalui sikap bersahabat dengan alam antara lain salah satu sikap dengan menanam dan memelihara pohon atau bunga hidup.

Dunia sedang mengalami perubahan iklim yang ekstrim. Tak bisa dipungkiri lagi, pemanasan global sedang dan akan kita rasakan kelak. Apakah yang akan kita wariskan kepada anak, cucu dan cece kita ke-akan-an? Apakah kemacetan atau polusi udara atau kepadatan penduduk, penghijauan lingkungan dengan penanaman pohon/bunga dan atau hidup hemat energi?

Kerusakan lingkungan hidup menjadikan gereja membawa diri sebagai sahabat dengan alam semesta melalui keadilan, kesederhanaan, kerendahan hati, hormat, hidup harmoni, menghargai hak-hak hidup segala ciptaan (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan). Cara pandang pemazmur 145:9 akan membantu gereja dalam upaya memberi pemahaman, memberi sikap untuk berekonsiliasi dan berpartisipasi mencintai alam berdasarkan kasih dari TUHAN Allah, kasih dari Yesus Kristus kepada dunia ini. Sebagai warga gereja yang percaya bahwa Roh Kudus bekerja mentransformasikan gereja dan alam semesta, maka sebagai warga gereja inilah kita memberi makna, menikmati dan merasakan rahmat-Nya bak seorang ibu kepada anak-anaknya. Akhir kata, Manusia datang (baca: lahir) dari rahim ibu dan kembali (baca: mati) ke rahim bumi.






*        Materi Teologi Rahim dalam Perspektif Mazmur 145:9 Disampaikan dalam Ceramah Kelompok Fungsional Lansia Wilayah Manado Barat Daya. Batukota, 26 Mei 2012.

Teologi Rahim: why not?



Sejenak membaca tema teologi rahim, aah menggelitik iman ini. Apalagi disodorkan kepada para oma dan opa. Why not ? Sengaja saya mengangkat tema dan membawakan dalam sebuah ibadah interaktif kreatif. Pikir kecilku, meskipun sudah lanjut usia (lansia) tapi tak kala ketinggalan dengan para pemuda yang selalu mencari paradigma baru. Saya mengakui bahwa keterbatasan menyimpan hal baru menjadi tantangan dalam penyerapan memori kaum lansia. Namun namanya usaha, maka jadilah tema Teologi Rahim dalam Perspektif Masmur 145:9, saya bawakan dengan perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian.

Kok kehati-hatian? Ini dia sobat, saya takut di cap ajaran sesat. Kok bisa? Seperti kita ketahui bersama bahwa teologi baku dan statis terdapat pada kaum lansia fundamental tanpa transformasi teologi. Kan bisa-bisa saya jadi repot. Hehehehe

Namun, untunglah semua tidak seperti yang saya bayangkan. Coba lihat kebaikan TUHAN, ia memakai dan mengutus orang-orang pilihan untuk menyampaikan firman TUHAN bagi seluruh ciptaan makluk hidup. Saya terpaku dengan mujizat-Nya dalam pembaharuan diri, pembaharuan yang makin bertumbuh dan berkembang.  

Teologi rahim ini terinspirasi kala saya mengikuti PERUATI Minahasa. Saya merasa terpanggil memberitakan, dan berkontribusi bagi lansia. Jangan salah sobat, saya mempergunakan kesempatan yang tidak datang kedua kali ini dengan tema yang cukup ‘menantang.’

Awalnya, saya keluar dari rumah dengan perasaan harap-harap cemas (H2C). Dua rumah telah di lewati, ternyata ketinggalan kaca mata. Maklum sobat, 10 meter pandangan ke depan tidak bisa terlihat secara jelas. Jangankan tulisan atau huruf, wajah orang pun kelihatan samar-samar. Itu pertanda saya makin tua atau kuat membaca yaa? Hmmm.,

Saya balik ke rumah untuk mengambil kacamata yang diletakkan di piring antik bergambar burung cendrawasi  Papua. Saya pun bergegas karena jam dinding rumah telah menunjukkan pukul 14:34. Kali ini tidak berjalan sendiri, saya bersama Oma Longkutoy-Oroh.

Setibanya di gedung gereja, di barisan bangku paling depan hadir oma dan opa dari beberapa jemaat yang berada di seputaran wilayah Manado Barat Daya (MBD). Dengan langkah pasti, saya maju ke depan. Dengan baju kemeja bentenan, saya memperkenalkan corak khas Minahasa.

Bpk Jacob Kalesing (sebagai sekretaris kelompok fungsional lanjut usia GMIM Bukit Karmel Batu kota) mengajak saya menyapa para jemaat yang hadir. Dilihatnya-lah perempuan Minahasa muda, kecil dan kerucuk. Setelah berjabatan tangan, saya langsung mengambil posisi duduk paling belakang seperti biasanya.

Tiba-tiba datanglah enci Sumampouw dengan senyuman khas bagai bunga mawar yang lagi mekar. “adoh kiapa Nency so duduk paling balakang? Adooh enci so salah bacarita, nona pendeta kote, kiapa so duduk paling balakang?” cetusnya. Saya mengatakan “belum pendeta masih bantu-bantu pelayanan, biar jo nyanda apa-apa.” Lanjut menurut enci “ biar jo nyanda apa-apa enci bilang pendeta pa Nency karena somo kasana kwa, enci dapa inga ee…,waktu pendeta masih anak sekolah minggu, masih ba ingus-ingus kong sekarang so ba pimpin di mimbar. Nyanda sangka noh.” Saya pun langsung membalas dengan senyum sambil berucap “karena didikan dari guru, orang tua sampe bisa sekolah lebe. Maar samua ada rencana TUHAN terbaik voor torang pe hidop masing-masing.”

Asyiknya percakapan antara guru-murid, upps terdengar nama saya dipanggil untuk duduk paling depan. Kebanyakan panggil nama saya, alhasil saya-pun mengalah. Ya mengalah untuk duduk paling depan. Kata oma Tina “tidak baik kalau pemimpin ibadah duduk paling belakang.”

Duduk di paling depan membuat hati dan pikiran ‘sedikit’ kacau. Kok kacau? Yaa, sebenarnya saya tidak suka duduk paling depan apalagi menjadi pusat perhatian banyak orang. Sementara duduk, terdengar suara memanggil nama Nency Heydemans dari arah belakang.

Siapa itu? Aduuh ternyata guru sekolah minggu waktu saya masih anak-anak. Waah belasan tahun tidak ketemu. Sambil cipika-cipiki, terharu dan tak menyangka bisa bertemu kembali. Aduuh sayang, kami tidak bisa bercerita lebih lama. Ternyata ibadah akan segera dimulai, saya di giring oleh pembawa acara untuk berdiri di atas mimbar pelayanan khusus.

Dari atas mimbar saya melihat guru besar UNSRAT, mantan kepala dinas provinsi SULUT, mantan dosen, guru sekolah minggu dan sebagainya. Saya  merasa anak kerucuk, anak kemarin yang sekarang memimpin ibadah disaksikan puluhan mata. Apakah makna hidup ku ini, TUHAN?

Renungan digantikan dengan ceramah, melalui metode dialog; tanya-jawab.

Ada dua orang memberikan pertanyaan, dan dua orang memberikan masukan. Semuanya berjenis kelamin laki-laki. saya maklumi saja. Mengapa? karena tema ini kebanyakan menyinggung ke-perempuan-an. Jadi, kontribusi suara laki-laki untuk memberi, melengkapi nuansa ibadah dengan tema teologi rahim.

Kesimpulan dari pemaparan materi dan diskusi, yakni: TUHAN itu baik kepada semua orang, TUHAN itu kasih, agar supaya setiap orang dibenarkan dan diselamatkan. Dengan cara apa TUHAN itu baik? Melalui sikap kasih kita kepada sesama manusia dan makhluk hidup. Kemudian, rahim sebagai sarana keturunan, sebagai tempat firdaus yang aman, nyaman. Setelah janin keluar dari rahim ibu, maka ia menjadi manusia seutuhnya yang mencari-cari kedamaian dan mencari kesejahteraan. Aplikasinya, gereja yang adalah orangnya menjadi pembawa rahim keturunan, berkat bagi alam semesta dan memberitakan kabar baik keselamatan Yesus bagi semua mahkluk hidup.

Saya merasa bersyukur kepada TUHAN Sang Pencipta di kala mereka bisa menyerap materi ini, meskipun serapan hanya berupa sari-sari perenungan.

Setelah ibadah selesai, ada tiga peristiwa yang coba saya renungkan.

Pertama, tiba-tiba sekretaris kelompok fungsional lansia wilayah MBD, Bpk Mait meminta nomor hp saya. Waah, saya merasa anak kerucuk tapi kok di minta nomor hp? Wele-wele, kayak orang penting saja, bukan? hehehe

Menurut Bpk Mait, “teologi rahim merupakan hal baru yang di dengar dan di sampaikan oleh pembicara muda. Meskipun tua-tua begini, tapi teologi rahim belum se-tua umur kami.” Dan oleh karena itu, lanjut menurutnya “saya bersyukur bisa mengikuti perkembangan teologi yang lebih membebaskan dan memberikan pencerahan.”

Kedua, saya diberi emplop putih. Apa ini? kata bpk Jacob Kalesing, ini adalah hasil dari ibadah, ceramah hari ini. ya, uang!. Saya pun langsung menolak uang tersebut. Memang, manusia siapa yang tidak memerlukan uang, tetapi bukan dengan cara demikian. Maksudnya? Saya tidak mau menerima emplop setelah memimpin ibadah. Menurut saya, Yesus Kristus datang ke dunia untuk membebaskan manusia, untuk menyelamatkan seluruh ciptaan-Nya tanpa menerima imbalan uang dari para imam dan ataupun tanpa mengambil uang demi kepentingan kerajaan Romawi.

Jujur, uang hasil memimpin ibadah memang menjadi beban moril dan bertolak belakang dengan hati nurani saya. Dan oleh karena itu sampai tulisan ini diterbitkan, saya menolak! Meskipun sampai hari ini, saya tidak menerima tunjungan hidup sebagai orientasi jemaat di GMIM Bukit Karmel Batukota. Ya perlu ada ketekunan dan kesabaran dalam ujian dan prinsip hidup akan panggilan pelayanan. Memang tak gampang menjadi Tou Minahasa Kristen yang bukan berorientasi pada uang hasil memimpin ibadah!.

Akhirnya, saya memberikan masukan kalau uang tersebut di masukan ke kas lansia jemaat. Ini baru dinamakan: “banyak memberi dengan ketulusan hati tanpa paksaan atau pilih-pilih kasih meskipun tanpa diminta.” benar, semoga saya bisa bertahan dengan prinsip pelayanan hidup ini. Ya,  jika TUHAN menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu (Yakobus 4:15).

Ketiga, seperti biasanya, siapa yang memimpin ibadah pastilah diberikan kue yang paling banyak. Kue pun telah dibungkus rapi. Saya mendapat perlakuan spesial dari para pemimpin lansia jemaat ini. Kali ini, kue tidak saya bawa pulang. Tetapi saya bagi-bagikan kepada oma-opa yang lain. Bukannya saya tidak menghargai pemberian mereka, melainkan di rumah hampir tiap hari banyak kue, banyak berkat TUHAN melalui pemberiaan jemaat. Sayangkan kalau kue-kue-nya mubasir. Mari berbagi kasih bagi mereka yang membutuhkan. Bukan begitu?









Manado, 27 Mei 2012
22:25
Nency A Heydemans Maramis